Kamis, 26 Juli 2012

Dasar Amaliah di Bulan Ramadlan (1)


Seakan tidak pernah selesai diperdebatkan: tarawih yang benar dan mengikuti tuntunan itu 8 rakaat atau 20 rakaat? Lalu disambung lagi: waktunya kapan, mengukuti tuntunan siapa? Pertanyaan tahunan itu selalu muncul bagi mereka yang belum yakin. Berikut dasar-dasar amaliah di bulan Ramadlan.

Tarawih 20 Rakaat

Bulan Ramadlan adalah bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Oleh sebab itu, Nabi SAW menganjurkan untuk memperbanyak beribadah.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, beliau berkata Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa yang beribadah pada bulan Ramadlan dengan (dilandasi) iman dan penuh keikhlasan maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Shahih Al-Bukhari [1768])

Termasuk dalam hal ini ialah melakukan shalat tarawih sehabis shalat isya’ di bulan Ramadlan. Dinamakan tarawih karena setiap selesai dua salam (4 raka’at) dianjurkan istirahat sejenak. Tentang shalat tarawih ini dijelaskan dalam Hadits:
“Diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW shalat di masjid, lalu banyak orang shalat bersama beliau, demikian pada malam berikutnya, beliau shalat dan bertambah banyak orang (yang mengikuti beliau). Pada malam ketiga dan keempat, orang-orang berkumpul menunggu beliau, tapi Rasulullah SAW tidak keluar (lagi ke mesjid). Ketika pagi-pagi beliau bersabda, “sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat (tadi malam). Tapi, aku tidak keluar karena aku khawatir kalau shalat tarawih itu diwajibkan pada kalian” Siti Aisyah berkata bahwa hal itu terjadi pada bulan Ramadlan” (Shahih Al-Bukhari juz I, hal 380 [1077])

Hadits ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan shalat tarawih. Namun, jumlah raka’atnya belum dijelaskan secara rinci. Al-Hafidz Al-Baihaqi dalam kitab Al-Sunanu Al Kubra meriwayatkan:
“Dari yazid bin Khushaifah, dari Al-Sa’ib bin Yazid dia berkata bahwa: “Kaum muslimin pada masa ‘Umar melakukan shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh raka’at” (Al-Sunan Al Kubra, juz II, hal.492)

Ini adalah dalil yang menjelaskan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih adalah dua puluh raka’at. Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Anshari seorang peneliti di Darul Ifta’ Kerajaan Arab Saudi menyatakan: “Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab beliau, Al-khulashah dan Al-Majmu’, dan diakui oleh al Zhaila’i dalam kitabnya Nashb Al-Rayah, dan dishahihkan oleh Imam Al-Subki dalam kitabnya Syarh Al-minhaj, Ibn Al-‘Iraqi dalam kitabnya Tharhu  Al-tasrib, Al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah Al-Qari dan Ali Al-qori dalam kitabnya Syarh Al-Muwaththa’ dan Al-Nimawi dalam Atsaru Al-Sunani serta ulama-ulama yang lain.” (Tashih Hadist Shalah Al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, 7)


Dalam Sunan Tirmidzi Disebutkan:
“Mayoritas ahli ilmu mengikuti riwayat Sayyidina Umar, Sayyidina ‘Ali dan sahabat-sahabat Nabi SAW tentang shalat tarawih dua puluh raka’at. Ini juga merupakan pendapat Al-Tsauri, Ibn Al-Mubarak, dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i  berkata, “Inilah yang aku jumpai di negara kami Makkah. Mereka semua (penduduk Makkah) shalat tarawih sebanyak dua puluh raka’at.” (Sunan Al-Tirmidzi, [734])

Sementara di sisi lain ada Hadits yang meriwayatkan bahwa shalat Nabi SAW di bulan Ramadlan itu berjumlah 11 rakaat. Yakni hadits:
Dari Saiyidah ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah menambah dari 11 rakaat, baik di dalam Ramadlan ataupun di selain Ramadlan. (Shahih Al-Bukhari 1079)

Hadits ini dipahami oleh sebagian kalangan  sebagai bilangan shalat tarawih. Bahwa shalat tarawih itu adalah sebelas rakaat.  Di antaranya Syaikh Al-Albani  dalam karangannya Shalatut tarawih, juz I hal 15. Namun   menurut mayoritas ulama bahwa Hadist ini tidak menjelaskan bilangan shalat tarawih, tetapi penjelasan tentang shalat witir. Syaikh Yusuf Khattar Muhammad menjelaskan: Adapun Hadits yang diriwayatkan oleh Saiyidah ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW tidak pernah menambah dari sebelas rakaat, baik di dalam Ramadlan ataupun di selain Ramadlan. Yang dimaksud dalam Hadits tersebut ialah shalat witir, bukan shalat tarawih. Ungkapan ‘Aisyah RA wala fi ghairihi yang artinya “dan selain bulan Ramadlan”. Ini jelas bahwa di selain bulan Ramadlan tidak ada shalat tarawih. Sedangkan shalat witir itu bisa dilakukan baik di bulan Ramadlan maupun di selain Ramadlan. (Al-Mausu’ah Al-Yusufiyyah, 634)

Dari sinilah kita bisa mengkritisi beberapa pertanyaan yang biasa disampaikan untuk  membid’ahkan pelaksanaan tarawih dua puluh rakaat. Biasanya pertanyaan yang diajukan adalah: “Mana yang lebih utama mengikuti Rasulullah SAW atau mengikuti Sayyidina Umar RA?”.

Bagi orang yang kurang memahami inti permasalahan ini, akan mengira pertanyaan tersebut itu benar, dengan asumsi bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan tarawih sebelas rakaat, sementara Sayyidina Umar RA dua puluh rakaat.

Yang harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa, tidak ada data dari Hadist shahih yang menjelaskan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat tarawih sebelas rakaat. Yang ada hanyalah pemahaman Syaikh Al-Albani bahwa Nabi SAW shalat tarawih sebelas rakaat. Sementara mayoritas ulama mengikuti amaliah yang dicontohkan Sayyidina Umar RA yaitu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.

Dus, dalam masalah ini yang terjadi sebenarnya adalah perbedaan dua pemahaman terhadap Sunnah Nabi SAW tentang  jumlah rakaat shalat tarawih. Oleh karena itu, seharusnya pertanyaan yang diajukan adalah: mana yang lebih utama mengikuti pemahaman Sayyidina Umar RA terhadap sunnah Nabi SAW yang shalat tarawih dua puluh rakaat, atau mengikuti pemahaman Syaikh Al-albani terhadap Sunnah Nabi SAW yang shalat tarawih sebelas rakaat? Bagi mereka yang taat kepada Nabi SAW, tentu akan memilih mengikuti pemahaman Sayyidina Umar RA, karena ada perintah Nabi SAW dalam Hadits yang shahih untuk mengikuti beliau. Sementara tidak ada satu pun dalil  yang memerintahkan untuk mengikuti Syaikh Al-Albani.  Nabi SAW bersabda:
Dari Hudzaifah ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Ikutilah dua orang setelah aku, yakni Abu Bakar dan Umar” (Sunan Al-Tirmidzi, 3662)



Nida’ Tarawih

Membaca nida’ (Bilal) di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih dengan membaca taradhdhi kepada Khulafaur Rasyidin itu adalah perbuatan yang terpuji dan tidak ada dalil yang melarangnya. Tujuan pertama adalah untuk melaksanakan apa yang telah dicontohkan oleh Al-Quran yang mengajarkan membaca taradhdhi terhadap para sahabat Nabi SAW terkemuka. Sebagaimana tersebut pada ayat:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar dan orang-orang  yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (QS. Al-Taubah, 100)

Kedua, mendo’akan orang yang mulia adalah dianjurkan dalam Islam. Tujunnya adalah agar kita mendapat aliran barokahnya. Seperti halnya kita dianjurkan membaca shalawat kepada Nabi SAW dan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ini disebabkan Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan Allah SWT yang memiliki  keutamaan dari makhluk Allah yang lain. Tentang keutamaan keempat Khulafaur Rasyidin disampaikan oleh Imam Al-Syafi’i sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Al-rabi’ dari Al-Syafi’i bahwa beliau berkata: manusia yang paling utama setelah Rasulullh SAW adalah Abu Bakr, Umar, Utsman kemudian ‘Ali. Semoga keridhoa’an Allah SWT selalu tercurahkan kepada mereka” (Manaqib Al-Syafi’i, Juz I, hal 433)

Membaca taradhdhi di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih merupakan cara ulama terdahulu mengajarkan dan menanamkan kecintaan kepada para sahabat Nabi SAW, khususnya Khulafaur Rasyidin. Metode ini benar-benar terasa manfaatnya, terutama  ketika sudah mulai muncul orang yang memaki-maki para sahabat. Maka kaum Aswaja tidak terpengaruh oleh para penghujat sahabat tersebut. Perihal membiasakan membaca taraddhi di sela-sela shalat tarawih bertujuan untuk memudahkan saja, sebagaimana penentuan jadwal pengajian pada setiap hari Ahad atau menyebarkan buletin ke masjid-masjid setiap hari Jum’at. Jika hal itu dicari dalilnya mengapa harus hari Ahad atau mengapa harus hari jum’at, tentu tidak akan ditemukan dalilnya. Yang penting secara esensial pembacaan taradhdhi di sela-sela shalat tarawih, jadwal pengajian pada hari Ahad, dan pembagian buletin pada setiap hari Jum’at itu sama-sama berisi dakwah islamiyah yang sangat dianjurkan di dalam agama.

*) Dimuat di Majalah NU Aula edisi Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar