Kamis, 14 Maret 2013

Problem Medis dan Solusi Islam

Judul: FIQIH MEDIS
Penulis: Tim Pendamping Manajemen Islami RSI Jemursari
Penerbit: Imtiyaz & RSI Jemursari Surabaya
Cetakan: Pertama, Desember 2012
Tebal: xii + 214 halaman
Peresensi: M Husnaini

Hukum Islam memang tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab persoalan ritual. Ranah sosial yang tidak kalah pelik juga urgen dipecahkan. Di antaranya bidang kedokteran. Menangani masalah kesehatan, rumah sakit Islam tidak boleh mengabaikan rambu-rambu Islam. Karena itu, harus ada ijtihad-ijtihad para pakar Islam yang berkompeten di bidangnya untuk menemukan jawaban atas problematika dunia kesehatan sesuai panduan Islam.
Inilah tujuan penerbitan buku ini. Fiqih Medis merupakan seri ketiga dari dua buku sebelumnya, yaitu Buku Pedoman Akhlak Sumber Daya Insani (2008) dan Buku Saku Pasien RSI Jemursari Surabaya (2008). Membaca judulnya, kita sudah menebak isinya. Buku ini hendak merumuskan jawaban syariat atas problematika dunia medis yang semakin kompleks, atau malah tidak jarang kontroversial.
RSI Jemursari Surabaya adalah salah satu aset Nahdlatul Ulama yang berdiri sejak 2002. Kendati demikian, laiknya rumah sakit Islam umumnya, RSI Jemursari Surabaya tidak hanya dikhususkan untuk warga NU. Pasien non-Muslim juga dilayani secara ihsan (excellent). Karena itu, dalam menyikapi persoalan hukum, juga diberikan alternatif-alternatif hukum secara maksimal. Ditulis oleh Tim Penyusun dalam pengantarnya, “…agar pasien dapat melaksanakan ibadah di rumah sakit sesuai faham dan keyakinannya”. 
Selama ini, memang sudah ada rumah sakit Islam yang memberikan suasana lain. Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, misalnya. Disediakan mushaf al-Qur’an di setiap kamar pasien. Shalat jamaah lima waktu juga diaktifkan dengan menunjuk imam tetap. Bahkan ada kegiatan kuliah agama rutin mingguan bagi karyawan. Juga ada konsultan agama, yang bertugas memberi siraman ruhani bagi pasien, terutama yang sudah akut dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Tetapi, membukukan rumusan hukum Islam dari para pakar sungguh sebuah kemajuan tersendiri.
Menghidupkan kajian Islam berarti meluaskan peran rumah sakit Islam itu sendiri. Rumah sakit Islam tidak sekadar--kata Emha Ainun Nadjib--menyembuhkan penyakit, tetapi juga mengobati sakit. Mudahnya, pasien mendapatkan penyembuhan atas penyakitnya, sementara keluarga yang menunggu mendapatkan obat atas rasa sakitnya (kesedihan, kecemasan, kegalauan, ketakutan, keangkuhan) dengan kegiatan-kegiatan keagamaan di situ. 
Seyogianya rumah sakit Islam lain meniru upaya mulia ini. Rumah sakit Islam harus membuat buku panduan keagamaan dan doa-doa seputar penyakit. Buku itu bisa diletakkan di kamar-kamar pasien. Juga disediakan perlengkapan shalat, dan penting juga ada kios buku supaya rumah sakit Islam juga menjadi media dakwah Islam.
Di antara kelebihan buku ini adalah bahasanya yang mudah dicerna, dan terbagi menjadi enam bab: Thaharah, Shalat, Puasa, Kehamilan dan Kelahiran, Jenazah, Problematika Medis Aktual. Setiap persoalan tidak dibahas secara ujug-ujug, tetapi dikupas secara secara detail mulai dari definisi permasalahan hingga landasan hukumnya. Sisi maslahat (positif) dan mafsadat (negatif), terutama bagi pasien, juga sangat diperhatikan. 
Misalnya, menyangkut bagaimana hukum menyampaikan perkembangan penyakit pasien secara apa adanya, dalam buku ini dijelaskan, “..dokter boleh berbicara tidak sebenar-nya untuk menjaga kejiwaan pasien agar lebih kondusif dalam proses penyembuhan. Tetapi jika dokter yakin bahwa mental pasien dan keluarga telah siap menerima informasi yang sebenarnya, maka dokter wajib berbicara yang sebenarnya”. Kelebihan lain adalah adanya catatan kaki (footnote). Ini semakin menambah keilmiahan buku ini, karena memungkinkan siapa saja untuk merujuk keabsahan dalil-dalilnya. 
Ada pula solusi problematika hukum kontemporer: hukum mengonsumsi obat yang mengandung minyak babi (hal 185), transplantasi anggota tubuh (hal 161), kelahiran anak yang disesuaikan dengan hari atau tanggal cantik (hal 166), mewajibkan pasien membayar uang muka sebelum proses operasi (hal 193), memprediksi usia pasien berdasarkan ilmu kedokteran (hal 205), memuseumkan jena-zah (hal 130), membongkar kuburan untuk keperluan autopsi (hal 131), memandikan jenazah yang tubuhnya hancur (hal 155), memformalin jenazah (hal 156), dan menangani jenazah non-Muslim (hal 157).
Maka, kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan dan pikiran terbuka. Perbedaan produk ijtihad seyogianya tidak disikapi secara sempit. Mari budayakan sportivitas dalam menimbang setiap karya sembari terus berusaha menggairahkan ijtihad-ijtihad fresh demi kemajuan dan kemaslahatan umat. Selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar