Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Maret 2013

Problem Medis dan Solusi Islam

Judul: FIQIH MEDIS
Penulis: Tim Pendamping Manajemen Islami RSI Jemursari
Penerbit: Imtiyaz & RSI Jemursari Surabaya
Cetakan: Pertama, Desember 2012
Tebal: xii + 214 halaman
Peresensi: M Husnaini

Hukum Islam memang tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab persoalan ritual. Ranah sosial yang tidak kalah pelik juga urgen dipecahkan. Di antaranya bidang kedokteran. Menangani masalah kesehatan, rumah sakit Islam tidak boleh mengabaikan rambu-rambu Islam. Karena itu, harus ada ijtihad-ijtihad para pakar Islam yang berkompeten di bidangnya untuk menemukan jawaban atas problematika dunia kesehatan sesuai panduan Islam.
Inilah tujuan penerbitan buku ini. Fiqih Medis merupakan seri ketiga dari dua buku sebelumnya, yaitu Buku Pedoman Akhlak Sumber Daya Insani (2008) dan Buku Saku Pasien RSI Jemursari Surabaya (2008). Membaca judulnya, kita sudah menebak isinya. Buku ini hendak merumuskan jawaban syariat atas problematika dunia medis yang semakin kompleks, atau malah tidak jarang kontroversial.
RSI Jemursari Surabaya adalah salah satu aset Nahdlatul Ulama yang berdiri sejak 2002. Kendati demikian, laiknya rumah sakit Islam umumnya, RSI Jemursari Surabaya tidak hanya dikhususkan untuk warga NU. Pasien non-Muslim juga dilayani secara ihsan (excellent). Karena itu, dalam menyikapi persoalan hukum, juga diberikan alternatif-alternatif hukum secara maksimal. Ditulis oleh Tim Penyusun dalam pengantarnya, “…agar pasien dapat melaksanakan ibadah di rumah sakit sesuai faham dan keyakinannya”. 
Selama ini, memang sudah ada rumah sakit Islam yang memberikan suasana lain. Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, misalnya. Disediakan mushaf al-Qur’an di setiap kamar pasien. Shalat jamaah lima waktu juga diaktifkan dengan menunjuk imam tetap. Bahkan ada kegiatan kuliah agama rutin mingguan bagi karyawan. Juga ada konsultan agama, yang bertugas memberi siraman ruhani bagi pasien, terutama yang sudah akut dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Tetapi, membukukan rumusan hukum Islam dari para pakar sungguh sebuah kemajuan tersendiri.
Menghidupkan kajian Islam berarti meluaskan peran rumah sakit Islam itu sendiri. Rumah sakit Islam tidak sekadar--kata Emha Ainun Nadjib--menyembuhkan penyakit, tetapi juga mengobati sakit. Mudahnya, pasien mendapatkan penyembuhan atas penyakitnya, sementara keluarga yang menunggu mendapatkan obat atas rasa sakitnya (kesedihan, kecemasan, kegalauan, ketakutan, keangkuhan) dengan kegiatan-kegiatan keagamaan di situ. 
Seyogianya rumah sakit Islam lain meniru upaya mulia ini. Rumah sakit Islam harus membuat buku panduan keagamaan dan doa-doa seputar penyakit. Buku itu bisa diletakkan di kamar-kamar pasien. Juga disediakan perlengkapan shalat, dan penting juga ada kios buku supaya rumah sakit Islam juga menjadi media dakwah Islam.
Di antara kelebihan buku ini adalah bahasanya yang mudah dicerna, dan terbagi menjadi enam bab: Thaharah, Shalat, Puasa, Kehamilan dan Kelahiran, Jenazah, Problematika Medis Aktual. Setiap persoalan tidak dibahas secara ujug-ujug, tetapi dikupas secara secara detail mulai dari definisi permasalahan hingga landasan hukumnya. Sisi maslahat (positif) dan mafsadat (negatif), terutama bagi pasien, juga sangat diperhatikan. 
Misalnya, menyangkut bagaimana hukum menyampaikan perkembangan penyakit pasien secara apa adanya, dalam buku ini dijelaskan, “..dokter boleh berbicara tidak sebenar-nya untuk menjaga kejiwaan pasien agar lebih kondusif dalam proses penyembuhan. Tetapi jika dokter yakin bahwa mental pasien dan keluarga telah siap menerima informasi yang sebenarnya, maka dokter wajib berbicara yang sebenarnya”. Kelebihan lain adalah adanya catatan kaki (footnote). Ini semakin menambah keilmiahan buku ini, karena memungkinkan siapa saja untuk merujuk keabsahan dalil-dalilnya. 
Ada pula solusi problematika hukum kontemporer: hukum mengonsumsi obat yang mengandung minyak babi (hal 185), transplantasi anggota tubuh (hal 161), kelahiran anak yang disesuaikan dengan hari atau tanggal cantik (hal 166), mewajibkan pasien membayar uang muka sebelum proses operasi (hal 193), memprediksi usia pasien berdasarkan ilmu kedokteran (hal 205), memuseumkan jena-zah (hal 130), membongkar kuburan untuk keperluan autopsi (hal 131), memandikan jenazah yang tubuhnya hancur (hal 155), memformalin jenazah (hal 156), dan menangani jenazah non-Muslim (hal 157).
Maka, kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan dan pikiran terbuka. Perbedaan produk ijtihad seyogianya tidak disikapi secara sempit. Mari budayakan sportivitas dalam menimbang setiap karya sembari terus berusaha menggairahkan ijtihad-ijtihad fresh demi kemajuan dan kemaslahatan umat. Selamat membaca!

Senin, 11 Maret 2013

Mengkritisi Fatwa MTA yang Miring


Judul: Meluruskan Doktrin MTA Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an di Solo
Penulis: Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Muara Progresif Surabaya
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: xiv+184 hlm; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-979-1353-33-5
Peresensi: Junaidi *)

Mengutarakan sebuah gagasan, fatwa, klaim, dan berbagai keputusan tentang suatu hukum, baik yang menyangkut hal-hal yang baik, buruk, halal, haram, taat, kafir, dan lain semacamnya harus berdasarkan pada dalil-dalil, referensi, literatur, dan berbagai rujukan yang secara ilmiah diakui kebenarannya. Jika hanya berdasarkan pada pendapat pribadi, maka jelas kurang bisa dibenarkan bahkan ditolak.

Namun, jika ada dasar-dasar yang kuat dan akurat demi kepentingan hidup bersama, maka sebuah gagasan, atau fatwa bisa diterima dan boleh diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Itupun masih dalam lingkup terbatas bagi mereka yang ingin mengikutinya tanpa ada paksaan apapun.

Di dalam agama Islam beda pendapat tentang suatu hukum di antara kalangan ulama boleh-boleh saja. Dan itu ada yang mengatakan sebagai rahmat, karena dengan perbedaan tersebut kita bisa lebih mudah tapi benar dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Namun sejauh manapun ulama dalam Islam beda pendapat itu, mereka memiliki sumber dan dalil-dalil yang kuat dan akurat sehingga bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya di depan publik.

Misalkan dalam buku ini beberapa fatwa yang dilontarkan oleh ketua Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Solo yang selalu mengatakan bahwa amaliah warga Nahdliyyin sesat. Berbagai amalan warga Nahdliyyin dianggap bid’ah. Bahkan apa yang diharamkan oleh Islam sebelumnya, mereka menghalalkan lalu mengharamkan lagi. Misalkan anjing, mereka menganggap halal karena di dalam Al-Quran dan Al-Hadits tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun selang beberapa waktu setelah mendapat kritikan, mereka tidak pernah demikian, padahal sudah ada banyak bukti yang nyata tentang fatwa tersebut (Hal. 67-70).

Dari sinilah tidak ada kejelasan. Berbagai klaim, fatwa, dan pendapat ketua MTA di Solo, ustadz Ahmad Sukina, dianggap telah melenceng dan bertolak belakang dengan berbagai amalan-amalan warga Nahdliyyin yang secara jelas sudah ada dasar dan patokan hukumnya. Buku ini akan mengupas dan meluruskan klaim, fatwa, dan pendapat MTA yang tidak dibarengi dengan dalil-dalil yang kuat dan akurat mengenai tindakan dan amalan warga Nahdliyyin.

Majelis Tafsir Al-Qur’an di Solo dengan terang-terangan memberikan suatu keputusan dan penafsiran tentang suatu hadits yang tidak didasarkan pada beberapa rujukan yang benar. Sehingga mereka dianggap membabi-buta dalam mengulas suatu hukum. Seperti amalan yang dilakukan oleh mayoritas warga Nahdliyyin, yaitu tentang shalat witir, tarawih, istisqa’, tahajjud, hajat, dan tentang pembolehan berzakat kepada non-Islam hingga tentang waktu wukuf di ‘Arafah (Hal. 135-171).

Juga disebutkan bahwa ketua MTA itu tidak memiliki dasar-dasar tentang tatacara membaca kitab turats (kitab kuning berbahasa arab yang tanpa makna dan harakat) yang secara umum dijadikan rujukan oleh para ilmuan dan ulama-ulama Islam dalam menetapkan hukum Islam. Selain itu pula, jika pimpinan MTA diajak berdialog enggan menyetujui dan mengelak dengan berbagai alasan. Lalu mengapa sebagian orang berani mengikutinya? Hal ini juga akan dibahas di dalam buku ini.

Jika mereka memang merasa benar dengan pendapatnya, setidaknya mereka mau untuk mempertanggungjawabkan dan menjelaskannya secara ilmiah di depan publik. Tapi kenyataannya mereka selalu menghindar jika diajak untuk berdialog untuk mencari titik temu pemahamannya tentang kebenaran dalil-dalilnya. Dari sinilah sudah jelas bahwa pemahaman yang mereka lontarkan adalah kurang valid dan tidak ada dalil yang jelas sehingga mereka selalu menolak ketika diajak berdialog secara ilmiah berdasarkan dalil-dalil yang kuat dan akurat.

Maka dari itulah, kita harus berhati-hati dalam mengikuti sebuah ajaran agar tidak masuk dalam jurang kesesatan. Dengan hadirnya buku ini diharapkan warga Nahdliyyin tidak resah dengan berbagai fatwa yang tidak ada sumber dan rujukannya yang jelas, termasuk klaim dan doktrin MTA di Solo yang tanpa dasar dan dalil yang cukup kuat bahkan tidak ada dalil yang kongkrit tentang pemahaman ajarannya. Begitu pula sebagai bahan perbandingan bagi pengikut MTA agar memahami dengan benar terhadap Al-Quran Al-Hadits, dan beberapa li-teratur ilmiah lainnya.

*) Peresensi adalah Ketua Bidang Keilmuan Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya

Sabtu, 15 Mei 2010

Resensi: Mensyarahi Pemikiran Mbah Hasyim

Judul Buku: Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: KH Salahuddin Wahid, DR H Nadirsyah Hosen
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xxxix + 374 halaman
Peresensi: Siti Maslahah, S.Ag *)


Kepemimpinan duet KH Sahal Mahfudh dan Said Aqiel Siradj yang terpilih pada perhelatan Muktamar di Makasar sepertinya akan menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Yang mengemuka adalah keberatan yang disampaikan PWNU Jawa Timur terhadap komposisi kepengurusan harian PBNU masa khidmat 2010-2015. Hal ini dipicu oleh diakomodirnya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah muncul pada rapat formatur. Demikian pula ada beberapa nama yang posisinya berubah serta keluar dari kesepakan rapat.

Beberapa pihak telah mengingatkan agar dalam hal menentukan komposisi pengurus lebih memperhatikan aturan main organisasi. Jangan sampai hanya lantaran ingin menampung beberapa kader potensial, lantas mengesampingkan hasil kesepakatan Muktamar.
Semua pihak pastinya berkeinginan agar organisasi kebangkitan ulama ini dapat keluar dari kemelut. Sehingga potensi besar jam’iyah dapat tereksplorasi dengan optimal, bukan semata untuk kemajuan organisasi tapi juga dalam mengisi dan mengawal perjalanan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kalau semuanya berangkat dari komitmen ini, rasanya mempersatukan potensi itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Namun celakanya, mempersatukan para ulama, apalagi di masa sekarang bukanlah hal yang mudah. Tetapi para ulama NU, khususnya hadratus-syaikh berhasil melakukan hal tersebut. Mengapa dulu mbah Hasyim bisa melakukan itu? Karena yang menjadi lokomotifnya adalah ideologi.

Boleh dikata, ideologi yang menjadi media mempersatukan warga dan ghirah dalam memajukan organisasi kebangkitan para ulama ini mulai luntur seiring dengan kemunculan kepentingan sesaat sebagian elit dan warganya. Sebagai contoh, pada aroma pilkada dalam perhelatan Muktamar demikian terasa. Pasalnya, di setiap sudut pintu masuk dijejali oleh spanduk yang berisi foto orang-orang yang akan bertarung dalam kepemimpinan NU untuk lima tahun yang akan datang.

Sebagai kader NU, kita patut menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam terhadap fenomena tersebut. Sebab konsekuensinya bisa fatal, yaitu kepemimpinan NU tak ubahnya kepemimpinan partai politik, yang kerapkali mengandalkan modal finansial yang tidak kecil jumlahnya. Lalu, di manakah moralitas yang dijunjung tinggi oleh para ulama dan kiai selama ini?

Sebab sejak berdiri tahun 1926, NU dikenal sebagai organisasi para ulama yang dikenal dengan kepemimpinan moralnya. Mereka dicintai oleh umat bukan karena hartanya, tetapi karena kesalehan dan ketinggian ilmunya. Bahkan mereka cenderung untuk menampilkan diri sebagai pemimpin, karena menjadi pemimpin tidaklah mudah. Harus mempunyai kapasitas intelektual dan kapabilitas moral. Oleh sebab itu, pemimpin NU di masa lalu merupakan penghargaan dan penghormatan atas keistimewaan seorang tokoh.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Akbar NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, bukan karena beliau mau memimpin NU. Beliau terpilih melainkan karena kesepakatan para ulama yang memandang hadratus-syaikh sebagai mahaguru dan mahakiai. Kedalaman ilmunya sudah diragukan lagi, di samping kesalehan beliau yang telah memberikan inspirasi bagi warga NU.

Ada satu hal yang menonjol lagi dari Hadratussyaikh, yaitu kemampuannya dalam mengkonsolidasikan ulama. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu mempersatukan, bukan justru memecahbelah. Tentu saja, yang dimaksud dengan mempersatukan bukan karena iming-iming harta dan kuasa, tetapi lebih pada kesamaan visi.

Pentingnya persaudaraan dan persatuan ditegaskan oleh hadratussyaikh dalam Qanun Asasi NU, “Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. Beliau menambahkan, “Kerja sama dan tolong menolong merupakan sendi yang dapat menjadi acuan dalam mengatur tatanan sosial. Tanpa hal tersebut, maka keinginan, harapan, dan cita-cita akan lumpuh karena tidak akan mampu memecahkan tantangan. Sebab itu, barangsiapa bergotong-royong dalam urusan dunia dan akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Hidupnya akan terasa indah, tenang, nyaman, dan tenteram.”

Fondasi yang dibangun hadratus-syaikh telah menjadikan NU sebagai organisasi yang mempersatukan ulama dengan tujuan untuk menegakkan panji-panji keislaman rahmatan lim ‘alamin. NU harus menjadi teladan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia secara keseluruhan, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi persatuan nasional.

Hadratussyaikh dengan cerdas menulis sebuah buku khususnya, yang dikodifikasi sebagai ideologi NU, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al -Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, serta penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah).

Di dalam kitab ini, rumusan ideologi dikukuhkan dengan sangat baik oleh kakek Gus Dur ini. Dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyah yang dikenal dengan teologi usaha (al-kasbu). Dalam konsep ini disebutkan, bahwa setiap manusia harus melakukan ikhtiar dalam kehidupan nyata sembari memohon pertolongan kepada Tuhan.

Teologi ini kemudian dengan “teologi moderasi”, karena dapat menyelamatkan manusia dalam fatalisme dan kebebasan tak terkendali. Dalam fatalisme, seseorang bisa terjebak pada fanatisme dan ekstremisme, sedangkan pada kebebasan absolut bisa menjerumuskan seseorang pada sikap permisif. Teologi Asy’ariyah telah melahirkan sebuah sikap yang menjadikan umat Islam berada dalam keseimbangan dan ketenangan hidup.

Dalam hukum Islam (baca: fikih), hadratussyaikh memandang hendaknya warga NU merujuk kepada 4 imam mazhad fikih, yaitu Imam Syafii, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Secara khusus, hadratussyaikh menekankan pada Imam Syafii.

Kenapa harus merujuk kepada empat Imam mazhab fikih tersebut? Hal ini tidak lain, karena keempat imam tersebut mempunyai keahlian atau kepakaran dalam bidang hukum Islam, yang mana pandangan-pandangannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, paradigma NU dalam hukum sebenarnya juga kembali kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi harus melalui para imam tersebut. Sebab tidak banyak orang muslim yang mempunyai keahlian sebagai para ulama hukum Islam tadi.

Salah satu keistimewaan paradigma ini, bahwa seorang Muslim dalam memecahkan masalah tidak akan terjebak dalam paradigma hitam-putih, kaku dan rigid. Bahkan, paradigma hukum Islam ala NU jauh lebih akademik dan argumentatif jika dibandingkan dengan kalangan Wahabi dan kelompok puritan lainnya.

Sedangkan dalam spiritualitas, hadratussyaikh memadang agar warga NU merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu ciri yang menonjol dalam paradigma ini yaitu perpaduan antara dimensi spiritualitas dan formalitas. Formalisasi agama dalam ruang publik tanpa spiritualitas akan melahirkan kehampaan dan kekosongan.
Ideologi NU sebagaimana dijelaskan tersebut saat ini harus diakui semakin langka dan tidak terdengar lagi dalam tubuh NU. Dimensi yang menonjol adalah paradigma hukum, sedangkan dalam teologi dan spiritualitas kurang terdengar. Apalagi dalam forum keagamaan NU, sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam perhelatan Munas dan Muktamar hanya mengakomodasi bahtsul masail. Sedangkan dalam bidang teologi dan spiritualitas belum diakomodasi dalam perhelatan Muktamar.

Oleh karena itu, NU dalam lima tahun ke depan harus menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan-nya. Apalagi ditengah godaan politik yang begitu dahsyat. NU tidak mampu berkata “tidak”, karena bukan semata-mata tidak mampu, tetapi NU hakikatnya sedang mengalami krisis ideologi yang sangat akut. Yaitu hilangnya spiritualitas dalam ranah politik. Kecintaan kepada dunia diutamakan, sedangkan spiritualitas ukhrawi ditinggalkan.

Di penutup tulisan ini, ada baiknya NU kembali kepada jejak-jejak kehidupan dan pemikiran hadratus-syaikh Hasyim Asy’ari. Dan setiap kali Muktamar digelar, sayangnya pemikiran hadratus-syaikh tidak terdengar. Karenanya sangat mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap gagasan hadratus syaikh.
*) Peresensi adalah Pegiat Pendidikan dan Fungsionaris PC Fatayat NU Jombang Jatim.

Selasa, 27 April 2010

Resensi: Menjadi Penulis itu Berproses


Judul Buku: Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis, Muhammad Suhaidi RB, Muhammadun AS, dkk.
Penerbit: Muara Progresif, Surabaya
Cetakan: I, 2009
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Imdad Fahmi Azizi *)


Di era globalisasi, dunia kepenulisan menjadi tantangan bagi kaum santri untuk menemukan eksistensi diri. Dan pekerjaan menulis menjadi pilihan, sehingga santri tidak ketinggalan zaman. Dikalangan santri, menulis adalah tantangan tersendiri. Menjadi penulis tidak langsung jadi, butuh proses yang mendaki. Setidaknya itu yang dialami ke-13 penulis buku ini yang semuanya berasal dari kaum santri.
Sebagaimana dikutip dalam lampiran buku ini, Imam al-Ghazali berkata, “Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis!” Pramoediya Ananta Toer juga mengingatkan, bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. KH Zainal Arifin Toha, tokoh panutan buku ini mengatakan, bahwa dengan menulis maka Aku Ada.

Membangun Tradisi Membaca

Kunci menjadi penulis menurut pengalaman Muhammadun As adalah membaca. Membaca adalah faktor yang paling menentukan dalam menulis. Dalam kacamata Rijal Mumazziq Zionis, membaca tidak hanya menambah literatur kita, melainkan menyokong sege-nap argumentasi dan memperkaya khazanah pengetahuan.

Menurut Noviana Herlanti, salah satu penulis buku ini yang juga seorang cerpenis, menulis tanpa disertai kegiatan membaca adalah sama seperti orang buta yang ingin berjalan tanpa tongkat. Dengan selalu membaca, semangat, pantang menyerah, akan mengantarkan santri mampu bersaing dalam dunia kepenulisan.

Sebagaimana pengalaman Nur Faishal, sense kepenulisan tidak lahir begitu saja. Tidak given. Oleh karena itu, terlepas dari aktivitas apapun, harus ada waktu senggang untuk membaca. Karena menggeluti dunia kepenulisan harus total. (hlm. 46)

Segendang sepenarian dengan itu, penulis lain, Salman Rusydie Anwar, menekankan bahwa menjadi seorang penulis adalah menjadi sosok yang harus total mempelajari banyak hal. Bagi calon penulis, hendaknya membangun terlebih dahulu tradisi belajar yang kuat agar tidak hanya menjadi seorang penulis biasa tetapi menjadi seorang penulis hebat. (hlm. 122)

Menikmati Proses

Seorang calon penulis pemula harus mampu menjadi batu karang yang siap menerima serbuan ombak sekeras dan sedahsyat apapun. Kita harus belajar pada pengalaman. Menulis merupakan bagian dari anjuran agama. Dan Alquran tidak hanya menyuruh kita agar cerdas membaca, tetapi juga dianjurkan untuk cerdas dalam menulis. Perpaduan membaca dan menulis merupakan perpaduan ideal generasi Alquran yang sejati. Keberhasilan dan kesuksesan menembus media cetak akan terjadi, ketika sudah dilakukan berkali-kali.
Sebagaimana pengalaman Rijal Mumazziq Zionis, yang menjadi modal utama penulis adalah niat, komitmen, dan sabar dalam berproses. Proses adalah sebuah tahapan paling urgen dan paling menentukan dalam kepenulisan. Sebelum dia aktif di dunia kepenulisan, dia membuat buletin pribadi, hingga dengan itu terinspirasi untuk terus menulis sehingga tulisannya berhasil dimuat di salah satu massa nasional.

Menulis harus bersungguh-sungguh. Secara spirit dunia kepenulisan mengajari kita untuk tidak mudah putus asa. Ada kaitan antara kepenulisan dan kemandirian. Di sinilah kemudian seorang penulis menemukan idealismenya. Kata Muhammadun AS, dengan menulis, santri menjadi penyangga paradaban bangsa. Harus berjuang dengan konsep istiqomah (ajeg atau konsisten), jalan istiqomah menjadi pertaruhan hidup penulis di masa depan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Suhaidi-mengutip Jorge Luis Borges, menulis merupakan pengalaman yang essensial. Penulis-penulis handal sekalipun, mempunyai pengalaman-pengalaman pahit selama berproses, misalnya tulisan ditolak oleh redaktur ketika baru pertama kali mengirimkannya, serta merasa jenuh dan bosan. Hal itu lumrah terjadi, karena tidak ada kesuksesan yang tidak diawali dengan kepahitan dan tantangan. Apalagi dalam ‘hukum kesuksesan’ sebagaimana dalam literatur pesantren, telah diatur bahwa kesuksesan membutuhkan proses yang panjang (tul al-zaman).

Sebagaimana yang dialami Ahmad Khotib pula, bahwa menulis itu tidak mudah, bahkan sampai ‘berdarah-darah’. Untuk menjadi seorang penulis, harus berani memaksa diri sendiri. Dia sampai ‘menghukum diri’ selama 30 hari dengan sanksi menulis. Pada hari ke-21, dian jatuh sakit, tapi terus dipaksakan. Hingga akhirnya dirulisannya diterima di Jawa Pos pada tanggal 11 Mei tahun 2008. (hlm. 156)

Disamping itu, menjadi penulis membutuhkan seorang teman, guru, teman berimprovisasi. Dalam istilah Azizah Hefni, penulis membutuhkan guru kreatif. Dunia keilmuan dan dunia kepenulisan laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dan terus berkembang. Selanjutnya, dunia kepenulisan pada dasarnya adalah peneguhan terhadap eksistensi.

Menurut Noviana Herliyanti, cerpenis, menulis adalah pembebasan, atas diri kita yang lemah, kemampuan yang jauh dai sempurna, dan kesulitan berdamai dengan takdir. Membebaskan kita untuk berekspresi, tulisan mewakili setiap emosi. Membebaskan kita untuk mencapai mimpi. Membebaskan kita dari perasaan minder. Membuat kita cerdas, dan lain sebagainya.

Ach. Syaiful A’la, mengatakan bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang, butuh tenaga ‘superekstra’. Pekerjaan menulis seperti bengkel sepeda. Artinya main bongkar pasang dan berani mengi-dentifikasi diri. Tentang tulisan yang baik ini, Ach. Sayiful A’la mengutip perkataan D Zawawi Imron, bahwa tulisan yang baik adalah yang dibisa dibaca dan dimengerti oleh disiplin ilmu yang lain termasuk juga orang awam yang suka membaca buku.

Menjadi penulis tidak harus mempunyai bakat dan pendidikan formal tinggi. Tidak perlu ada ke-turunan darah penulis. D Zawawi Imron tidak pernah mengenyam pengalaman di bangku kuliah, bahkan tidak lulus SD. Tulisannya sering dimuat diberbagai media dan menjadi sumber ilmu. Menulis tidak hanya membuahkan kekayaan materi dan ketenaran, tapi juga kekayaaan batin. Apabila tulisan kita dimuat, melahirkan kepuasan pribadi. Dalam istilah Zuhairi Misrawi, menulis adalah kepuasan batin (KOMPAS, 18/2). Butuh ketelatenan dan keuletan, sebagaimana yang dijelaskan Salahuddin Wahid dan AS Laksana (Jawa Pos, 31/1).

Untuk pemula, buku ini sangat bagus. Kekurangannya, isi buku ini kurang sistematis, tidak ada muatan teori yang memadai, terkesan cerita kecil saja. Walaupun begitu, buku ini mampu memberi motivasi tinggi kepada pembaca.

Menjadi penulis dan bergelut di dunia kepenulisan adalah sebuah pilihan dan kehormatan. Pilihan, ka-rena kita total menggelutinya. Kehormatan, karena kita menjadi pengabdi kebenaran. Walaupun membutuhkan proses yang panjang-minimal tidak mudah patah arang. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

*) Peresensi adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ) Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo