Kamis, 14 Juni 2012

KH Abdul Halim

Kiai Pejuang Sejati

Namanya tak begitu dikenal. Ia memang tak sekondang para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, KH A Wahid Hasyim, Syahrir, atau Natsir. Namun, jejak kepahlawanan KH Abdul Halim tak kalah panjang dari mereka. Ia termasuk di antara para tokoh pendiri bangsa. Ia terselip dideretan nama anggota BPUPKI.

Lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka pada 4 Syawal 1304 atau 26 Juni 1887 dikenal sebagai ulama besar dan tokoh pembaharuan Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan yang memiliki corak khas di masanya.

Pada masa kecil, nama aslinya adalah Otong Syatori. Sejak menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya KH Muhammad Iskandar, penghulu Kawedanan Jatiwangi, dan ibunya Hj Siti Mutmainah binti Imam Safari. Ia anak bungsu dari delapan bersaudara, menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kemenag tingkat kabupaten).

Latar belakang keluarga dikenal taat dalam beragama, bahkan ibunya masih keturunan Sultan Syarif Hidayatullah. Tidak mengherankan jika pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah didapatinya sejak usia dini. Pada usia 10 tahun, ia telah belajar Al-Qur’an kepada orang tuanya.

Kemudian ia mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga usianya mencapai 22 tahun. Gurunya pertama adalah KH Anwar, di PP Ranji Wetan, Majalengka. Ia kemudian berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rata-rata bermukim antara satu sampai tiga tahun di setiap pesantren. Kiai yang pernah menjadi gurunya antara lain KH Abdullah (Pesantren Lontangjaya, Majalengka), KH Sijak (Pesantren Bobos, Cirebon), KH Ahmad Sobari (Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan), dan KH Agus (Pesantren Kedungwangi, Pekalongan).

Dirasa cukup menimba ilmu agama dari banyak kiai lokal, Halim remaja memutuskan naik haji di usia 22 tahun. Bukan semata menunaikan rukun Islam kelima, melainkan juga untuk mendalami disiplin ilmu agama kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat. Di Makkah pula, ia bertemu dengan KH Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (tokoh NU). Sejak itu pula, ia mulai bersentuhan dengan tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Organisatoris Ulung

Abdul Halim kembali ke Tanah Air pada 1911 M dengan membawa semangat dan tekad yang membara dan merealisasikan Majelis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Dirikan di atas tanah milik mertuanya, KH Muhammad Ilyas. Sehari-hari, Kiai Abdul Halim dibantu oleh mertuanya dalam memberikan pelajaran kepada para santrinya. Kian lama, aktivitas Majlis Ilmu semakin berkembang. Sebuah asrama berhasil dibangun sebagai tempat tinggal para santri.

Setahun kemudian Majlisul Ilmi disempurnakan menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub. Aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, juga kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga melawan penindasan Belanda. Hayatul Qulub mempelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta pengembangan usaha-usaha pertanian. Suatu hal yang menarik adalah penerapan sistem pemilikan saham-saham perusahaan bagi guru yang aktif mengajar. Di bidang sosial-kemasyarakatan, ia mendirikan rumah yatim piatu Fatimiyah.

Organisasi Hayatul Qulub tidak berumur panjang, tahun 1915, dibubarkan. Penjajah Belanda menganggap organisasi tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Akan tetapi Kiai Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah. 

Baru pada tahun 1916 berdiri Perikatan Oelama (PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura, bahkan tahun 1939 telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia.

Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya kurang mampu. Dalam mengembangkan bidang pendidikan, KH Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah dengan menjalin hubungan dengan beberapa organisasi seperti dengan Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Ittihad Al Islamiyah (AII).

Tahun 1942, dia mengubah Perikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam, yang kemudian pada 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) yang berkedudukan di Bandung.

Untuk pengembangan organisasi, Halim mengembangkan usaha pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha. Ia juga mendirikan percetakan pada 1930. Pada 1939 membangun perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya. Semua perusahaan di bawah pengawasannya.

Abdul Halim mewajibkan para guru menanam saham di perusahaan tersebut, sesuai dengan kemampuan. Tujuannya, agar perusahaan berkembang pesat. Ia juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola persyarikatan wanita, Fatimiyah.

Salah satu kegiatan yang menonjol adalah pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun 40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres IX P.O., Kiai Abdul Halim melahirkan ide untuk membangun sebuah pesantren, dimana santri tidak saja belajar agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. 

Ide ini mendapat sambutan positif. Pada April 1942, Ia mendirikan pesantren Santi Asromo di Majalengka sebagi bekal keterampilan santri agar hidup mandiri, tanpa harus tergantung pada orang lain, atau menjadi pegawai pemerintah.

Buah Perjuangan

Kiai Abdul Halim adalah pejuang kemerdekaan dan mempunyai andil besar dalam mempersiapkan kelahiran Republik Indonesia. Ia berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan. 

Dalam mempertahankan kemerdekaan, Abdul Halim berbasis di Gunung Ceremai untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II dengan gerilya. Ia memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon, ikut dalam BPUPKI dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Kiai Abdul Halim aktif berperan menentang pemerintahan kolonial. Pada 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada 1928 menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH M Anwaruddin dari dan KH Abdullah Siradj. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.

Pada 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi, ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada 1955. Di kalangan kolega, ia dikenal sebagai orang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan.

Pada 1940, ia bersama KH A Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper di Jakarta, untuk mengajukan tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi Agresi Belanda 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi. Ia juga menentang keras didirikannya Negara Pasundan oleh Belanda pada 1948.

Bertepatan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, KH Abdul Halim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No 041/TK/2008 tanggal 6 November 2008 tentang Tanda Kehormatan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang disertai tanda kehormatan Bintang Maha Putra Adi Perdana yang diterima keluarganya. Keputusan ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu Dr H Muhammad Nuh. Penetapan pemerintah ini bersama dengan Bung Tomo dan Mohammad Natsir. 

Ia pernah menjadi Bupati Majalengka oleh Residen Cirebon, serta produktif menulis. Buku yang ditulisnya diantaranya adalah Da`wat Al-mal, Tarich Islam, Neratja Hidoep, Risalat, Ijtima`iyyat wa Ilahuha, Kitab 262 Hadist Indonesia, Tafsir Juz `Amma, dan Koperasi dalam Islam. jm

1 komentar: