Tampilkan postingan dengan label Dirasah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dirasah. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Juli 2011

IKHTIAR MENAMBAH KECERDASAN ANAK (Belajar Dari Ulama Salaf)

Oleh: Muhyiddin Abdushshomad *)

A.Mukaddimah

Akal adalah salah satu karunia Allah SWT yang sangat berharga yang diberikan kepada manusia. Potensi yang dimiliki akal itu mengantarkan manusia menjadi makhluk yang cerdas, dapat mengetahui segala macam persoalan, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk Allah SWT yang lain.

Namun potensi akal tersebut itu tidak serta merta menjadikan manusia cerdas dan memiliki pengetahuan. Tetap harus ada usaha untuk mencapai kecerdasan tersebut, memberdayakan akal disamping mengasahnya dengan belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Tanpa itu, maka potensi yang dimiliki tersebut menjadi sia-sia bahkan akan menjatuhkan manusia ke dalam posisi yang sangat rendah.

Dalam hal mengasah kecerdasan ini, kita bisa belajar dari ulama salaf. Sejarah telah mencatat bahwa generasi Islam terdahulu telah banyak melahirkan manusia-manusia istimewa dengan kecerdasan dan pengetahuan yang luar biasa. Ulama-ulama salaf panutan kita semua adalah orang-orang yang dikaruniai oleh Allah SWT kecerdasan di atas rata-rata sehingga mereka mampu untuk membuat karya-karya yang spektakuler, yang dijadikan rujukan dari satu generasi ke generasi yang lain sampai saat ini.

Untuk sedikit mengetahui sejauh mana kecerdasan dan kemampuan ulama salaf di dalam menyerap berbagai ilmu yang mereka pelajari, simaklah fragmen di bawah ini:

Di antara ulama salaf yang terkenal kecerdasannya ialah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Ia adalah salah seorang tokoh ulama’ salaf yang mempunyai otak cemerlang. Kala itu Muhammad bin Idris berumur 7 tahun sudah mampu menghafal keseluruhan isi al-Qur’an tanpa sedikitpun ada kesalahan (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 32). Muhammad bin Idris melanjutkan mencari ilmu di Madinah kepada Imam Malik bin Anas pada umur 13 tahun. Pada saat menghadap Imam Malik bin Anas sembari bersimpuh dan menundukkan kepala sebagai simbol kesantunannya. Muhammad bin Idris menyampaikan maksud dan tujuannya datang kepada beliau sembari berkata, “Kami datang dari Makkah menghadap tuan guru bermaksud untuk menimba ilmu”. Jawab Imam Malik, “Dengan senang hati, aku menerima kehadiranmu, mungkin engkau perlu mencari teman untuk mencatat dan membacakan kitab Muwattha’ karanganku.” Lalu Muhammad bin Idris menjawab, “Maaf, Tuan Guru. Kami sudah hafal kitab karangan Tuan Guru tersebut.” Imam Malik menimpali, “Jika begitu, coba engkau baca!” Maka Muhammad bin Idris membaca kitab Muwattha’ (kitab yang memuat 3676 Hadits dengan sanadnya) secara hafalan di luar kepala. Setelah jelas bagi Imam Malik bukti hafalnya Muhammad bin Idris akan kitab Muwattha’ secara utuh, Imam Malik melanjutkan menguji Muhammad bin Idris dengan mencecar berbagai pertanyaan hukum yang pelik, beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Muhammad bin Idris semuanya dijawab dengan tepat dan benar. Imam Malik berdecak kagum sambil berkomentar “Luar biasa, sebenarnya engkau sudah layak menjadi seorang Qadhi (pakar hukum)”. Padahal kala itu Muhammad bin Idris masih berumur 13 tahun. (Manaqib al-Syafi’i, juz. 1, hal. 100 dan 101).

Dan masih banyak lagi tokoh ulama salaf yang memiliki kecerdasan serta penguasaan ilmu luar biasa, bahkan multi disiplin ilmu. Di antara mereka selain ahli agama juga ahli matematika, filsafat, kimia, kedokteran dan semacamnya. Mereka inilah contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan yang sukses dalam belajar.

B.Ikhtiar Menambah Kecerdasan Anak

Kecerdasan yang dimiliki ulama salaf bukan sesuatu yang didapat secara instan. Tetapi dengan usaha yang sungguh-sungguh, baik lahir ataupun batin.

1. Ikhtiar Lahiriyah

Di antara usaha lahiriyah yang mereka lakukan adalah:

a). Menjaga Kesehatan

Di dalam proses pembelajaran diperlukan kesehatan jasmani bagi seorang pembelajar karena fisik yang terganggu kesehatannya akan mengurangi kecerdasan seseorang. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk melestarikan kesehatan. Selain dengan mengatur pola makan, diperlukan olah raga agar fisik tetap dalam kondisi fit. Menurut Dr Nahrawi Abdussalam, Imam Syafi’i telah memberikan teladan kepada kita untuk senantiasa berolah raga guna menjaga kesehatan. (Al-Imam al-Syafi’i, hal. 35).

b).Mengatur Pola Makan dan Tidur

Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyatakan: “Bagi pembelajar dianjurkan mengatur pola makan dan minum, karena kenyang itu menjadikan malas untuk beribadah dan menambah berat badan. Di antara manfaat mengatur pola makan ialah kesehatan fisik dan mencegah dari berbagai macam penyakit”.

Yang dimaksud mengatur pola makan adalah makan secukupnya saja sekadar memenuhi kebutuhan asupan gizi dalam tubuh, dan yang dianjurkan ialah menghindari makan sampai terlalu kenyang. Wujudnya yang paling praktis adalah dalam bentuk puasa sunnah. Jadi, seorang pembelajar sangat dianjurkan rajin berpuasa, karena puasa itu menyehatkan.

Barang tentu anjuran untuk mengurangi makan dan tidur tidak ditujukan kepada anak yang lazimnya belum mampu melakukannya seperti anak yang masih dalam usia balita.

c). Mengkonsumsi Makanan yang Menguatkan Fungsi Otak.

Para ulama menganjurkan untuk mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang menguatkan fungsi otak agar mudah menerima pelajaran dengan baik. Makanan tersebut adalah zabib, madu, dan lubban.

Kata Imam al-Zuhri (51-123 H), “Barangsiapa yang ingin mudah di dalam menghafal Hadits maka hendaklah sering makan zabib (kismis) 21 biji setiap pagi” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 20).

Diriwayatkan bahwa Imam al-Zuhri suka minum madu dan berkata bahwa, “Madu itu mencerdaskan.” (Al-Adab al-Syar’iyyah, juz. III, hal. 22).

Kata Saiyidina Ali Karromallahu Wajhah, “Biasakan engkau makan lubban (sejenis getah) karena ia menguatkan jantung dan menghilangkan sifat pelupa.”

d). Memaksimalkan Semua Potensi Otak

Jika kita mempelajari karya ulama terdahulu, dalam berbagai macam disiplin ilmu yang mereka kembangkan, akan ditemukan dua bentuk penyajian, yakni dalam bentuk narasi dan gubahan syair (puisi). Pada pembahasan ilmu tauhid, fiqh, dan sebagainya dapat kita temukan dua bentuk penyajian ini. Bahkan disiplin ilmu yang rumit pun semisal nahwu, sorof, balaghah, mantiq dan lainnya, mereka gubah dalam bentuk syair (puisi) sehingga dapat menumbuhkan semangat, kebersamaan, dan terutama adalah suasana gembira dalam belajar, karena bisa dilantunkan dengan aneka lagu dan irama yang digemari pembelajar.

Dalam teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan yang memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan emosi, perasaan seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengelola data seputar sains, bisnis dan pendidikan. Para ulama terdahulu telah mampu mengkolaborasi antara materi ilmu pengetahuan dengan seni dalam waktu yang bersamaan.

2. Ikhtiar Batin

Seorang muslim tentu tidak hanya mengandalkan usaha lahiriyah semata, tetapi ikhtiar batin selalu dilaksanakan sebagai perwujudan keimanannya kepada Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh ulama salaf, sebagai rahasia sukses mereka membentuk individu yang memiliki kecerdasan luar biasa.

a). Banyak beribadah dan menghindari maksiat

Ibadah kepada Allah SWT tidak hanya sebagai sebuah kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan manusia, untuk kebaikan hidupnya di dunia dan akhirat. Di antara manfaat ibadah itu adalah sebagai nutrisi otak secara spiritual serta membersihkan hati dan pikiran. Jika pikiran sudah bersih maka ilmu akan dengan mudah terekam dalam memori otak kita.
Sementara al-Zarnuji seorang ahli ilmu pendidikan yang menjadi panutan kalangan pesantren memberi petunjuk dalam usaha meningkatkan kecerdasan seperti di bawah ini.

“Mengatur pola makan, shalat malam serta membaca Al-Qur’an menjadi sebab cepat hafal pelajaran” (Ta’lim al-Muta’allim, hal 41)

b). Berdo’a
Nabi SAW menyebutkan bahwa do’a adalah senjata orang yang beriman. Ini artinya, dalam setiap usahanya seorang mukmin tidak cukup hanya melakukan ikhtiar lahiriyah saja, tetapi juga harus berdo’a. Termasuk juga ikhtiar agar diberikan kecerdasan dan dibukakan fikiran. Setiap saat dan setiap waktu meminta kepada Allah SWT dimudahkan dalam belajar. Khususnya berdo’a pada malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud.

Telah banyak do’a-do’a yang diajarkan ulama salaf. Di antaranya adalah:

Saiyid Hasan bin Shalih al-Bahar berkata, “Untuk kecerdasan dan kekuatan ingatan bacalah doa berikut ini:

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu kecerdasan sebagaimana kecerdasan para Nabi, kekuatan hafalan sebagaimana hafalan para Rasul, dan mendapatkan ilham sebagaimana malaikat muqarrabin. Ya Allah, kayakanlah aku dengan ilmu, hiasilah diriku dengan sikap santun, muliakanlah aku dengan takwa dan elokkanlah hidupku dengan kesehatan lahir dan batin, Ya tuhan yang Maha Pengasih.” (Al-Manhaj al-Sawiy, hal. 233). Dibaca 3 kali setiap setelah shalat.

Syaikhona Cholil Bangkalan memberikan ijazah do’a yang harus dibaca oleh orang tua untuk anak-anaknya:

“Ya Allah, jadikanlah anak-anakku termasuk orang yang berilmu dan orang yang baik dan janganlah Engkau jadikan aku dan mereka termasuk orang-orang yang sengsara”. Dibaca 3 kali setiap setelah sholat.

Kecintaan orang tua kepada alim-ulama juga merupakan do’a. Di dalamnya terkandung harapan agar anak-anaknya kelak bisa men-jadi seperti ulama tersebut. (Mutiara Nasehat, KH. Abdullah Faqih, hal. 64-65).

C. Penutup

Setelah semua ikhtiar ini dilaksanakan, semua keputusan akhir kembali kepada Allah SWT. Manusia hanya berusaha, Allah SWT yang menentukan. Namun Allah SWT pasti akan melihat dan mempertimbangkan ikhtiar dan kesungguhan hamba-Nya. Ini adalah janji Allah SWT kepada hamba-Nya yang mau berusaha. Wallahu a’lam.q

*) Rais Syuriah PCNU Jember dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Antirogo Jember

Selasa, 03 Agustus 2010

Sahih Al-Bukhari, Benarkah Tidak Sahih Lagi?

Oleh: Alvian Iqbal Zahasfan

Agustus 2009 lalu situs Republika Online, http://www.republi ka.co.id/berita/68251/Prof_Dr_ Muhibbin_Hadis_Palsu_dan_Lemah_ dalam_Shahih_Bukhari(10/8/2009) menurunkan sebuah wawancara dengan Prof Dr Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang. Isinya mempersoalkan kitab Sahih al-Bukhari. Wawancara itu menarik untuk ditanggapi mengingat respon dari pembaca cukup beragam, dari yang Ilmiah sampai yang tak layak untuk dikunyah.

Sejarah ilmu hadis mencatat ada beberapa Huffadz atau ahli hadis yang mempersoalkan hadis-hadis yang termuat dalam Sahih al-Bukhari. Sebut saja misalnya Imam Abul Hasan ad-Daruquthni (385 H/995 M) dalam kitabnya at-Tatabbu’, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (401 H), Abu Ali al-Ghassani (498 H/1104 M). Mereka banyak melemparkan kritik ilmiah kepada hadis-hadis al-Bukhari. Namun kritikan mereka pada empat abad berikutnya ditanggapi oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1449 M).

Jadi secara ilmiah, kajian pro kontra kesahihan hadis-hadis al-Bukhari sudah klasik dan telah banyak dijawab oleh ulama klasik. Oleh karena itu, seseorang yang mengkaji polemik ini hendaklah merujuk kepada sumber klasik juga. Setidaknya kitab Hadyus Sari (Muqaddimah Fathul Bari fi Syarhi Sahihil Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar mengulas panjang lebar tentang kitab Sahih al-Bukhari. Seperti latar belakang penyusunannya, penamaan, metodologi dan sebagainya. Ada sepuluh pasal di dalamnya. Diantaranya pasal kedelapan yang mengupas kritikan para ahli hadis (baca: kritikus hadis) terhadap Sahih al-Bukhari. Dan kritikan-kritikan itu diurai dengan apik oleh Imam Ibnu Hajar.

Adapun pendapat Prof. Dr. Muhibbin MAg. yang menyatakan dalam wawancaranya bahwa ditemukan hadis-hadis dhaif (lemah) bahkan hadis maudhu’ (palsu) di dalam Sahih al-Bukhari, menurut hemat penulis hal ini merupakan suatu kesimpulan yang tampak tergesa-gesa dan terkesan arogan.

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan di sini. Pertama, perbedaan pendapat tentang kesahihan kitab Bukhari telah dijawab oleh pakar hadis kenamaan yakni Imam Ibnu Hajar al-Asqali dalam karyanya Hadyus Sari (pengantar kitab Fathul Bari).

Kedua, sekalipun pro kontra kesahihan hadis-hadis Bukhari terjadi di kalangan para ahli hadis, namun tidak dijumpai dari para pakar hadis yang diakui kapabilitas dan kre-dibilitasnya menyatakan bahwa ada hadis maudhu’ atau palsu dalam Sahih Bukhari. Paling jauh para kritikus hadis hanya menilai dhaif.

Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar menukil sebuah riwayat dari Imam Abu Ja’far al-Uqaili (322 H/934 M), ketika Imam Bukhari menyelesaikan kitabnya (Sahih Bukhari) ia menyodorkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan ulama ktirikus hadis lainnya, mereka menilainya sahih kecuali empat hadis.

Ketiga, Imam Ibnus Sholah (643 H/1245 M) dalam kitab Ulumul Hadis (Muqaddimah Ibnus Sholah) menukil ijma’ para ulama bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah kitab Sahih al-Bukhari.

Keempat, penamaan pribadi yang diberikan oleh Imam al-Bukhari terhadap kitab kumpulan hadisnya—yang kemudian terkenal atau disingkat oleh khalayak dengan Sahih (al)Bukhari—adalah al-Jami’ as-Sohih al-Musnad al-Mukhtashor min Hadisi Rasulillah shallahu alaihi wa sallam wa Sunnahi wa Ayyamihi.

Jika diamati dari penamaan ini, Imam al-Bukhari hendak menyatakan bahwa kitabnya berisi kumpulan hadis-hadis sahih. Secara tidak langsung ia juga mempertaruhkan tanggung jawabnya kepada Nabi saw dan umat Islam jika didapati menyantumkan hadis-hadis palsu yang kelak diamalkan umat tanpa melalui penelitian terlebih dahulu.

Sementara itu jika benar terdapat hadis palsu yang dimuat oleh Imam al-Bukhari dengan sengaja dalam kitabnya maka secara otomatis ia telah memesan kapling tanah di neraka. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Prof Dr Muhibbin MAg pada akhir wawancaranya: “Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man kadzdzaba alayya m-ta’ammidan fal yatabawwa’ maq-’adahu minan nar. Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi Saw. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis”.
Adapun alasan-alasan dan bukti ilmiah yang diajukan oleh Prof. Muhibbin untuk memperkuat argumennya bahwa terdapat hadis dhaif dan palsu dalam Sahih al-Bukhari, diantaranya adanya kontradiksi hadis dengan Alquran, kontradiksi antar hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dalam kitabnya, kontradiksi dengan fakta sejarah, adanya perawi-perawi yang dhaif, mungkar (semi pembohong) dan kadzdzab (pembohong), adanya hadis yang bersifat prediktif atau ramalan yang bersifat politis dan mengandung fanatisme golongan, adanya sanad yang munqothi’ (terputus) dan lain sebagainya. Tentu saya kira bukan di ruang ini untuk menanggapinya satu persatu.

Secara global, jika ditinjau secara filosofis (mendalam), ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama: Pertama, bagaimana kita memahami hadis yang dzahirnya bertentangan dengan Alquran atau antarhadis atau dengan fakta historis. Ilmu (diskursus) kritik hadis menawarkan; al-jam-u wat taufiq (kompromisasi perselisihan), naskh manskuh (peniadaan hukum atas hukum lainnya), tarjih (mengunggulkan salah satu) dan tawaqquf (stagnan/mendiamkan).

Sedangkan perangkat dalam konsep al-jam-u wat taufiq diantaranya ta’wil (pemalingan teks dari makna dzahirnya ke makna lain yang sesuai kaidah), kajian kontekstual hadis secara sosio-geografis, sosio-kultural, sosio-historis, sosio-medis, sosio-psikologis, dll. Seperti dalam hadis-hadis tentang “amal yang paling utama adalah…”

Kedua, bagaimana kita memahami sanad hadis dan perawi yang bermasalah di Sahih al-Bukhari sesuai dengan kaidah jumhur (mayo-ritas) ulama. Sebab laiknya kaidah yang digunakan oleh Imam ad-Daruquthni untuk mengkritik Sahih al-Bukhari menurut Ibnu Hajar lemah dan melawan jumhur ulama kritikus hadis.

Hadis yang Diklaim Palsu;

1- Pernikahan Rasul dengan Maimunah
Hadis pernikahan Rasul SAW dengan bunda Maimunah ketika ihram (annan nabi tazawwaja maimunata wahuwa muhrimun) oleh para ulama seperti Imam as-Suyuthi (911 H) dan an-Nawawi (676 H) ditakwilkan dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah). Artinya Nabi menikahinya di kawasan Tanah Haram bukan ketika ihram. Atau hal itu merupakan salah satu kekhususan Nabi.

2- Hadis Mi’raj
Mengenai masalah hadis mi’raj, menurut Andi Rahman MA.—salah satu dosen pengajar Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat—mirip dengan hadis tentang “pembedahan dada Rasulullah”. Ia memahaminya sebagai peristiwa yang terjadi dua kali, yaitu saat Rasulullah masih kecil (dirawat bunda Halimatus Sa’diyah) dan sesaat sebelum mi’raj.

3- Menangisi Mayit
Terkait dengan hadis “mayit diazab akibat tangisan keluarganya yang masih hidup”, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah) menakwilkan “in awsho bihi” (mayit akan diadzab jika ia berwasiat untuk ditangisi secara berlebihan). Di beberapa tempat terdapat tradisi menangisi mayat yang menjadi barometer kebaikan seseorang. Bahkan ada orang yang secara profesional menyediakan jasa “tangisan” atas mayit.

Kajian Sanad
Jika dikaji per sanad, dalam Shahih al-Bukhari ada banyak sanad dhaif. Namun menilai hadis mesti mempertimbangkan jalur-jalur sanad lainnya. Imam al-Bukhari melakukan tadlis, memuat sanad yang mu’allaq dan perawi yang dhaif bahkan sangat dhaif.
Padahal sejatinya jika ditilik secara holistik, perawi dhaif di Sahih al-Bukhari terdapat di sanad mutaba’at/syawahid (sekunder), bukan di hadis ushulnya (primer). Hadis mu’allaqnya, didapati sanad muttashilnya di jalur lain (hadis lain). Tadlisnya, dijelaskan di sanad dan hadis lain, termasuk tadlis Al-Bukhari terhadap gurunya Muhammad bin Yahya yang dijelaskan di kitab al-Tarikh dsb.

Terkait kesahihan sebuah hadis sebagai suatu hasil ijtihad ulama yang meniscayakan perbedaan. Maka dapat dipahami bahwa ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad. Seperti sanad sebuah hadis di Sahih al-Bukhari, boleh jadi perawi A menilai sahih, di waktu yang sama perawi B menilainya dhaif. Sebagian kritikus hadis menyatakan bahwa perbedaan penilaian atas seorang perawi adalah hal yang sangat sering terjadi. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan beberapa hadis yang ada dalam Sahih Muslim dalam kompilasi hadis palsunya.

Hadis “innamal a’malu binniyat” ada banyak jalur sanadnya. Sebagian sahih, sebagian dhaif dan ada juga yang palsu. Menilai hadis ini hendaklah melihat seluruh sanad yang ada, sehingga –secara akurat dan holistik—kita dapat menyimpulkan dengan tepat apakah hadis tersebut Sahih, hasan, dhaif atau palsu. Tapi, jika kita hanya mengkaji satu sanad “innamal a’malu binniyat” yang palsu, maka kita akan menyatakan kualitas sanad hadis ini palsu. Padahal, belum (baca: bukan) berarti kualitas hadis ini palsu.

Kesimpulannya, ulama menyatakan bahwa Sahih al-Bukhari dan Muslim adalah kitab yang paling sahih setelah Alquran. Sekalipun hal ini tidak menafikan adanya sanad yang dhaif dalam keduanya dan juga tidak menegasikan adanya hadis sahih di luar keduanya.
Lebih elok, kita berharap semoga kajian ini tidak sebatas wacana yang berada di awang-awang yang cenderung melupakan substansi hadis sebagai sumber pedoman umat dalam mengarungi samudera kehidupan menuju pulau kedamaian nun abadi. Semoga! (AULA Juni 2010)

*Penulis adalah Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat.

Minggu, 25 April 2010

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Oleh KH Muhyiddin Abdusshomad

PADA suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampak-kanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, “Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, “Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang ber-akibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab, 33)

1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya.” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menun-jukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-Abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2. Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (mempedulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong.” (Shahih al-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang di-kenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, “Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, “Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, “Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina’, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan “Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangan-nya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut. Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252)

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewa-jibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menye-babkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami.
Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya.
Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian.
Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang me-musuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.
Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik 'WAWASAN'

Penghentian Kehamilan Dalam Konteks Kesehatan Reproduksi (Tinjauan Sudut Pandang Agama)

September silam, Undang-Undang Kesehatan telah disahkan. Salah satu isi UU No. 36 Tahun 2009 ini adalah legalisasi aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana hukum aborsi atau penghentian kehamilan dalam persepektif agama? Simak ulasan Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim Drs H Hasjim Abbas, M.Hi

Pendahuluan

Beragam pandangan merespon tindakan yang bertujuan mengatur jarak kelahiran anak, upaya membatasi jumlah anak, mencegah terjadi kehamilan sama sekali, hingga tindakan menghalangi proses lanjut kehamilan (menghentikan kehamilan) dan terjadi terminasi hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan sesuai masa kehamilan lengkap dan bersifat alami. Polemik akan terus bergulir dipengaruhi oleh faktor hetero-genitas budaya, pandangan hidup, rujukan faham keagamaan dan landasan teori keilmuan sains. Wajar berkembang kontroversi persepsi terkait provokasi persalinan/kelahiran tak wajar yang dipaksakan.
Berbeda dengan tindakan ‘azel (coitus erectus) guna mencegah akar kehamilan lewat penggagalan konsepsi, termasuk ‘azel berindikasi ghilah agar produksi ASI tidak ter-ganggu oleh kehamilan berikutnya hingga usia baby mencapai dua tahun. Tindakan tersebut sepanjang disetujui oleh isteri boleh (mubah) dilakukan. Demikian pula praktek wa’du, yakni menghilangkan nyawa bayi yang terlahir hidup. Praktek wa’du tersebut yang membudaya pada komunitas Arab periode sebelum datang agama Islam (Jahiliyah) disorot oleh QS. al-Takwir: 8-9 sebagai pembunuhan yang tak beralasan (biadab). Untuk kedua tindakan itu telah diatur dalam hukum syari’at melalui nash (rumusan hukum tertulis), berikut sanksi moral keagamaan.
Pengaturan penghentian kehamilan melalui legislasi (perundang-undangan) agaknya disemangati oleh konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi tersebut berintikan hak perempuan sama dengan laki-laki dalam memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak. Regulasi dari pengaturan tersebut pasti mengundang reaksi penolakan karena tidak mempertimbangkan aspirasi hukum Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Kesan spontan pengaturan tersebut berorientasi pada watak individualisme dan bebas nilai dari negara-negara penggagas konvensi itu. World Health Organization (WHO) pantas dipersalahkan telah merelatifisasi alasan kesehatan mental emosional dan sosial terkait aborsi.
Tema aborsi sebagai fenomena sosial kemasyarakatan seharusnya disikapi dengan kearifan lokal. Menurut Prof. DR. Muladi (guru besar hukum pada Universitas Diponegoro) yang penting tidak melanggar norma agama.2 Bila substansi konvensi tersebut masih bermasalah di dalam negeri Indonesia, masih terbuka pengajuan keberatan, usul reservasi atau penundaan ratifikasi.

Konsep Hak Asasi Islam Terkait Aborsi

Keputusan melakukan aborsi atas gagasan pelaku wanita berstatus layang, janda atau isteri bila dipandang sebagai hak asasi pribadi bersangkutan dan dapat diputuskan secara bebas dan bertanggung-jawab, berarti telah mengindikasikan klaim hak dasar sepihak. Perkawinan, berkeluarga dan berketurunan (reproduksi) selama ini telah memasuki ranah deprivatisasi dengan berbagai norma hukum yang me-ngatur kelembagaannya.
Dalam pandangan hukum Islam tindakan aborsi atau dengan ungkapan penghalusan “penghentian kehamilan” setidaknya membenturkan hak asasi janin, hak suami, hak para kerabat dan hak masyarakat. Berikut dicoba uraikan akumulasi hak-hak asasi tersebut:

a) Hak asasi janin: Setiap janin berhak atas hidup berikut hak perlindungan untuk hidup. Hak asasi tersebut terkait jatidiri janin sebagai manusia (bani Adam) sebagai pengejawantahan martabat karamah insaniyah yang tersurat pada penegasan QS. al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautran, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.”
Berkat karamah insaniyah tersebut janin secara individual berpotensi siap mengemban mandat khilafah di atas permukaan bumi. Menghentikan kehamilan berakibat kematian yang dipaksakan. Perlakuan tersebut bertentangan dengan theologi keimanan, karena hak mengakhiri kehidupan makhluk merupakan wewenang Allah semata. Tidak kurang dari 26 unit ayat Al-Qur’an mengeksplisitkan dogma tersebut, utamanya QS. al-Furqan ayat 3: “....dan mereka tak kuasa mematikan, menghidupkan.... “
Demikian pula QS. al-Najm ayat 44: “Dan Dia-lah sesungguhnya yang mematikan dan menghidupkan”
Tindakan menghentikan kehamilan identik dengan menderivasi program penciptaan oleh Allah “falayughayyirunna khalqallah” (QS. al-Nisa’:119).
Hak atas hidup dan hak memperoleh perlindungan untuk hidup bagi janin telah memperoleh pe-ngakuan konsensus (ijmak) pakar hukum Islam lintas mazhab melalui landas pemikiran di balik perintah menunda pelaksanaan hukuman mati bagi seorang wanita hamil sampai ia melahirkan. Rasiologis penundaan adalah agar bayi dalam kandungan harus beroleh hak hidup sebagai hak asasinya, karena ia bukan subyek hukum yang harus ikut bertangung jawab atas perilaku ibunya. Konsensus fuqaha tersebut sejalan dengan konvensi internasional “Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil.” Konsensus dari kedua komunitas berbeda tersebut mengimplisitkan deprivatisasi aborsi atau penghentian kehamilan, bukan lagi merupakan hak asasi perempuan yang bebas dan bertanggung jawab secara mandiri.

b) Hak asasi suami: hak asasi versi hukum Islam adalah hak bagi se-orang suami terkait tujuan dasar pensyari’atan perkawinan, antara lain hak memperoleh keturunan biologis sekaligus genealogis (penetapan ikatan nasab). Perempuan sebagai isteri terikat kewajiban kekeluargaan yang merupakan hak suami. Seperti digariskan dalam penegasan QS. al-Baqarah 228: “... dan para wanita mem-punyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf....”
Kriteria ma’ruf terkait hak menerapkan standar hukum agama, hukum kebiasaan dan kepribadian yang luhur.

c) Hak asasi kerabat dan hak asasi masyarakat: merefleksikan implikasi moralitas, yakni beban moral membangun citra kepatuhan kepada norma syari’at, termasuk di dalamnya “kontrak warga sipil sebagai mu’minah”. Kontrak seorang perempuan untuk tidak melakukan tindakan aborsi atau penghentian kehamilan terumuskan dalam QS. al-Mumtahanah 12: “wala yaqtulna awladahunna...” (... dan tidak akan membunuh anak-anaknya...).
Atas penggal kalimat tersebut beredar penafsiran kontekstual antara lain: pantang membunuh mati bayi pasca dilahirkan hidup, pantang memungut anak orang lain diikuti dengan pengakuan tak jujur bahwa anak tersebut adalah anak kandung suami pasangan hidupnya, dan pantang menggugurkan bayi dari rahim.
Hak asasi masyarakat terkait implikasi moralitas warga dapat dikembangkan dengan konsep hukum qasamah. Elaborasi hukum qasamah berangkat dari korban pembunuhan di lokasi tertentu yang tak kunjung terkuak siapakah tersangka pelaku pembunuhan tersebut. Warga setempat berpeluang menolak tuduhan pembunuhan dengan upaya sumpah kolektif melibatkan 50 pria dewasa bahwa tidak satupun dari mereka sebagai pembunuh korban tersebut. Sumpah kolektif ditindaklanjuti dengan pembayaran dam (denda pembunuhan) yang dipikul secara bersama oleh 50 warga TKP dan diserahkan kepada ahli waris korban.
Dalam tinjauan hukum Islam benturan hak asasi terkait tindakan aborsi bukan dikorelasikan dengan kejahatan pembunuhan, atau diorientasikan pada kejahatan kesusilaan seperti pada KUHP yang berlaku, melainkan diidentifisir sebagai tindakan “ijhadh ijtima’i“ (mengeluarkan paksa janin sebelum melewati bulan keempat usia kehamilan secara kolektif/melibatkan jasa orang lain) atau diidentifikasi sebagai “isqath ikhtiyari” (pengguguran bayi atas kehendak pribadi wanita pada usia kandungan melewati bulan keempat hingga ketujuh).
Kategori aborsi provocatus menurut hukum Islam sebagai pembunuhan serupa sengaja (syibih al-‘amdi) atau tidak sengaja. An-caman pidananya tak sampai ke level qishash (hukum mati), melainkan sebatas denda pidana seharga gharrah + sepersepuluh denda pembunuhan tak sengaja pada wanita/ibu tersebut.

Fase Pertumbuhan Janin Terkait Aborsi

Konsep keberadaan janin sesuai QS. al-Najm 32: “wa idz antum ajin-natan fi buthuni ummahatikum” (dan Tuhan Maha Tahu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu). Konsep ayat tersebut membentuk terminologi “janin” dalam hukum Islam sebagai: organ yang dapat dilepaskan oleh seorang wanita dan secara pasti diketahui berasal dari rongga rahim/uterus. Kehidupan organ tersebut menempel pada rahim yang merupakan bagian dari struktur anatomi perut manusia perempuan.
Tahapan pembentukan janin melalui fase nuthfah, fase ‘alaqah, fase mudhghah, dan fase kelahiran. Rangkaian proses tersebut lewat pembelahan sel, pembentukan embrio dan pertumbuhannya sebagai makhluk yang serba baru berasal dari bahan-bahan homogen. Di kalangan ahli kedokteran disebut proses epigenesis. Rincian fase dan tahapan terjabarkan pada QS. al-Mu’minun 12-14.
Fase terjadi implantasi blastotis pada rahim ibu (nidasi) menurut Sayid Quthub disebut tahap “alaqah” kurang lebih 14 hari pasca berakhir menstruasi. Fase tersebut oleh Imam al-Ghazali diilustrasikan sebagai momentum ijab-qabul (transaksi penawaran dan penerimaan obyek jual-beli). Sekira dikehendaki tindakan aborsi sebelum itu (pra implantasi) maka tidak berdampak menodai aqad. Bila proses pembuahan telah berlangsung, maka penghentian kehamilan menimbulkan konsekuensi merusak alur persiapan kehidupan.
Fase janin memasuki pembentukan ‘alaqah oleh sebagian ulama fiqih dianalogkan setara dengan telur burung. Calon jamaah haji atau umrah yang dengan sadar men-jadikan telur itu pecah saat terikat kondisi ihram, maka yang bersangkutan terkena denda (dam isa’ah) bersedekah seharga seekor burung betina yang melahirkan telur tersebut. Logika analogi tersebut mendasari pandangan hukum bahwa tindakan aborsi/penghentian kehamilan saat janin berada di fase ‘alaqah terkena denda pidana dan tindakan tersebut berstrata mematikan sesuatu yang potensi kehidupannya harus dilindungi. Status makruh tahrim layak dinisbahkan pada tindakan aborsi tersebut, karena proses implantasi merepre-sentasikan sel hidup.
Fase pertumbuhan janin yang dipandang sebagai periode kritis oleh seluruh ahli hukum Islam adalah tahapan ditiupkan roh. Tak ada kepastian waktu kapan fase relatif terjadi, perkiraan sementara pada usia 120 hari/20 minggu usia kehamilan. Peniupan roh pada janin merupakan starting point masa depan bayi itu dipandang sebagai subyek yang akan ikut mengalami kebangkitan di hari kiamat, karena padanya berlaku tingkat kecakapan menerima hak (ahliyyah al-wujub) betapa berada pada strata tidak sempurna. Penegasan QS. al-Takwir 7-8: “Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh, dan apa-bila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh.”
Penghentian kehamilan pada fase peniupan roh, dipandang sebagai kejahatan dan haram hukum melakukannya. Pembatasan limit waktu 120 hari dikemukakan oleh al-Ramli (Syafi’iyah), Syeikh Tanthawi (Universitas al-Azhar Kairo), demikian pula MUI melalui Fatwa Munas VI tahun 2000. Pengecualian pada fatwa tersebut sebatas alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa ibu. Data perkenan menghentikan kehamilan sesudah fase peniupan roh, yakni setelah lewat 120 hari usia kehamilan atas dasar untuk menyelamatkan kesehatan pernah difatwakan oleh Syeikh Jadu al-Haq Ali Jadu al-Haq (guru besar Universitas al-Azhar) pada tahun 1991.
Kecenderungan memandang bayi yang melampaui fase peniupan roh (+ usia 120 hari kehamilan) seperti anak pada umumnya, terbaca pada elaborasi fiqih yang menganjurkan aqiqah meskipun terlahir dalam keadaan mati.

Indikasi Penghentian Kehamilan

Gejala keterkaitan tindakan peng-hentian kehamilan lazim diklasifikasi-kan indikasi medis dan indikasi non-medis. Ancaman jiwa ibu bila kehamilan berlanjut, ibu mengalami ke-lainan fisik (penyakit biomedis), janin didiagnosis mengalami cacat fisik akibat penyakit yang diturunkan secara genetik, kekhawatiran bayi dalam rahim terinfeksi penyakit menular dari ibu atau bapak, janin didiagnosis menderita syndroma down, ibu terjangkiti penyakit rubella, lazim diklasifikasi indikasi medis.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan, seperti kehamilan perempuan PSK (zina), hamil karena diperkosa, kehamilan yang status pernikahannya segera difasakh/dibatalkan dan sejenisnya diklasifikasikan indikasi non-medis karena lebih dekat pada indikasi psikis/depresi mental. Termasuk indikasi non-medis adalah kegagalan kontrasepsi, bayang-bayang kesulitan hidup secara ekonomis, hasil hubungan sedarah (incest) dan lain sebagainya.
Disiplin hukum Islam menyeder-hanakan klasifikasi indikasi penghentian kehamilan ke dalam 2 (dua) kategori: indikasi hajat dan indikasi dharurat. Perawatan (terapi) kesehatan setara hajat, sebaiknya meng-hindar dari aborsi. Demikian pula indikasi non-medis lainnya, karena secara fisik tak terdapat gejala penyakit, melainkan sehat jasmani.
Bila deteksi medis diperoleh diagnosis ancaman kematian ibu bila tidak segera dihentikan kehamilannya, serta dokter spesialis menganjurkan dan tak ada alternatif solusi lain, maka kondisi dharurat serupa itu menjadi dasar dilakukan tindakan aborsi. Kon-disi serupa analog dengan keberadaan anak-anak dan wanita muslimah yang diposisikan sebagai pagar berlindung orang-orang kafir dari serangan tentara Islam. Dalam kondisi terpaksa sekali anak-anak atau wanita sipil yang muslimah dikorbankan. Dalam kondisi dharurat sekalipun tindakan menghentikan kehamilan harus menem-puh upaya selektif, tidak melanggar norma syari’at dan terjamin aman. Penghentian dengan cara tubectomi (wanita) dan vasectomi (pria) tidak boleh dilakukan karena berakibat kemandulan permanen.

Indikasi Hamil Di Luar Nikah

Kehamilan di luar nikah merupakan hasil reproduksi didahului oleh praktek hubungan zina. Gejala tersebut tergolong penyimpangan perilaku seksual yang diharamkan oleh Islam dan berdampak luas terhadap lembaga perkawinan. Penghentian kehamilan yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah dan tidak bernilai emergensi. Prof. Dr. Muh. Said Ramadhan al-Buthiy melarang aborsi dalam kasus kehamilan yang tidak sah, termasuk akibat perzinaan. Menurut beliau aborsi hanya boleh dilakukan bagi isteri yang sah dalam sebuah keluarga karena indikasi medis.
Strategi pengharaman abortus berindikasi perzinaan bersumber dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap seorang wanita dari suku Ghamid/Azd yang tengah mengandung bayi dan mengakui kehamilan itu karena zina. Wanita tersebut dibiarkan hidup hingga janin yang dikandungnya lahir serta telah ada pihak yang siap mengoper perawatan selanjutnya. Selepas itu baru dilakukan eksekusi rajam.
Berbeda halnya pada wanita muda yang diperkosa dan kemudian hamil. Di sana terhimpun indikasi sosial psikologis dan indikasi medis. Tindakan penghentian kehamilan terutama pada usia kehamilan di bawah 40 hari pasca perkosaan bisa merujuk kepada fatwa:
a) Mufti Bosnia membolehkan aborsi bagi wanita yang hamil karena perkosaan saat perang;
b) Sayid Thanthawi pada Konferensi Kairo 1977 membolehkan aborsi akibat perkosaan pada usia kehamilan empat bulan pertama;
c) Pemerintah Sudan mentolerir aborsi bagi korban perkosaan.

Rangkuman

1) Penghentian kehamilan (terminasi hasil konsepsi) dari sudut pandang agama Islam tergolong masalah ijtihadiah (pemikiran kreatif) karena tidak tersedia petunjuk nash syar’i yang jelas. Penghentian kehamilan berada pada wilayah vacum hukum antara ‘azel (coitus erectus) dan al-wa’du (pembunuhan bayi pasca lahir hidup);

2) Terminologi abortus atau peghentian kehamilan dalam literatur hukum Islam (fiqih) beragam antara: ijhadh (pengguguran kandungan usia –4 bulan), karena melibatkan jasa orang lain diikat dengan ijtima’i, isqath ikhtiyariy (mengeluarkan janin pada usia 4–7 bulan kandungan atas prakarsa sendiri), ilqa (mem-buang keluar), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan janin dalam kondisi tak bernyawa). Kesatuan unsur materiil tindakan terletak pada:
(a) tindakan sengaja dengan tujuan mengo-songkan rahim dari janin;
(b) dilakukan sebelum akhir dari masa alamiah kehamilan;
(c) organ yang dikeluarkan semula berada dalam rahim;

3) Hukum Islam mengklasifikasi indikasi dengan ‘udzur syar’i dan ‘udzur ghairu syar’i, berkadar hajat atau dharurah;

4) Tindakan penghentian kehamilan mempertentangkan hak asasi janin, hak asasi suami, hak asasi kerabat, hak asasi masyarakat dan hak asasi perempuan yang hamil;

5) Tindakan aborsi tidak bersifat emergensi dan lebih cenderung simpomatik terkait kehamilan yang tidak diinginkan, berindikasi non-medis. Perlu diupayakan tindakan yang berpotensi saddu al-dzari’ah, menyelesaikan masalah sejak dari kausalitasnya, bukan sebatas mengatasi gejala dan akibat semata;

6) Penghentian kehamilan pada dasarnya terlarang (haram) kecuali dihadapkan pada kondisi dharurat dan berindikasi medis. Teknik penghentian tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, seperti berakibat kemandulan tetap (vasec-tomi dan tubectomi) dan harus terjamin dari ancaman resiko fatal, seperti kematian atau kecacatan permanen.q

* Makalah disajikan pada Seminar Hukum Kesehatan, bertema “Pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi dan Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan yang Baru ditinjau dari Sudut Pandang Agama” oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanggal 24 Nopember 2009 di Surabaya, dan dimuat di Majalah Aula edisi Januari 2010 dalam Rubrik Dirasah.