Selasa, 01 November 2011

AULA Edisi Nopember 2011


Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional?

Sejarah panjang bangsa ini sejak masa cengkraman penjajahan, revolusi fisik hingga format dan bentuk negara Indonesia masa depan tak pernah sekalipun dilewatkan. Dengan keberanian, kalkulasi yang cermat serta negosiasi yang fleksibel, keutuhan bangsa ini dapat terjaga hingga kini. Namun dia tak pernah berfikir soal gelar, termasuk pahlawan untuk dedikasinya.

BELIAU adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Sosok yang oleh pengamat dipandang sebagai pendiri NU yang sesungguhnya lantaran mendesain, menghimpun serta melakukan silaturrahim ke berbagai kiai Nusantara dalam rangka meyakinkan mereka akan pentingnya para kiai pesantren terhimpun dalam sebuah organisasi. Kendati tak kunjung mendapat restu dari sang maha guru, hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari, tapi Kiai Wahab tetap tak bergeming. Baginya, akan lebih anfa’ bila para kiai terhimpun dalam sebuah jam’iyah. Dan pucuk dicinta ulam tiba. Restu Mbah Hasyim kian menggelorakan semangatnya untuk mengembangkan jam’iyah tersebut di seluruh pelosok negeri.

Pengembaraan intelektual yang dilakukan semasa muda dari pesantren ke pesantren dan kemudian dituntaskan di Makkah dalam waktu yang lumayan lama mengantarkannya memiliki kolega di hampir seluruh daerah. Kedalaman ilmu, koneksi jaringan kiai tanah air serta keberadaannya sebagai organisatoris ulung yang ditopang sumber dana yang memadai, membuat banyak kalangan langsung sepakat dengan ide briliannya.

NU menjadi ormas keagamaan yang disegani hingga kini, tidak semata dilandasi oleh keteguhan dan kemurnian dalam berjuang. “Yang tak kalah penting adalah jaringan para kiai kenamaan di seluruh negeri,” kata DR KH Said Aqiel Siradj pada perhelatan haul ke 40 yang lalu. “Kiai Wahab datangi satu persatu para kiai di tanah air dengan biaya sendiri,” lanjut Ketua Umum PBNU ini. Bisa dibayangkan, berapa biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk bersilaturrahim dengan kiai se antero tanah air ini.

Yang menarik dari sosoknya adalah kegigihan dalam membentengi aqidah dan amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah, baik di tanah air bahkan hingga ke Saudi Arabia. Dia juga sangat tidak terima kalau keberadaan kiai dan santri serta pesantren diremehkan. Manakala kalangan orang berpendidikan yang terhimpun dalam Partai Masyumi memandang sebelah mata terhadap otoritas kiai, Mbah Wahab tidak segan-segan untuk keluar dari partai yang menjadi representasi umat Islam kala itu.

Saat para kiai dan kalangan pesantren kurang pede dan diimbangi dengan provokasi kalangan yang mengklaim dirinya sebagai Islam modernis, dengan lantang Mbah Wahab mengatakan: “Saya hanya butuh seorang pemuda untuk menemani, cukup satu sebagai sekretaris saya. Selanjutnya, kau akan lihat apa yang akan terjadi.”

Itu adalah diantara kematangan kalkulasi yang dilakukan Mbah Wahab. Setelah NU menjadi partai mandiri dan bertarung pada Pemilu 1955, ternyata suara yang dikumpulkan melebihi prediksi berbagai kalangan, bahkan internal NU sekalipun.

Dengan rentang yang lumayan panjang, Mbah Wahab merasakan betul pahit getirnya hidup di dunia politik. Ini pula yang harusnya jadi teladan bagi warga dan pemimpin NU maupun bangsa Indonesia. Saat menjadi orang pertama yang memiliki otoritas penuh di NU dan partai politik, selaksa sanjungan dan cercaan mengiringi kiprahnya.

Hampir bisa dikatakan, sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam Aswaja melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kiai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali penyelenggaraan Muktamar NU.

Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rais ‘Am, Kiai Wahab sempat berharap: “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya didalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal shaleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Pada kesempatan itu pula, beliau berpesan agar kaum nahdliyin tidak semuanya terseret ke dalam dunia politik dan masih berpegangan kuat dan mempunyai jiwa pendirian Nahdlatul Ulama 1926.

Sederet nama dan kiprah besar, kadang memang tak memerlukan “panggung” apalagi “baju” ataupun gelar yang akan disandingkan diantara kebesaran namanya. Kiai Wahab Chasbullah telah menorehkan prestasi yang tak terbantahkan bagi eksistensi jam’iyah dan bangsa ini. Toh, hingga kini gelar pahlawan tidak disandingkan dengan namanya.

Bila memang dirasa layak, itu bukan tugas Kiai Wahab untuk memprosesnya. Tugas dan dedikasi beliau telah paripurna dan kita bisa nikmati hingga kini. Tugas selanjutnya adalah bagi generasi muda dan anak bangsa untuk “sekedar” memprosesnya menjadi pahlawan nasional. Tentunya ini tugas teramat “ringan” dan tidak berbiaya. Masalahnya, siapa yang akan meluangkan waktu untuk itu? Saifullah an-Nawawi

BACA JUGA LIPUTAN SELENGKAPNYA:

Refleksi (hal 8)
Ummurrisalah:
- Kiai Wahab Chasbullah Pahlawan Nasional (hal 10)
- Jalan Panjang Kiai Wahab (hal 13)
- Khidmat Tanpa Pamrih Kiai Tiga Jaman (hal 17)
- Jalan Berliku Meraih Gelar Pahlawan (hal 22)
- Pendiri NU Yang Sebenarnya (hal 26)

Ihwal: Donor Darah, Aksi Sosial Tak Ternilai (hal 33)
Liputan Khusus: Mencetak Kader Pembela Aswaja (hal 36)
Bahsul Masail: Tanda Hitam di Kening Rasulullah? (hal 40)
Mimbar Aula: Merefleksikan Bencana Alam (hal 44)

Nuansa: Monumen Resolusi Jihad (hal 49)
Kantor PCNU Kota Surabaya (dulu Kantor PBNU) di Jalan Bubutan menjadi saksi sejarah dalam membakar spirit juang pertempuran 10 Nopember 1945. Di kantor inilah, inisiasi Resolusi Jihad Fisabilillah dicetuskan dan kini telah diresmikan menjadi monumen. Seperti apa kejadiannya?

Kancah Dakwah: Lika-Liku Mengentas Pelacuran di Surabaya (hal 53)
Mengentas masalah pelacuran bagaikan benang kusut. Diurai satu, masih ada yang lain. Lebih-lebih jika pelacuran itu melibatkan beberapa kepentingan politik dan kekuatan ekonomi tertentu. Namun bukan berarti tidak ada jalan yang bisa ditempuh. MUI Jatim bersama para da’i telah melakukannya.

Pendidikan: MTs NU 10 Penawaja Kendal (hal 57)
Ibrah: Cara Kiai Hamid Mengajari Shalat (hal 60)
Pesantren: PP Mambaul Hikam Mantenan Blitar (hal 61)
Tokoh: Drs H Muhammad Sudjak, M.Ag (hal 65)
Wawasan: Belajar dari Fenomena Sudarminto (hal 69)
Uswah: KH Sullam Syamsun (hal 72)

Khazanah: Rumput Fatimah (hal 76)
Ketika musim haji usai, biasanya banyak oleh-oleh khas Arab yang di bawa ke tanah air. Salah satunya adalah rumput Fatimah. Khasiat tumbuhan ini sudah dipercaya secara turun-temurun namun kerap ditentang kalangan medis. Kenapa?

Muhibah: Pesona Peninggalan Kerajaan Saba’ (hal 79)
Dalam al-Qur’an, banyak sejarah penting yang dikisahkan. Tak sedikit yang mengispirasi kemajuan masa kini dan mempersembahkan peninggalan yang mempesona. Salah satunya adalah pusat peradaban Kerajaan Saba’ yang masih dapat dikenali. Bagaimana keadaannya saat ini?

Aktualita: Fasilitas Baru di Makam Gus Dur (hal 83)
Kecintaan masyarakat kepada mantan presiden ini demikian tinggi. Hilir mudik peziarah seakan tak pernah putus datang ke Pesantren Tebuireng Jombang. Memberikan fasilitas pelengkap adalah sama dengan menghormati mereka.

Rehat: Khofifah Indar Parawansa (hal 87)
Dirasah: Signifikansi Pendidikan Anti Terorisme (hal 88)
Sekilas Aktivitas (hal 90)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar