Kamis, 19 Juli 2012

Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan dengan Rukyah

Sebagian kelompok menuduh orang NU yang menentukan awal dan akhir Ramadlan dengan metode rukyah tidak lagi relevan dengan zaman, sebab saat ini sudah ada ilmu astronomi modern. Mengapa NU masih tetap berpegang teguh pada metode itu?

Memang ada sebagian kelompok yang berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadlan itu cukup dengan hisab. Salah satu dasar yang digunakan adalah Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung. Satu bulan itu seperti ini, seperti ini”. Maksudnya satu saat berjumlah dua puluh sembilan dan pada waktu yang lain mencapai tiga puluh hari.” (Shahih Al-Bukhari, [1780])

Menurut mereka, Hadits ini menjadi bukti bahwa Nabi SAW menggunakan rukyah dalam keadaan terpaksa, sebab umat beliau tidak mampu menulis, membaca serta melakukan hisab. Melihat kondisi umat yang seperti itu, wajar jika Nabi SAW menggunakan rukyah untuk menentukan awal dan akhir puasa. Ini dilakukan untuk memudahkan kaumnya agar mereka tidak menemui kesulitan ketika akan memulai atau mengakhiri puasanya. Atas dasar ini, menurut mereka, penggunaan rukyah sudah tidak relevan lagi, karena sekarang sudah banyak ahli hisab. Dan juga fasilitas untuk melakukan hisab sudah tersedia, sehingga tidak sulit lagi untuk melakukannya.

Pendapat ini sangat bertentangan dengan kesimpulan yang diambil oleh mayoritas ulama yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadlan adalah dengan ru’yatul hilal. Ada beberapa alasan yang mengantarkan pada kesimpulan ini.

Pertama, didasarkan pada sabda Nabi SAW:
“Berpuasalah kalian apabila telah melihat bulan (tanggal satu), dan berbukalah (tidak berpuasa) kalian apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban itu sampai tiga puluh hari.” (Shahih Al-Bukhari [1776])

Hadits ini merupakan dasar yang sangat jelas tentang cara menentukan awal dan akhir bulan Ramadlan. Bahwa yang dijadikan pedoman adalah ru’yatul hilal, bukan hisab. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada rukyah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW bercerita tentang bulan Ramadlan. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Rasulullah SAW bersabda:
”Janganlah kalian berpuasa sehingga kamu sekalian melihat bulan, dan janganlah kamu berbuka (tidak berpuasa) sebelum melihat bulan. Namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya.” (Shahih Al-Bukhari [1773]).

Jika Qadhi (pemerintah) sudah menetapkan untuk berpuasa, maka wajib bagi seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut, dan sekitarnya yang sama mathla’nya (tempat terbit dan terbenamnya matahari) untuk berpuasa. Tidak termasuk orang-orang yang tinggal di daerah yang berbeda mathla’nya dengan daerah ketetapan Qadhi. Karena itu, kadangkala terjadi perbedaan dalam memulai dan mengakhiri puasa antara satu negara dengan negara yang lain, misalnya antara Indonesia dan Saudi Arabia, sebabnya karena perbedaan mathla’ tersebut. Adapun dasarnya ialah Hadits Nabi SAW:
Dari Kuraib ia berkata, “Aku mendatangi kota Syam untuk beberapa keperluan. Di sana aku kesulitan untuk menentukan bulan Ramadlan. Maka akupun melihat hilal pada malam Jum’at. Ketika aku kembali ke kota Madinah, sahabat Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku tentang kota Syam, termasuk di antaranya masalah hilal bulan Ramadlan. Ia bertanya, “Kapan kalian  melihat hilal? Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam jum’at”. Ia bertanya, “Engkau melihatnya sendiri?” Saya menjawab, “Iya, saya melihatnya, begitu pula penduduk yang lain. Kemudian mereka semua berpuasa dan Muawiyah pun berpuasa”. Kemudian ia berkata, “Tapi kami di sini melihat hilal pada malam Sabtu. Dan kami selalu berpuasa dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari atau jika telah melihat bulan. Akupun bertanya, “Apakah tidak cukup dengan ru’yah Muawiyah serta puasa yang dilakukannya?” Ia menjawab, “Tidak cukup, karena seperti inilah Rasulullah SAW memerintahkannya.” (Shahih Muslim, [2580])

Berdasarkan Hadits tersebut, Dr Ahmad Al-Syarbashi seorang ulama’ dari Al-Azhar Mesir memberikan kesimpulan. “Termasuk hal yang disepakati di kalangan jumhur ulama’ bahwa penetapan awal Ramadlan itu dilakukan dengan salah satu dari dua cara. Pertama, melihat hilal bulan Ramadlan, ketika tidak ada yang menghalangi pandangan, seperti mendung, awan, asap, debu atau yang lainnya. Cara kedua adalah dengan menggenapkan bulan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari. Ini dilakukan jika hal-hal yang menjadi penghalang untuk melihat hilal pada malam ke tiga puluh karena ada mendung, awan atau yang lain.” (Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah juz IV, Hal 35)

Alasaan kedua adalah dengan kembali pada sejarah. Apakah benar semua sahabat Nabi SAW tidak dapat membaca dan menulis? Dan apakah pada masa Nabi SAW tidak ada yang ahli ilmu hisab, sehingga harus menggunakan ru’yah?

Jawabannya tentu tidak. Karena ada beberapa sahabat yang diperintahkan Rasulullah SAW  belajar tulis-menulis untuk dijadikan sebagai juru tulis beliau, seperti sahabat Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Muawiyah dan lainnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dalam Hadits  al-Bukhari 187 tersebut adalah mayoritas sahabat, bukan sahabat secara keseluruhan.

Selain itu, di negara Arab, jauh sebelum Rasulullah SAW diutus, telah ada tempat untuk mempelajari ilmu hisab. Lima ratus tahun sebelum Nabi Isa AS lahir, seorang filosof yang bernama Phitagoras yang hidup pada abad ke6 SM telah membangun suatu lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan tentang ilmu hisab. Bahkan sebagian pakar mengatakan bahwa ilmu hisab merupakan ilmu tertua di dunia, karena ada sebelum terjadi banjir Nabi Nuh AS. Ini menunjukkan bahwa ilmu hisab telah ada sebelum zaman Rasulullah SAW. Dan di antara sahabat Nabi SAW, sebenarnya telah ada yang mahir dalam ilmu hisab, semisal Ibn Abbas.

Berdasarkan alasan ini, penggunaan ru’yatul hilal adalah sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. Sementara pengunaan hisab sebagai pedoman utama di dalam menentukan awal bulan, lebih pada penalaran semata yang tidak ada tuntunan langsung dari Nabi SAW. Walaupun demikian kaum Aswaja masih tetap menekuni ilmu hisab dan diposisikan sebagai pemandu bagi pelaksanaan rukyah.

*) Dimuat di Majalah NU AULA edisi Juli 2011.

1 komentar:

  1. Mohon maaf umat NU, anda salah besar.
    Yang dimaksud dalam hadits diatas mengenai melihat hilal itu bukan melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat bulan itu sudah tepat 2 derajat diatas ufuk apa belum. karena jika sudah tepat 2 derajat diatas ufuk, maka kita wajib untuk berpuasa pada saat itu juga. Sedangkan kelemahan metode rukyah itu sendiri adalah memperlambat awal puasa itu sendiri yang ini jelas-jelas berbeda dengan tanggal 1 ramadhan di kalender. Sehingga saking fanatisnya pada rukyah, tanggal awal puasa pun diundur menjadi tanggal 2 bulan romadhon yang tercantum pada kalender seperti pd tahun 2013 ini. Padahal jelas dalam kalender sudah ditentukan awal puasa dengan hisab. Dan ini jelas2 sangat bertentangan dengan ilmu perhitungan sesuai dengan dalil berikut :

    Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. QS. Ar-Rahmaan (55):5

    Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
    ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
    itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
    Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
    menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
    mengetahui. QS. Yunus (10):5

    Dan Kami jadikan malam dan siang
    sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda
    siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya
    kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. QS. Al-Israa'
    (17):12

    Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk
    beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
    Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. QS.
    Al-An'am (6):96

    Dari uraian diatas sudah sangat jelas diterangkan bahkan didalam Al-Qur'an (dalil Naqli) itu sendiri. Sehingga metode Rukyah pun sangat lemah karena hanya menitikberatkan pada 1 hadits saja, dan itupun juga salah pemahaman.

    Selain itu, kenapa NU tidak mengacu pada Arab Saudi saja yang menggunakan metode hisab. Berarti jika NU menganggap metode hisab itu salah, berarti NU menyalahkan orang-orang Arab dan jelas menyalahkan Al-Qur'an dong?


    BalasHapus