Kamis, 14 Maret 2013

Problem Medis dan Solusi Islam

Judul: FIQIH MEDIS
Penulis: Tim Pendamping Manajemen Islami RSI Jemursari
Penerbit: Imtiyaz & RSI Jemursari Surabaya
Cetakan: Pertama, Desember 2012
Tebal: xii + 214 halaman
Peresensi: M Husnaini

Hukum Islam memang tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab persoalan ritual. Ranah sosial yang tidak kalah pelik juga urgen dipecahkan. Di antaranya bidang kedokteran. Menangani masalah kesehatan, rumah sakit Islam tidak boleh mengabaikan rambu-rambu Islam. Karena itu, harus ada ijtihad-ijtihad para pakar Islam yang berkompeten di bidangnya untuk menemukan jawaban atas problematika dunia kesehatan sesuai panduan Islam.
Inilah tujuan penerbitan buku ini. Fiqih Medis merupakan seri ketiga dari dua buku sebelumnya, yaitu Buku Pedoman Akhlak Sumber Daya Insani (2008) dan Buku Saku Pasien RSI Jemursari Surabaya (2008). Membaca judulnya, kita sudah menebak isinya. Buku ini hendak merumuskan jawaban syariat atas problematika dunia medis yang semakin kompleks, atau malah tidak jarang kontroversial.
RSI Jemursari Surabaya adalah salah satu aset Nahdlatul Ulama yang berdiri sejak 2002. Kendati demikian, laiknya rumah sakit Islam umumnya, RSI Jemursari Surabaya tidak hanya dikhususkan untuk warga NU. Pasien non-Muslim juga dilayani secara ihsan (excellent). Karena itu, dalam menyikapi persoalan hukum, juga diberikan alternatif-alternatif hukum secara maksimal. Ditulis oleh Tim Penyusun dalam pengantarnya, “…agar pasien dapat melaksanakan ibadah di rumah sakit sesuai faham dan keyakinannya”. 
Selama ini, memang sudah ada rumah sakit Islam yang memberikan suasana lain. Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, misalnya. Disediakan mushaf al-Qur’an di setiap kamar pasien. Shalat jamaah lima waktu juga diaktifkan dengan menunjuk imam tetap. Bahkan ada kegiatan kuliah agama rutin mingguan bagi karyawan. Juga ada konsultan agama, yang bertugas memberi siraman ruhani bagi pasien, terutama yang sudah akut dan kecil kemungkinan untuk sembuh. Tetapi, membukukan rumusan hukum Islam dari para pakar sungguh sebuah kemajuan tersendiri.
Menghidupkan kajian Islam berarti meluaskan peran rumah sakit Islam itu sendiri. Rumah sakit Islam tidak sekadar--kata Emha Ainun Nadjib--menyembuhkan penyakit, tetapi juga mengobati sakit. Mudahnya, pasien mendapatkan penyembuhan atas penyakitnya, sementara keluarga yang menunggu mendapatkan obat atas rasa sakitnya (kesedihan, kecemasan, kegalauan, ketakutan, keangkuhan) dengan kegiatan-kegiatan keagamaan di situ. 
Seyogianya rumah sakit Islam lain meniru upaya mulia ini. Rumah sakit Islam harus membuat buku panduan keagamaan dan doa-doa seputar penyakit. Buku itu bisa diletakkan di kamar-kamar pasien. Juga disediakan perlengkapan shalat, dan penting juga ada kios buku supaya rumah sakit Islam juga menjadi media dakwah Islam.
Di antara kelebihan buku ini adalah bahasanya yang mudah dicerna, dan terbagi menjadi enam bab: Thaharah, Shalat, Puasa, Kehamilan dan Kelahiran, Jenazah, Problematika Medis Aktual. Setiap persoalan tidak dibahas secara ujug-ujug, tetapi dikupas secara secara detail mulai dari definisi permasalahan hingga landasan hukumnya. Sisi maslahat (positif) dan mafsadat (negatif), terutama bagi pasien, juga sangat diperhatikan. 
Misalnya, menyangkut bagaimana hukum menyampaikan perkembangan penyakit pasien secara apa adanya, dalam buku ini dijelaskan, “..dokter boleh berbicara tidak sebenar-nya untuk menjaga kejiwaan pasien agar lebih kondusif dalam proses penyembuhan. Tetapi jika dokter yakin bahwa mental pasien dan keluarga telah siap menerima informasi yang sebenarnya, maka dokter wajib berbicara yang sebenarnya”. Kelebihan lain adalah adanya catatan kaki (footnote). Ini semakin menambah keilmiahan buku ini, karena memungkinkan siapa saja untuk merujuk keabsahan dalil-dalilnya. 
Ada pula solusi problematika hukum kontemporer: hukum mengonsumsi obat yang mengandung minyak babi (hal 185), transplantasi anggota tubuh (hal 161), kelahiran anak yang disesuaikan dengan hari atau tanggal cantik (hal 166), mewajibkan pasien membayar uang muka sebelum proses operasi (hal 193), memprediksi usia pasien berdasarkan ilmu kedokteran (hal 205), memuseumkan jena-zah (hal 130), membongkar kuburan untuk keperluan autopsi (hal 131), memandikan jenazah yang tubuhnya hancur (hal 155), memformalin jenazah (hal 156), dan menangani jenazah non-Muslim (hal 157).
Maka, kehadiran buku ini patut disambut dengan tangan dan pikiran terbuka. Perbedaan produk ijtihad seyogianya tidak disikapi secara sempit. Mari budayakan sportivitas dalam menimbang setiap karya sembari terus berusaha menggairahkan ijtihad-ijtihad fresh demi kemajuan dan kemaslahatan umat. Selamat membaca!

Ratusan Takmir Masjid Hadiri Rakorda LTM

Sumenep, AULA
Ratusan takmir masjid, imam dan khatib se-Kabupaten Sumenep, Sabtu (26/1), menghadiri Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) Lembaga Takmir Masjid (LTN) NU Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Kegiatan yang dilaksanakan di PCNU Sumenep lantai II tersebut juga dihadiri Rais PBNU KH Masdar Farid Mas’udi, Ketua LTM PBNU KH. Abdul Manan A. Ghani, Perwakilan dari PW LTM NU Jawa Timur, Ketua PCNU Sumenep A Pandji Taufiq, Sekretaris PCNU Sumenep A. Dardiri Zubairi, Bupati Sumenep KH A Busyro Karim, Sekretaris Daerah Kabupaten Sumenep Hadi Soetarto, dan perwakilan lembaga dan badan otonom NU.
Pada kesempatan tersebut, para takmir masjid, imam dan khatib menda-patkan materi Revitalisasi Masjid dalam Pemberdayaan Umat yang disampaikan Ketua LTM PBNU KH Abdul Manan A. Ghani.
Dalam pemaparannya, Manan mengajak para takmir mencantumkan identitas ke-NU-an di masjidnya sehingga tidak mudah diambil oleh kelompok lain yang saat ini sedang gencar melakukan pengambil alihan masjid sebagai pusat aktivitas perjuangan.
Kontributor: Panitia

Kartu Pinter NU Dilaunching


Gresik, AULA
Bertempat di Kantor PCNU Gresik (15/2) PBNU dan PWNU Jatim meluncurkan kartu pinter dengan 9 fungsi kegunaannya, selain sebagai kartu anggota NU. Juga berfungsi menjadi kartu ATM, debit hingga Asuransi, hanya saja warga NU masih menyangsikan keberadaan Kartu tersebut, mengingat setiap kali ada program serupa selalu gagal. ”Kami pernah mendapatkan sosialisasi Kartu Ya Mualim untuk program Haji gagal juga ada kartu Koperasi NU multifungsi juga gagal.” Ujar Ali Murtadlo ketua MWC NU Bungah saat peluncuran kartu tersebut. Hal ini juga disampaikan Rodli Syam, Ketua MWC NU Ujung Pangkah juga minta jaminan, sehingga saat mensosialisasikan ke warga NU di tingkat bawah tidak dicibir. ”Apa jaminan Kartu Koperasi Mabadiku Bintang Sembilan multifungsi, kalau gagal apa jaminanya.” katanya.
Tim fasilitator PBNU dan PWNU Jatim yang dikomandani Ketua Lembaga ekonomi PBNU Irnanda Laksanawan menjelaskan, jika model yang ditawarkan adalah model baru dalam koperasi NU. Diantaranya ada asuransi, Bank Syariah hingga tempat-tempat belanja. Ada sembilan fungsi dari Kartu Koperasi Mabadiku Bintang Sembilan diantaranya, untuk database digital, Transaksi perbankan, kartu tabungan, transfer TKI maupun TKW dan asuransi jiwa, kesehatan dan pendidikan,” ujar Irnanda.
Kartu ini juga membantu pengurus NU tidak akan ribet ngurusi masalah proposal dan hanya nodong alias minta-minta, sebab dengan adanya Kartu itu bisa mengumpulkan dari anggota NU, misalnya Rp 20.000/anggota, maka untuk 10 Juta warga NU di Jawa Timur dapat dikumpulkan Rp 20 Miliar uang itu kan dapat dijadikan Modal.” tegasnya.
Kontributor: Moh. Syafik, S.Ag

PCNU Magetan Gelar Pelantikan dan Launching Kartanu

Magetan, AULA
Kepengurusan Cabang NU Magetan masa khidmat 2012-2017 secara formal telah mendapat pengesahan dari PBNU. Hal tersebut dibuktikan dengan dilantiknya semua jajaran kepengurusan PCNU Magetan mulai dari Mustasyar, Syuriah dan Tanfidziyah oleh PWNU Jawa Timur pada hari Sabtu (12/01) di halaman Kantor PCNU Magetan.
Momen Pelantikan PCNU Magetan ini terasa istimewa karena dihadiri langsung Ketua Umum PBNU  Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA yang sekaligus memberikan taushiyah kepada segenap pengurus dan warga nahdliyin se Kabupaten Magetan. Tidak kurang dari 2000 warga nahdliyin memadati halaman dan ruangan komplek kantor PCNU Magetan, yang berduyun-duyun datang walaupun sejak sore diguyur hujan, hanya ingin menyaksikan prosesi pelantikan dan mendengarkan langsung taushiyah dari Ketua Umum PBNU ini.
Acara ini juga dihadiri Bupati Magetan Drs. H. Sumantri, MM dan segenap Muspida, Kepala Dinas di lingkup Pemkab Magetan, turut hadir juga Badan Otonom ditingkat Cabang, serta Pengurus MWCNU dan Ranting NU se-Kabupaten Magetan.
Bersamaan dengan Pelantikan Pengurus, dalam ke-sempatan ini juga diselenggarakan Launching Kartanu dan Gerakan Berkartanu bagi Pengurus NU disemua tingkatan, Banom dan warga Nahdliyin. Menandai Gerakan ini secara simbolis diserahkan Kartanu oleh Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA pada KH Manshur, M.Pd.I mewakili jajaran Tanfidziyah, K. Ahmad Shofwan mewakili jajaran Syuriah dan Drs. H. Sumantri, MM (Bupati Magetan) mewakili jajaran Mustasyar. Diungkapkan Ahmad Sudarto, S.Pd.I Sekretaris PCNU Magetan, “Program Kartanu ini, merupakan amanat Muktamar ke-32 Makassar untuk pembuatan data base Nahdliyyin, pendataan potensi warga sesuai dengan jenis kelamin, profesi dan tingkat pendidikan,” Pengadaan Kartanu ini, merupakan sebuah upaya penguatan komitmen berjam’iyyah (berorganisasi) dan antisipasi terhadap pihak luar.
Dalam taushiyahnya Kang Said (panggilan akrab Kiai Said) mengurai secara gamblang tentang Aswaja yang selama ini menjadi panutan amaliyah bagi warga Nahdliyyin yang akhir-akhir ini sering mendapat serangan dari  kaum wahhabi yang menyatakan bahwa amalan ubudiyah yang dilakukan warga Nahdliyyin bid’ah dan sesat. Tidak kurang dari 1,5 jam Kang Said menyampaikan taushiyah tentang kebenaran dan keshohihan ajaran Aswaja yang selama ini kita anut.
Kontributor: darly_04@yahoo.com

Sertifikasi Masjid Untuk Menghindari Sengketa


Jember, AULA
Terjadinya beberapa kasus sengketa kepemilikan masjid membuat miris banyak pihak. Sebagai tempat ibadah yang nota bene milik umat, masjid sebenarnya tidak perlu disengketakan, tapi kenyataannya tidak sedikit masjid yang menjadi rebutan warga atau antar oknum takmir. 
Itulah yang mendorong Lembaga Takmir Masjid Nadlatul Ulama (LTMNU) Jawa Timur menggelar Pelatihan Manajemen Masjid dan Sosialisasi Sertifikasi Tanah Masjid. 
“Sertifikasi tanah wakaf masjid itu salah satu tujuannya untuk menghindari masjid dari kemungkinan timbulnya sengketa,” tukas Ketua LTMNU Jawa Timur H Ali Mas’ud Kholqillah di sela-sela Pelatihan Manajemen Masjid dan Sosialisasi Sertifikasi Tanah Masjid di aula STAIN Jember, Sabtu (16/2).  
Ali Mas’ud menambahkan, pihaknya mendorong adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan tertib administrasi, khususnya terkait dengan sertifikasi tanah masjid. Sebab, kejelasan status tanah masjid juga akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi jamaah. 
Di samping itu, juga supaya jelas siapa pemilik masjid itu. “Sebab, seperti kita ketahui, karena ketidakpahaman pengurus masjid, tidak sedikit masjid NU beralih tangan kepada pihak lain, yang tidak sepaham dengan NU,” ulasnya sambil menjelaskan bahwa pihaknya saat ini tengah mendata jumlah masjid di Jawa Timur.
Di tempat yang sama, Ketua LTMNU Cabang Jember, H Muhammad Hasin menyatakan pihaknya siap memfasilitasi masyarakat yang ingin membuat sertifikat tanah masjid. 
“Kami siap mengkomunikasikan dengan notaris atau BPN untuk pembuatan sertifikat itu,” tukasnya. 
Pensiunan guru agama tersebut menambahkan, saat ini pihaknya tengah mendata jumlah masjid di Kabupaten Jember, yang diperkirakan mencapai 2500 buah. Dari pendataan itu, akan diketahui berapa jumlah masjid yang belum bersertifikat.  
“Kalau belum disertifikat, kita dorong, tapi juga terserah mereka,” urainya. 
Kontributor: Hasani PCNU Jember

PP LP Ma’arif NU: Pendidikan di NU Harus Dibenahi

Kendal, AULA
Ketua Pimpinan Pusat LP Ma’arif NU, Drs. H. Zainal Arifin Junaidi, MBA mengatakan persoalan pendidikan dilingkungan NU harus segera dibenahi. Menurutnya Pendidikan di NU saat ini dikelola banyak lembaga atau badan otonom sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengelolaannya.
Arifin Junaidi, tokoh Asal Kendal yang juga mantan Sekjen PBNU di era Gur Dur tersebut mengatakan hal itu saat memberikan materi dalam sosialisasi kurikulum 2013 yang digelar bersamaan bahtsul Masail Diniyah dan Seminar Pemberdayaan Pertambakan di MTs NU 09 Gemuh  Kendal, Ahad (17/2).
Lebih lanjut Arifin mencontohkan di lingkungan NU, TK dan PAUD dikelola oleh Muslimat NU, sedangkan madrasah diniyah diurusi oleh RMI. Sementara LP Ma’arifnya hanya mengurusi sekolah formal seperti MTs, MA, SMA, SMP dan SMK. “Untuk Perguruan Tinggi NU yang ngurusi sudah lain lagi, yaitu  LPTNU” terangnya.
Kondisi demikian menurut mantan sekretaris Dewan Syuro DPP PKB tersebut menyebabkan terjadinya tumpang tindih dalam pengelolaan pendidikan di NU. Ada unit pendidikan yang diurusi beberapa lembaga sementara ada unit pendidikan yang terbengkalai tidak terurusi. Jika kondisi demikian tidak segera dikoordinasikan dan dibenahi dikuatirkan pendidikan di NU semakin tidak kondusif.
Pada kesempatan tersebut Arifin juga memaparkan data bahwa jumlah sekolah di NU lebih banyak dibanding dengan jumlah sekolah di Muhamadiyah. Namun imagenya seolah-olah Muhamadiyah lebih unggul dalam bidang pendidikan, Padahal, sebenarnya tidak demikian keadaannya. Oleh karenanya sudah sepantasnya jika menteri Pendidikan sekarang dipegang oleh orang NU, Muhammad Nuh. “Sudah saatnya yang mayoritas yang memimpin dunia pendidikan kita, sehingga tau persoalan besar yang melilit dunia pendidikan kita” tegasnya.
Dalam sambutannya ketua PC NU Kendal KH. Muhammad Danial Royyan berharap agar PC LP Ma’arif NU Kendal dalam periode sekarang setidaknya bisa menambah satu SMK NU lagi. Ditandaskan pula bahwa kepala sekolah dilingkungan Ma’arif NU harus loyal terhadap PC LP Ma’arif NU sehingga bisa bersinergi didalam melaksanakan program.
Kontributor: Fahroji Kendal

Senin, 11 Maret 2013

Mengkritisi Fatwa MTA yang Miring


Judul: Meluruskan Doktrin MTA Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an di Solo
Penulis: Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Muara Progresif Surabaya
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: xiv+184 hlm; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-979-1353-33-5
Peresensi: Junaidi *)

Mengutarakan sebuah gagasan, fatwa, klaim, dan berbagai keputusan tentang suatu hukum, baik yang menyangkut hal-hal yang baik, buruk, halal, haram, taat, kafir, dan lain semacamnya harus berdasarkan pada dalil-dalil, referensi, literatur, dan berbagai rujukan yang secara ilmiah diakui kebenarannya. Jika hanya berdasarkan pada pendapat pribadi, maka jelas kurang bisa dibenarkan bahkan ditolak.

Namun, jika ada dasar-dasar yang kuat dan akurat demi kepentingan hidup bersama, maka sebuah gagasan, atau fatwa bisa diterima dan boleh diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Itupun masih dalam lingkup terbatas bagi mereka yang ingin mengikutinya tanpa ada paksaan apapun.

Di dalam agama Islam beda pendapat tentang suatu hukum di antara kalangan ulama boleh-boleh saja. Dan itu ada yang mengatakan sebagai rahmat, karena dengan perbedaan tersebut kita bisa lebih mudah tapi benar dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Namun sejauh manapun ulama dalam Islam beda pendapat itu, mereka memiliki sumber dan dalil-dalil yang kuat dan akurat sehingga bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya di depan publik.

Misalkan dalam buku ini beberapa fatwa yang dilontarkan oleh ketua Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Solo yang selalu mengatakan bahwa amaliah warga Nahdliyyin sesat. Berbagai amalan warga Nahdliyyin dianggap bid’ah. Bahkan apa yang diharamkan oleh Islam sebelumnya, mereka menghalalkan lalu mengharamkan lagi. Misalkan anjing, mereka menganggap halal karena di dalam Al-Quran dan Al-Hadits tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun selang beberapa waktu setelah mendapat kritikan, mereka tidak pernah demikian, padahal sudah ada banyak bukti yang nyata tentang fatwa tersebut (Hal. 67-70).

Dari sinilah tidak ada kejelasan. Berbagai klaim, fatwa, dan pendapat ketua MTA di Solo, ustadz Ahmad Sukina, dianggap telah melenceng dan bertolak belakang dengan berbagai amalan-amalan warga Nahdliyyin yang secara jelas sudah ada dasar dan patokan hukumnya. Buku ini akan mengupas dan meluruskan klaim, fatwa, dan pendapat MTA yang tidak dibarengi dengan dalil-dalil yang kuat dan akurat mengenai tindakan dan amalan warga Nahdliyyin.

Majelis Tafsir Al-Qur’an di Solo dengan terang-terangan memberikan suatu keputusan dan penafsiran tentang suatu hadits yang tidak didasarkan pada beberapa rujukan yang benar. Sehingga mereka dianggap membabi-buta dalam mengulas suatu hukum. Seperti amalan yang dilakukan oleh mayoritas warga Nahdliyyin, yaitu tentang shalat witir, tarawih, istisqa’, tahajjud, hajat, dan tentang pembolehan berzakat kepada non-Islam hingga tentang waktu wukuf di ‘Arafah (Hal. 135-171).

Juga disebutkan bahwa ketua MTA itu tidak memiliki dasar-dasar tentang tatacara membaca kitab turats (kitab kuning berbahasa arab yang tanpa makna dan harakat) yang secara umum dijadikan rujukan oleh para ilmuan dan ulama-ulama Islam dalam menetapkan hukum Islam. Selain itu pula, jika pimpinan MTA diajak berdialog enggan menyetujui dan mengelak dengan berbagai alasan. Lalu mengapa sebagian orang berani mengikutinya? Hal ini juga akan dibahas di dalam buku ini.

Jika mereka memang merasa benar dengan pendapatnya, setidaknya mereka mau untuk mempertanggungjawabkan dan menjelaskannya secara ilmiah di depan publik. Tapi kenyataannya mereka selalu menghindar jika diajak untuk berdialog untuk mencari titik temu pemahamannya tentang kebenaran dalil-dalilnya. Dari sinilah sudah jelas bahwa pemahaman yang mereka lontarkan adalah kurang valid dan tidak ada dalil yang jelas sehingga mereka selalu menolak ketika diajak berdialog secara ilmiah berdasarkan dalil-dalil yang kuat dan akurat.

Maka dari itulah, kita harus berhati-hati dalam mengikuti sebuah ajaran agar tidak masuk dalam jurang kesesatan. Dengan hadirnya buku ini diharapkan warga Nahdliyyin tidak resah dengan berbagai fatwa yang tidak ada sumber dan rujukannya yang jelas, termasuk klaim dan doktrin MTA di Solo yang tanpa dasar dan dalil yang cukup kuat bahkan tidak ada dalil yang kongkrit tentang pemahaman ajarannya. Begitu pula sebagai bahan perbandingan bagi pengikut MTA agar memahami dengan benar terhadap Al-Quran Al-Hadits, dan beberapa li-teratur ilmiah lainnya.

*) Peresensi adalah Ketua Bidang Keilmuan Ikatan Mahasiswa Sumenep (IKMAS) di Surabaya

Rabu, 06 Maret 2013

AULA Maret 2013


Bersih-Bersih NU dengan Ahlul Halli Wal Aqdi

Saat Konferensi Wilayah NU Jawa Timur mendatang akan menggunakan konsep Ahlul Halli Wal Aqdi atau sistem perwakilan. Dengan demikian pemilihan rais dan ketua tidak akan menggunakan pilihan langsung. Bila berhasil, dimungkinkan model ini menjadi pilihan saat muktamar kelak.

Ajang konferensi dalam rangka menata dan rencana kinerja Nahdlatul Ulama Jawa Timur sekaligus suksesi kepemimpinan akan segera digelar. Namun ada nuansa berbeda dari tradisi lima tahunan ini, yakni digunakannya metode Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) untuk menentukan jabatan rais dan ketua.
Dengan demikian, disamping skala prioritas dari amanat peserta konferensi kepada kepengurusan terbaru, pola suksesi dengan pendekatan Ahwal akan sangat menyita perhatian. Karena ini model baru dan belum pernah digunakan sebelumnya.
NU Jawa Timur memang seperti diakui banyak kalangan sebagai barometer NU tanah air. Dari sinilah banyak ide segar dan penuh inovasi dibahas, didiskusikan dengan sangat intensif serta pada gilirannya mendapatkan sambutan dari NU di Indonesia. “Ibarat Makkah, maka NU Jawa Timur adalah kiblat bagi NU di seluruh tanah air,” kata almarhum KH Endin Fachruddin Masthura suatu ketika.

Bersih Diri dengan Ahwa
Boleh jadi itu adalah klaim dan membanggakan. Namun pada saat yang sama, adalah sebuah tantangan untuk benar-benar menjadi pioner bagi kebaikan dan percontohan jam’iyah ini. Ahwal didedikasikan untuk tampil dan terpilihnya sosok pemimpin yang lebih bersih. Karena imbas dari demokrasi yang dianut negeri ini mensyaratkan proses pemilihan secara langsung. Dan “ongkos” yang harus dikeluarkan bagi calon pemimpin ternyata lumayan besar dan tinggi.
Dan ternyata, pemilihan langsung juga berimbas kepada pesta demokrasi di NU. Dalam ajang konferensi di beberapa PC maupun PWNU, ternyata sering terdengar adanya permainan uang atau riswah. Karena itu untuk konferensi mendatang pemilihan rais dan ketua tidak dilakukan secara langsung, namun dengan mendelegasikan kepada sejumlah orang pilihan. Konsep ini dikenal dengan Ahwal.
Mengapa harus Ahwa? Salah seorang konseptor Ahwa, H Abdul Wahid Asa menandaskan bahwa imbas pesta demokrasi yang mensyaratkan pemilihan calon pemimpin dengan pilihan langsung ternyata membawa “penyakit” yang lumayan akut. “Setiap proses pemilihan calon pemimpin harus disertai dengan uang,” katanya kepada Aula.
Wakil Ketua PWNU Jatim ini merasa “ongkos” yang harus dibayar dalam rangka  mensukseskan pesta demokrasi sangatlah mahal. “Mau jadi kepala desa saja harus membayar ratusan juta,” katanya geleng-geleng kepala. “Apalagi pilihan bupati, gubernur, calon anggota legislatif, pasti tidak ada yang gratis,” lanjutnya.
Dan celakanya, budaya penggunaan uang atau suap ini terjadi juga di NU. Riswah atau money politics itu juga sebagian terjadi pada konferensi di tingkat kabupaten maupun kota. Sehingga hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang bisa menjadi pemimpin. “Mereka yang jujur, lurus, dan amanah tidak akan bisa menjadi pemimpin,” kata salah seorang Rais PBNU, KH A Hasyim Muzadi suatu ketika.
Melihat gejala tidak sehat ini, PWNU Jawa Timur ingin mengawali untuk bersih-bersih dari dirinya sendiri. “Kita tidak mungkin menyuruh orang lain bersih kalau tidak dari diri sendiri,” kata Pak Wahid, sapaan akrab H Abdul Wahid Asa.
Apakah hal ini tidak bertentangan dengan mekanisme dan aturan di NU? Pak Wahid dengan sigap menandaskan bahwa penggunaan perwakilan atau Ahwa tidak bertentangan dengan aturan. Bahkan kalau diteliti, model pemilihan di NU adalah dengan pemilihan langsung dan musyawarah. “Kalimat musyawarah ini kita formulasikan dengan Ahwa,” tandasnya.
Dengan Ahwa, maka akan kecil kemungkinan akan terjadi riswah. “Ini juga sebagai wahana untuk memperkenalkan mekanisme pemilihan pucuk pimpinan yang dibenarkan dalam aturan organisasi,” lanjutnya.
Kendati demikian, bukan berarti sistem ini akan meniadakan sama sekali unsur riswah. Rais PCNU Jombang, KH Abd Nashir Fattah menandaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa Ahwal akan sepi dari unsur riswah. “Karena masih ada kemungkinan orang-orang yang menjadi anggota ahlul halli wal aqdi tidak bebas dari riswah,” terang kiai yang juga Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini.
Bahkan sejak awal PCNU Jombang mewacanakan mekanisme Ahwa. “PCNU Jombang sudah mengusulkan hal tersebut sejak konferwil yang lalu dan menjelang Muktamar Makassar, tetapi masih belum mendapat tanggapan yang baik,” tandasnya. 
Namun dibandingkan dengan pemungutan suara, saat ini Ahwa lebih bisa menghindari praktik riswah. Mekanisme ini bisa dipilih dengan pertimbangan akhaffu dlarurain atau memilih yang lebih ringan keburukannya.
Hal senada juga disampaikan Ketua PCNU Sumenep, H Pandji Taufik. “Formula Ahwa bukan terapi cespleng bagi upaya membersihkan diri dari money politics,” katanya. Namun Pak Panji menandaskan bahwa setidaknya dengan Ahwa, kemungkinan akan adanya unsur politik uang dapat diminimalisir.
Akan tetapi cara ini mendapat koreksi dari salah seorang Ketua PBNU, Slamet Effendy Yusuf. “NU itu organisasi yang memiliki aturan,” katanya. Ketua Umum PP GP Ansor dua periode ini menandaskan bahwa metode Ahwa tidak dibenarkan dalam AD/ART NU. “Kembalikan semua kepada aturan main,” tandasnya. Kalau memang ingin mengubah aturan pemilihan pucuk pimpinan, maka hendaknya dibahas dan diperjuangkan di forum tertinggi organisasi, yakni muktamar.
Terlepas dari itu semua, para pendahulu telah menggunakan Ahwa sebagai media untuk memilih calon pemimpin. Saat Muktamar di Situbondo, terpilihnya duet KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wahid adalah hasil implementasi Ahwa.
Namun Slamet Effendy Yusuf segera menimpali bahwa penggunaan Ahwa untuk Muktamar Situbondo karena memang dikehendaki muktamirin. “Pada saat pemandangan umum dari pengurus wilayah dan kiai berpengaruh, mayoritas menghendaki Ahlul Halli Wal Aqdi,” terangnya. “Sehingga saat itu juga diputuskan untuk menggunakan model Ahlul Halli Wal Aqdi untuk penentuan rais dan ketua umum,” sergahnya.
Bisa jadi, imbas demokrasi langsung yang dianut bangsa ini akhirnya memaksa banyak para pemimpin untuk berburu suara rakyat dengan riswah. Namun diharapkan, “penyakit” ini tidak sampai menggerogoti para aktifis jam’iyah. Mereka harus terus dikawal dengan sistem dan mekanisme yang memaksanya untuk menjadi orang bersih.
Tugas NU adalah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dan itu adalah tugas mulia.  Karena pekerjaan atau tugas mulia, hanya orang bersih saja yang bisa memerankan amanah itu dengan baik. Dan NU sudah sepatutnya menjadi bagian dari kalangan yang bersih. Bisakah formula Ahwa dijadikan solusi bagi upaya bersih-bersih ini? Kita saksikan saat Konferwil NU Jawa Timur mendatang. (saifullah)


Jumat, 01 Maret 2013

Sembilan Karya Monumental Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari


KH Hasyim Asyari dikenal tidak semata sebagai pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama. Lebih dari itu, Rais Akbar PBNU ini juga memiliki beberapa kitab yang tersimpan dengan rapi dan telah dikodifikasi secara apik khususnya oleh sang cucu, alm KH Ishom Hadzik.

Di antara karya pendiri Pesantren Tebuireng Jombang ini adalah sebagai berikut. Namun demikian masih ada beberapa kitab lagi yang belum sempat terpublikasi. Dalam waktu yang tidak lama, semoga akan banyak para pegiat manuskrip atau juga para kerabat dan peneliti yang berkenan menggali dan menerbitkan karya beliau.

1. At-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Kitab ini selesai ditulis pada Senin, 20 Syawal 1260 H dan diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Berisikan pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta bahaya memutus tali persaudaraan.

2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar beliau tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal tentunya memiliki makna khusus. Mengapa akhirnya mengikuti jejak pendapat imam empat tersebut? Temukan jawabannya di kitab ini.

4. Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat edisi 15 Agustus 1959.

5. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini tak akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.

6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin. Biografi dan akhlak baginda Nabi Muhammad SAW ada di kitab ini. Kiai Hasyim juga menyarankan agar umat Islam senantiasa mencintai baginda nabi dengan mengirimkan shalawat dan tentu saja mengikuti ajarannya.

7. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Merupakan kitab yang menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.

8. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi. Kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syaikh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum  karya Syaikh Burhanuddin al-Zarnuji dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syaikh Ibnu Jamaah.

9. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Syuruth al-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab ini seakan menemukan relevansinya khususnya pada perkembangan mutaakhir lantaran mampu memberikan penegasan antara sunnah dan bid’ah. Kondisi akhir jaman dengan problematikan yang mengi-ringinya juga disampaikan oleh hadratus syaikh.

Setidaknya ada 14 karya dari Kiai Hasyim yang sudah diterbitkan. Namun demikian masih ada beberapa manuskrip lagi yang belum diterbitkan. Ini mengindikasikan bahwa beliau adalah kiai produktif dan memiliki kedalaman ilmu.  s@if