Rabu, 09 Mei 2012

AULA Edisi Mei 2012


BELAJAR DARI KESUKSESAN ZENDING

Umat Islam Indonesia selalu merasa bangga dengan jumlah mereka yang terbesar di seluruh dunia. Kuota jamaah haji Indonesia setiap tahun juga urutan teratas di antara negara-negara di seluruh dunia. Saking banyaknya pengantri calon haji di Indonesia, mereka harus menunggu antrian hingga sepuluh tahun lamanya. Tapi mengapa jumlah pemeluk Islam di Indonesia terus merosot ?

Mahfudz, suatu ketika masuk ke pedalaman hutan Kalimantan. Setelah menempuh perjalanan selama 3-4 jam dari Pontianak sampailah ia di kawasan Entikong yang berbatasan dengan Malaysia. Ia adalah salah seorang calon TKI di Malaysia yang berangkat secara ilegal. Di pedalaman Entikong itu ia tinggal tiga bulan lamanya menunggu suasana aman agar dapat menyeberang ke Negeri Jiran melalui jalan-jalan tikus. Untuk mengusir rasa jenuh masa tunggu yang tidak jelas itu, setiap hari ia menjelajahi hutan di kawasan tersebut. Kadang memancing, kadang berburu, kadang sekadar mencari pengalaman.

Beberapa kali ia bertemu dengan suku Dayak di pedalaman. Perasaan aneh muncul. Ia lihat suku berkulit kuning itu terlihat ramah kepada pendatang baru seperti dirinya. Beberapa kali ia disapa dan diajak mampir ke rumah mereka. Kadang diajak makan bersama, lalu menginap di rumah mereka dengan didampingi anak gadis mereka. Padahal sebelumnya ia membayangkan suku Dayak adalah suku yang kejam dan suka memakan orang (seperti suku Indian di Arizona). Tapi kali ini ia harus meralat sangkaan itu.

Rupanya masih ada lagi dugaan pemuda asal Sidoarjo itu yang salah tentang pedalaman Kalimantan. Jika sebelumnya ia membayangkan suku Dayak di pedalaman adalah penganut animisme dan dinamisme yang menyembah pohon besar dan nenek moyang, rupanya sudah tidak lagi. Ternyata di pedalaman hutan Kalimantan telah berdiri gereja-gereja dalam jumlah yang sangat banyak. Meski ia belum pernah menyaksikan sendiri orang Dayak beribadah di gereja-gereja tersebut. “Hampir di setiap jarak satu kilometer selalu ada gereja di sana,” tutur lelaki yang mengaku juga menemukan sebuah pondok pesantren di pedalaman tersebut.

MISIONARIS DI PAPUA

Kisah hampir sama juga terdengar dari pedalaman Papua. Ternyata mayoritas suku-suku pedalaman pulau di ujung timur yang jumlah dan wilayahnya sangat luas itu kini telah menjadi penganut Kristen ataupun Katolik. “Kalau hari Minggu di pedalaman itu seperti hari raya. Mereka memakai pakaian dan pergi ke gereja bersama-sama. Sepulang dari gereja mereka telanjang lagi,” kata Ir Arif Musaddad, salah seorang petugas Balitbang Pertanian Jakarta yang pernah beberapa lama di pedalaman Papua untuk melakukan survey.

Mereka menjadi seperti itu, kata putra KH A Muchith Muzadi (Mbah Muchith) itu, berkat kesuksesan para misionaris yang terus telaten tinggal di pedalaman dan menemani penduduk setempat dalam jangka waktu yang lama. Ia mencontohkan, pada mulanya banyak sekali suku di pedalaman Papua yang tidak dapat saling berkomunikasi dengan suku lainnya. Mereka berbeda sama sekali dalam adat dan bahasa. Kalau terjadi perselisihan biasanya langsung diselesaikan di lapangan perang yang memang sudah disediakan. Budaya seperti itu sudah terjadi secara turun-temurun. Kalau sampai akhirnya suku-suku di pedalaman itu dapat mengenal pakaian dan dapat berkomunikasi dengan suku yang lain dan dunia luar, para misionarislah yang mengajari mereka. “Termasuk kalau mereka sekarang dapat berbahasa Indonesia, yang mengajari juga para misionaris itu,” kata Arif. “Memang seluruh akses ke pedalaman itu hanya mereka yang menguasai,” lanjut alumnus Institut Pertanian Bogor itu.

Hebatnya para misionaris, setelah tiba di tempat tujuan, biasanya mereka langsung dapat beradaptasi dengan suku setempat dan tinggal bersama mereka. Hal itu dikarenakan sebelum berangkat mereka memang telah mempelajari kehidupan suku-suku yang hendak dituju dan telah mempersiapkan mental secara matang. Setelah diterima, di situlah mereka mulai menyentuh hati dengan banyak membantu dan mengajar ilmu pengetahuan kepada anak-anak suku tersebut. Sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat lain, misionaris selalu disertai dengan dana besar dan akses ke luar negeri yang kuat. Jadilah pelaksanaan misi mereka menjadi sangat maksimal. “Mereka datang tampaknya memang tulus dengan misinya, bukan sekadar ingin menghabiskan uang dari funding saja,” lanjut Arif.

GURU TUGAS

Di tahun 1961 NU pernah membentuk lembaga Missi Islam. Lembaga ini dipimpin oleh Dr KH Idham Chalid dan sekretaris Anshary Syams. Lembaga inilah yang menggodok para kader muda NU dalam waktu beberapa lama sebelum dikirim ke pelosok-pelosok daerah untuk mengembangkan NU. Tidak jarang di antara para utusan itu akhirnya dijadikan menantu warga setempat sehingga ikatan batin NU dengan masyarakat setempat menjadi makin kuat.

Kini Missi Islam tidak ada lagi. Namun kebutuhan pengiriman da’i ke pedalaman dan pelosok-pelosok negeri sebenarnya masih sangat dibutuhkan. Mereka yang di sana masih sangat memerlukan bimbingan dari para kiai yang kebanyakan berada di tanah Jawa. “Missi Islam begitu penting sekali, kita masih sangat kurang da’i yang memahami kondisi,” kata H Komari, S.Pd, Wakil Ketua PWNU Papua.

Namun ada baiknya juga dicoba pemanfaatan guru tugas dari pondok-pondok pesantren. Sebab, sebagaimana diketahui, tingkat pemahaman agama di Jawa dan daerah pedalaman luar Jawa masih sangat timpang. Ibaratnya, jika di Jawa untuk menjadi seorang ustadz saja sulit, di pedalaman untuk menjadi kiai saja mudah. Karena itu pengiriman guru tugas sangat penting. “Selain membantu membimbing masyarakat, sekaligus sebagai tempat praktek langsung santri belajar menghadapi problema di tengah masyarakat,” kata KH A Sadid Djauhari, pengasuh Pondok Pesantren As-Sunniyah Kencong, Jember, tentang manfaat pengiriman guru tugas.

Baca ulasan lengkapnya di Majalah AULA Edisi Mei 2012 dengan topik utama “SAAT MEREKA KITA LUPAKAN” :

 Belajar dari Kesuksesan Zending (hal 9)
 Antara Tantangan dan Musuh Terselubung (hal 12)
 Berharap Dakwah Terintegrasi (hal 14)
 Ada Kampung Salib di Tapal Kuda (hal 16)

Baca juga ulasan lainnya mengenai:

Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)
Selingan (hal 8)

Ihwal Jam’iyah: Menyambut Kehadiran Koperasi Bintang Sembilan (hal 20)
Selangkah lagi, PWNU Jawa Timur akan memiliki Koperasi Induk NU Bintang Sembilan. Dana sudah siap, partner sudah setuju dan segala infrastrukturnya segera dilengkapi. Apa manfaatnya?

Liputan Khusus: Mendengar Harapan dari Ujung Tombak (hal 22)
Akhirnya datang juga kesempatan berbincang dengan para agen dan pembaca majalah. Meskipun tak sampai mendatangkan mereka secara keseluruhan, namun harapan mereka cukup melecut semangat kami untuk terus berbenah.

Tokoh: Prof Dr Ir H Triyogi Yuwono, DEA (hal 25)
Seni hadrah, banjari dan istighosah masuk dalam rangkaian dies natalis perguruan tinggi ternama rasanya sangat jarang terjadi. Mungkin hanya ITS yang melakukannya. Jam’iyah yasin dan tahlil juga berjalan baik di lingkungan para dosen. Kecerdasan pun berpadu dengan keimanan secara baik.

Bahsul Masail: Sumbangan Non Muslim untuk Masjid (hal 28)

Kajian Aswaja: Bagaimana Memahami Konsep Sifat Allah? (hal 30)

Uswah: Prof KH Syaifuddin Zuhri (hal 32)
Banyak orang terlena akan jabatan dan melupakan amanat yang seharusnya menjadi tanggung jawab yang diembannya. Pemanfaatan jabatan menjadi opsi pilihan selagi jabatan masih tersemat dipundak. Tak ayal kepentingan masyarakat kerap diduakan oleh kepentingan-kepentingan individu.

Nisa’ : Dra Hj Ucik Nurul Hidayati, MPdI (hal 36)
Wajah da’iyah yang satu ini sudah akrab menghiasi layar televisi lokal di Jawa Timur. Salah satunya adalah acara “Apa Kata Bu Nyai” yang secara rutin menyapa pemirsa TV9 setiap Ahad siang. Di luar itu, ia rutin keliling ke berbagai pelosok kota dan kabupaten untuk berdakwah, hingga ke luar Jawa dan luar negeri. Inilah sosok Dra Hj Ucik Nurul Hidayati, M.PdI.

Pesantren: PP Al-Muhajirin Pungging Mojokerto (hal 38)
Di negeri kita memang banyak orang yang pintar. Sayangnya, terlalu banyak di antara mereka menggunakan kepintarannya menjadi orang yang keblinger. Karena itulah, Ponpes Al-Muhajirin menekankan pendidikannya agar para santri tidak hanya alim, tapi juga amin. Alias pintar dan dapat dipercaya.

Pendidikan: STAIFAS Kencong Jember (hal 40)
Untuk bisa kuliah, sebagian terpaksa merogoh dana lumayan tinggi serta harus ke kota besar. Mestinya, para mahasiswa dapat tetap beraktifitas di komunitasnya dan bisa merampungkan studi dengan biaya terjangkau, tanpa menanggalkan kualitas.

Kancah Dakwah: Merajut Mimpi Yatim Pengusaha (hal 42)
Sampai kini, masih banyak panti asuhan yang mengasuh anak yatim dengan manajemen lillahi ta’ala. Sekadar menjalankan kewajiban tanpa disertai manajemen yang baik. Akibatnya, sekeluar dari panti anak asuh kurang bisa mandiri. Yayasan Al-Madina Surabaya menemukan resep baru agar anak asuh kelak dapat mandiri. Seperti apa?

Muhibah: Pesona Mutiara Hitam di Azerbaijan (hal 44)
Mungkin tidak banyak orang NU mengenal nama Azerbaijan, namun kenal lekat dengan kota Bukhara, tempat lahir Imam Bukhori yang ahli Hadits. Padahal kota Bukhara berada di negeri Azerbaijan. Sama halnya sebagian orang Barat yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia.

Khazanah : Labu Buah Kegemaran Nabi (hal 47)
Buah labu jarang menjadi makanan pendamping. Padahal bila diteliti secara seksama, manfaat buah ini sangat tinggi. Labu atau waluh juga memiliki selaksa manfaat yang berguna bagi tubuh.

Nuansa: Bertanam Robusta di Lahan Balai Diklat (hal 49)
Bagaimana kondisi Balai Diklat NU di Prigen, Pasuruan? Sudah lama tidak terdengar kabar beritanya. LPPNU Jawa Timur baru saja menggelar acara di sana. Rofi’i, salah seorang calon wartawan Aula, turut mengabadikan peristiwa itu.

Aktualita: LKNU Gelar Rakornas Pertama (hal 51)
Layanan dan fasilitas kesehatan adalah kebutuhan tak terhindarkan. Bahkan, Mendikbud Prof Dr Muhammad Nuh, DEA menandaskan, bila kondisi kesehatan seseorang lebih baik, dapat dipastikan kesejahteraannya juga turut meningkat.

Lentera: Perancang Pesawat Terbang (hal 53)
Sebagian kita pernah menggunakan pesawat terbang sebagai sarana transprortasi. Bahkan ada sebagian yang tak mau menggunakan media lain karena dianggap tidak efisien. Namun pernahkah kita berfikir, siapa pencipta konsep besi terbang ini? Dialah Abbas Ibnu Firnas.

Wawasan: Harmonisasi Islam dan Barat, Mungkinkah? (hal 56)

Sembilan: Peneliti NU Luar Negeri Terpopuler (hal 58)
NU memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya di dalam negeri, orang luar negeri pun banyak yang berminat. Termasuk para peneliti tentang NU. Sebagian di antara mereka malah sudah rajin mengikuti Muktamar NU sejak era tahun 1970-an.
Bagi mereka, forum nasional lima tahunan itu seakan menjadi agenda wajib yang sayang untuk dilewatkan, termasuk Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010 silam. Siapa sajakah mereka?


Sekilas Aktivitas (hal 60)

Rehat: Imam Suprayogo & Muhammad Fauzi (hal 66)