Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Imam Baru NU = Mbah Sahal dan Kang Said


Nahdlatul Ulama memiliki pemimpin baru. Rais Am tetap dipercayakan kepada Dr KH MA Sahal Mahfudh yang kini memasuki masa bakti ketiga kalinya, sedangkan Ketua Umum dipercayakan kepada Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, cendekiawan muslim asal Cirebon.

Meski dalam sejarah per-jalanan NU muktamar baru pertama kali ini diselenggarakan di Makassar, namun pelaksanaan muktamar tersebut dapat berlangsung sukses dan meriah.Bahkan lebih meriah dibanding muktamar sebelumnya di Asrama Haji Donohudan, Solo tahun 2004. Tidak sia-sia panitia menunda acara tersebut hingga dua kali.

Tanda-tanda sukses sebenarnya sudah diawali oleh laporan pertang-gungjawaban PBNU periode 2004-2009 yang langsung diterima secara bulat oleh muktamirin. Sidang yang dipimpin oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar dan LPj dibacakan oleh Dr KH A Hasyim Muzadi tidak mendapatkan ham-batan sedikit pun. Begitu ditawarkan Nasaruddin, “Apakah laporan pertanggungjawaban dapat diterima?” para peserta langsung menjawab, “Diterima!” secara serentak. Palu sidang pun langsung digedokkan di meja tanda mufakat telah dicapai.

Dalam sesi pemilihan Rais Am, nama Kiai Sahal dan Kiai Hasyim memang telah mengemuka sejak lama. Keduanya adalah Rais Am dan Ketua Umum PBNU periode sebelumnya. Ternyata kemunculan dua nama itu terus bertahan hingga akhir. Dalam pemilihan pertama itu terdapat 492 suara sah. Dari jumlah itu Kiai Sahal mendapatkan 272 suara, Kiai Hasyim 180 suara, KH Maemun Zubair 29 suara, dan Habib Luthfi 4 suara. Sisanya masuk pada KH Ma’ruf Amin, KH Abdullah Mokhtar, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Sirodj dan KH Shalahuddin.

Sesuai dengan ketentuan pemilihan yang mensyaratkan calon harus mendapatkan dukungan minimal 99 suara, maka hanya Kiai Sahal dan Kiai Hasyim-lah yang berhak diajukan kembali untuk dipilih oleh muktamirin. Namun sebelum pemilihan dilanjutkan, melalui secarik kertas Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Rais Am.

Suasana haru langsung memenuhi ruangan sidang. Para muktamirin mengumandangkan Sholawat Badar menyambut keputusan bijaksana tersebut, sambil mendatangi Kiai Hasyim. Ada yang memeluk sambil menciumnya, tetap dalam suasana haru. Bahkan ketika Kiai Hasyim berjalan meninggalkan ruang sidang, beberapa di antara mereka meneriakkan dukungan, “Hidup Pak Hasyim!” dengan nada tinggi.

Setelah Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia menjadi Rais Am, Kiai Sahal dipilih secara aklamasi. Suasana haru kembali menghinggapi wajah para muktamirin ketika palu sidang diketuk dan diikuti bacaan surat Al-Fatihah. Dramatis sekaligus memilukan. “Banyak orang menitikkan air mata karena haru,” kata Ustadz Sholeh Qosim, MSi, utusan JQH Pusat yang turut menyaksikan peristiwa itu.

Sedangkan dalam pemilihan Ketua Umum, rupanya banyak orang salah duga dalam penca-lonan. Sejak sebelum muktamar berlangsung, banyak orang memprediksi tiga nama dari tujuh calon yang muncul akan mendapatkan dukungan kuat. Mereka adalah KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), H Ahmad Bagdja dan KH Said Aqiel Sirodj (Kang Said). Tidak sedikit pula yang merasa yakin Gus Sholah bakal menjadi Ketua Umum, mengingat pencitraan yang di-lakukan tim adik kandung Gus Dur itu paling sempurna. Nama Slamet Effendy Yusuf seakan tidak masuk hitungan. Bahkan sehari sebelum pemilihan berlangsung, sebuah stasiun televisi hanya mengundang Gus Sholah dan Kang Said untuk melakukan debat kandidat. Artinya, hanya dua kandidat itulah yang diprediksi bakal kuat.

Namun apa yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan. Dalam pemilihan pertama, Kang Said mendapatkan 178 suara, Slamet Effeny 158 suara, Gus Sholah 83 suara, Ahmad Bagdja 34 suara, Ulil Abshar Abdalla 22 suara, Masdar F Mas’udi 6 suara, Ali Maschan Moesa 8 suara, Abdul Aziz 7 suara dan Hasyim Muzadi 6 suara. Praktis, hanya Kang Said dan Slametlah yang berhak mengikuti pemilihan selanjutnya, karena aturan mensyaratakan dukungan minimal 99 suara untuk maju di babak akhir.

Menjelang pemilihan akhir itu Gus Sholah datang lalu menggandeng tangan Slamet Effendy, yang dapat diartikan sebagai pengalihan dukungan. Mantan Menristek yang juga pengurus DPP Hanura, AS Hikam, turut duduk di samping Slamet. Sedangkan Kang Said hanya didampingi beberapa teman dekatnya. Sesekali KH Kafabih Mahrus duduk di samping-nya samping membicarakan se-suatu, lalu pergi menjauh.

Diiringi rintik hujan di luar, prosesi pemilihan tahap kedua dilakukan. Sejak awal nama Kang Said langsung unggul. Detik-detik mendebarkan terus berlangsung mengikuti pembacaan hasil pilihan muktamirin. Keributan sempat terjadi ketika Kang Said dipastikan menang dari Slamet. Banyak peserta muktamar secara spontan menghambur ke arah Kang Said untuk sekadar menjabat tangan atau menciumnya. Slamet Effendy segera mendatangi Kang Said untuk mengucapkan selamat. Setelah berangkulan, keduanya duduk berdampingan. Penghitungan langsung dihentikan ketika keamanan tidak mampu mengendalikan suasana. Beberapa kali himbauan panitia untuk tertib tidak diindahkan. Kotak suara pun terpaksa dipindahkan ke altar agar aman. Setelah cukup lama terhenti, penghitungan dapat dilanjutkan kembali. Sampai akhirnya ketika penghitungan berakhir sekitar pukul 21.00 WITA, dari 496 suara yang masuk, dipastikan perolehan untuk Kang Said 294 suara dan Slamet 201 suara, satu suara dinyatakan tidak sah karena masih memilih Gus Sholah. Setelah penghitungan usai, Kang Said dan Slamet Effendy segera mengangkat kedua tangan mereka yang ber-gandengan. Keduanya tampak rukun. Mereka juga melakukan konferensi pers bersama. Rintik hujan masih terus menyertai seluruh prosesi tersebut hingga berakhir.

Pascamuktamar Makassar, kini PBNU memiliki pemimpin baru: Mbah Sahal dan Kang Said. Sosok Kiai Sahal sudah dikenal luas sebagai seorang ahli fiqih yang cenderung pendiam. Sedangkan Kang Said seorang jenius yang kadang suka melakukan kegenitan intelektual. Bahkan kadang menimbulkan kontroversial di kalangan kiai.

Tapi bagaimanapun, para muktamirin telah mempercayakan amanat kepada keduanya untuk meneruskan imamah. Semoga pasangan pengendali NU baru ini akan memberikan kesejukan kepada umat dan mengantarkan kebangkitan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

1 komentar:

  1. apakah benar para pengurus baru NU ini akan melanjutkan gagasan Gus Dur seperti:

    NU (SECARA KULTURAL) = SYIAH

    Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi'ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, "Harus diakui, pengaruh Syi'ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba'i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi'ah".

    KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren.

    http://abna.ir/data.asp?lang=12&Id=198093

    BalasHapus