Selasa, 20 Desember 2011

AULA Edisi Desember 2012


Penelitian terakhir soal potensi zakat yang bisa dihimpun di tanah air mencapai Rp217 triliun per tahun dan saat ini baru bisa dihimpun Rp 1,5 triliun. Jelas sekali pemanfaatannya masih jauh panggang dari api. Kini, UU zakat terbaru hadir dari gedung Senayan. Dapatkah memberi jawaban?

Lewat sidang paripurna yang tidak terlampau gaduh, akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat pada rapat paripurna, Kamis (27/10). Dengan disahkannya UU ini, maka pengelolaan zakat akan terintegrasi di bawah koordinasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). UU ini adalah perubahan atas UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam praktiknya, keberadaan BAZNAS memiliki fungsi sebagai perencana, pelaksana, pengendalian pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan, hingga pelaporan zakat. Sedangkan lembaga pengelolaan zakat yang selama ini dikelola oleh masyarakat, akan dikoordinasi oleh BAZNAS.

Di sisi lain, para tokoh agama, analis ekonomi dan hampir semua orang sepakat bahwa potensi dana masyarakat yang didapat dari ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) cukuplah besar. Hal ini dibuktikan dengan telah dimanfaatkannya dana umat tersebut oleh para penjajah. Seiring dengan kian meningkatnya kesadaran keberagamaan yang juga diiringi peningkatan taraf hidup, maka dapat dipastikan bahwa potensi itu tidaklah kecil. Namun kepada siapa para hartawan muslim ini akan menyalurkan kelebihan rejekinya? Dikelola sendiri atau dipasrahkan kepada amil?

Bila pilihan pertama yang diambil, tentunya tak akan ada masalah. Namun persoalannya akan lain bila dana itu diberikan kepada amil. Di antara sekian banyak amil atau lembaga amil zakat (LAZ) yang ada, siapa yang layak dipercaya?

Ditanggapi Beragam

Beberapa pasal yang paling sering diperdebatkan antara lain pasal 38. Dalam pasal itu diatur ketentuan setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat. Pihak yang mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat, harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Jika mengabaikan hal ini, maka yang bersangkutan terancam denda Rp. 50 juta atau kurungan penjara selama setahun (pasal 41).

Selain itu, dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lembaga amil zakat yang didirikan syaratnya harus berasal dari ormas Islam. Padahal, lembaga amil zakat yang ada sekarang dan sudah terbukti eksis dalam memajukan sistem pengelolaan zakat di negeri ini tidak berasal dari ormas Islam.

Karena itulah tanggapan beragam muncul pasca disahkannya UU zakat yang baru. Bayang-bayang judicial review ke Mahkamah Konstitusi juga menjadi isu yang santer diberitakan. Sebab, sebagian kalangan menilai ketentuan dalam UU ini akan menyulitkan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang keempat. UU ini mewajibkan pembayaran zakat harus kepada amil dari lembaga amil zakat yang terdaftar. Selain itu, lahirnya aturan ini justru kian memperburuk tata kelola kelembagaan zakat di tanah air, bahkan berpotensi mematikan lembaga zakat yang selama ini sudah ada. Argumentasi itu didasarkan peran masyarakat yang dinihilkan di dalam UU ini dan membuat Baznas menjadi lembaga superbodi tanpa ada restriksi.

Akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah UI Yusuf Wibisono, misalnya, menyatakan pengaturan UU ini mewajibkan adanya sentralisasi di bawah BAZNAS. Baginya, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah. Padahal di banyak negara, pengelolaan zakat justru lebih diberikan lebih luas bagi partisipasi publik.

Bertolak belakang dengan itu, Ketua Umum BAZNAS Didin Hafidhuddin, menyatakan mestinya masyarakat bersyukur atas disahkannya UU ini. “Dengan UU ini, maka penanganan zakat di Indonesia akan tertangani dengan baik,” katanya.

Terhadap beberapa kalangan yang skeptis dan bahkan mengkerdilkan keberadaan LAZ swasta, Didin membantahnya. “Justru dengan UU ini akan mampu mengatur LAZ dengan baik dan menempatkannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem zakat nasional,” sambungnya.

Mengambil Sisi Baik

Di luar hiruk pikuk wacana atas terealisasinya UU ini, salah seorang anggota Komisi VIII berharap agar masyarakat memandang aturan ini sebagai hal positif. “Dengan UU ini, maka keberadaan amil yang ada di masyarakat kian diberikan keleluasaan mengopreasionalkan dana umat,” kata Prof DR H Ali Maschan Moesa, MSi.

Bagi mantan Ketua PWNU Jatim ini, dengan UU tersebut, maka masyarakat dapat lebih terbuka melakukan pengawasan agar dana yang telah terhimpun dapat disalurkan secara optimal. “Bukankah sudah pada tempatnya kalau dana yang dihimpu dari masyarakat juga harus dipertanggungjawabkan?” kata anggota Badan Kehormatan DPR RI ini balik bertanya.

Selama ini memang ada kemudahan bagi perorangan maupun lembaga untuk menjadikan dirinya sebagai amil tanpa ada upaya melaporkan pengelolaan dana yang telah ada.

Demikian pula keberadaan LAZ haruslah berbadan hukum. “Pengelolaan zakat harus berbadan hukum, karena terkait dengan kewenangan pengalihan aset lembaga,” kata Bahrul Hayat yang juga Sekretaris Jendral Kementerian Agama.

“Pasti akan menimbulkan pro dan kontra,” kata Pak Ali. Namun diharapkan dengan UU ini, kepercayaan masyarakat kian bertambah. Dengan demikian akan lebih banyak potensi dana yang bisa diserap dan didistribusikan untuk membantu mengangkat masyarakat dhuafa’ dari keterpurukan. Sinergi antara pemerintah lewat BAZNAS dan masyarakat dengan LAZ-nya, diharapkan pengentasan kemiskinan bukan sekedar slogan tanpa makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar