Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Mereka Melihat NU Telah Berubah


Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama tidak hanya menjadi perhatian warga pribumi. Sejumlah perwakilan negara sahabat tidak mau melewatkan momentum besar itu. Termasuk para pengamat yang sudah menjadi langganan hadir dalam acara besar NU. Bagaimana kesan mereka?

Muktamar secara resmi belum dibuka. Tapi siang itu, Senin (22/3), keramaian di Asrama Haji Sudiang, Makassar sudah sangat terasa. Ruang registrasi terlihat sesak dengan antrian peserta. Mereka berdesakan, namun tetap tertib dan tertata. Udara panas terik seakan tak dirasakan oleh mereka. Sound system dari panggung pentas seni yang disiapkan juga mulai bergema. Di sudut lain, senyum para pedagang di stan pameran mulai tersungging, membayangkan keuntungan yang bakal mereka kantongi dari arena.

Pada saat yang sama, beberapa ulama NU sedang berdialog dengan mufti dan cendekiawan dari 12 negara, dalam konferensi pra muktamar di Hotel Sahid Makassar. Mereka antara lain Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Suriah), Dr Amr Mustafa Hassanein Fefaie El Wardany (Mesir), Datok Haji Wan Zahidi Haji Wan The (Malaysia), Mr Ekrem Kelec (Turki), Abdurahman Bin Abdullah Azaid (Arab Saudi), Mohammed AN Abualrob Khadra (Palestina), Sulaiman Usman Muhammad Tula (Sudan), Syeikh Hasan Abdallah, Syeikh Maulana Ahmad Zein, Syeikh Abd Annasir Jabri, Syeikh Saaduddin Muhammad Ajouz, Dr Ghalib Arraisi (semuanya dari Lebanon) dan Nidhomuddin Sam Za’i (Maroko). Sedangkan di peserta dari luar Timur Tengah adalah Sadekov Komili (Rusia), Meuleman Johan Hendrik (Belanda), Ikebal Mohammed Adam Patel (Australia), Ju Hwa Lee (Korea) dan Eng Essam Fadel Al Shangqiti (IDB).
Dalam konferensi bertajuk “peran ulama memajukan dunia Islam” itu disepakati tiga rekomendasi yang dibacakan Ketua PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA. Pertama, menyatukan persepsi dunia Islam yang selama ini terpecah untuk memajukan dunia Islam. Kedua, merumuskan konsep strategis yang dibuat untuk meningkatkan peradaban Islam, terutama dengan pendekatan keagamaan. Ketiga, membangkitkan peranan ulama di masa kini dan mendatang.

Tiga rekomendasi yang dihasilkan menjadi poin kesepakatan yang akan dibawa ke pertemuan Liga Arab yang akan berlangsung di Libya, beberapa bulan mendatang. Bahkan akan menjadi bahan rekomendasi resmi ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Tanggapan Positif

Di sela-sela muktamar, sejumlah perwakilan negara sahabat yang hadir turut mengungkapkan rasa optimis mereka, bahwa Nahdlatul Ulama akan mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia dengan kepemimpinan yang baru.

Presiden The Australian Federation of Islamic Councils Ikebal Mohammed Adam Patel menga-takan, pihaknya optimistis melalui Muktamar NU ke-32 ini energi para muktamirin akan mampu tersalurkan dalam memilih pemimpin yang terbaik bagi masa depan NU. “Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjembatani keharmo-nisan antara masyarakat dan pemimpinnya, termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki pemikiran positif,” kata Ikebal.

Mengenai sinyalemen yang mendeskreditkan penganut agama Islam sebagai pelaku teror di se-jumlah negara – termasuk Australia, menurut Ikebal, NU sebagai organisasi Islam terbesar harus mampu menepis anggapan tersebut dengan melakukan pembinaan pada umat muslim. “Sesungguhnya umat Islam mencintai perdamaian. Kalaupun ada sinyalemen bahwa muslim radikal terkait dengan terorisme, itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik suatu negara dan dunia,” ujarnya.

Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman Mohammed Amen Al-Khayyat juga mengharapkan muktamar kali ini dapat melahirkan perubahan bagi Indonesia untuk keluar dari berbagai persoalan. Menurut dia, perhelatan akbar ormas Islam terbesar di Indonesia ini merupakan momentum yang baik untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menentukan arah perjuangan organisasi ke depan.

“Sejarah membuktikan, organisasi ini mampu berkiprah tidak hanya di negerinya, tetapi juga menjadi perhitungan organisasi Islam dunia melalui ketokohan sejumlah pemimpin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,” tuturnya.

Senada dengan itu, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Al-Mehdawi, turut memberikan sambu-tan hangat atas terselenggaranya muktamar kali ini. Diplomat yang bertugas di Indonesia sejak tiga tahun lalu itu merasa optimis bahwa muktamar bisa menghasilkan keputusan-keputusan penting untuk NU, Islam dan Indonesia.
Faris juga berharap agar NU tidak terlalu dalam masuk ke dunia politik. Tapi lebih banyak berperan dalam kehidupan sosial dalam peningkatan kemajuan ekonomi dan pendidikan.

“Ke depan, NU harus terus berperan dalam kemajuan ekonomi dan pendidikan. Itulah inti dari keberadaan NU sebagai unsur penting dalam kehidupan sosial di Indonesia, bukan dalam bidang poli-tik,” kata-nya saat ditemui di sela-sela konferensi.

Muktamar di Mata Pengamat

Selain para pejabat negara, tampak pula beberapa peneliti asing yang hadir dalam muktamar kali ini. Mereka, antara lain peneliti NU senior dari Belanda Martin Van Bruinessen, Mitsuo Nakamura dari Jepang dan Andree Feillard dari Prancis serta beberapa peneliti muda dari Amerika, Jepang dan Prancis.

Kepada Aula, Martin mengungkapkan dua kesan yang ia rasakan berbeda di banding muktamar sebelumnya. Pertama, diadakannya muktamar di luar Jawa menjadi salah satu agenda strategis NU ke depan. Pasalnya, keterlibatan warga NU selama ini didominasi oleh penduduk pulau Jawa sebagai basis utama massa NU. “Sebenarnya wajar kalau orang menganggap bahwa NU itu Jawa sentris, karena basis massanya ada di Jawa. Tapi dengan diadakannya muktamar di luar Jawa sekarang ini, baik sekali untuk melibatkan warga NU luar Jawa dan menumbuhkan keinginan kuat mereka untuk berperan lebih besar di dalam NU,” ungkapnya.

Kedua, meskipun sesungguhnya persaingan untuk menjadi Ketua Umum PBNU selalu ada di setiap muktamar, tapi kali ini Martin melihatnya sangat terbuka. Baginya, ini adalah fenomena yang sangat erat hubungannya dengan fakta bahwa sejak tahun 1998 segala aspek kehidupan di Indonesia banyak yang dipolitisir. “Daya tarik politik terlalu kuat dan tentu berpengaruh ter-hadap perjalanan NU,” lanjutnya.

Ke depan, Martin berharap NU terus menjadi wadah generasi muda untuk mengembangkan intelektualitasnya. NU tidak perlu lagi ditarik pada kepentingan politik sebagian elit yang belum tentu sama dengan kepentingan politik warga NU yang ada di bawah.

“NU mewakili sebagian besar dari umat Islam Indonesia. Orang bilang 25 juta ada yang bilang 40 juta. Yang jelas sebagian rakyat Indonesia terwakili oleh NU. Maka para elit tidak boleh memikirkan kepentingan sendiri, tapi harus memikirkan warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota. Warga NU harus tetap optimis. Tapi itu belum cukup, harus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya sehingga NU tidak hanya dilihat dari jumlah massanya yang besar, tapi juga bisa berperan dalam bidang sosial, ekonomi dan keagamaan,” lanjut profesor di Utrecht University, Belanda ini.

Sedangkan Mitsuo Nakamura sangat mengapresiasi kemajuan NU dalam bidang teknologi informasi. Dalam muktamar kali ini, pada setiap ruangan disediakan layar monitor, sehingga siapapun bisa memantau setiap momen yang terjadi tanpa harus hadir di ruang sidang karena disiarkan secara live oleh TV9 milik PWNU Jawa Timur. Selain itu, menurutnya, keberadaan NU Online juga menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi NU. Melalui situs resmi PBNU itu, ia mengaku sangat terbantu ketika berada di Jepang dan ingin mengetahui perkembangan NU di Indonesia.

Di sisi lain, professor dari Chiba University ini juga melihat per-kembangan NU yang menjelma menjadi menjadi organisasi yang sangat demokratis sejak adanya reformasi.
“Dulu ketika di zaman Orde Baru, NU harus melawan intervensi dari luar sehingga agak tertutup. Tapi sekarang terkesan sangat terbuka dan perbedaan pendapat disikapi secara alamiah dan bijak,” terang peneliti yang tertarik pada NU karena Gus Dur itu.

Adapun banyaknya kandidat yang bersaing dalam muktamar, bagi Nakamura, hal itu menun-jukkan pluralitas unsur di dalam NU. Maka ia berharap agar sang pemimpin yang terpilih dapat mengakomodir semua unsur yang ada di dalam NU.

“Satu hal lagi yang terasa berbeda adalah ketidakhadiran Gus Dur. Ya, saya dan kawan-kawan peneliti di luar negeri merasa kehilangan. Gus Dur adalah phenomenon history. Saya mulai tertarik dengan NU karena dikenalkan oleh Gus Dur. Tapi meskipun secara fisik Gus Dur sudah tidak ada, saya merasakan sekarang Gus Dur ada di mana-mana melalui pemikiran dan warisan beliau,” jelas peneliti yang mengikuti Muktamar NU sejak 1979 ini.

Di mata Nakamura, NU sebagai civil society memiliki potensi-potensi besar untuk berperan bagi kemajuan Indonesia maupun dunia. Ke depan, ia berharap agar NU dapat menjadi bagian solusi, setidaknya terhadap dua hal. Pertama, ikut memberantas kemiskinan. “Ekonomi makro Indonesia memang terus meningkat. Masih banyak warga miskin yang lemah, dan NU harus beperan memberikan solusi,” jelas peneliti yang pernah mengajar di Universitas Indonesai itu.

Kedua, berpartisipasi mengatasi konflik kemanusiaan karena unsur agama. Kepada negara-negara berpenduduk mayoritas nonmuslim, NU harus terus berdakwah mewujudkan misi perdamaian Islam ala NU. Di internal umat Islam sendiri, NU juga harus meningkatkan dialog-dialog sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

“NU bergerak di dalam sebuah negara dengan jumlah orang Islam yang terbanyak di dunia. Dan hubungan antara masyarakat yang beragama Islam dan non Islam merupakan salah satu faktor yang menentukan nasibnya umat manusia pada hari depan,” pungkas Nakamura, yang datang ke Makassar bersama istri yang juga seorang antropolog dan sedang meneliti tentang pesantren. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar