Tampilkan postingan dengan label Uswah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Uswah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2013

KH Bisri Musthofa

Ulama Multitalenta dan Multikarya

Sebagai tonggak perjuangan masyarakat, ulama selalu menjadi sosok yang terdepan dalam melawan penjajahan. Ia menjadi panutan dan pembimbing di tengah jalan kegelapan. Begitu pula yang diperankan oleh KH Bisri Musthofa.

Tersebutlah nama Mashadi sebagai nama kecil dari KH Bisri Musthofa. Namanya kemudian lebih familiar  dengan panggilan Bisri Musthofa seusai menunaikan ibadah haji. Ia dilahirkan pada tahun 1915 di kampung sawahan Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dari seorang ayah bernama H Zaenal Musthofa dan seorang ibu Hj Chodijah.

Bisri kecil dikenal sebagai anak yang biasa-biasa saja. Bahkan ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada mengaji. Ada beberapa faktor mengapa Bisri kecil enggan mondok kala itu. Ia menganggap bahwa pelajaran di pondok pesantren begitu sulit  dan ia tidak mempunyai bekal untuk itu.

Namun kebiasaan itu tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya ia bersedia untuk mengaji di pesantren dan menekuni ilmu-ilmu agama. Perantauan pertama untuk menimba ilmu dilakukan di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh KH Cholil. Sempat tidak betah berada di pesantren, ia kembali ke rumah. Namun, sekembalinya dari pesantren H Zuhdi (kakak tertuanya) justru memaksanya untuk kembali lagi ke pesantren. Dan memasrahkannya kepada ipar KH Cholil bernama Suja’i yang berada di pesantren tersebut.

Di awal kehadirannya di pesantren, ia belajar terlebih dahulu kepada Suja’i. Karena Bisri masih dirasa kurang mempunyai bekal untuk mengaji secara langsung kepada Kiai Cholil. Oleh Suja’i, sehari-hari Bisri hanya diajari satu kitab saja yakni Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga Bisri menjadi santri yang sangat menguasai isi kitab tersebut. Dengan kemampuan itu ia lalu diperbolehkan mengikuti pengajian yang dipimpin langsung oleh Kiai Cholil. Bahkan, ia menjadi rujukan pertanyaan apabila ada permasalahan yang tak mampu dijawab oleh para santri. Pelbagai kitab juga sudah banyak ia pelajari, di antaranya Fathul Wahab, Iqna’, Jam’ul Jawami, Uqudul Juman, dll.

Selain mondok di Kasingan, ia juga mengaji kilatan selama Raamdlan di pesatren Tebuireng Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Kemudian, tepat di umur 20 tahun, Bisri diambil mantu oleh Kiai Cholil dan menikah dengan Ma’rufah (saat itu masih berusia 10 tahun). Dari perkawinan inilah nantinya KH Bisri Musthofa dikaruniai 8 anak, yaitu Cholil (KH Cholil Bisri), Musthofa (KH MUsthofa Bisri/Gus Mus), Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah.

Semangat Mengejar Ilmu

Semangat pencarian ilmu tak berhenti begitu saja setelah ia menikah dengan Ma’rufah. Ketika musim haji tiba, Kiai Bisri nekad berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji dan memperdalam ilmunya. Namun karena bekalnya sedikit, Kiai Bisri mengabdi kepada kepada Syeikh Chamid Said sebagai khadam.

Di Makkah pendidikan yang ia jalani bersifat non-formal. Ia belajar kepada  1936 kepada Kiai Bakir, Syeikhh Umar Khamdan Al-Magrib, Syeikh Maliki, Sayyid Amir, Syeikh Hasan Masysyath, dan kiai Abdul Muhaimin. Sayangnya, Kiai Bisri tak bisa berlama-lama untuk menuntut ilmu di kota suci itu. Setahun kemudian, Kiai Bisri harus pulang karena permintaan mertuanya. Pada tahun 1938 M  ia pulang ke Kasingan dan setahun kemudian mertuanya meninggal dunia.

Setelah kepulangannya dari Mekkah Kiai Bisri semakin aktif mengisi pengajian di pesantren dan mendirikan Ponpes Raudlatut Thalibin di Rembang. Di samping mengisi pengajian pesantren, kesehariannya juga disibukkan dengan mengisi ceramah-ceramah keagamaan. Bahkan Kiai Bisri dikenal sebagai tokoh yang handal berpidato dan menyampaikan orasi.

KH Syaifuddin Zuhri pernah menuturkan bahwa Kiai Bisri memang orator dan ahli pidato yang hebat. Ia mampu mengutarakan hal-hal sebenarnya sulit menjadi gamblang. Mudah diterima oleh orang desa maupun kota. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Kritikan-kritikan tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan. Selain itu ia pun menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

Dedikasi dan Karya

Kiai Bisri merupakan satu di antara banyak ulama Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz. Kitab tafsir ini selesai ditulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar.

Selain itu, pemikiran Kiai Bisri juga banyak dituangkan dalam bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, kitab-kitab dan lain sebagainya. Tidak hanya tentang tafsir, tetapi juga bidang tauhid, fiqh, akhlaq-tasawuf, Syariah, Aqidah, hadits, tata bahasa dan sastra Arab, dan lain-lain. Karya-karya tersebut sampai sekarang masih menjadi rujukan para ulama yang mengajar dipesantren. Bahkan menurut putranya, KH Chollil Bisri, seluruh karya Kiai Bisri yang telah dicetak kira-kira berjumlah 176 buku.

Karirnyapun dalam dunia politik juga cukup gemilang. Tiga era pemerintahan yang ia lalui selalu menempatkannya pada posisi strategis. Di era penjajahan ia duduk sebagai Ketua NU dan Ketua Hizbullah Cabang Rembang. Dan di tahun 1955, ia mulai aktif di Partai NU dengan mengabdi secara total kepada NU. Kemudian, di era Soekarno ia aktif sebagai anggota Konstituante, anggota MPRS dan pembantu Menteri Penghubung Ulama. Dan di era kepemimpinan Soeharto, ia menjabat sebagai anggota MPR RI dari utusan daerah golongan ulama. Pada tahun 1977, ia menjabat sebagai Majelis Syuro PPP pusat dan scara bersamaan juga sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.

Kiai Bisri juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Telah tersurat beberapa karyanya berupa syair atau puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Ia juga pernah menulis drama tentang cinta kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaicha yang kemudian ia rekam sendiri dalam bentuk monolog. Sedangkan di dunia bisnis, Kiai Bisri juga dikenal gigih dan kreatif dalam menangkap peluang usaha. Ia memang dididik menjadi keluarga pedagang. Kiai Bisri pernah mendirikan yayasan yang bergerak dibidang ekonomi dan perdagangan yaitu Yayasan Mu'awanah Lil Muslimin (YAMU'ALIM).

Itulah derap langkah Kiai Bisri yang multitalenta dan multikarya. Tak hanya sebagai kiai pengasuh pesantren yang alim, Kiai Bisri juga berdidakasi secara total sebagai politikus yang handal, pengarang yang produktif, seniman dan sastrawan yang humanis serta pedagang yang kreatif. Akhirnya, episode kehidupannya di dunia berakhir pada 16 Februari  1977. Kiai Bisri menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 62 tahun. (davida)

Kamis, 14 Juni 2012

KH Abdul Halim

Kiai Pejuang Sejati

Namanya tak begitu dikenal. Ia memang tak sekondang para pejuang kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, KH A Wahid Hasyim, Syahrir, atau Natsir. Namun, jejak kepahlawanan KH Abdul Halim tak kalah panjang dari mereka. Ia termasuk di antara para tokoh pendiri bangsa. Ia terselip dideretan nama anggota BPUPKI.

Lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka pada 4 Syawal 1304 atau 26 Juni 1887 dikenal sebagai ulama besar dan tokoh pembaharuan Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan yang memiliki corak khas di masanya.

Pada masa kecil, nama aslinya adalah Otong Syatori. Sejak menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya KH Muhammad Iskandar, penghulu Kawedanan Jatiwangi, dan ibunya Hj Siti Mutmainah binti Imam Safari. Ia anak bungsu dari delapan bersaudara, menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kemenag tingkat kabupaten).

Latar belakang keluarga dikenal taat dalam beragama, bahkan ibunya masih keturunan Sultan Syarif Hidayatullah. Tidak mengherankan jika pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah didapatinya sejak usia dini. Pada usia 10 tahun, ia telah belajar Al-Qur’an kepada orang tuanya.

Kemudian ia mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga usianya mencapai 22 tahun. Gurunya pertama adalah KH Anwar, di PP Ranji Wetan, Majalengka. Ia kemudian berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Rata-rata bermukim antara satu sampai tiga tahun di setiap pesantren. Kiai yang pernah menjadi gurunya antara lain KH Abdullah (Pesantren Lontangjaya, Majalengka), KH Sijak (Pesantren Bobos, Cirebon), KH Ahmad Sobari (Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan), dan KH Agus (Pesantren Kedungwangi, Pekalongan).

Dirasa cukup menimba ilmu agama dari banyak kiai lokal, Halim remaja memutuskan naik haji di usia 22 tahun. Bukan semata menunaikan rukun Islam kelima, melainkan juga untuk mendalami disiplin ilmu agama kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat. Di Makkah pula, ia bertemu dengan KH Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (tokoh NU). Sejak itu pula, ia mulai bersentuhan dengan tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Organisatoris Ulung

Abdul Halim kembali ke Tanah Air pada 1911 M dengan membawa semangat dan tekad yang membara dan merealisasikan Majelis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Dirikan di atas tanah milik mertuanya, KH Muhammad Ilyas. Sehari-hari, Kiai Abdul Halim dibantu oleh mertuanya dalam memberikan pelajaran kepada para santrinya. Kian lama, aktivitas Majlis Ilmu semakin berkembang. Sebuah asrama berhasil dibangun sebagai tempat tinggal para santri.

Setahun kemudian Majlisul Ilmi disempurnakan menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub. Aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, juga kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga melawan penindasan Belanda. Hayatul Qulub mempelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta pengembangan usaha-usaha pertanian. Suatu hal yang menarik adalah penerapan sistem pemilikan saham-saham perusahaan bagi guru yang aktif mengajar. Di bidang sosial-kemasyarakatan, ia mendirikan rumah yatim piatu Fatimiyah.

Organisasi Hayatul Qulub tidak berumur panjang, tahun 1915, dibubarkan. Penjajah Belanda menganggap organisasi tersebut menjadi penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Akan tetapi Kiai Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah. 

Baru pada tahun 1916 berdiri Perikatan Oelama (PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura, bahkan tahun 1939 telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia.

Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya kurang mampu. Dalam mengembangkan bidang pendidikan, KH Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah dengan menjalin hubungan dengan beberapa organisasi seperti dengan Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Ittihad Al Islamiyah (AII).

Tahun 1942, dia mengubah Perikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam, yang kemudian pada 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) yang berkedudukan di Bandung.

Untuk pengembangan organisasi, Halim mengembangkan usaha pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha. Ia juga mendirikan percetakan pada 1930. Pada 1939 membangun perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya. Semua perusahaan di bawah pengawasannya.

Abdul Halim mewajibkan para guru menanam saham di perusahaan tersebut, sesuai dengan kemampuan. Tujuannya, agar perusahaan berkembang pesat. Ia juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola persyarikatan wanita, Fatimiyah.

Salah satu kegiatan yang menonjol adalah pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun 40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres IX P.O., Kiai Abdul Halim melahirkan ide untuk membangun sebuah pesantren, dimana santri tidak saja belajar agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. 

Ide ini mendapat sambutan positif. Pada April 1942, Ia mendirikan pesantren Santi Asromo di Majalengka sebagi bekal keterampilan santri agar hidup mandiri, tanpa harus tergantung pada orang lain, atau menjadi pegawai pemerintah.

Buah Perjuangan

Kiai Abdul Halim adalah pejuang kemerdekaan dan mempunyai andil besar dalam mempersiapkan kelahiran Republik Indonesia. Ia berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan. 

Dalam mempertahankan kemerdekaan, Abdul Halim berbasis di Gunung Ceremai untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II dengan gerilya. Ia memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon, ikut dalam BPUPKI dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Kiai Abdul Halim aktif berperan menentang pemerintahan kolonial. Pada 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada 1928 menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH M Anwaruddin dari dan KH Abdullah Siradj. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.

Pada 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi, ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada 1955. Di kalangan kolega, ia dikenal sebagai orang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan.

Pada 1940, ia bersama KH A Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper di Jakarta, untuk mengajukan tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi Agresi Belanda 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi. Ia juga menentang keras didirikannya Negara Pasundan oleh Belanda pada 1948.

Bertepatan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, KH Abdul Halim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No 041/TK/2008 tanggal 6 November 2008 tentang Tanda Kehormatan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang disertai tanda kehormatan Bintang Maha Putra Adi Perdana yang diterima keluarganya. Keputusan ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu Dr H Muhammad Nuh. Penetapan pemerintah ini bersama dengan Bung Tomo dan Mohammad Natsir. 

Ia pernah menjadi Bupati Majalengka oleh Residen Cirebon, serta produktif menulis. Buku yang ditulisnya diantaranya adalah Da`wat Al-mal, Tarich Islam, Neratja Hidoep, Risalat, Ijtima`iyyat wa Ilahuha, Kitab 262 Hadist Indonesia, Tafsir Juz `Amma, dan Koperasi dalam Islam. jm

Jumat, 30 Juli 2010

KH Bisri Syansuri

Faqih yang Tegas nan Santun

Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesatren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”

Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.

Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.

Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.

Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.

Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.

Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)

Selasa, 27 April 2010

Uswah: Syekh Yusuf Al-Makassari

Ulama Pejuang Lintas Negara


Sebagai putera Nusantara, justru namanya berkibar di Afrika. Ia dikenal sebagai seorang sufi, komandan tempur, sekaligus aktivis dakwah lintas negara. Benar-benar multitalenta.

SAYA melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan meng-gumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani.” Demikianlah kata-kata indah Taufiq Ismail terukir indah di buku bertajuk Syekh Yusuf, seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis oleh Abu Hamid. Ia mengguratkan catatan usai mengunjungi sebuah bukit di kawasan Faure, Desa Macassar, Afrika Selatan, di musim gugur Bulan April 1993.

Nama lengkap pahlawan ini adalah Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’e, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Sebagai keluarga bangsawan maka Yusuf pun berkesempatan belajar ke Cikoang, sebuah desa yang menjadi sentral pengajaran ilmu agama. Para gurunya adalah keluarga- sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW, seperti Syekh Jalaludin al-Aidid dan Sayyid Ba’lawi At-Thahir. Dari dua ulama inilah Yusuf kecil belajar, selain pada Daeng Ri Tassamang, ulama yang menjadi guru para bangsawan kerajaan Gowa.

Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota bernama Pangeran Surya, yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Di Aceh ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah.

Dari Aceh ia berangkat ke Yaman dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah Tareqat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa’adah Al-Ba’laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke seantero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperoleh-nya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus).

Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah), Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon, Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

Dari Banten Hingga Afsel

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Setelah itu, Syekh Yusuf pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, pada bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebar-kan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Karena pengaruhnya yang besar, dan berpotensi melahirkan pemberontakan, Belanda merasa risau dan khawatir. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab ia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sebagai putera terbaik Nusantara, Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhijjah 1116 H.

Makam Syekh Yusuf yang berada di Gowa adalam salah satu dari lima versi makamnya. Yaitu di Cape Town (Afrika Selatan), Srilanka, Banten, dan Madura. “Makam sebenarnya Syekh Yusuf ada di Lakiung (Gowa),” kata sejarawan Anhar Gonggong.

Di sebelah kanan makam Syekh Yusuf, juga dikebumikan Sitti Daeng Nisanga (istri syekh Yusuf yang juga bibi Sultan Hasanuddin). Sedangkan di samping kirinya ada makam Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa XIX yang juga putera Sultan Hasanuddin). Ada pula makam Syekh Abdul Dhahir, murid utama Syekh Yusuf.

Hebatnya, Syekh Yusuf tidak hanya dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat Banten dan Makassar. Pun demikian bagi warga Afrika Selatan.

Pada Oktober 2005, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya. Dua di antaranya adalah Andi Makmun, keturunan ke sembilan Syekh Yusuf dan Syachib Sulton, keturunan ke sepuluh.

Melihat kiprah dan perjuangan Syekh Yusuf, Nelson Mandela, pejuang anti diskriminasi dan mantan presiden Afsel, bahkan menjuluki putra Nusantara itu sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

* Dimuat di Majalah AULA No. 04/XXXII April 2010 dalam rubrik "USWAH".

Minggu, 25 April 2010

Pecinta Ilmu Yang Rendah Hati


KH Abdul Karim, Pendiri Pondok Lirboyo

Pertama kali menetap di Desa Lirboyo, ia langsung melantunkan adzan. Aneh, selepas itu, semalaman penduduk desa tak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang.

NAMA kiai ini KH Abdul Karim. Ia adalah pendatang dari Magelang yang kemudian diambil menantu Kiai Sholeh, Banjarmelati Kediri. Perpindahan Kiai Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang berharap dengan menetapnya Kiai Karim di Lirboyo akan menjadi tonggak penting syiar Islam di daerah itu. Gayung bersambut, kepala desa Lirboyo juga memohon kepada Kiai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Benar, selepas Kiai Karim melantunkan adzan, Desa Lirboyo bebas dedemit. Dan, tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, Kiai Karim mendirikan surau mungil nan sederhana. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1910.

Secara garis besar Kiai Karim adalah pribadi yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia juga gemar mela-kukan riyadlah mengolah jiwa alias tirakat. Kealimannya juga mulai terdengar ke luar daerah. Adalah bocah bernama Umar asal Madiun, yang menjadi santri pertama yang menimba ilmu dari Kiai Karim. Kedatangannya disambut baik oleh shahibul bait, karena kedatangan musafir itu untuk menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kiai.

Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal Kiai Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernama Syamsuddin dan Maulana, yang sama-sama berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari Kiai Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes disambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman. Di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan jahil. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin dibanjiri santri. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuk-lah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Karena jumlah santri semakin membludak, dan musalla kecil tak lagi representatif, maka timbullah gagasan dari Kiai Karim untuk mendirikan masjid. Semula masjid itu amat sederhana, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika masjid sederhana itu porak poranda disapu angin puting beliung. Akhirnya, KH Muhammad, kakak ipar Kiai Karim, berinisiatif membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Setelah bermusyawarah dan meminta izin pada KH Ma’ruf Kedunglo Kediri, dalam tempo peng-garapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi. Dinding serta lantainya terbuat dari batu merah, gaya bangunannya bergaya klasik, yang merupakan perpaduan model arsitektur Jawa kuno dengan Timur Tengah. Peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri Kiai Karim yang kedua, Salamah dengan KH Manshur Paculgowang Jombang.

Murid Kiai Kholil Bangkalan

Kiai Karim lahir pada 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang. Nama kecilnya adalah Manaf, putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manaf berusia 14 tahun, mulailah ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Daerah pertama yang dituju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas Karim meneruskan pengembaraannya di daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk. Di sini Karim menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk, untuk memper-dalam pengkajian ilmu al-Quran. Karena tetap haus ilmu, ia kemudian meneruskan pengembaraannya ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang ter-kenal dengan ilmu sharafnya. Tujuh tahun lamanya ia kerasan menuntut ilmu di pesantren ini. Periodenya selanjutnya diteruskan dengan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Surabaya. Era mondok yang paling berkesan adalah tatkala ia berguru pada ulama kharismatik yang menjadi guru para ulama Jawa dan Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan. Tak tanggung-tanggung, Karim berguru di pesantren ini selama 23 tahun! Tak heran jika dalam usia yang terus bertambah, ia masih belum tertarik membina rumah tangga.

Pada saat berusia 40 tahun, Karim, yang mulai dipanggil kiai, memilih meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan, KH M Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika Mbah Hasyim menjodohkan Kiai Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmlati Kediri. Akhirnya pada tahun 1328 H/ 1908 M, Kiai Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian Kiai karim bersama istri ter-cinta hijrah ke tempat baru, Lirboyo.

Sosok Kiai Karim dikenal sebagai sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan ke-adaan bagaimanapun. Hal ini terbukti tatkala menderita sakit, Kiai Karim masih saja istiqomah untuk mem-berikan pengajian dan memimpin shalat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Sebagai pengasuh ratusan santri, sikapnya yang kebapakan dan rendah hati, masih lekat diingatan para santri yang masih menangi zamannya.

Pernah, suatu ketika, ada pemuda yang berniat mondok di Lirboyo. Pakaiannya perlente sambil menen-teng koper, sebuah penanda kemewahan pada zaman itu. Di gerbang pondok, ia berpapasan dengan orang tua berpenampilan sederhana. Dengan seenaknya ia minta tolong pada orang tua itu untuk membawa-kan kopernya yang berat. “Antarkan aku ke ndalem Kiai Karim,” perintah-nya. Yang dimintai tolong segera mengiyakan. Setelah sampai di rumah kiai, orang tua itu meminta sang pemuda agar menunggu Kiai Karim barang sejenak. Alangkah terperanjatnya pemuda itu saat Kiai Karim muncul dari balik pintu ruang tengah, sebab orang tua yang ia suruh menenteng kopernya itu adalah Kiai Karim! Konon, saking malunya, pemuda perlente tersebut langsung mem-batalkan niatnya mondok di Lirboyo.

Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, saat Kiai Karim wafat pada 1954. Sepeninggal Kiai Karim, Ponpes Lirboyo dilanjutkan para menantunya, seperti KH Marzuqi Dahlan (adik KH Ihsan Dahlan Jampes, penulis Sirajut Thalibin), KH Mahrus Ali dan KH Jauhari. Adapun menantu yang lain, KH Abdullah mengasuh pesantren Turus Gurah Kediri, KH Manshur Anwar mengasuh pesantren Tarbiyatun Nasyiin Pacolgowang Jom-bang, sedangkan KH. Zaini mengasuh pesantren Krapyak Yogyakarta.

Sekarang, pesantren yang menapak usia seabad ini dihuni sekitar 10 ribu santri. Diasuh secara kolektif oleh para cucu Kiai Karim, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya Mahrus, KH Habibullah Zaini, dll.

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'USWAH'