Kamis, 26 Juli 2012

Dasar Amaliah di Bulan Ramadlan (3)


Tadarus

Pelaksanaan tadarus Al-Quran pada malam bulan Ramadlan pada hakikatnya adalah mengamalkan ajaran Nabi  SAW untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan. Sebagaimana tersebut dalam riwayat Imama Al-Bukhari no 1870 pada pembahasan shalat tarawih di atas.

Yang dimaksud dengan memeriahkan malam bulan Ramadlan, menurut Al-Shan’ani:
“Yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam Hadits itu adalah) mengisi dan memeriahkan malam bulan Ramadlan dengan melakukan shalat atau membaca Al-Quran.” (Subul Al-Salam, juz II, hal 173)

Keterangan dari Hadits serta penafsiran para ulama tersebut adalah bersifat sangat umum. Segala bentuk usaha untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan adalah sangat dianjurkan, tidak ada perbedaan apakah dilakukan sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Misalnya tadarus Al-Quran. Syaikh Nawawi Al-Bantani mengatakan:
“Termasuk  membaca Al-Qur’an (pada malam Ramadlan) adalah mudarasah (tadarus), yang sering disebut pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. (yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah Al-Zain, 194-195)

Kesimpulan Syaikh Nawawi ini didasarkan pada dua dalil. Pertama, Hadits shahih yang menganjurkan untuk melakukan perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan tadarus.
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila berkumpul suatu kaum di dalam sebuah masjid/ mushalla sembari membaca Al-Quran dan bertadarus di antara mereka maka Allah SWT akan menurunkan ketentraman hati dan memberikan rahmat kepada mereka serta memberi perlindungan kepada mereka, karena Allah bangga kepada mereka. (HR. Muslim, juz 3 hal. 208 [2620]).

Kedua, walaupun dalam bentuk yang sedikit berbeda, Rasulullah SAW melakukan tadarus bersama Malaikat Jibril. Dalam sebuah Hadits disebutkan:
“Dari Ibn Abbas RA bahwa Rasululah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat Malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi SAW setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah (tadarus) Al-Quran bersama Nabi. Rasul SAW ketika dikunjungi Malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad [3358])

Dapat disimpulkan bahwa tadarus yang dilakukan di masjid-masjid atau di musholla pada malam bulan Ramadlan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan baik, karena sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara, agar menambah syi’ar agama Islam, hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai mengganggu pada lingkungannya, supaya esensi syi’ar tersebut bisa diraih.

 Yang perlu tetap ditekankan oleh orang yang membaca Al-Quran adalah menjaga makharijul huruf dan tajwidnya harus sesuai dengan aturan yang sudah baku. Tidak terburu-buru karena ingin mengejar jumlah hataman dalam satu bulan, sehingga melalaikan aspek bacaan.

Juga diperlukan memahami dan menghayati arti daripada setiap ayat yang dibaca agar memperoleh tambahan ilmu, memperkokoh keimanan dan menambah semangat dalam beribadah. Anjuran untuk memahami makna Al-Quran pada setiap ayat itu memang diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memahami ayat-ayat dan agar mendapatkan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad, 29)

Dengan jelas ayat tersebut menganjurkan agar setiap pembaca Al-Quran memahami dan menghayati makna yang tekandung di dalamnya. Pengertian ini bukan berarti bahwa orang yang membaca Al-Quran yang tidak memahami maknanya itu tidak dinilai sebagai ibadah. Siapapun yang membaca Al-Quran tetap saja bernilai ibadah dan setiap ibadah itu berpahala. Adapun dasarnya ialah hadits Nabi SAW:
“Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Quran, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan dan kebaikan tersebut berlipat sepuluh kali, sebagai contoh ketika aku membaca “alif laam miim” itu tidak dihitung satu huruf tetapi alif, laam, miim masing-masing di hitung satu huruf” (HR. Tirmidzi, juz 1 hal. 496)

Dalam Hadits tersebut diterangkan bahwa membaca satu huruf Al-Quran itu sudah berpahala, meskipun  yang dibaca satu huruf itu tidak  ada makna yang bisa diserap artinya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa membaca Al-Quran walaupun tidak paham pada artinya tetap dinilai sebagai ibadah yang berpahala (Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, hal. 133). Tetapi  bagi setiap pembaca Al-Quran itu wajib berusaha memahami dan menghayati makna yang terkandung di dalam Al-Quran agar Al-Quran benar-benar menjadi pelita hati dan penerang jiwa dalam merengkuh kehidupan yang bahagia baik di dunia dan di akhirat.

*) Dimuat di Majalah NU Aula edisi Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar