Selasa, 03 Agustus 2010

Sahih Al-Bukhari, Benarkah Tidak Sahih Lagi?

Oleh: Alvian Iqbal Zahasfan

Agustus 2009 lalu situs Republika Online, http://www.republi ka.co.id/berita/68251/Prof_Dr_ Muhibbin_Hadis_Palsu_dan_Lemah_ dalam_Shahih_Bukhari(10/8/2009) menurunkan sebuah wawancara dengan Prof Dr Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang. Isinya mempersoalkan kitab Sahih al-Bukhari. Wawancara itu menarik untuk ditanggapi mengingat respon dari pembaca cukup beragam, dari yang Ilmiah sampai yang tak layak untuk dikunyah.

Sejarah ilmu hadis mencatat ada beberapa Huffadz atau ahli hadis yang mempersoalkan hadis-hadis yang termuat dalam Sahih al-Bukhari. Sebut saja misalnya Imam Abul Hasan ad-Daruquthni (385 H/995 M) dalam kitabnya at-Tatabbu’, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (401 H), Abu Ali al-Ghassani (498 H/1104 M). Mereka banyak melemparkan kritik ilmiah kepada hadis-hadis al-Bukhari. Namun kritikan mereka pada empat abad berikutnya ditanggapi oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1449 M).

Jadi secara ilmiah, kajian pro kontra kesahihan hadis-hadis al-Bukhari sudah klasik dan telah banyak dijawab oleh ulama klasik. Oleh karena itu, seseorang yang mengkaji polemik ini hendaklah merujuk kepada sumber klasik juga. Setidaknya kitab Hadyus Sari (Muqaddimah Fathul Bari fi Syarhi Sahihil Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar mengulas panjang lebar tentang kitab Sahih al-Bukhari. Seperti latar belakang penyusunannya, penamaan, metodologi dan sebagainya. Ada sepuluh pasal di dalamnya. Diantaranya pasal kedelapan yang mengupas kritikan para ahli hadis (baca: kritikus hadis) terhadap Sahih al-Bukhari. Dan kritikan-kritikan itu diurai dengan apik oleh Imam Ibnu Hajar.

Adapun pendapat Prof. Dr. Muhibbin MAg. yang menyatakan dalam wawancaranya bahwa ditemukan hadis-hadis dhaif (lemah) bahkan hadis maudhu’ (palsu) di dalam Sahih al-Bukhari, menurut hemat penulis hal ini merupakan suatu kesimpulan yang tampak tergesa-gesa dan terkesan arogan.

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan di sini. Pertama, perbedaan pendapat tentang kesahihan kitab Bukhari telah dijawab oleh pakar hadis kenamaan yakni Imam Ibnu Hajar al-Asqali dalam karyanya Hadyus Sari (pengantar kitab Fathul Bari).

Kedua, sekalipun pro kontra kesahihan hadis-hadis Bukhari terjadi di kalangan para ahli hadis, namun tidak dijumpai dari para pakar hadis yang diakui kapabilitas dan kre-dibilitasnya menyatakan bahwa ada hadis maudhu’ atau palsu dalam Sahih Bukhari. Paling jauh para kritikus hadis hanya menilai dhaif.

Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar menukil sebuah riwayat dari Imam Abu Ja’far al-Uqaili (322 H/934 M), ketika Imam Bukhari menyelesaikan kitabnya (Sahih Bukhari) ia menyodorkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan ulama ktirikus hadis lainnya, mereka menilainya sahih kecuali empat hadis.

Ketiga, Imam Ibnus Sholah (643 H/1245 M) dalam kitab Ulumul Hadis (Muqaddimah Ibnus Sholah) menukil ijma’ para ulama bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah kitab Sahih al-Bukhari.

Keempat, penamaan pribadi yang diberikan oleh Imam al-Bukhari terhadap kitab kumpulan hadisnya—yang kemudian terkenal atau disingkat oleh khalayak dengan Sahih (al)Bukhari—adalah al-Jami’ as-Sohih al-Musnad al-Mukhtashor min Hadisi Rasulillah shallahu alaihi wa sallam wa Sunnahi wa Ayyamihi.

Jika diamati dari penamaan ini, Imam al-Bukhari hendak menyatakan bahwa kitabnya berisi kumpulan hadis-hadis sahih. Secara tidak langsung ia juga mempertaruhkan tanggung jawabnya kepada Nabi saw dan umat Islam jika didapati menyantumkan hadis-hadis palsu yang kelak diamalkan umat tanpa melalui penelitian terlebih dahulu.

Sementara itu jika benar terdapat hadis palsu yang dimuat oleh Imam al-Bukhari dengan sengaja dalam kitabnya maka secara otomatis ia telah memesan kapling tanah di neraka. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Prof Dr Muhibbin MAg pada akhir wawancaranya: “Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man kadzdzaba alayya m-ta’ammidan fal yatabawwa’ maq-’adahu minan nar. Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi Saw. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis”.
Adapun alasan-alasan dan bukti ilmiah yang diajukan oleh Prof. Muhibbin untuk memperkuat argumennya bahwa terdapat hadis dhaif dan palsu dalam Sahih al-Bukhari, diantaranya adanya kontradiksi hadis dengan Alquran, kontradiksi antar hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dalam kitabnya, kontradiksi dengan fakta sejarah, adanya perawi-perawi yang dhaif, mungkar (semi pembohong) dan kadzdzab (pembohong), adanya hadis yang bersifat prediktif atau ramalan yang bersifat politis dan mengandung fanatisme golongan, adanya sanad yang munqothi’ (terputus) dan lain sebagainya. Tentu saya kira bukan di ruang ini untuk menanggapinya satu persatu.

Secara global, jika ditinjau secara filosofis (mendalam), ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama: Pertama, bagaimana kita memahami hadis yang dzahirnya bertentangan dengan Alquran atau antarhadis atau dengan fakta historis. Ilmu (diskursus) kritik hadis menawarkan; al-jam-u wat taufiq (kompromisasi perselisihan), naskh manskuh (peniadaan hukum atas hukum lainnya), tarjih (mengunggulkan salah satu) dan tawaqquf (stagnan/mendiamkan).

Sedangkan perangkat dalam konsep al-jam-u wat taufiq diantaranya ta’wil (pemalingan teks dari makna dzahirnya ke makna lain yang sesuai kaidah), kajian kontekstual hadis secara sosio-geografis, sosio-kultural, sosio-historis, sosio-medis, sosio-psikologis, dll. Seperti dalam hadis-hadis tentang “amal yang paling utama adalah…”

Kedua, bagaimana kita memahami sanad hadis dan perawi yang bermasalah di Sahih al-Bukhari sesuai dengan kaidah jumhur (mayo-ritas) ulama. Sebab laiknya kaidah yang digunakan oleh Imam ad-Daruquthni untuk mengkritik Sahih al-Bukhari menurut Ibnu Hajar lemah dan melawan jumhur ulama kritikus hadis.

Hadis yang Diklaim Palsu;

1- Pernikahan Rasul dengan Maimunah
Hadis pernikahan Rasul SAW dengan bunda Maimunah ketika ihram (annan nabi tazawwaja maimunata wahuwa muhrimun) oleh para ulama seperti Imam as-Suyuthi (911 H) dan an-Nawawi (676 H) ditakwilkan dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah). Artinya Nabi menikahinya di kawasan Tanah Haram bukan ketika ihram. Atau hal itu merupakan salah satu kekhususan Nabi.

2- Hadis Mi’raj
Mengenai masalah hadis mi’raj, menurut Andi Rahman MA.—salah satu dosen pengajar Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat—mirip dengan hadis tentang “pembedahan dada Rasulullah”. Ia memahaminya sebagai peristiwa yang terjadi dua kali, yaitu saat Rasulullah masih kecil (dirawat bunda Halimatus Sa’diyah) dan sesaat sebelum mi’raj.

3- Menangisi Mayit
Terkait dengan hadis “mayit diazab akibat tangisan keluarganya yang masih hidup”, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah) menakwilkan “in awsho bihi” (mayit akan diadzab jika ia berwasiat untuk ditangisi secara berlebihan). Di beberapa tempat terdapat tradisi menangisi mayat yang menjadi barometer kebaikan seseorang. Bahkan ada orang yang secara profesional menyediakan jasa “tangisan” atas mayit.

Kajian Sanad
Jika dikaji per sanad, dalam Shahih al-Bukhari ada banyak sanad dhaif. Namun menilai hadis mesti mempertimbangkan jalur-jalur sanad lainnya. Imam al-Bukhari melakukan tadlis, memuat sanad yang mu’allaq dan perawi yang dhaif bahkan sangat dhaif.
Padahal sejatinya jika ditilik secara holistik, perawi dhaif di Sahih al-Bukhari terdapat di sanad mutaba’at/syawahid (sekunder), bukan di hadis ushulnya (primer). Hadis mu’allaqnya, didapati sanad muttashilnya di jalur lain (hadis lain). Tadlisnya, dijelaskan di sanad dan hadis lain, termasuk tadlis Al-Bukhari terhadap gurunya Muhammad bin Yahya yang dijelaskan di kitab al-Tarikh dsb.

Terkait kesahihan sebuah hadis sebagai suatu hasil ijtihad ulama yang meniscayakan perbedaan. Maka dapat dipahami bahwa ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad. Seperti sanad sebuah hadis di Sahih al-Bukhari, boleh jadi perawi A menilai sahih, di waktu yang sama perawi B menilainya dhaif. Sebagian kritikus hadis menyatakan bahwa perbedaan penilaian atas seorang perawi adalah hal yang sangat sering terjadi. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan beberapa hadis yang ada dalam Sahih Muslim dalam kompilasi hadis palsunya.

Hadis “innamal a’malu binniyat” ada banyak jalur sanadnya. Sebagian sahih, sebagian dhaif dan ada juga yang palsu. Menilai hadis ini hendaklah melihat seluruh sanad yang ada, sehingga –secara akurat dan holistik—kita dapat menyimpulkan dengan tepat apakah hadis tersebut Sahih, hasan, dhaif atau palsu. Tapi, jika kita hanya mengkaji satu sanad “innamal a’malu binniyat” yang palsu, maka kita akan menyatakan kualitas sanad hadis ini palsu. Padahal, belum (baca: bukan) berarti kualitas hadis ini palsu.

Kesimpulannya, ulama menyatakan bahwa Sahih al-Bukhari dan Muslim adalah kitab yang paling sahih setelah Alquran. Sekalipun hal ini tidak menafikan adanya sanad yang dhaif dalam keduanya dan juga tidak menegasikan adanya hadis sahih di luar keduanya.
Lebih elok, kita berharap semoga kajian ini tidak sebatas wacana yang berada di awang-awang yang cenderung melupakan substansi hadis sebagai sumber pedoman umat dalam mengarungi samudera kehidupan menuju pulau kedamaian nun abadi. Semoga! (AULA Juni 2010)

*Penulis adalah Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar