Selasa, 27 April 2010

Resensi: Menjadi Penulis itu Berproses


Judul Buku: Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis, Muhammad Suhaidi RB, Muhammadun AS, dkk.
Penerbit: Muara Progresif, Surabaya
Cetakan: I, 2009
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Imdad Fahmi Azizi *)


Di era globalisasi, dunia kepenulisan menjadi tantangan bagi kaum santri untuk menemukan eksistensi diri. Dan pekerjaan menulis menjadi pilihan, sehingga santri tidak ketinggalan zaman. Dikalangan santri, menulis adalah tantangan tersendiri. Menjadi penulis tidak langsung jadi, butuh proses yang mendaki. Setidaknya itu yang dialami ke-13 penulis buku ini yang semuanya berasal dari kaum santri.
Sebagaimana dikutip dalam lampiran buku ini, Imam al-Ghazali berkata, “Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis!” Pramoediya Ananta Toer juga mengingatkan, bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. KH Zainal Arifin Toha, tokoh panutan buku ini mengatakan, bahwa dengan menulis maka Aku Ada.

Membangun Tradisi Membaca

Kunci menjadi penulis menurut pengalaman Muhammadun As adalah membaca. Membaca adalah faktor yang paling menentukan dalam menulis. Dalam kacamata Rijal Mumazziq Zionis, membaca tidak hanya menambah literatur kita, melainkan menyokong sege-nap argumentasi dan memperkaya khazanah pengetahuan.

Menurut Noviana Herlanti, salah satu penulis buku ini yang juga seorang cerpenis, menulis tanpa disertai kegiatan membaca adalah sama seperti orang buta yang ingin berjalan tanpa tongkat. Dengan selalu membaca, semangat, pantang menyerah, akan mengantarkan santri mampu bersaing dalam dunia kepenulisan.

Sebagaimana pengalaman Nur Faishal, sense kepenulisan tidak lahir begitu saja. Tidak given. Oleh karena itu, terlepas dari aktivitas apapun, harus ada waktu senggang untuk membaca. Karena menggeluti dunia kepenulisan harus total. (hlm. 46)

Segendang sepenarian dengan itu, penulis lain, Salman Rusydie Anwar, menekankan bahwa menjadi seorang penulis adalah menjadi sosok yang harus total mempelajari banyak hal. Bagi calon penulis, hendaknya membangun terlebih dahulu tradisi belajar yang kuat agar tidak hanya menjadi seorang penulis biasa tetapi menjadi seorang penulis hebat. (hlm. 122)

Menikmati Proses

Seorang calon penulis pemula harus mampu menjadi batu karang yang siap menerima serbuan ombak sekeras dan sedahsyat apapun. Kita harus belajar pada pengalaman. Menulis merupakan bagian dari anjuran agama. Dan Alquran tidak hanya menyuruh kita agar cerdas membaca, tetapi juga dianjurkan untuk cerdas dalam menulis. Perpaduan membaca dan menulis merupakan perpaduan ideal generasi Alquran yang sejati. Keberhasilan dan kesuksesan menembus media cetak akan terjadi, ketika sudah dilakukan berkali-kali.
Sebagaimana pengalaman Rijal Mumazziq Zionis, yang menjadi modal utama penulis adalah niat, komitmen, dan sabar dalam berproses. Proses adalah sebuah tahapan paling urgen dan paling menentukan dalam kepenulisan. Sebelum dia aktif di dunia kepenulisan, dia membuat buletin pribadi, hingga dengan itu terinspirasi untuk terus menulis sehingga tulisannya berhasil dimuat di salah satu massa nasional.

Menulis harus bersungguh-sungguh. Secara spirit dunia kepenulisan mengajari kita untuk tidak mudah putus asa. Ada kaitan antara kepenulisan dan kemandirian. Di sinilah kemudian seorang penulis menemukan idealismenya. Kata Muhammadun AS, dengan menulis, santri menjadi penyangga paradaban bangsa. Harus berjuang dengan konsep istiqomah (ajeg atau konsisten), jalan istiqomah menjadi pertaruhan hidup penulis di masa depan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Suhaidi-mengutip Jorge Luis Borges, menulis merupakan pengalaman yang essensial. Penulis-penulis handal sekalipun, mempunyai pengalaman-pengalaman pahit selama berproses, misalnya tulisan ditolak oleh redaktur ketika baru pertama kali mengirimkannya, serta merasa jenuh dan bosan. Hal itu lumrah terjadi, karena tidak ada kesuksesan yang tidak diawali dengan kepahitan dan tantangan. Apalagi dalam ‘hukum kesuksesan’ sebagaimana dalam literatur pesantren, telah diatur bahwa kesuksesan membutuhkan proses yang panjang (tul al-zaman).

Sebagaimana yang dialami Ahmad Khotib pula, bahwa menulis itu tidak mudah, bahkan sampai ‘berdarah-darah’. Untuk menjadi seorang penulis, harus berani memaksa diri sendiri. Dia sampai ‘menghukum diri’ selama 30 hari dengan sanksi menulis. Pada hari ke-21, dian jatuh sakit, tapi terus dipaksakan. Hingga akhirnya dirulisannya diterima di Jawa Pos pada tanggal 11 Mei tahun 2008. (hlm. 156)

Disamping itu, menjadi penulis membutuhkan seorang teman, guru, teman berimprovisasi. Dalam istilah Azizah Hefni, penulis membutuhkan guru kreatif. Dunia keilmuan dan dunia kepenulisan laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dan terus berkembang. Selanjutnya, dunia kepenulisan pada dasarnya adalah peneguhan terhadap eksistensi.

Menurut Noviana Herliyanti, cerpenis, menulis adalah pembebasan, atas diri kita yang lemah, kemampuan yang jauh dai sempurna, dan kesulitan berdamai dengan takdir. Membebaskan kita untuk berekspresi, tulisan mewakili setiap emosi. Membebaskan kita untuk mencapai mimpi. Membebaskan kita dari perasaan minder. Membuat kita cerdas, dan lain sebagainya.

Ach. Syaiful A’la, mengatakan bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang, butuh tenaga ‘superekstra’. Pekerjaan menulis seperti bengkel sepeda. Artinya main bongkar pasang dan berani mengi-dentifikasi diri. Tentang tulisan yang baik ini, Ach. Sayiful A’la mengutip perkataan D Zawawi Imron, bahwa tulisan yang baik adalah yang dibisa dibaca dan dimengerti oleh disiplin ilmu yang lain termasuk juga orang awam yang suka membaca buku.

Menjadi penulis tidak harus mempunyai bakat dan pendidikan formal tinggi. Tidak perlu ada ke-turunan darah penulis. D Zawawi Imron tidak pernah mengenyam pengalaman di bangku kuliah, bahkan tidak lulus SD. Tulisannya sering dimuat diberbagai media dan menjadi sumber ilmu. Menulis tidak hanya membuahkan kekayaan materi dan ketenaran, tapi juga kekayaaan batin. Apabila tulisan kita dimuat, melahirkan kepuasan pribadi. Dalam istilah Zuhairi Misrawi, menulis adalah kepuasan batin (KOMPAS, 18/2). Butuh ketelatenan dan keuletan, sebagaimana yang dijelaskan Salahuddin Wahid dan AS Laksana (Jawa Pos, 31/1).

Untuk pemula, buku ini sangat bagus. Kekurangannya, isi buku ini kurang sistematis, tidak ada muatan teori yang memadai, terkesan cerita kecil saja. Walaupun begitu, buku ini mampu memberi motivasi tinggi kepada pembaca.

Menjadi penulis dan bergelut di dunia kepenulisan adalah sebuah pilihan dan kehormatan. Pilihan, ka-rena kita total menggelutinya. Kehormatan, karena kita menjadi pengabdi kebenaran. Walaupun membutuhkan proses yang panjang-minimal tidak mudah patah arang. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

*) Peresensi adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ) Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar