Sabtu, 02 Juni 2012

AULA Juni 2012


MENELADANI PARA PENDIRI

Banyak peneliti luar negeri merasa heran dengan NU. Itu karena tidak sedikit yang tidak masuk akal terjadi di NU dan berlangsung sepanjang sejarah perjalanan organisasi ini. Sampai kini misteri itu masih juga banyak yang belum menemukan jawab. Maklum, NU didirikan penuh dengan iringan do’a dan tirakat para auliaillah, bukan dengan pesta dan hura-hura. Namun, masihkah semua itu dilakukan?

Pada 16 Rajab ini Nahdlatul Ulama telah genap memasuki usianya yang ke-89 tahun. Usia yang cukup matang untuk perjalanan sebuah organisasi. Memang kadang masih ada orang bimbang, Harlah (hari lahir) NU yang benar mana: ke-85 atau ke-89, tanggal 16 Rajab atau 26 Januari, hijriyah atau masehi? Jawaban pertanyaan itu sebenarnya sudah tertulis di Anggaran Dasar NU Bab I pasal 2, bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 hijriyah. Artinya, Harlah NU saat ini adalah yang ke-89.

Warga NU selayaknya lebih banyak mengucap syukur lagi karena organisasi yang mereka banggakan itu kini makin besar, makin banyak jumlah anggotanya dan makin diperhitungkan keberadaannya. Para pejabat yang cukup lama tiarap pun kini sudah tidak takut-takut lagi mengaku sebagai orang NU. Kalau mau teliti, kata seorang kiai, sebenarnya NU tidak hanya organisasi Islam terbesar di Indonesia, tapi sekaligus terbesar di dunia.

Kebesaran NU tidaklah datang begitu saja. Namun kebesaran itu dilalui dengan penuh riadlah batiniyah, perjuangan fisik dan pengorbanan para kiai di dalamnya. Setiap zaman selalu membutuhkan pengorbanan. Di masa rintisan, para kiai harus hilir-mudik berkeliling tanah Jawa untuk mempersatukan langkah. Mereka harus rela masuk ke pelosok-pelosok pedesaan untuk menjelaskan pentingnya pembentukan wadah perjuangan bersama.

Di masa perang kemerdekaan pondok-pondok pesantren yang menjadi tempat tinggal para kiai harus disulap menjadi markas perjuangan. Hal itu bukan tanpa risiko, karena mata-mata penjajah selalu ada di mana-mana. Tidak sedikit santri gugur di medan perang, tidak sedikit pula kiai yang harus menjalani siksaan di penjara penjajah demi mempertahankan kehormatan mereka.

Di saat menjelang peristiwa G 30 S/ PKI tahun 1965 merupakan tahun-tahun yang menegangkan. Setiap saat jiwa para kiai dan pengurus NU dapat melayang menghadapi penculikan orang-orang PKI dan kaki tangannya. Itu karena para kiai telah terdaftar dalam dokumen “7 Setan Desa” yang harus dilenyapkan oleh mereka. Kalau sekarang ada anak-anak NU yang membela eks aktifis partai komunis dan menjadikan mereka sebagai korban yang harus dibela, dimungkinkan karena dua hal; pertama, karena ketidaktahuan dan kedua, karena faktor gerojokan dana dari funding luar negeri yang membuat nanar mata mereka. Mereka menganggap peristiwa itu hanya dari sisi kemanusiaan semata, tanpa melihat bagaimana nyawa kiai di desa-desa terancam setiap saat.

Berkat do’a dan kebersihan jiwa merekalah NU tetap bertahan dan makin besar seperti sekarang. Dari rangkaian sejarah yang panjang itu KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) meyakini kalau NU bukanlah organisasi sembarangan. “Ibarat nyawa, nyawanya NU itu rangkap. Banyak yang tidak masuk akal namun terjadi di NU,” tutur Mbah Muchith suatu ketika. Mereka yang mempermainkan NU pun – melihat banyak contoh yang ada – biasanya akan kualat. Hidup mereka berantakan. Na’dzubillah. Karena di NU masih banyak orang yang berhati ikhlas.

Memasuki bulan Harlah biasanya tidak lepas dari acara syukuran, tirakatan dan muhasabah (introspeksi). Ibarat sedang menempuh perjalanan panjang, perlu dilakukan evaluasi: apakah jalan yang diambil sudah benar, sudah sampai di mana, strategi apa lagi yang akan dipergunakan, kira-kira kapan sampai di tujuan? Itulah sebagian dari bahan dasar muhasabah yang perlu dilakukan di hari Harlah.

Ikuti ulasan lengkapnya di Majalah NU Aula edisi Juni 2012, dengan topik utama “Meneladani Para Pendiri”, ikuti juga liputan lainnya tentang:

Ummurrisalah:
Meneladani Para Pendiri (hal 9)
Kisah Dibalik Nama dan Lambang (hal 11)
Mereka yang Teguh di Lapangan (hal 15)
NO Tempo Doeloe (hal 18)

Refleksi (hal 8)

Ihwal Jam’iyah: Khotmil Qur’an Bersama Tuna Wicara (hal 20)               
Keterbatasan fisik jangan sampai dijadikan alasan untuk tidak bisa belajar agama, khususnya mendalami Al-Qur’an. Para tuna wicara saja bisa mengkhatamkan kitab suci umat Islam ini dengan sempurna. Sebuah rintisan yang layak diapresiasi.

Liputan Khusus: Persoalan Syi’ah Sampang Belum Selesai (hal 22)
Merasa tidak puas dengan penanganan kasus Tajul Muluk di Kabupaten Sampang dan dikhawatirkan kasusnya malah akan melebar, banyak kiai ingin ‘wadul’ pada Kiai Sahal. Mereka ingin agar Ketua Umum MUI Pusat yang sekaligus Rais Am PBNU itu bertindak jelas dan tegas kepada aliran Syi’ah. Benar juga, mereka berangkat secara bersamaan. Bagaimana hasilnya?

Tokoh: Dr Ir H Irnanda Laksanawan, MSc.Eng (hal 24)
Sosoknya sederhana namun punya visi dan komitmen yang tinggi. Meski memiliki jabatan strategis namun tetap nyaman bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para kiai dan masyarakat bawah. Prinsipnya, bisa bermanfaat untuk siapa saja. Khusus kepada NU, dia punya harapan besar.

Bahsul Masail: Puasa di Bulan Rajab (hal 28)
Kajian Aswaja: Qunut Subuh, Benarkah Menyalahi Sunnah? (hal 30)

Uswah: KH Abdul Wachid Hasyim (hal 32)
KH Abdul Wachid Hasyim dengan kiprah dan pemikirannya telah berkontribusi bagi perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Laku kehidupannya senantiasa memberi spirit dan semangat yang perlu kita teladani. Namun perannya seringkali dinafikan oleh para sarjana dari kalangan modernis. Mari mengenal ayah Gus Dur ini lebih dalam.

Nisa’: Hj Fatmah Assegaf (hal 36)
Berjuang dengan ikhlas, jujur dan istiqamah. Itulah prinsip hidup yang dimiliki oleh Hj Fatmah Assegaf. Di usia senjanya, wanita keturunan Jawa dan Yaman ini tetap bersemangat mengurus rumah sakit yang didirikan NU.

Pesantren: Ponpes Putri Salafiyah Bangil (hal 38)
Pondok Pesantren Putri Salafiyah Bangil terkenal sebagai pesantren yang mendidik generasi da’iyah handal. Mencetak kader dakwah putri yang bertakwa, berbudi luhur, berintelektual tinggi dan konsisten di jalan Allah. Telah terbukti banyak alumni yang menjadi penyiar agama.

Pendidikan: MTs Al-Musthofa Canggu, Mojokerto (hal 40)
Di tengah makin tingginya kompetisi dunia pendidikan, sekolah-sekolah dituntut semakin kreatif untuk meningkatkan daya saing. Salah satunya melalui kegiatan ekstra, seperti yang dilakukan oleh MTs Al-Musthofa Canggu. Seperti apa?
Kancah Dakwah: Geliat Dakwah di Ujung Negeri (hal 42)
Berdomisili  di perbatasan negara identik dengan kesengsaraan. Selain karena terpencil dan jauh dari pusat ibu kota, wilayah ini juga kental dengan gerakan kristenisasi. Lebih-lebih di Indonesia timur. Yang sekan-akan menutup asa bagi kita (umat Islam) untuk melantunkan dakwah di sana. Namun tidak bagi Kiai Kamali, kegigihannya berdakwah membawanya pada perjuangan di ujung negeri.

Muhibah: Sowan ke Masjid Tertua di AS (hal 44)
Sebagai negara adi kuasa, Amerika Serikat menyimpan banyak hal. Berkunjung ke negara pimpinan Barrak Obama yang demikian luas, pasti menyisakan banyak hal menarik. Hal positif inilah yang akan diceritakan Mufti Rasyid Maskub kepada pembaca Aula.

Khazanah: Gandum; Media Pengobatan Nabi (hal 47)
Beberapa iklan promosi tentang gandum mulai marak di beberapa media. Sayangnya, hanya sedikit di antara kita yang memahami kandungan serta manfaat dari makanan sarat nutrisi ini.

Nuansa: Terkesima Cucu Syaikh Abdul Qadir (hal 49)
Bertemu dengan cucu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani demikian istimewa. Apalagi sampai berkenan memberikan pandangan seputar Islam di tanah air, khususnya NU. Berikut catatan Murtadji Djunaidi khusus kepada Aula.

Aktualita: Rapimnas LTM-NU Bertabur Bintang (hal 51)
Sudah cukup lama Palangkaraya tidak tersentuh acara besar NU. Meski secara faktual orang NU mayoritas, namun mereka lemah dalam banyak sisi. Soal masjid misalnya, dari 82 masjid yang ada di kota itu, hanya 4 milik “mereka”, selebihnya dikelola ala NU. Tapi sayang, belum satu pun yang bernadzir NU. Belum lagi sisi politik.

Lentera: Al-Khawarizmi Bapak Matematika Dunia (hal 53)
Sejarah adalah milik para penguasa. Itu adalah kalimat yang tepat demi menggambarkan bahwa bangsa Barat telah merampas banyak penemuan dari dunia Islam yang kemudian diklaim atas nama mereka.

Ibrah: Guru Menjadi Murid, Murid Menjadi Guru (hal 54)

Wawasan: Mencari Sekolah, Merenda Masa Depan (hal 55)

Sembilan: Ulama Penyangga Akidah Umat (hal 58)
Sumbangsih terbesar yang diberikan para ulama Nusantara terdahulu adalah keteguhan mereka dalam menjaga aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kalau sekarang banyak serangan terhadap keberadaan Aswaja, ada baiknya belajar dari metode dan kiprah mereka. Berdebat secara elegan dengan buku dan kitab, bukan dengan kekerasan.

Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: KH Mutawakkil Alallah & A Wazir Wicaksono (hal 66)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar