Tampilkan postingan dengan label Muhibah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhibah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Agustus 2010

Pendidikan Pesantren Model Cina


Cina dengan segala kelebihan yang dimiliki, mampu memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja yang menyempatkan diri berkunjung ke sana. Banyak prestasi yang bisa diunduh dari negara tirai bambu ini. Berikut catatan rihlah yang dilakukan KH M Za’imuddin W As’ad (Wakil Rektor Unipdu Jombang) saat mengunjungi negara dengan penduduk terbesar di dunia ini kepada pembaca Aula.

Bersama pimpinan 29 PTS se Jawa Timur, saya mewakili UNIPDU (Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum) Jombang Jawa Timur berkesempatan mengunjungi Negara Cina selama seminggu. Kegiatan ini bertujuan untuk menyaksikan secara langsung dinamika pemerintah dan masyarakat di sana yang mampu bertahan bahkan menundukkan gempuran budaya Barat. Banyak pelajaran berharga dari proses diskusi dan komunikasi serta melihat dengan nyata dari serangkaian muhibbah tersebut. Berikut ini di antaranya yang dapat saya bagikan.

Guru TK di atas Dosen

Istilah full day school yang biasa menjadi nilai lebih sekolah-sekolah tertentu di tanah air, sebenarnya tidak dikenal di negeri tirai bambu itu. Karena semua proses belajar mengajar dimulai pukul 06.00 sampai 17.00. Pada jam-jam tersebut anda akan sulit menemukan anak usia sekolah berada di jalanan. Pemerintah di sana memberikan sanksi berat bagi anak yang bolos berikut orangtuanya lantaran diancam dengan hukuman denda sekaligus kurungan.

Di sana juga tidak ada istilah pulang pagi akibat gurunya rapat atau sedang melayat seperti di sini. Seluruh kalender akademik digariskan oleh kementrian pendidikan secara ketat dengan masa belajar dan musim liburan yang serentak sama. Dampak positif jam belajar yang cukup panjang di sekolah adalah terciptanya ketenangan orangtua dalam beraktivitas. Dengan demikian, mereka yang rata-rata bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 itu dapat lebih produktif kinerjanya.

Bila di negeri kita, sekolah gratis masih menjadi “jualan” kampanye pilkada, di Cina daratan seluruh biaya pendidikan dan buku mulai SD sampai SMP ditanggung pemerintah. Baru untuk tingkat SMA, orangtua harus menyediakan dana untuk belanja buku-buku yang telah ditentukan. Sementara di Macau (daerah otonomi khusus Cina), murid SMA-nya masih memperoleh uang buku kurang lebih 800 ribu rupiah setiap bulan.

Di pihak lain, kesejahteraan para guru dan dosen sangat terjamin. Hanya saja, dalam hal penghargaan pada pendidik, peme-rintah Cina memiliki pemikiran yang sangat kontradiktif dengan pola pikir para pemangku kebijakan di negeri kita. Karena di negeri sosialis tersebut, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditangani, semakin tinggi gaji pokoknya. Sebagai misal, dua pendidik masuk di tahun yang sama, yang pertama guru TK dan yang kedua dosen universitas, maka guru TK menerima gaji pokok 7 ribu yuan (Rp 10 jutaan), sedang sang dosen hanya menerima 3 ribu yuan.

Dari beberapa orang yang saya jumpai, kebijakan itu diambil karena pemerintah memandang betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar nilai etika maupun kebangsaan sedini mungkin. Mereka mengumpamakan manusia seperti batang pohon ketika masih muda yang dapat dibentuk dengan mudah sesuai selera, sehingga masa-masa selanjutnya hanya merupakan penegasan atau penguatan dari wujud yang sudah terbentuk itu. Pertimbangan lainnya, bahwa pada masa-masa tersebut seorang anak sedang membutuhkan pendampingan total. Maka seorang guru pada usia anak-anak dan remaja (ABG) harus memiliki kesabaran ekstra dan keteladanan khusus sehingga mampu menjadi orangtua sekaligus panutan bagi mereka. Tanpa itu, nilai ketaatan murid kepada guru, akan kehilangan makna. Kesabaran dan selalu menjaga kepatutan untuk diteladani itulah yang menjadikan gaji mereka lebih tinggi dari dosen.

Adapun untuk pendidikan lanjutan, universitas atau akademi, pemerintah memberi pendu-duk lokal subsidi 50 persen biaya pendidikan dari biaya seluruhnya yang dikenakan pada mahasiswa asing. Para pengajarnya dituntut untuk sesering mungkin melaku-kan penelitian agar gajinya me-ningkat sepadan atau melebihi gaji guru TK tadi. Dampaknya dari kebijakan ini sangat luar biasa. Mahasiswa di sana hampir tidak memiliki waktu luang, karena untuk satu mata kuliah saja, seorang dosen bisa mengajak penelitian lapangan sampai lebih dua kali. Mengingat penelitian bagai pupuk bagi ilmu penge-tahuan, maka bisa dibayangkan betapa pesat kemajuan ilmu di sana. Kalau boleh memban-dingkan, bagaimana dengan ma-hasiswa di negara kita? Saya tidak sampai hati menilai, lebih-lebih dalam hal pergaulan dan cara berpakaian.

Masyarakat Cina tidak mengenal istilah “muhrim” atau “aurat”. Tapi para mahasiswa di sana sangat menjaga jarak satu sama lain. Dalam hal busana, mahasis-winya berpakaian sangat brukut (tertutup) walau udaranya tidak begitu dingin. Ada anggapan, hanya orang yang kurang berpendidikanlah yang senang berpakaian terbuka.

Selama di Beijing maupun Senzen saya tidak menemukan mahasiswa berlainan jenis jalan bersama bergandengan sebagaimana di kampus-kampus kita. Di perpustakaan pun mereka me-ngelompok dengan sendirinya seolah ada sekat antara pria dan wanita. Mereka hindari pacaran karena selain tidak sesuai budaya, juga dinilai hanya membuang waktu dan uang sekaligus menghambat studi. Kalaupun saat ini kita melihat di televisi hal yang berbeda dari itu, ketahuilah bah-wa yang ditayangkan adalah gaya hidup remaja Hongkong yang sudah terinfiltrasi budaya Barat, bukan Cina “aslinya”.

Kota Santri

Dengan begitu besarnya tekad pemerintah Cina untuk menjadikan warganya sebagai sarjana berkualitas, maka seluruh mahasiswa harus tinggal di asrama kecuali yang tugas belajar dari instansi pemerintah atau mahasiswa luar negeri. Menariknya, di asrama itu diatur sedemikian rupa sehingga satu kamar yang biasanya terdiri dari dua belas orang (enam dipan susun) berasal dari suku yang berbeda. Dengan demikian para penghuni kamar bisa berdiskusi tentang adat budaya masing-masing sehingga menumbuhkan spirit saling memahami untuk memperkuat persatuan Cina yang sedikitnya terdiri dari 56 suku bangsa.
Menurut penjelasan A Liang (dosen Sastra Melayu Jinan University yang menjadi narasumber saya), pengasramaan itu dimaksudkan sebagai laboratorium bagi mahasiswa untuk mengenal betapa beragamnya karakter manusia yang kelak akan dihadapi di masyarakat sehingga diharapkan nanti mereka lebih sigap mengelola dan memimpin dengan sikap tasamuh (toleran).

Ketika mendengar penjelasan beberapa hal tersebut sambil keliling kampus, saya merasakan atmosfir pesantren yang sangat kuat bagai di kota santri di tanah air. Selain itu, tanpa disadari, di benak saya menerawang jauh ke masa Nabi Muhammad SAW. Jangan-jangan pola pendidikan yang sistemik, terstruktur dan penghormatan para murid yang tinggi pada guru di Cinalah yang melatarbelakangi disabdakannya anjuran (hadits) Nabi: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.
Ternyata, banyak hal yang bisa kita pelajari dari negara sarat prestasi ini. Wallahu’alam bish-shawab. (AULA Juli 2010)

Selasa, 27 Juli 2010

Membeli Gereja Untuk Dijadikan Masjid

Di Selandia Baru, banyak gereja yang dijual. Sebagian dibeli oleh warga muslim dan dijadikan sebagai masjid. Sebagai minoritas, semangat mereka justru bergelora di tengah kejenuhan mayoritas pemeluk agama. Berikut kisah menariknya.

September 2009, Dr H Asrorun Niam Sholeh, MA berkesempatan melakukan penelitian di Selandia Baru atau New Zealand. Di negara yang berada di arah tenggara Benua Australia itu, Niam—sapaan akrabnya—menjumpai fenomena menarik terkait dengan sikap beragama warga setempat. melihat ada gejala kejenuhan mayoritas yang bersamaan dengan bergairahnya semangat minoritas pemeluk agama.

Niam adalah pria kelahiran Nganjuk 31 Mei 1976 yang kini aktif sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan dosen di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, Niam pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Pusat dan saat ini dipercaya sebagai Sekjend Majelis Alumni IPNU Pusat.

Kedatangan alumnus MAPK Jemebr ini ke New Zealand adalah sebagai wakil dari LP POM MUI untuk melakukan penelitian terhadap kualitas ekspor dan impor daging, teruatam terkait dengan jaminan halal proses penyembelihan dan pengepakan daging. New Zealand dipilih karena Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor daging dari negara kepulauan itu. Dalam penelitiannya, ayah dua anak ini menemukan kepastian bahwa danging yang diekspor ke Indonesia adalah daging-daging sapi yang disembelih secara halal.

Konversi Rumah Ibadah

Menemukan masjid di New Zealand tidak sulit. Dan setiap kali Niam mengikuti jamaah, jamaahnya selalu dalam jumlah banyak. Pengalaman yang sangat membekas bagi Niam adalah ketika pada 26 September 2009, Niam singgah di Masjid El Umar di tengah kota Auckland. Secara fisik, bangunannya megah berlantai dua. Dari arsitekturnya, Niam membatin bahwa bangunan ini mirip gereja. Tampak dalam foto di samping, Niam (kanan) berfoto di depan gedung Masjid El-Umar bersama warga New Zealand keturunan Syiria, Mahmud.

Rasa penasaran itu kahirnya terjawab ketika Mahmud menjelaskan bahwa bangunan tersebut memang dulunya adalah gereja yang, entah mengapa, dijual. Akhirnya, gereja itu dibeli oleh muslim India dengan harga 400 ribu dolar. Ia pun akhirnya tinggal di bangunan yang menempel dengan masjid, mirip pondokan pesantren. Ia menjadi semacam kiai masjid tersebut dengan jumlah jamaah yang cukup banyak, didominasi oleh imigran Afrika dan Timur Tengah.

Di masjid itu, Niam berjalan mengelilingi masjid. Ayah dua anak ini melihat terdapat pengumuman yang ditempel di dinding masjid. Isinya ada beberapa warga asli New Zealand yang masuk daftar muallaf. Ada juga pengumuman yang terasa aneh; “Gereja Dijual”, lengkap dengan foto gereja dan denah lokasi. Di bawahnya ada himbauan partisipasi donasi untuk “membebaskan” gereja yang kemudian akan dijadikan masjid. Dan hebatnya, bangunan tersebut sudah di-”DP”. Karena begitu optimisnya gereja itu pasti “terbeli”, panitia bahkan memberikan pengumuman bahwa peresmian masjid tersebut akan dilakukan pada hari Jumat, 25 Desember 2009, untuk shalat Jumat perdana, tepat di Hari Natal.

Menurut Mahmud, fenomena keberagamaan dan fenomena konversi gereja ke masjid (tentu juga konversi orang kristiani ke Islam) di New Zealand belakangan ini memang meningkat. Pengusaha ekspor-impor yang sejak remaja tinggal di New Zealand itu menjelaskan pemberitaan media massa yang sistematis tentang terorisme yang terkaitkan dengan Islam mungkin justru menjadi berkah tersendiri dalam publikasi Islam dan ajarannya. Berita yang mendeskreditkan umat Islam, bagi umat Islam di New Zealand (dan mungkin di belahan negara yang lain) justru semakin memperkokoh solidaritas sosial sesama umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Di sisi lain, pemberitaan tersebut memiliki daya tarik bagi kaum terpelajar non-muslim untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Di sinilah berkah pemberitaan tentang terorisme yan dikaitkan dengan Islam menemu-kan relevansinya.

Selain itu, masih menurut pimpinan lembaga filantropi Islam al-Kautsar itu, warga New Zealand yang mayoritas kristiani sudah tidak begitu tertarik dengan ritus keagamaan mereka. Mungkin jika diistilahkan dalam bahasa yang ada di masyarakat Indonesia, mayoritas dari mereka adalah Kristen KTP. Gereja sepi peminat dan bahkan banyak yang gulung tikar sehingga harus dijual.

Menyaksikan fenomena itu, batin Niam bergumam; seakan sudah menjadi sunnatullah bahwa minoritas cenderung memiliki fighting spirit untuk eksis dan berkembang. Sementara mayoritas yang merasa sudah “mapan” cenderung “jenuh” untuk istiqamah merawat akar tradisinya mencoba “tantangan” baru.

Dalam konteks yang agak berbeda, fenomena keberagamaan di Indonesia juga menemukan fakta yang relatif tidak jauh berbeda. Kaum minoritas (terutama kristiani) cenderung memiliki daya juang yang lebih di banding dengan kaum mayoritas umat Islam yang merasa sudah mapan. Setidaknya, fakta ini dirasakan Niam di kompleks perumahannya di kawasan Depok. Bahkan, sebagian di antaranya justru jenuh merawat akar tradisi keagamaannya dan kemudian mencari sesuatu yang “baru”, meski ia berada di luar pakemnya.

Contoh lain juga sering disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi tentang fenomena sikap beragama anak-anak muda. Anak-anak mdua yang kuliah di kampus umum cenderung ofensif untuk melakukan dakwah Islam padahal mereka bukan lulusan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan anak-anak muda yang kuliah di kampus berbasis agama dan alumni pesantren justru cenderung jenuh dengan tradisinya dan bangga jika menemukan sesuatu yang baru.

Tapi alhamdulillah, meski ada kejenuhan keberagamaan yang ada di komunitas mayoritas muslim Indonesia, belum pernah terdengar ada berita menjual “masjid” untuk “gereja”. Paling banter, yang ada adalah menjual “kuburan” untuk mal. Semoga tidak akan ada berita seperti di New Zealand di negeri kita. (AULA Juni 2010)

Kamis, 29 April 2010

Muhibah: Ulama Lebanon Belajar kepada NU (Bagian Ke-2)

Memahami Peta Perjuangan Islam

Perjalanan rombongan para kiai NU tidak semata ke medan perang, tapi juga ke tempat para ulama kharismatik di Lebanon dan Syiria. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para ulama spiritual tertinggi kedua negeri. Berikut kelanjutan kisah mereka.

Setelah puas bertukar pikiran dengan para ulama dan berziarah ke makam-makam penting dan bersejarah, rombongan menuju ke hotel tempat menginap. Sepanjang perjalanan yang dilalui suasana serasa menyenangkan. Pemandangan alam cukup indah. Dataran tinggi, udara sejuk, dan jalanan berkelok-kelok membelah pepohonan rindang, teringat seperti di Tretes, Pasuruan. Sayang, waktu itu sedang turun hujan dan banyak jalanan macet.
Tidak begitu lama singgah di hotel, rombongan para ulama dari Indonesia sudah ditunggu para ulama Sunni dan Syi’i untuk jamuan makan malam di kantor Tajammu’. Pertemuan berakhir pukul 21.00, lalu istirahat di hotel, setelah seharian penuh dalam perjalanan keliling.

Esok hari, rombongan bertemu dengan Syeikh Abdul Amir Qobbalany, Mufti Syi’ah Lebanon. Isi pembicaraan tidak jauh berbeda dengan yang lain, seputar perjuangan menghadapi agresi Israel dan pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam menghadapi dominasi negara Barat. Setelah saling bertukar pendapat, rombongan menziarahi makam Rofiq Hariri dan makam syuhada, dilanjutkan dengan shalat dzuhur bersama.

Usai dzuhur dilakukan pertemuan lagi dengan para ulama Lebanon. Kali ini jumlahnya cukup banyak: 75 ulama Sunni dan 75 ulama Syi’i. Dalam kesempatan itu Kiai Hasyim kembali memperkenalkan ideologi Islam Ahlussunnah Waljamaah ala Nahdliyah. “Mereka kaget ketika Pak Hasyim menyebut ada Ukhuwah Wathaniyah. Sepertinya mereka baru tahu ada tambahan,” tutur Kiai Miftah. Tak lupa Kiai Hasyim terus memompa semangat perjuangan mereka, sekaligus meminta untuk terus menjaga persatuan di antara semua unsur bangsa.

Usai shalat maghrib di KBRI, Kiai Hasyim dijemput oleh utusan Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin tertinggi Hizbullah Lebanon. Pengasuh Pesma Al-Hikam Malang itu minta didampingi Mun’im DZ, pemimpin redaksi NU Online. Semula para penjemput tampak tidak merasa keberatan, tapi setelah menempuh perjalanan tidak terlalu jauh, Kiai Hasyim dipindahkan ke mobil lain, dan Mun’im dikembalikan ke hotel. Jadilan Kiai Hasyim sen-dirian bersama para pengawal.

Bisa dimaklumi, karena sedang dalam suasana perang, tempat tinggal pemimpin kharismatik itu dirahasiakan. Dalam pengawalan sangat ketat itu Kiai Hasyim harus berganti-ganti mobil. Tidak ada kesempatan berhenti. “Sampai mau kencing saja tidak diizinkan,” tutur Kiai Miftah menirukan cerita Kiai Hasyim. Walhasil, setelah menempuh perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan, Kiai Hasyim dapat bertemu dengan Syeikh Hasan Nasrallah dan mengadakan pembicaraan secara khusus. Syeikh Hasan tampak gembira dengan kedatangan tokoh asal Malang itu.

Sementara anggota rombongan yang sudah sampai di hotel masih tegang. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, namun kabar keberadaan Kiai Hasyim belum terdengar. Ia bagai ditelan bumi. Tidak tahu sedang berada di mana dan harus bertanya kepada siapa. Namun ketika jarum jam menunjukkan angka 23.00 Kiai Hasyim “dikembalikan” ke hotel. Alhamdulillah.

Tanpa perlu menginap lagi, malam itu juga rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Syiria. Udara sedang dingin dan salju mulai turun. Namun perjalanan tetap dilanjutkan. Sekitar pukul 04.00 dini hari mereka sudah sampai di Damascus. Sekitar pukul 08.00 mereka disambut Duta Besar RI, Muzammil Basyuni, di KBRI. Pembicaraan lebih banyak mengarah pada upaya Israel yang tengah membangun bendungan di perbatasan Mesir-Gaza Israel yang dinilai sangat merugikan bangsa Palestina. Kelak, jika bendungan itu sudah terealisasi, dengan mudah Gaza akan tenggelam jika bendungan itu dibuka oleh Israel. Anehnya, Mesir tetap berpangku tangan dengan pemandangan seperti itu.

Usai bertemu Dubes, rombongan sudah dinanti oleh Grand Mufti Syiria, Syeikh Ahmad Badrouddin Hassoun, yang kebetulan di tempat itu juga ada Mufti Damaskus. Dalam pertemuan khusus itu mereka saling bertukar pendapat seputar Islam dan ukhuwah. “Sudhlah, NU tidak usah melihat Islam model di negara lain, pertahankan saja Islam di Indonesia yang sesuai konsep NU, itu sudah sangat bagus,” salah satu pesan Syeikh Hassoun.

Rombongan diajak mengunjungi Ma’had Dauliy lil ‘Ulumissyar’iyyah wal Lughotil Arobiyah. Dari lembaga yang cukup disegani itu para kiai mendapatkan banyak tawaran beasiswa bagi anak-anak NU jika mau belajar di sana. Syaratnya pun cukup ringan. Cukup lulusan madrasah tsanawiyah pesantren, sudah dapat melanjutkan ke sana secara gratis. Tanpa memberikan jawaban pasti, rombongan sudah melanjutkan perjalanan ke Masjid Umawi, masih di Damascus. Masjid itulah yang kelak tempat turun Nabi Isa AS, tepatnya di menara masjid yang berwarna putih tersebut.

Masjid Umawi terasa istimewa karena di dalamnya ada makam Nabi Yahya AS. Meski mayoritas penduduk Syiria kaum Sunni, namun ruangan dalam masjid itu dipenuhi orang Syiah dari berbagai negara. Sebagai-mana lazimya komunitas Syi’ah di berbagai daerah, mereka selalu me-nangis dan meratap. Konon, di masjid itu memang ada sebuah ruangan yang dulu menjadi tempat singgah kepala Saiyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Radliallahu ‘anhuma) setelah dipenggal di Karbala. Tempat itu selalu ramai dipenuhi orang Syi’ah.

Rombongan juga berziarah ke makam Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang kaum muslimin dalam Perang Salib yang sangat disegani. Makam itu di depan masjid dan sedang direhab. Kondisi makam sangat terawat. Banyak peziarah laki-laki maupun perempuan yang menziarahi makam itu. Sebenarnya rombongan juga berniat menziarahi makam Sahabat Bilal bin Rabah, namun tidak sampai terlaksana ka-rena waktu yang terlalu sempit.

Rombongan juga menziarahi makam Imam Nawawi di kota Nawa yang berjarak sekitar 100 kilometer. Makam ulama ahli fiqih pengarang kita Riadlus Sholihin itu berada di makam umum di sebuah desa yang tenang. Usai dari makam Imam Nawawi, dilanjutkan lagi ke makam Nabi Ayub AS, tak jauh dari tempat itu. Rombongan juga diajak ke sumur tempat mandi Nabi Ayub AS sewaktu sakit.

Hari sudah malam. Perjalanan dipercepat agar dapat bertemu Syeikh Wahbah Az-Zuhaili.
Alhamdulillah, ulama kharismatik itu dapat menemui rombongan selama 1 jam di flat yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu ada pembicaaan yang cukup unik. “Antum harus jadi pimpinan (mungkin yang dimaksudkan menjadi Rais Am),” Syeikh Wahbah menunjuk Kiai Hasyim. “Saya tidak punya hak untuk jadi. Semua itu tergantung Syeikh Miftah dan kawan-kawan,” jawab Kiai Hasyim.

Tak puas dengan jawaban Kiai Hasyim, Syeikh Wahbah menghadap ke arah Kiai Miftah. “Pokoknya dia harus jadi pimpinan,” ujarnya dengan nada mantap. Kiai Miftah menja-wabnya dengan senyuman. Syeikh Wahbah makin tidak puas. Ia terus mencecar Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dengan permintaan yang sama. Sampai akhirnya muncullah jabwaban dari Kiai Miftah: “Qabiltu wa qabilna,” yang langsung disambut senyuman Syeikh Wahbah dan tepuk tangan para kiai. Mereka semua tampak senang menyambut jawaban Kiai Miftah. Pertemuan berakhir sekitar pukul 22.00. Di tengah udara berkabut rombongan kembali ke tempat menginap di flat.

Esok pagi rombongan menuju bandara. Dalam perjalanan terlihat betapa tertibnya penduduk di sana. Sepeda motor tidak boleh masuk kota Damascus. Pemandangan di Syiria memang sangat berbeda dengan ketika di Lebanon. Jika di Lebanon kaum perempuan hampir seluruhnya menutup aurat, di Syiria lebih bebas. Dengan pakain you can see saja mereka sudah dapat keluar rumah secara bebas. Cafe-cafe besar juga dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan besar.

Perjalanan pulang ke tanah air harus melalui bandara Abu Dhabi dan menaiki pesawat Lebanon, karena pesawat milik Syiria sudah tua-tua dan udzur. Itu semua merupakan dampak dari blokade Amerika Serikat yang sudah berlangsung cukup lama atas negeri itu. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Minggu, 25 April 2010

Ulama Lebanon Belajar kepada NU


Bendera NU makin berkibar di pentas dunia. Melalui ICIS, nama Nahdlatul Ulama makin dipercaya untuk dapat memberikan inspirasi dalam menyatukan gerakan Islam berwawasan Rahmatn lil Alamin. Berikut kisah perjalanan utusan PBNU ke medan konflik di Lebanon, pertengahan Januari lalu.

KEPERCAYAAN dunia Islam kepada Nahdlatul Ulama rupanya semakin lama semakin menguat. Setidaknya bisa dilihat dari undangan Tajammu’ Ulama fi Lubnan (semacam MUI-nya Lebanon) pada pertengahan Januari lalu kepada PBNU. Dalam kesempatan itu rombongan yang berangkat adalah KH A Hasyim Muzadi (Ketua Umum), KH Masyhuri Na’im (Rais), KH Miftachul Akhyar (Rais Jatim), Ajengan Asep (Rais Jabar), Tubagus Halim (Rais Banten), HM Zed Hamdi (Ketua Kalbar), Gus Zaim Ahmad (Ketua Lasem), dan dua orang lainnya dari Malang. Maksud undangan adalah untuk misi perdamaian, sesuai mandat ICIS kepada NU sebelumnya.

Rombongan dari Jakarta menaiki pesawat Al-Ittihad milik milik Uni Emirat, turun di Abu Dhabi. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar tujuh jam. Rombongan sempat heran, karena menjelang perjalanan menuju Lebanon yang diperkirakan membutuhkan waktu tiga jam itu, pemeriksaan cukup ketat. Tidak seperti di Indonesia. Sepatu, arloji, bulpen, kopiah, semuanya dilepas untuk diperiksa. “Untung sarung tidak (dilepas),” gumam Kiai Miftah sambil terkekeh.

Sampai di Bandara Rafiq Hariri sekitar pukul tiga dini hari, mereka dijemput dua kelompok Sunni dan Syi’i di kamar VIP. Untuk membedakan kedua kelompok itu tidak terlalu sulit. Untuk gamis mereka hampir sama. Satu-satunya penanda mereka adalah penutup kepala. Pada kelompok Sunni ada kuncung warna merah, sedangkan di Syi’i tidak ada. Setelah melakukan pembicaraan sekitar setengah jam, mereka dibawa ke hotel untuk istirahat sejenak.

Pukul 09.00 rombongan sudah dijemput para tokoh ulama untuk menuju Lebanon Selatan di Distrik Khalda, jaraknya sekitar 130 km. Daerah ini berada dalam kekuasaan Hizbullah. Perjalanan dilakukan dengan menyisir pantai yang indah laut tengah Mediterania, melalui perkebunan pisang dan jeruk serta apartemen-apartemen di dataran tinggi Ghoolan sepanjang 72 km. Alam Lebanon memang sangat indah, dan subur. Tidak heran kalau negeri ini dijuluki Paris-nya Timur Tengah. Rombongan juga melewati gunung dan goa-goa persembunyian para gerilyawan Hizbullah. Di sepanjang perjalanan banyak terpampang foto-foto para syuhada di pinggir jalan. Semua itu untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka serang berperang melawan Israel. Kira-kira 50 kilometer menjelang sampai, suasana sudah tegang. Nuansa perang sudah mulai terasa.


Ada yang unik di Lebanon. Meski antara milisi dan pemerintah terus berperang, ditambah dengan perang lain yang melibatkan pemerintah plus milisi melawan Israel, ternyata dalam internal dalam negeri yang berkonflik itu memiliki kesepakatan tersendiri. Pariwisata, pendidikan, dan perbankan tidak boleh terganggu. Jadinya, meski dalam suasana perang, ketiga departemen itu tetap berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada libur seperti di negara lain.

Sesampai di lembah Khiyam, mereka ditunjukkan bekas-bekas alat perang yang ditinggalkan Israel. Ada meriam dan tank yang rontok, serpihan bom, bangunan hancur, dlsb. Semuanya dibiarkan teronggok di tempat itu tanpa ada yang mengambil. “Kalau di tempat kita, mungkin sudah diambili pemulung,” ujar Kiai Miftah sambil tersenyum. Tak lupa mereka diajak melihat penjara Khiyam yang dikenal horor. Di tempat itulah dulu tentara Israel banyak menyiksa para pejuang muslimin di luar batas kemanusiaan.

Lembah Khiyam memang sempat dikuasai Israel. Namun melalui perang sangat sengit, akhirnya tempat itu dapat direbut kembali oleh Hizbullah. Hingga kini lembah Khiyam seakan tanah tak bertuan. Meski berada sangat dekat dengan permukiman Israel, namun wilayah itu tetap dalam penguasaan Hizbullah. Saking dekatnya dengan permukiman Israel, jangankan melihat, melempar sesuatu pun akan sampai. “Umpama ada yang melempar onde-onde dari sana, mungkin kita akan merasakan akibat,” tutur Kiai Miftah.

Tak jauh dari tempat itu banyak tank UNIFIL (penjaga perdamaian PBB dan pasukan Garuda ada di dalamnya) berseliweran. Indonesia memang mengirimkan dua ribu pasukannya untuk memperkuat perbatasan Lebanon-Israel. Beberapa waktu rombongan mengunjungi anggota TNI yang sedang bertugas di sana. Tak lupa sambil foto-foto untuk kenangan.

Perjalanan selanjutnya ke kota Shuur untuk bertemu dengan Syeikh Nabil Qouq, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Lebanon. Bedanya tinggi, besar dan tegap. Suaranya mantap. Dari Syeikh Nabil inilah Kiai Hasyim mendapatkan kenang-kenangan istimewa berupa serpihan bom cluster yang dijatuhkan oleh Israel. Padahal dalam konvensi internasional penggunaan bom itu sudah dilarang. Tapi namanya juga Israel, apapun dilakukan untuk dapat memenuhi ambisinya.

Selanjutnya perjalanan menuju kota Sidoon. Rombongan sudah ditunggu oleh para tokoh Sunni dan Syi’i di sana. Rombongan juga menemui Syeikh Hammood dan Syeikh Maulana Ahmad Zen, Ketua Tajammu’ di Shaida (Sidoon). Di tempat itu rombongan juga dipertemukan dengan Mufti Shaida dan Lubnan Al-Janub.

Esok hari perjalanan dilanjutkan ke lembah Biqo’ (Beeka). Di sini merupakan wilayah kekuasaan sekte Drutz. Rombongan dapat bertemu dengan tokoh spiritual Drutz, Syeikh Nasruddin al-Ghorib. Druts adalah semacam sekte kebatinan di Indonesia. Jumlah mereka lumayan besar dan juga lumayan kuat. Di parlemen, wakil mereka bergabung dengan para ulama Sunni dan Syi’i dalam menghadapi pemerintah yang didukung oleh Barat.

Setelah bertemu dengan Syeikh Mohammad Yazbik, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah untuk wilayah Lebanon Timur, rombongan menziarahi makam Nabi Yunus AS di distrik Jiyyah. Sayang, makam itu kurang terawat. Terletak di perkampungan dengan jalan yang sempit, berada di dekat masjid yang juga tidak terawat. Selanjutnya ke makam Saiyidatina Khoulah binti Husain bin Ali RA.

Selanjutnya rombongan menuju kota Ba’albak (Balbeek) melalui kota ‘Alay. Di situlah terlihat betapa menariknya Lebanon. Ada kebun-kebun anggur yang luar biasa. Udara dingin menyengat, brrr..! Rombongan menziarahi makam Saiyid Abbas, Pimpinan Hizbullah sebelum Hasan Nas-rallah. Dilanjutkan ke makam Nabi Ayub AS, lalu ke makam Nabi Syits bin Adam AS. Untuk ukuran Indonesia, makam itu terbilang unik. Panjangnya 30 meter! Mungkin karena berada dalam komunitas Syiah, makam itu terawat rapi dan dikeramatkan.

Balbeek adalah kota yang menjadi pusat Syi’ah. Suasana cukup ramai. Ada pemandangan yang terasa aneh. Di setiap 100 meter terpampang banyak foto di pinggir jalan, seperti musim Pilkada di Indonesia. Pada tempat-tempat tertentu terbentang spanduk melintang di jalan. Isinya, bukan untuk mendukung salah satu pasangan calon, tapi ajakan untuk mati syahid! Foto-foto para pemimpin mereka dan orang-orang yang gugur sebagai syuhada menghiasi jalanan kota Balbeek. Semangat perang begitu terasa, dan tokoh-tokoh mereka begitu dikagumi.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan para ulama di sana, Kiai Hasyim selalu memberikan suntikan semangat perjuangan kepada mereka, sekaligus menjelaskan pemikiran NU dalam konsep ukhuwah dalam hubungannya bernegara. “Jangan kecil hati, dan jangan putus asa. Dengan persatuan, kemerdekaan akan dapat direbut kembali,” begitu wejangan Kiai Hasyim, sambil tak lupa menyebut Indonesia pernah dijajah bangsa lain selama 350 tahun.
(Kiai Hasyim bertemu Syeikh Hasan Nasrallah dan Syeikh Wahbah Az-Zuhailli menghendaki Kiai Hasyim pimpin NU ... bersambung pada edisi selanjutnya).

Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘MUHIBAH’.