Kamis, 05 Agustus 2010

Fatayat dan Kepemimpinan Perempuan NU

Awal bulan ini, Fatayat NU menyelenggarakan Kongres di Jakarta. Sejarah panjang badan otonom ini telah menjadikan beberapa kadernya berkiprah di berbagai jabatan strategis. Hal ini memang sebagaimana diharapkan para pendirinya.

Usaha Tanpa Kenal Lelah

Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Namun demikian, selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga untuk memberikan perhatian dengan menggalang kerja sama unsur-unsur kepemudaan Islam lain. Jika ada masalah, maka para aktifis bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).  

Secara resmi, Fatayat NU didirikan pada tanggal 7 rajab 1369 yang bertepatan dengan 24 April 1950. Namun perintisannya sudah dimulai sejak tahun 1940 oleh tiga serangkai wanita; Murtasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik) dan Aminah Mansur (Sidoarjo).
Kiprah para pemudi NU yang terhimpun pada Fatayat NU sudah demikian besar. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, banyak perempuan muda aktifis NU terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat bergabung dengan rekan Muslimat. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Fatayat dan Muslimat sudah harus diberi kesem-patan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Fatayat dan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Mach-mudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU, sedangkan di Konstituante, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Hal ini itu kian mentahbiskan bahwa perempuan sudah sangat maju.

Tahun 1962, pada Muktamar NU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya aktifis perempuan menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Fatayat NU yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi merasa tidak ada rujukan. Keputusannya ternyata NU memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena aktifis Fatayat disahkan untuk tampil di ruang publik.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny Sholihah A Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu ibunda KH Abdurrahman Wahid ini berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakang. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Untunglah pemikiran dan geliat kesamaan perlakuan ini juga diimbangi dengan tauladan dari kiai berpengaruh. KH Bisri Syansuri, misalnya sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang, kendati kala itu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Mbah Bisri (sapaan KH Bisri Syansuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua. Hanya saja, Mbah Bisri sangat keras dalam menegakkan aturan agama.

Pengalaman Pasang-Surut

Pada masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Wacana yang mengemuka kala itu adalah, lantas kapan perempuan NU dapat mengurusi dirinya sendiri? Tapi aneh-nya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi pengurus.

Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa ke-pemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI.

Arti Lambang:

1. Setangkai bunga melati, adalah lambing yang murni
2. Tegak di atas dua helai daun, berarti dalam setiap gerak langkahnya Fatayat tidak lepas dari pengawasan bapak dan ibu (NU dan Muslimat)
3. Di dalam sebuah bintang, berarti gerak langkah Fatayat selalu berlandaskan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah.
4. Delapan bintang, berarti empat khalifah dan empat mazhab.
5. Dilingkari oleh tali persatuan, berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah waljamaah
6. Dilukiskan dengan warna putih di atas warna dasar hijau, berarti kesucian dan kebenaran.

Dasar Perjuangan

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, me-nyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)

Tujuan Fatayat NU

1. Terbentuknya pemudi atau wanita muda Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlahul karimah, bermoral, cakap bertanggungjawab, berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
2. Terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender.
3. Terwujudnya rasa kesetiaan ter-hadap asas, aqidah dan tujuan NU dalam menegakkan syariat Islam.

Visi, Misi, dan Isu Strategis

Visi: Penghapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan jender.

Misi: Membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender; Penguatan SDM; Human Resource Development, dan Pemberdayaan masyarakat.
Isu strategi: 1) Sistem Kaderisasi; 2) Sistem manajement organisasi; 3) Penguatan hak-hak perempuan dan penguatan ekonomi; 4) Sumber dana tetap.
Sasaran Program: 1) Masyarakat Umum; 2) Perempuan; 3) Usia 20 s/d 40 tahun. (AULA Juli 2010)

Selasa, 03 Agustus 2010

Pendidikan Pesantren Model Cina


Cina dengan segala kelebihan yang dimiliki, mampu memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja yang menyempatkan diri berkunjung ke sana. Banyak prestasi yang bisa diunduh dari negara tirai bambu ini. Berikut catatan rihlah yang dilakukan KH M Za’imuddin W As’ad (Wakil Rektor Unipdu Jombang) saat mengunjungi negara dengan penduduk terbesar di dunia ini kepada pembaca Aula.

Bersama pimpinan 29 PTS se Jawa Timur, saya mewakili UNIPDU (Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum) Jombang Jawa Timur berkesempatan mengunjungi Negara Cina selama seminggu. Kegiatan ini bertujuan untuk menyaksikan secara langsung dinamika pemerintah dan masyarakat di sana yang mampu bertahan bahkan menundukkan gempuran budaya Barat. Banyak pelajaran berharga dari proses diskusi dan komunikasi serta melihat dengan nyata dari serangkaian muhibbah tersebut. Berikut ini di antaranya yang dapat saya bagikan.

Guru TK di atas Dosen

Istilah full day school yang biasa menjadi nilai lebih sekolah-sekolah tertentu di tanah air, sebenarnya tidak dikenal di negeri tirai bambu itu. Karena semua proses belajar mengajar dimulai pukul 06.00 sampai 17.00. Pada jam-jam tersebut anda akan sulit menemukan anak usia sekolah berada di jalanan. Pemerintah di sana memberikan sanksi berat bagi anak yang bolos berikut orangtuanya lantaran diancam dengan hukuman denda sekaligus kurungan.

Di sana juga tidak ada istilah pulang pagi akibat gurunya rapat atau sedang melayat seperti di sini. Seluruh kalender akademik digariskan oleh kementrian pendidikan secara ketat dengan masa belajar dan musim liburan yang serentak sama. Dampak positif jam belajar yang cukup panjang di sekolah adalah terciptanya ketenangan orangtua dalam beraktivitas. Dengan demikian, mereka yang rata-rata bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 itu dapat lebih produktif kinerjanya.

Bila di negeri kita, sekolah gratis masih menjadi “jualan” kampanye pilkada, di Cina daratan seluruh biaya pendidikan dan buku mulai SD sampai SMP ditanggung pemerintah. Baru untuk tingkat SMA, orangtua harus menyediakan dana untuk belanja buku-buku yang telah ditentukan. Sementara di Macau (daerah otonomi khusus Cina), murid SMA-nya masih memperoleh uang buku kurang lebih 800 ribu rupiah setiap bulan.

Di pihak lain, kesejahteraan para guru dan dosen sangat terjamin. Hanya saja, dalam hal penghargaan pada pendidik, peme-rintah Cina memiliki pemikiran yang sangat kontradiktif dengan pola pikir para pemangku kebijakan di negeri kita. Karena di negeri sosialis tersebut, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditangani, semakin tinggi gaji pokoknya. Sebagai misal, dua pendidik masuk di tahun yang sama, yang pertama guru TK dan yang kedua dosen universitas, maka guru TK menerima gaji pokok 7 ribu yuan (Rp 10 jutaan), sedang sang dosen hanya menerima 3 ribu yuan.

Dari beberapa orang yang saya jumpai, kebijakan itu diambil karena pemerintah memandang betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar nilai etika maupun kebangsaan sedini mungkin. Mereka mengumpamakan manusia seperti batang pohon ketika masih muda yang dapat dibentuk dengan mudah sesuai selera, sehingga masa-masa selanjutnya hanya merupakan penegasan atau penguatan dari wujud yang sudah terbentuk itu. Pertimbangan lainnya, bahwa pada masa-masa tersebut seorang anak sedang membutuhkan pendampingan total. Maka seorang guru pada usia anak-anak dan remaja (ABG) harus memiliki kesabaran ekstra dan keteladanan khusus sehingga mampu menjadi orangtua sekaligus panutan bagi mereka. Tanpa itu, nilai ketaatan murid kepada guru, akan kehilangan makna. Kesabaran dan selalu menjaga kepatutan untuk diteladani itulah yang menjadikan gaji mereka lebih tinggi dari dosen.

Adapun untuk pendidikan lanjutan, universitas atau akademi, pemerintah memberi pendu-duk lokal subsidi 50 persen biaya pendidikan dari biaya seluruhnya yang dikenakan pada mahasiswa asing. Para pengajarnya dituntut untuk sesering mungkin melaku-kan penelitian agar gajinya me-ningkat sepadan atau melebihi gaji guru TK tadi. Dampaknya dari kebijakan ini sangat luar biasa. Mahasiswa di sana hampir tidak memiliki waktu luang, karena untuk satu mata kuliah saja, seorang dosen bisa mengajak penelitian lapangan sampai lebih dua kali. Mengingat penelitian bagai pupuk bagi ilmu penge-tahuan, maka bisa dibayangkan betapa pesat kemajuan ilmu di sana. Kalau boleh memban-dingkan, bagaimana dengan ma-hasiswa di negara kita? Saya tidak sampai hati menilai, lebih-lebih dalam hal pergaulan dan cara berpakaian.

Masyarakat Cina tidak mengenal istilah “muhrim” atau “aurat”. Tapi para mahasiswa di sana sangat menjaga jarak satu sama lain. Dalam hal busana, mahasis-winya berpakaian sangat brukut (tertutup) walau udaranya tidak begitu dingin. Ada anggapan, hanya orang yang kurang berpendidikanlah yang senang berpakaian terbuka.

Selama di Beijing maupun Senzen saya tidak menemukan mahasiswa berlainan jenis jalan bersama bergandengan sebagaimana di kampus-kampus kita. Di perpustakaan pun mereka me-ngelompok dengan sendirinya seolah ada sekat antara pria dan wanita. Mereka hindari pacaran karena selain tidak sesuai budaya, juga dinilai hanya membuang waktu dan uang sekaligus menghambat studi. Kalaupun saat ini kita melihat di televisi hal yang berbeda dari itu, ketahuilah bah-wa yang ditayangkan adalah gaya hidup remaja Hongkong yang sudah terinfiltrasi budaya Barat, bukan Cina “aslinya”.

Kota Santri

Dengan begitu besarnya tekad pemerintah Cina untuk menjadikan warganya sebagai sarjana berkualitas, maka seluruh mahasiswa harus tinggal di asrama kecuali yang tugas belajar dari instansi pemerintah atau mahasiswa luar negeri. Menariknya, di asrama itu diatur sedemikian rupa sehingga satu kamar yang biasanya terdiri dari dua belas orang (enam dipan susun) berasal dari suku yang berbeda. Dengan demikian para penghuni kamar bisa berdiskusi tentang adat budaya masing-masing sehingga menumbuhkan spirit saling memahami untuk memperkuat persatuan Cina yang sedikitnya terdiri dari 56 suku bangsa.
Menurut penjelasan A Liang (dosen Sastra Melayu Jinan University yang menjadi narasumber saya), pengasramaan itu dimaksudkan sebagai laboratorium bagi mahasiswa untuk mengenal betapa beragamnya karakter manusia yang kelak akan dihadapi di masyarakat sehingga diharapkan nanti mereka lebih sigap mengelola dan memimpin dengan sikap tasamuh (toleran).

Ketika mendengar penjelasan beberapa hal tersebut sambil keliling kampus, saya merasakan atmosfir pesantren yang sangat kuat bagai di kota santri di tanah air. Selain itu, tanpa disadari, di benak saya menerawang jauh ke masa Nabi Muhammad SAW. Jangan-jangan pola pendidikan yang sistemik, terstruktur dan penghormatan para murid yang tinggi pada guru di Cinalah yang melatarbelakangi disabdakannya anjuran (hadits) Nabi: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.
Ternyata, banyak hal yang bisa kita pelajari dari negara sarat prestasi ini. Wallahu’alam bish-shawab. (AULA Juli 2010)

Majalah AULA No. 08/XXXII Agustus 2010


Sahih Al-Bukhari, Benarkah Tidak Sahih Lagi?

Oleh: Alvian Iqbal Zahasfan

Agustus 2009 lalu situs Republika Online, http://www.republi ka.co.id/berita/68251/Prof_Dr_ Muhibbin_Hadis_Palsu_dan_Lemah_ dalam_Shahih_Bukhari(10/8/2009) menurunkan sebuah wawancara dengan Prof Dr Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang. Isinya mempersoalkan kitab Sahih al-Bukhari. Wawancara itu menarik untuk ditanggapi mengingat respon dari pembaca cukup beragam, dari yang Ilmiah sampai yang tak layak untuk dikunyah.

Sejarah ilmu hadis mencatat ada beberapa Huffadz atau ahli hadis yang mempersoalkan hadis-hadis yang termuat dalam Sahih al-Bukhari. Sebut saja misalnya Imam Abul Hasan ad-Daruquthni (385 H/995 M) dalam kitabnya at-Tatabbu’, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (401 H), Abu Ali al-Ghassani (498 H/1104 M). Mereka banyak melemparkan kritik ilmiah kepada hadis-hadis al-Bukhari. Namun kritikan mereka pada empat abad berikutnya ditanggapi oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1449 M).

Jadi secara ilmiah, kajian pro kontra kesahihan hadis-hadis al-Bukhari sudah klasik dan telah banyak dijawab oleh ulama klasik. Oleh karena itu, seseorang yang mengkaji polemik ini hendaklah merujuk kepada sumber klasik juga. Setidaknya kitab Hadyus Sari (Muqaddimah Fathul Bari fi Syarhi Sahihil Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar mengulas panjang lebar tentang kitab Sahih al-Bukhari. Seperti latar belakang penyusunannya, penamaan, metodologi dan sebagainya. Ada sepuluh pasal di dalamnya. Diantaranya pasal kedelapan yang mengupas kritikan para ahli hadis (baca: kritikus hadis) terhadap Sahih al-Bukhari. Dan kritikan-kritikan itu diurai dengan apik oleh Imam Ibnu Hajar.

Adapun pendapat Prof. Dr. Muhibbin MAg. yang menyatakan dalam wawancaranya bahwa ditemukan hadis-hadis dhaif (lemah) bahkan hadis maudhu’ (palsu) di dalam Sahih al-Bukhari, menurut hemat penulis hal ini merupakan suatu kesimpulan yang tampak tergesa-gesa dan terkesan arogan.

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan di sini. Pertama, perbedaan pendapat tentang kesahihan kitab Bukhari telah dijawab oleh pakar hadis kenamaan yakni Imam Ibnu Hajar al-Asqali dalam karyanya Hadyus Sari (pengantar kitab Fathul Bari).

Kedua, sekalipun pro kontra kesahihan hadis-hadis Bukhari terjadi di kalangan para ahli hadis, namun tidak dijumpai dari para pakar hadis yang diakui kapabilitas dan kre-dibilitasnya menyatakan bahwa ada hadis maudhu’ atau palsu dalam Sahih Bukhari. Paling jauh para kritikus hadis hanya menilai dhaif.

Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar menukil sebuah riwayat dari Imam Abu Ja’far al-Uqaili (322 H/934 M), ketika Imam Bukhari menyelesaikan kitabnya (Sahih Bukhari) ia menyodorkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan ulama ktirikus hadis lainnya, mereka menilainya sahih kecuali empat hadis.

Ketiga, Imam Ibnus Sholah (643 H/1245 M) dalam kitab Ulumul Hadis (Muqaddimah Ibnus Sholah) menukil ijma’ para ulama bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah kitab Sahih al-Bukhari.

Keempat, penamaan pribadi yang diberikan oleh Imam al-Bukhari terhadap kitab kumpulan hadisnya—yang kemudian terkenal atau disingkat oleh khalayak dengan Sahih (al)Bukhari—adalah al-Jami’ as-Sohih al-Musnad al-Mukhtashor min Hadisi Rasulillah shallahu alaihi wa sallam wa Sunnahi wa Ayyamihi.

Jika diamati dari penamaan ini, Imam al-Bukhari hendak menyatakan bahwa kitabnya berisi kumpulan hadis-hadis sahih. Secara tidak langsung ia juga mempertaruhkan tanggung jawabnya kepada Nabi saw dan umat Islam jika didapati menyantumkan hadis-hadis palsu yang kelak diamalkan umat tanpa melalui penelitian terlebih dahulu.

Sementara itu jika benar terdapat hadis palsu yang dimuat oleh Imam al-Bukhari dengan sengaja dalam kitabnya maka secara otomatis ia telah memesan kapling tanah di neraka. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Prof Dr Muhibbin MAg pada akhir wawancaranya: “Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man kadzdzaba alayya m-ta’ammidan fal yatabawwa’ maq-’adahu minan nar. Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi Saw. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis”.
Adapun alasan-alasan dan bukti ilmiah yang diajukan oleh Prof. Muhibbin untuk memperkuat argumennya bahwa terdapat hadis dhaif dan palsu dalam Sahih al-Bukhari, diantaranya adanya kontradiksi hadis dengan Alquran, kontradiksi antar hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dalam kitabnya, kontradiksi dengan fakta sejarah, adanya perawi-perawi yang dhaif, mungkar (semi pembohong) dan kadzdzab (pembohong), adanya hadis yang bersifat prediktif atau ramalan yang bersifat politis dan mengandung fanatisme golongan, adanya sanad yang munqothi’ (terputus) dan lain sebagainya. Tentu saya kira bukan di ruang ini untuk menanggapinya satu persatu.

Secara global, jika ditinjau secara filosofis (mendalam), ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama: Pertama, bagaimana kita memahami hadis yang dzahirnya bertentangan dengan Alquran atau antarhadis atau dengan fakta historis. Ilmu (diskursus) kritik hadis menawarkan; al-jam-u wat taufiq (kompromisasi perselisihan), naskh manskuh (peniadaan hukum atas hukum lainnya), tarjih (mengunggulkan salah satu) dan tawaqquf (stagnan/mendiamkan).

Sedangkan perangkat dalam konsep al-jam-u wat taufiq diantaranya ta’wil (pemalingan teks dari makna dzahirnya ke makna lain yang sesuai kaidah), kajian kontekstual hadis secara sosio-geografis, sosio-kultural, sosio-historis, sosio-medis, sosio-psikologis, dll. Seperti dalam hadis-hadis tentang “amal yang paling utama adalah…”

Kedua, bagaimana kita memahami sanad hadis dan perawi yang bermasalah di Sahih al-Bukhari sesuai dengan kaidah jumhur (mayo-ritas) ulama. Sebab laiknya kaidah yang digunakan oleh Imam ad-Daruquthni untuk mengkritik Sahih al-Bukhari menurut Ibnu Hajar lemah dan melawan jumhur ulama kritikus hadis.

Hadis yang Diklaim Palsu;

1- Pernikahan Rasul dengan Maimunah
Hadis pernikahan Rasul SAW dengan bunda Maimunah ketika ihram (annan nabi tazawwaja maimunata wahuwa muhrimun) oleh para ulama seperti Imam as-Suyuthi (911 H) dan an-Nawawi (676 H) ditakwilkan dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah). Artinya Nabi menikahinya di kawasan Tanah Haram bukan ketika ihram. Atau hal itu merupakan salah satu kekhususan Nabi.

2- Hadis Mi’raj
Mengenai masalah hadis mi’raj, menurut Andi Rahman MA.—salah satu dosen pengajar Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat—mirip dengan hadis tentang “pembedahan dada Rasulullah”. Ia memahaminya sebagai peristiwa yang terjadi dua kali, yaitu saat Rasulullah masih kecil (dirawat bunda Halimatus Sa’diyah) dan sesaat sebelum mi’raj.

3- Menangisi Mayit
Terkait dengan hadis “mayit diazab akibat tangisan keluarganya yang masih hidup”, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah) menakwilkan “in awsho bihi” (mayit akan diadzab jika ia berwasiat untuk ditangisi secara berlebihan). Di beberapa tempat terdapat tradisi menangisi mayat yang menjadi barometer kebaikan seseorang. Bahkan ada orang yang secara profesional menyediakan jasa “tangisan” atas mayit.

Kajian Sanad
Jika dikaji per sanad, dalam Shahih al-Bukhari ada banyak sanad dhaif. Namun menilai hadis mesti mempertimbangkan jalur-jalur sanad lainnya. Imam al-Bukhari melakukan tadlis, memuat sanad yang mu’allaq dan perawi yang dhaif bahkan sangat dhaif.
Padahal sejatinya jika ditilik secara holistik, perawi dhaif di Sahih al-Bukhari terdapat di sanad mutaba’at/syawahid (sekunder), bukan di hadis ushulnya (primer). Hadis mu’allaqnya, didapati sanad muttashilnya di jalur lain (hadis lain). Tadlisnya, dijelaskan di sanad dan hadis lain, termasuk tadlis Al-Bukhari terhadap gurunya Muhammad bin Yahya yang dijelaskan di kitab al-Tarikh dsb.

Terkait kesahihan sebuah hadis sebagai suatu hasil ijtihad ulama yang meniscayakan perbedaan. Maka dapat dipahami bahwa ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad. Seperti sanad sebuah hadis di Sahih al-Bukhari, boleh jadi perawi A menilai sahih, di waktu yang sama perawi B menilainya dhaif. Sebagian kritikus hadis menyatakan bahwa perbedaan penilaian atas seorang perawi adalah hal yang sangat sering terjadi. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan beberapa hadis yang ada dalam Sahih Muslim dalam kompilasi hadis palsunya.

Hadis “innamal a’malu binniyat” ada banyak jalur sanadnya. Sebagian sahih, sebagian dhaif dan ada juga yang palsu. Menilai hadis ini hendaklah melihat seluruh sanad yang ada, sehingga –secara akurat dan holistik—kita dapat menyimpulkan dengan tepat apakah hadis tersebut Sahih, hasan, dhaif atau palsu. Tapi, jika kita hanya mengkaji satu sanad “innamal a’malu binniyat” yang palsu, maka kita akan menyatakan kualitas sanad hadis ini palsu. Padahal, belum (baca: bukan) berarti kualitas hadis ini palsu.

Kesimpulannya, ulama menyatakan bahwa Sahih al-Bukhari dan Muslim adalah kitab yang paling sahih setelah Alquran. Sekalipun hal ini tidak menafikan adanya sanad yang dhaif dalam keduanya dan juga tidak menegasikan adanya hadis sahih di luar keduanya.
Lebih elok, kita berharap semoga kajian ini tidak sebatas wacana yang berada di awang-awang yang cenderung melupakan substansi hadis sebagai sumber pedoman umat dalam mengarungi samudera kehidupan menuju pulau kedamaian nun abadi. Semoga! (AULA Juni 2010)

*Penulis adalah Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat.

Jumat, 30 Juli 2010

KH Bisri Syansuri

Faqih yang Tegas nan Santun

Pertengahan Juni ini, Ponpes Mambaul Maarif Denanyar, Jombang memiliki hajat besar. Ribuan orang diperkirakan memadati lokasi pesatren untuk menghadiri agenda acara tahunan Haul ke-31 wafatnya KH Bisri Syansuri dan bersama-sama meneladani keteguhan prinsip dan kecintaannya kepada ilmu fiqih, Islam dan bangsa.

Pembicarakan kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.

Ada kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya. Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.

Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda. Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur menjawab, “Memang benar demikian.”

Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu lagi melarang sebuah perbuatan.

Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian masing-masing.

Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira pegangan mereka.

Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan, mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.

Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.

Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Langkah pertama yang Kiai Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.

Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.

Pecinta Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen.

Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.

Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari, KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus Sholah).

Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.

Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.

Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.

Mundur dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.

Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani.

Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980. (AULA Juni 2010)

Selasa, 27 Juli 2010

Napak Tilas Lambang NU

Pada Muktamar NU ke-32 di Makasar telah diputuskan bahwa hari lahir NU menggunakan hitungan hijriyah. Dengan demikian, 16 Rajab nanti jam’iyah ini telah menapaki usia 87 tahun.

NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti simbol  jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang di-sebarkan juga melampaui zaman.

Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Pada perhelatan Muktamar ke 2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan Oktober 1927 di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama, Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kala itu Muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan gagasan tersebut maka mulai terbesiklah keinginan untuk memiliki bendera serta simbol atau lambang jam’yah yang membedakan dengan organisasi lain.

Pada saat itu Kongres kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Kongres KH Wahab Chasbullah cemas. Maka diadakanlah pembi-caraan empat mata di rumah KH Ridwan Abdullah di jalan Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres, yang kala itu dipimpin oleh KH Ridwan Abdullah sendiri. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang punya bakat melukis. Karenanya Mbah Wahab meminta agar dibuatkan lambang yang bagus untuk jam’iyah agar lebih mudah dikenal. Tentu saja permintaan Mbah Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi khidmat kepada NU. Maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran. Saking hati-hati dan ingin mendapatkan gambar terbaik, Kiai Ridwan butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk meramungkannya. Padahal Kongres sebentar lagi akan digelar.

Sampai tiba waktunya, Kiai Wahab pun datang menagih pesanan gambar dimaksud. Saat itu Kiai Ridwan menjawab, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai.” Mendengar jawaban itu,  Mbah Wahab mendesak dengan menga-takan “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho.” Namun melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah.”

Dengan kian sempitnya waktu yang ada, akhirnya Kiai Ridwan melakukan shalat istikharah, minta petunjuk kepada kepada Allah serta qiyamullail untuk inspirasi gambar terbaik. Dalam tidurnya, Kiai Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, yakni melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding telah menunjukkan jam 02 dini hari. Setelah terbangun, Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba meng-ingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan sangat mirip dengan gambar dalam mimpinya.

Pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan latin. Akhirnya, sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna.

Namun kesulitan selanjutnya adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Saat mencari kain di wilayah Surabaya, ternyata tidak menemukan yang cocok seperti pada petunjuk mimpinya semalam. Tidak putus asa, Kiai Ridwan mencari hingga ke Malang. Syukurlah, kain yang dicari ternyata ada kendati hanya tersisa 4 X 6 meter. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah, lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Inilah bentuk asli lambang NU sekaligus ukurannya kala itu.

Menjelang pembukaan, simbol NU telah dipasang di arena Kongres. Adanya simbol baru itu menam-bah keindahan suasana. Ketika acara dibuka dan peserta yang berjumlah 18 ribu diperkenalkan dengan symbol jam’iyah itu, mayoritas orang berdecak kagum. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19 karena pada perjalanan berikutnya terjadi dinamika yang demikian menarik sesuai dengan semangat zaman yang bergerak menuju kemajuan serta didorong semangat perjuangan.

Arti Lambang NU
Dalam pandangan Kiai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan di bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf latin.

Makna lambang NU:
1. Bumi (bola dunia): Bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
2. Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat: Tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
3. Peta Indonesia: Melambangkan bahwa NU didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan negara Republik Indonesia.
4. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
5. Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
6. Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kw.
7. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah Saw.
8. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafii.
9. Jumlah bintang seluruhnya Sembilan, bermakna Walisongo (Sembilan orang wali) penyebar agama Islam di tanah Jawa.
10. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti ke-bangkitan ulama.
11. Tulisan warna putih bermakna kesucian.

Sebuah Refleksi
Dengan usianya yang kian senja, sudah waktunya seluruh elemen NU untuk kembali merenungi sejarah panjang pendirian jam’iyah ini. Demikian pula sedapat mungkin mencari relevansi semangat dari dicarikannya lambang yang telah dengan susah payah ditemukan.

Penting diingat dan diperjuangkan bahwa berdirinya NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah wal Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI.
Semoga ini akan mengembalikan ghirah dalam berkhidmat kepada organisasi, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini penting dengan ter-sebarnya Islam yang rahmatan lil’alamin. (AULA Juni 2010)

Membeli Gereja Untuk Dijadikan Masjid

Di Selandia Baru, banyak gereja yang dijual. Sebagian dibeli oleh warga muslim dan dijadikan sebagai masjid. Sebagai minoritas, semangat mereka justru bergelora di tengah kejenuhan mayoritas pemeluk agama. Berikut kisah menariknya.

September 2009, Dr H Asrorun Niam Sholeh, MA berkesempatan melakukan penelitian di Selandia Baru atau New Zealand. Di negara yang berada di arah tenggara Benua Australia itu, Niam—sapaan akrabnya—menjumpai fenomena menarik terkait dengan sikap beragama warga setempat. melihat ada gejala kejenuhan mayoritas yang bersamaan dengan bergairahnya semangat minoritas pemeluk agama.

Niam adalah pria kelahiran Nganjuk 31 Mei 1976 yang kini aktif sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan dosen di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, Niam pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Pusat dan saat ini dipercaya sebagai Sekjend Majelis Alumni IPNU Pusat.

Kedatangan alumnus MAPK Jemebr ini ke New Zealand adalah sebagai wakil dari LP POM MUI untuk melakukan penelitian terhadap kualitas ekspor dan impor daging, teruatam terkait dengan jaminan halal proses penyembelihan dan pengepakan daging. New Zealand dipilih karena Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor daging dari negara kepulauan itu. Dalam penelitiannya, ayah dua anak ini menemukan kepastian bahwa danging yang diekspor ke Indonesia adalah daging-daging sapi yang disembelih secara halal.

Konversi Rumah Ibadah

Menemukan masjid di New Zealand tidak sulit. Dan setiap kali Niam mengikuti jamaah, jamaahnya selalu dalam jumlah banyak. Pengalaman yang sangat membekas bagi Niam adalah ketika pada 26 September 2009, Niam singgah di Masjid El Umar di tengah kota Auckland. Secara fisik, bangunannya megah berlantai dua. Dari arsitekturnya, Niam membatin bahwa bangunan ini mirip gereja. Tampak dalam foto di samping, Niam (kanan) berfoto di depan gedung Masjid El-Umar bersama warga New Zealand keturunan Syiria, Mahmud.

Rasa penasaran itu kahirnya terjawab ketika Mahmud menjelaskan bahwa bangunan tersebut memang dulunya adalah gereja yang, entah mengapa, dijual. Akhirnya, gereja itu dibeli oleh muslim India dengan harga 400 ribu dolar. Ia pun akhirnya tinggal di bangunan yang menempel dengan masjid, mirip pondokan pesantren. Ia menjadi semacam kiai masjid tersebut dengan jumlah jamaah yang cukup banyak, didominasi oleh imigran Afrika dan Timur Tengah.

Di masjid itu, Niam berjalan mengelilingi masjid. Ayah dua anak ini melihat terdapat pengumuman yang ditempel di dinding masjid. Isinya ada beberapa warga asli New Zealand yang masuk daftar muallaf. Ada juga pengumuman yang terasa aneh; “Gereja Dijual”, lengkap dengan foto gereja dan denah lokasi. Di bawahnya ada himbauan partisipasi donasi untuk “membebaskan” gereja yang kemudian akan dijadikan masjid. Dan hebatnya, bangunan tersebut sudah di-”DP”. Karena begitu optimisnya gereja itu pasti “terbeli”, panitia bahkan memberikan pengumuman bahwa peresmian masjid tersebut akan dilakukan pada hari Jumat, 25 Desember 2009, untuk shalat Jumat perdana, tepat di Hari Natal.

Menurut Mahmud, fenomena keberagamaan dan fenomena konversi gereja ke masjid (tentu juga konversi orang kristiani ke Islam) di New Zealand belakangan ini memang meningkat. Pengusaha ekspor-impor yang sejak remaja tinggal di New Zealand itu menjelaskan pemberitaan media massa yang sistematis tentang terorisme yang terkaitkan dengan Islam mungkin justru menjadi berkah tersendiri dalam publikasi Islam dan ajarannya. Berita yang mendeskreditkan umat Islam, bagi umat Islam di New Zealand (dan mungkin di belahan negara yang lain) justru semakin memperkokoh solidaritas sosial sesama umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Di sisi lain, pemberitaan tersebut memiliki daya tarik bagi kaum terpelajar non-muslim untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Di sinilah berkah pemberitaan tentang terorisme yan dikaitkan dengan Islam menemu-kan relevansinya.

Selain itu, masih menurut pimpinan lembaga filantropi Islam al-Kautsar itu, warga New Zealand yang mayoritas kristiani sudah tidak begitu tertarik dengan ritus keagamaan mereka. Mungkin jika diistilahkan dalam bahasa yang ada di masyarakat Indonesia, mayoritas dari mereka adalah Kristen KTP. Gereja sepi peminat dan bahkan banyak yang gulung tikar sehingga harus dijual.

Menyaksikan fenomena itu, batin Niam bergumam; seakan sudah menjadi sunnatullah bahwa minoritas cenderung memiliki fighting spirit untuk eksis dan berkembang. Sementara mayoritas yang merasa sudah “mapan” cenderung “jenuh” untuk istiqamah merawat akar tradisinya mencoba “tantangan” baru.

Dalam konteks yang agak berbeda, fenomena keberagamaan di Indonesia juga menemukan fakta yang relatif tidak jauh berbeda. Kaum minoritas (terutama kristiani) cenderung memiliki daya juang yang lebih di banding dengan kaum mayoritas umat Islam yang merasa sudah mapan. Setidaknya, fakta ini dirasakan Niam di kompleks perumahannya di kawasan Depok. Bahkan, sebagian di antaranya justru jenuh merawat akar tradisi keagamaannya dan kemudian mencari sesuatu yang “baru”, meski ia berada di luar pakemnya.

Contoh lain juga sering disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi tentang fenomena sikap beragama anak-anak muda. Anak-anak mdua yang kuliah di kampus umum cenderung ofensif untuk melakukan dakwah Islam padahal mereka bukan lulusan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan anak-anak muda yang kuliah di kampus berbasis agama dan alumni pesantren justru cenderung jenuh dengan tradisinya dan bangga jika menemukan sesuatu yang baru.

Tapi alhamdulillah, meski ada kejenuhan keberagamaan yang ada di komunitas mayoritas muslim Indonesia, belum pernah terdengar ada berita menjual “masjid” untuk “gereja”. Paling banter, yang ada adalah menjual “kuburan” untuk mal. Semoga tidak akan ada berita seperti di New Zealand di negeri kita. (AULA Juni 2010)

Sabtu, 15 Mei 2010

Aktualita: Mbah Priok pun Akhirnya Murka


Hanya dengan alasan pembangunan, banyak pihak yang mengabaikan situs bersejarah. Kesadaran sering datang terlambat, apalagi ketika nyawa menjadi taruhan. Diperlukan kearifan semua pihak.

Siapa tak kenal Tanjung Priok? Sebuah wilayah di utara Jakarta tersebut memang pernah mendulang masa keemasan. Sebab, salah satu pelabuhan internasional Indonesia terdapat di wilayah ini.

Hilir mudik kendaraan berat dan aktivitas bongkar muat selalu menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Tapi siapa sangka di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pesisir, nama Tanjung Priok ternyata diambil dari nama seorang tokoh ulama yang melakukan siar agama Islam sejak ratusan tahun silam?

Ya, dialah Al Imam al-Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad al-Husaini Ass Syafi‘i Sunni RA atau akrab disapa mbah Priok. Makam mbah Priok terdapat di dalam areal pelabuhan Petikemas Koja, Tanjungpriok.

Makam keramat ini selalu diziarahi para ulama dan santri. Utamanya pada Kamis malam Jumat atau walimatul haul maqam dan pada Ahad akhir di setiap bulan Shafar. Para peziarah tidak hanya berasal dari DKI Jakarta, melain-kan juga berasal dari ulama dan santri di seluruh pulau Jawa.

Meski cukup disegani dan dihormati, namun upaya pelestarian makam keramat tersebut memang tidak mudah. Pihak ahli waris sering mendapat ancaman dan teror dari oknum tak bertanggung jawab yang berusaha menggusur keberadaan makam mbah Priok.

Pada tahun 2004 misalnya, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembokaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Pendakwah Sejati

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok. Mbah Priok bukan orang asli Jakarta.
Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan tahun 1722 dengan nama al-Imam al- Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad R.A. Al Imam al-Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam al-Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama al-Arif Billah al-Habib Ali al-Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Habib Hasan memasukan periuk berisi beras ke jubahnya.
Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi. Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Habib Hasan dan al-Arif Billah al-Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung hingga 10 hari, sehingga Habib Hasan wafat. Sedangkan al-Arif Billah al-Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai periuk dan sebuah dayung terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah al-Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung, yang artinya dayung pendek. Nama al-Imam al-Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.

Kekeramatan dari makam Mbah Priok tidak diragukan lagi. Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karamah dari ulama legendaris ini. Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada beberapa wartawan.

Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peri-ngatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.

Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para pe-ziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril.

Tragedi yang Memilukan

Darah akhirnya tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan. Ada yang tewas tergeletak, semen-tara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan -demi sebuah tanah makam-.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang me-legenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba-tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.

Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh. Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru pada hari kejadian itu terealisasi.

Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur. Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindah-kan ke TPU Semper.

Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasad-nya dibawa ahli waris ke luar kota.

Karenanya, masyarakat Jakarta Utara menganggap makam Mbah Priok sebagai makam keramat. Masyarakat Muslim di Jakarta Utara sangat menghormati makam itu dan setiap setahun sekali diadakan acara haul yang dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Bentrok fisik yang terjadi Rabu (14/4) antara 400-an yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Inilah ‘harga’ yang harus dibayar bila pembangunan menafikan ke-arifan lokal. Masihkan keadaan serupa akan diteruskan?(AULA No. 05/XXXII Mei 2010)

Resensi: Mensyarahi Pemikiran Mbah Hasyim

Judul Buku: Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: KH Salahuddin Wahid, DR H Nadirsyah Hosen
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xxxix + 374 halaman
Peresensi: Siti Maslahah, S.Ag *)


Kepemimpinan duet KH Sahal Mahfudh dan Said Aqiel Siradj yang terpilih pada perhelatan Muktamar di Makasar sepertinya akan menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Yang mengemuka adalah keberatan yang disampaikan PWNU Jawa Timur terhadap komposisi kepengurusan harian PBNU masa khidmat 2010-2015. Hal ini dipicu oleh diakomodirnya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah muncul pada rapat formatur. Demikian pula ada beberapa nama yang posisinya berubah serta keluar dari kesepakan rapat.

Beberapa pihak telah mengingatkan agar dalam hal menentukan komposisi pengurus lebih memperhatikan aturan main organisasi. Jangan sampai hanya lantaran ingin menampung beberapa kader potensial, lantas mengesampingkan hasil kesepakatan Muktamar.
Semua pihak pastinya berkeinginan agar organisasi kebangkitan ulama ini dapat keluar dari kemelut. Sehingga potensi besar jam’iyah dapat tereksplorasi dengan optimal, bukan semata untuk kemajuan organisasi tapi juga dalam mengisi dan mengawal perjalanan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kalau semuanya berangkat dari komitmen ini, rasanya mempersatukan potensi itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Namun celakanya, mempersatukan para ulama, apalagi di masa sekarang bukanlah hal yang mudah. Tetapi para ulama NU, khususnya hadratus-syaikh berhasil melakukan hal tersebut. Mengapa dulu mbah Hasyim bisa melakukan itu? Karena yang menjadi lokomotifnya adalah ideologi.

Boleh dikata, ideologi yang menjadi media mempersatukan warga dan ghirah dalam memajukan organisasi kebangkitan para ulama ini mulai luntur seiring dengan kemunculan kepentingan sesaat sebagian elit dan warganya. Sebagai contoh, pada aroma pilkada dalam perhelatan Muktamar demikian terasa. Pasalnya, di setiap sudut pintu masuk dijejali oleh spanduk yang berisi foto orang-orang yang akan bertarung dalam kepemimpinan NU untuk lima tahun yang akan datang.

Sebagai kader NU, kita patut menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam terhadap fenomena tersebut. Sebab konsekuensinya bisa fatal, yaitu kepemimpinan NU tak ubahnya kepemimpinan partai politik, yang kerapkali mengandalkan modal finansial yang tidak kecil jumlahnya. Lalu, di manakah moralitas yang dijunjung tinggi oleh para ulama dan kiai selama ini?

Sebab sejak berdiri tahun 1926, NU dikenal sebagai organisasi para ulama yang dikenal dengan kepemimpinan moralnya. Mereka dicintai oleh umat bukan karena hartanya, tetapi karena kesalehan dan ketinggian ilmunya. Bahkan mereka cenderung untuk menampilkan diri sebagai pemimpin, karena menjadi pemimpin tidaklah mudah. Harus mempunyai kapasitas intelektual dan kapabilitas moral. Oleh sebab itu, pemimpin NU di masa lalu merupakan penghargaan dan penghormatan atas keistimewaan seorang tokoh.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Akbar NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, bukan karena beliau mau memimpin NU. Beliau terpilih melainkan karena kesepakatan para ulama yang memandang hadratus-syaikh sebagai mahaguru dan mahakiai. Kedalaman ilmunya sudah diragukan lagi, di samping kesalehan beliau yang telah memberikan inspirasi bagi warga NU.

Ada satu hal yang menonjol lagi dari Hadratussyaikh, yaitu kemampuannya dalam mengkonsolidasikan ulama. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu mempersatukan, bukan justru memecahbelah. Tentu saja, yang dimaksud dengan mempersatukan bukan karena iming-iming harta dan kuasa, tetapi lebih pada kesamaan visi.

Pentingnya persaudaraan dan persatuan ditegaskan oleh hadratussyaikh dalam Qanun Asasi NU, “Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. Beliau menambahkan, “Kerja sama dan tolong menolong merupakan sendi yang dapat menjadi acuan dalam mengatur tatanan sosial. Tanpa hal tersebut, maka keinginan, harapan, dan cita-cita akan lumpuh karena tidak akan mampu memecahkan tantangan. Sebab itu, barangsiapa bergotong-royong dalam urusan dunia dan akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Hidupnya akan terasa indah, tenang, nyaman, dan tenteram.”

Fondasi yang dibangun hadratus-syaikh telah menjadikan NU sebagai organisasi yang mempersatukan ulama dengan tujuan untuk menegakkan panji-panji keislaman rahmatan lim ‘alamin. NU harus menjadi teladan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia secara keseluruhan, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi persatuan nasional.

Hadratussyaikh dengan cerdas menulis sebuah buku khususnya, yang dikodifikasi sebagai ideologi NU, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al -Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, serta penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah).

Di dalam kitab ini, rumusan ideologi dikukuhkan dengan sangat baik oleh kakek Gus Dur ini. Dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyah yang dikenal dengan teologi usaha (al-kasbu). Dalam konsep ini disebutkan, bahwa setiap manusia harus melakukan ikhtiar dalam kehidupan nyata sembari memohon pertolongan kepada Tuhan.

Teologi ini kemudian dengan “teologi moderasi”, karena dapat menyelamatkan manusia dalam fatalisme dan kebebasan tak terkendali. Dalam fatalisme, seseorang bisa terjebak pada fanatisme dan ekstremisme, sedangkan pada kebebasan absolut bisa menjerumuskan seseorang pada sikap permisif. Teologi Asy’ariyah telah melahirkan sebuah sikap yang menjadikan umat Islam berada dalam keseimbangan dan ketenangan hidup.

Dalam hukum Islam (baca: fikih), hadratussyaikh memandang hendaknya warga NU merujuk kepada 4 imam mazhad fikih, yaitu Imam Syafii, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Secara khusus, hadratussyaikh menekankan pada Imam Syafii.

Kenapa harus merujuk kepada empat Imam mazhab fikih tersebut? Hal ini tidak lain, karena keempat imam tersebut mempunyai keahlian atau kepakaran dalam bidang hukum Islam, yang mana pandangan-pandangannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, paradigma NU dalam hukum sebenarnya juga kembali kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi harus melalui para imam tersebut. Sebab tidak banyak orang muslim yang mempunyai keahlian sebagai para ulama hukum Islam tadi.

Salah satu keistimewaan paradigma ini, bahwa seorang Muslim dalam memecahkan masalah tidak akan terjebak dalam paradigma hitam-putih, kaku dan rigid. Bahkan, paradigma hukum Islam ala NU jauh lebih akademik dan argumentatif jika dibandingkan dengan kalangan Wahabi dan kelompok puritan lainnya.

Sedangkan dalam spiritualitas, hadratussyaikh memadang agar warga NU merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu ciri yang menonjol dalam paradigma ini yaitu perpaduan antara dimensi spiritualitas dan formalitas. Formalisasi agama dalam ruang publik tanpa spiritualitas akan melahirkan kehampaan dan kekosongan.
Ideologi NU sebagaimana dijelaskan tersebut saat ini harus diakui semakin langka dan tidak terdengar lagi dalam tubuh NU. Dimensi yang menonjol adalah paradigma hukum, sedangkan dalam teologi dan spiritualitas kurang terdengar. Apalagi dalam forum keagamaan NU, sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam perhelatan Munas dan Muktamar hanya mengakomodasi bahtsul masail. Sedangkan dalam bidang teologi dan spiritualitas belum diakomodasi dalam perhelatan Muktamar.

Oleh karena itu, NU dalam lima tahun ke depan harus menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan-nya. Apalagi ditengah godaan politik yang begitu dahsyat. NU tidak mampu berkata “tidak”, karena bukan semata-mata tidak mampu, tetapi NU hakikatnya sedang mengalami krisis ideologi yang sangat akut. Yaitu hilangnya spiritualitas dalam ranah politik. Kecintaan kepada dunia diutamakan, sedangkan spiritualitas ukhrawi ditinggalkan.

Di penutup tulisan ini, ada baiknya NU kembali kepada jejak-jejak kehidupan dan pemikiran hadratus-syaikh Hasyim Asy’ari. Dan setiap kali Muktamar digelar, sayangnya pemikiran hadratus-syaikh tidak terdengar. Karenanya sangat mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap gagasan hadratus syaikh.
*) Peresensi adalah Pegiat Pendidikan dan Fungsionaris PC Fatayat NU Jombang Jatim.

Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Selamat Berkhidmat Pengurus Baru


Tuntas sudah perhelatan Muktamar NU di Makassar, Sulawesi Selatan. Malam itu, Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Arifin Nukmang, menutup hajatan terbesar Jam’iyah Nahdlatul Ulama tersebut. Gema lagu kebangsaan, alunan ayat suci Al-Quran dan merdunya bacaan Shalawat Badar yang diiringi gemericik air hujan di luar ruangan, membuat suasana semakin mengharukan.

Tidak sia-sia Muktamar NU ditunda hingga dua kali. Hajatan yang semula direncanakan pada bulan Desember tahun lalu itu sempat direncanakan digelar pada bulan Januari, namun akhirnya terlaksana pada bulan Maret lalu. Faktor utama penundaan adalah karena cuaca. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan panitia untuk memantapkan persiapan.
Ternyata benar. Muk-amar yang berlangsung tanggal 22-27 Maret itu akhirnya berlangsung sukses dan meriah.

Sejak tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar nuansa muktamar telah begitu terasa. Spanduk-spanduk ucapan se-lamat datang telah menyambut muktamirin. Sepanjang perjalanan dari bandara hingga arena muktamar di Asrama Haji Sudiang, dipenuhi spanduk dan baliho bernuansa muktamar. Bahkan cenderung berlebihan, karena tidak sedikit dari spanduk itu yang berisi kampanye calon Ketua Umum PBNU. Lengkap dengan foto dan tulisan kampanye. Bahkan beberapa di antaranya dengan “menjual” kiai sepuh. “Kok jadi kayak kam-panye Pilkada begini ya?” tutur salah seorang muktamirin yang mengaku dari Magelang.

Beberapa spanduk lainnya bertuliskan posko tim sukses calon tertentu. Terang-terangan. Karena nuansa model Pilkada yang terlalu kental itulah sampai panitia muktamar meminta agar spanduk dan baliho-baliho itu dibersihkan dari arena muktamar. Namun sayang, tidak semua tim sukses mematuhi permintaan itu. Rupanya sinyalemen KH A Hasyim Muzadi sejak jauh hari sebelum muktamar berlangsung, bahwa banyak pengurus PBNU lebih sibuk mengkampanyekan diri sendiri daripada mengurus persiapan muktamar, ternyata memang benar. Masing-masing sibuk memikirkan dirinya sendiri dalam pencalonan itu.

Meriah Tapi Gerah

Sesuai rencana, Muktamar ke-32 NU dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di gedung Celebes Convention Center (CCC, biasa dibaca Tripel C). Hadir dalam kesempatan itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di antaranya Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Joko Suyanto, Menteri Agama Surya Darma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Menlu Manty Natalegawa, Mendiknas Mohammad Nuh, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menkop UKM Syarif Hasan, Menteri PDT Helmy Faisal Zaini, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, dlsb.
Beberapa pejabat tinggi negara juga hadir. Di antaranya Ketua DPR RI Marzuki Ali, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD, beberapa duta besar negara sahabat, para mufti dari 12 negara, beberapa gubernur dan wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, walikota serta wakil walikota dari berbagai daerah, serta para anggota DPR RI maupun DPRD turut memenuhi kursi undangan kehormatan. Beberapa pimpinan ormas maupun orpol juga hadir.
Di tengah kemeriahan acara pembukaan itu ternyata masih menyisakan banyak keluhan. Para undangan VVIP banyak mengeluarkan keringat karena kepanasan. Rupanya penyejuk udara yang dipasang belum sepadan dengan kapasitas ruangan. Perasaan tidak nyaman tampak terlihat ketika mereka terus berkipaskipas di tengah acara berlangsung.

Persoalan lain, banyak peserta dan tamu undangan yang membawa undangan VVIP tidak dapat masuk. Sementara di luar ruangan tidak disediakan tv monitor dan pengeras suara. Praktis mereka hanya bisa terbengong-bengong sambil terus berdesakan. Mereka bertanya-tanya tentang keseriusan panitia yang mengundang mereka. Sudah datang jauh-jauh, teryata tidak mendapat-kan sambutan yang semestinya. “Saudara Tua NU ini memang luar biasa,” kata Ir H Chriswanto Santoso, MSc, Wakil Ketua DPP LDII yang juga tidak dapat masuk ruang pembukaan meski membawa kartu undangan VVIP.

Tidak hanya Pak Kris –sapaan akrabnya—yang menerima nasib seperti itu. Banyak kiai sepuh juga mengalami nasib yang sama. Termasuk beberapa mantan menteri dan anggota DPR RI yang datang dari beberapa daerah. Mereka mengeluhkan ketatnya pengamanan yang dinilai berlebihan. “Banyak orang mengeluhkan pengamanan presiden yang berle-bihan,” kata KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Jember.

Cuaca Mendukung

Prediksi panitia daerah yang disampaikan jauh sebelum muktamar digelar, bahwa pada bulan Maret cuaca kota Makassar sudah terang, tidak salah. Terbukti, selama berlangsung muktamar tidak pernah turun hujan, sehingga seluruh acara dapat berlangsung sukses. Meski tidak hujan, namun bukan berarti tidak ada “penderitaan” lain bagi muktamirin. Tantangan justru muncul dari sisi sebaliknya. Cuaca panas terik! Yah, cuaca kota Makassar memang jauh lebih panas dari pada di Jakarta maupun Surabaya. Apalagi bagi mereka yang menyewa rumah penduduk sebagai tempat tinggal karena membawa rombongan besar. Penderitaan mereka semakin bertambah karena kebanyakan rumah itu beratap seng dan tuan rumah tidak menyediakan kipas angin. Sudah begitu air sangat dibatasi, padahal di kampung halaman mereka biasa mempergunakan air sepuasnya. “Waduh, benar-benar tantangan,” kata Sujani, salah seorang wartawan Aula yang turut menikmati penderitaan itu.

Namun anehnya, meski selama proses pembukaan hingga beberapa kali persidangan cuaca selalu panas, pada saat menjelang pemilihan Rais Am dan Ketua Umum berlangsung ternyata cuaca tiba-tiba berubah. Sejak pagi hingga siang terus mendung. Bahkan ketika malam tiba hujan rintik-rintik terus turun mengiringi, seakan turut mendinginkan hati muktamirin yang kala itu semakin memanas terkait pencalonan. Banyak orang mengaku heran sekaligus bersyukur dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba itu.

Penutupan Dipercepat

Bayang-bayang ketidakpastian terus mengiringi Muktamar NU di Makassar sejak awal. Selain telah dilakukan penundaan dua kali, ketidakpastian juga masih terjadi soal waktu pembukaan. Semula presiden direncanakan membuka acara itu pada tanggal 22 Maret, namun yang terjadi malah tanggal 23 Maret, gara menunggu kepastian kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.

Ketidakpastian juga terjadi dalam pemilihan Rais Am dan Ketua Umum. Acara penting yang semula dijadwalkan hari Jum’at malam itu akhirnya harus ditunda hingga Sabtu pagi. Demikian pula dengan penutupan, yang dijadwalkan Ahad pagi oleh Wapres Budiono akirnya dipercepat pada Sabtu malam oleh Wakil Gubernur Sulsel Ir H Arifin Nukmang.

Meski penutupan dipercepat, namun prosesi penutupan tetap berjalan khidmat. Dr KH MA Sahal Mahfudh dan Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, Rais Am dan Ketua Umum PBNU terpilih, tampak khidmat mengikuti prosesi penutupan itu. Begitu pula Drs H Slamet Effendy Yusuf, MSi —kandidat yang bersaing ketat dan sehat dengan Kang Said hingga tahap akhir —, berikut beberapa jajaran anggota pengurus PBNU yang lain, turut melakukan hal yang sama. Mereka berdiri di panggung kehormatan untuk mengikuti prosesi penutupan tersebut. Acara penutupan memang tidak seramai pembukaan. Wajar, dan bukan pemandangan baru lagi di dalam jam’iyah NU.

Bila pejabat yang membuka muktamar adalah seorang presiden, yang menutup “hanyalah” wakil gubernur, yang juga salah seorang Mustasyar PWNU Sulsel. Juga banyak muktamirin yang telah pulang lebih dahulu sebelum acara penutupan berlangsung. Persoalannya adalah tiket pesawat yang mengharuskan mereka segera meninggalkan Makassar pada hari itu.

Namun prosesi penutupan tetap berlangsung khidmat. Dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, disusul pembacaan ayat suci Al-Quran dan dilanjutkan Shalawat Badar secara bersama-sama. Setelah sambutan-sambutan, prosesi ditutup dengan do’a dari para kiai. Seluruh rangkaian muktamar pun dinyatakan telah selesai. Selamat dan sukses untuk Nah-dlatul Ulama. (AULA No. 04/XXXII April 2010)