Minggu, 25 April 2010

Ulama Lebanon Belajar kepada NU


Bendera NU makin berkibar di pentas dunia. Melalui ICIS, nama Nahdlatul Ulama makin dipercaya untuk dapat memberikan inspirasi dalam menyatukan gerakan Islam berwawasan Rahmatn lil Alamin. Berikut kisah perjalanan utusan PBNU ke medan konflik di Lebanon, pertengahan Januari lalu.

KEPERCAYAAN dunia Islam kepada Nahdlatul Ulama rupanya semakin lama semakin menguat. Setidaknya bisa dilihat dari undangan Tajammu’ Ulama fi Lubnan (semacam MUI-nya Lebanon) pada pertengahan Januari lalu kepada PBNU. Dalam kesempatan itu rombongan yang berangkat adalah KH A Hasyim Muzadi (Ketua Umum), KH Masyhuri Na’im (Rais), KH Miftachul Akhyar (Rais Jatim), Ajengan Asep (Rais Jabar), Tubagus Halim (Rais Banten), HM Zed Hamdi (Ketua Kalbar), Gus Zaim Ahmad (Ketua Lasem), dan dua orang lainnya dari Malang. Maksud undangan adalah untuk misi perdamaian, sesuai mandat ICIS kepada NU sebelumnya.

Rombongan dari Jakarta menaiki pesawat Al-Ittihad milik milik Uni Emirat, turun di Abu Dhabi. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar tujuh jam. Rombongan sempat heran, karena menjelang perjalanan menuju Lebanon yang diperkirakan membutuhkan waktu tiga jam itu, pemeriksaan cukup ketat. Tidak seperti di Indonesia. Sepatu, arloji, bulpen, kopiah, semuanya dilepas untuk diperiksa. “Untung sarung tidak (dilepas),” gumam Kiai Miftah sambil terkekeh.

Sampai di Bandara Rafiq Hariri sekitar pukul tiga dini hari, mereka dijemput dua kelompok Sunni dan Syi’i di kamar VIP. Untuk membedakan kedua kelompok itu tidak terlalu sulit. Untuk gamis mereka hampir sama. Satu-satunya penanda mereka adalah penutup kepala. Pada kelompok Sunni ada kuncung warna merah, sedangkan di Syi’i tidak ada. Setelah melakukan pembicaraan sekitar setengah jam, mereka dibawa ke hotel untuk istirahat sejenak.

Pukul 09.00 rombongan sudah dijemput para tokoh ulama untuk menuju Lebanon Selatan di Distrik Khalda, jaraknya sekitar 130 km. Daerah ini berada dalam kekuasaan Hizbullah. Perjalanan dilakukan dengan menyisir pantai yang indah laut tengah Mediterania, melalui perkebunan pisang dan jeruk serta apartemen-apartemen di dataran tinggi Ghoolan sepanjang 72 km. Alam Lebanon memang sangat indah, dan subur. Tidak heran kalau negeri ini dijuluki Paris-nya Timur Tengah. Rombongan juga melewati gunung dan goa-goa persembunyian para gerilyawan Hizbullah. Di sepanjang perjalanan banyak terpampang foto-foto para syuhada di pinggir jalan. Semua itu untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka serang berperang melawan Israel. Kira-kira 50 kilometer menjelang sampai, suasana sudah tegang. Nuansa perang sudah mulai terasa.


Ada yang unik di Lebanon. Meski antara milisi dan pemerintah terus berperang, ditambah dengan perang lain yang melibatkan pemerintah plus milisi melawan Israel, ternyata dalam internal dalam negeri yang berkonflik itu memiliki kesepakatan tersendiri. Pariwisata, pendidikan, dan perbankan tidak boleh terganggu. Jadinya, meski dalam suasana perang, ketiga departemen itu tetap berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada libur seperti di negara lain.

Sesampai di lembah Khiyam, mereka ditunjukkan bekas-bekas alat perang yang ditinggalkan Israel. Ada meriam dan tank yang rontok, serpihan bom, bangunan hancur, dlsb. Semuanya dibiarkan teronggok di tempat itu tanpa ada yang mengambil. “Kalau di tempat kita, mungkin sudah diambili pemulung,” ujar Kiai Miftah sambil tersenyum. Tak lupa mereka diajak melihat penjara Khiyam yang dikenal horor. Di tempat itulah dulu tentara Israel banyak menyiksa para pejuang muslimin di luar batas kemanusiaan.

Lembah Khiyam memang sempat dikuasai Israel. Namun melalui perang sangat sengit, akhirnya tempat itu dapat direbut kembali oleh Hizbullah. Hingga kini lembah Khiyam seakan tanah tak bertuan. Meski berada sangat dekat dengan permukiman Israel, namun wilayah itu tetap dalam penguasaan Hizbullah. Saking dekatnya dengan permukiman Israel, jangankan melihat, melempar sesuatu pun akan sampai. “Umpama ada yang melempar onde-onde dari sana, mungkin kita akan merasakan akibat,” tutur Kiai Miftah.

Tak jauh dari tempat itu banyak tank UNIFIL (penjaga perdamaian PBB dan pasukan Garuda ada di dalamnya) berseliweran. Indonesia memang mengirimkan dua ribu pasukannya untuk memperkuat perbatasan Lebanon-Israel. Beberapa waktu rombongan mengunjungi anggota TNI yang sedang bertugas di sana. Tak lupa sambil foto-foto untuk kenangan.

Perjalanan selanjutnya ke kota Shuur untuk bertemu dengan Syeikh Nabil Qouq, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Lebanon. Bedanya tinggi, besar dan tegap. Suaranya mantap. Dari Syeikh Nabil inilah Kiai Hasyim mendapatkan kenang-kenangan istimewa berupa serpihan bom cluster yang dijatuhkan oleh Israel. Padahal dalam konvensi internasional penggunaan bom itu sudah dilarang. Tapi namanya juga Israel, apapun dilakukan untuk dapat memenuhi ambisinya.

Selanjutnya perjalanan menuju kota Sidoon. Rombongan sudah ditunggu oleh para tokoh Sunni dan Syi’i di sana. Rombongan juga menemui Syeikh Hammood dan Syeikh Maulana Ahmad Zen, Ketua Tajammu’ di Shaida (Sidoon). Di tempat itu rombongan juga dipertemukan dengan Mufti Shaida dan Lubnan Al-Janub.

Esok hari perjalanan dilanjutkan ke lembah Biqo’ (Beeka). Di sini merupakan wilayah kekuasaan sekte Drutz. Rombongan dapat bertemu dengan tokoh spiritual Drutz, Syeikh Nasruddin al-Ghorib. Druts adalah semacam sekte kebatinan di Indonesia. Jumlah mereka lumayan besar dan juga lumayan kuat. Di parlemen, wakil mereka bergabung dengan para ulama Sunni dan Syi’i dalam menghadapi pemerintah yang didukung oleh Barat.

Setelah bertemu dengan Syeikh Mohammad Yazbik, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah untuk wilayah Lebanon Timur, rombongan menziarahi makam Nabi Yunus AS di distrik Jiyyah. Sayang, makam itu kurang terawat. Terletak di perkampungan dengan jalan yang sempit, berada di dekat masjid yang juga tidak terawat. Selanjutnya ke makam Saiyidatina Khoulah binti Husain bin Ali RA.

Selanjutnya rombongan menuju kota Ba’albak (Balbeek) melalui kota ‘Alay. Di situlah terlihat betapa menariknya Lebanon. Ada kebun-kebun anggur yang luar biasa. Udara dingin menyengat, brrr..! Rombongan menziarahi makam Saiyid Abbas, Pimpinan Hizbullah sebelum Hasan Nas-rallah. Dilanjutkan ke makam Nabi Ayub AS, lalu ke makam Nabi Syits bin Adam AS. Untuk ukuran Indonesia, makam itu terbilang unik. Panjangnya 30 meter! Mungkin karena berada dalam komunitas Syiah, makam itu terawat rapi dan dikeramatkan.

Balbeek adalah kota yang menjadi pusat Syi’ah. Suasana cukup ramai. Ada pemandangan yang terasa aneh. Di setiap 100 meter terpampang banyak foto di pinggir jalan, seperti musim Pilkada di Indonesia. Pada tempat-tempat tertentu terbentang spanduk melintang di jalan. Isinya, bukan untuk mendukung salah satu pasangan calon, tapi ajakan untuk mati syahid! Foto-foto para pemimpin mereka dan orang-orang yang gugur sebagai syuhada menghiasi jalanan kota Balbeek. Semangat perang begitu terasa, dan tokoh-tokoh mereka begitu dikagumi.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan para ulama di sana, Kiai Hasyim selalu memberikan suntikan semangat perjuangan kepada mereka, sekaligus menjelaskan pemikiran NU dalam konsep ukhuwah dalam hubungannya bernegara. “Jangan kecil hati, dan jangan putus asa. Dengan persatuan, kemerdekaan akan dapat direbut kembali,” begitu wejangan Kiai Hasyim, sambil tak lupa menyebut Indonesia pernah dijajah bangsa lain selama 350 tahun.
(Kiai Hasyim bertemu Syeikh Hasan Nasrallah dan Syeikh Wahbah Az-Zuhailli menghendaki Kiai Hasyim pimpin NU ... bersambung pada edisi selanjutnya).

Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘MUHIBAH’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar