Tampilkan postingan dengan label Jam'iyatuna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jam'iyatuna. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Agustus 2010

Fatayat dan Kepemimpinan Perempuan NU

Awal bulan ini, Fatayat NU menyelenggarakan Kongres di Jakarta. Sejarah panjang badan otonom ini telah menjadikan beberapa kadernya berkiprah di berbagai jabatan strategis. Hal ini memang sebagaimana diharapkan para pendirinya.

Usaha Tanpa Kenal Lelah

Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Namun demikian, selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga untuk memberikan perhatian dengan menggalang kerja sama unsur-unsur kepemudaan Islam lain. Jika ada masalah, maka para aktifis bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).  

Secara resmi, Fatayat NU didirikan pada tanggal 7 rajab 1369 yang bertepatan dengan 24 April 1950. Namun perintisannya sudah dimulai sejak tahun 1940 oleh tiga serangkai wanita; Murtasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik) dan Aminah Mansur (Sidoarjo).
Kiprah para pemudi NU yang terhimpun pada Fatayat NU sudah demikian besar. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, banyak perempuan muda aktifis NU terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat bergabung dengan rekan Muslimat. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Fatayat dan Muslimat sudah harus diberi kesem-patan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Fatayat dan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Mach-mudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU, sedangkan di Konstituante, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Hal ini itu kian mentahbiskan bahwa perempuan sudah sangat maju.

Tahun 1962, pada Muktamar NU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya aktifis perempuan menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Fatayat NU yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi merasa tidak ada rujukan. Keputusannya ternyata NU memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena aktifis Fatayat disahkan untuk tampil di ruang publik.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny Sholihah A Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu ibunda KH Abdurrahman Wahid ini berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakang. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Untunglah pemikiran dan geliat kesamaan perlakuan ini juga diimbangi dengan tauladan dari kiai berpengaruh. KH Bisri Syansuri, misalnya sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang, kendati kala itu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Mbah Bisri (sapaan KH Bisri Syansuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua. Hanya saja, Mbah Bisri sangat keras dalam menegakkan aturan agama.

Pengalaman Pasang-Surut

Pada masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Wacana yang mengemuka kala itu adalah, lantas kapan perempuan NU dapat mengurusi dirinya sendiri? Tapi aneh-nya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi pengurus.

Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa ke-pemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI.

Arti Lambang:

1. Setangkai bunga melati, adalah lambing yang murni
2. Tegak di atas dua helai daun, berarti dalam setiap gerak langkahnya Fatayat tidak lepas dari pengawasan bapak dan ibu (NU dan Muslimat)
3. Di dalam sebuah bintang, berarti gerak langkah Fatayat selalu berlandaskan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah.
4. Delapan bintang, berarti empat khalifah dan empat mazhab.
5. Dilingkari oleh tali persatuan, berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah waljamaah
6. Dilukiskan dengan warna putih di atas warna dasar hijau, berarti kesucian dan kebenaran.

Dasar Perjuangan

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, me-nyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)

Tujuan Fatayat NU

1. Terbentuknya pemudi atau wanita muda Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlahul karimah, bermoral, cakap bertanggungjawab, berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
2. Terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender.
3. Terwujudnya rasa kesetiaan ter-hadap asas, aqidah dan tujuan NU dalam menegakkan syariat Islam.

Visi, Misi, dan Isu Strategis

Visi: Penghapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan jender.

Misi: Membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender; Penguatan SDM; Human Resource Development, dan Pemberdayaan masyarakat.
Isu strategi: 1) Sistem Kaderisasi; 2) Sistem manajement organisasi; 3) Penguatan hak-hak perempuan dan penguatan ekonomi; 4) Sumber dana tetap.
Sasaran Program: 1) Masyarakat Umum; 2) Perempuan; 3) Usia 20 s/d 40 tahun. (AULA Juli 2010)

Selasa, 27 Juli 2010

Napak Tilas Lambang NU

Pada Muktamar NU ke-32 di Makasar telah diputuskan bahwa hari lahir NU menggunakan hitungan hijriyah. Dengan demikian, 16 Rajab nanti jam’iyah ini telah menapaki usia 87 tahun.

NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti simbol  jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang di-sebarkan juga melampaui zaman.

Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Pada perhelatan Muktamar ke 2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan Oktober 1927 di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama, Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kala itu Muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan gagasan tersebut maka mulai terbesiklah keinginan untuk memiliki bendera serta simbol atau lambang jam’yah yang membedakan dengan organisasi lain.

Pada saat itu Kongres kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Kongres KH Wahab Chasbullah cemas. Maka diadakanlah pembi-caraan empat mata di rumah KH Ridwan Abdullah di jalan Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres, yang kala itu dipimpin oleh KH Ridwan Abdullah sendiri. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang punya bakat melukis. Karenanya Mbah Wahab meminta agar dibuatkan lambang yang bagus untuk jam’iyah agar lebih mudah dikenal. Tentu saja permintaan Mbah Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi khidmat kepada NU. Maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran. Saking hati-hati dan ingin mendapatkan gambar terbaik, Kiai Ridwan butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk meramungkannya. Padahal Kongres sebentar lagi akan digelar.

Sampai tiba waktunya, Kiai Wahab pun datang menagih pesanan gambar dimaksud. Saat itu Kiai Ridwan menjawab, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai.” Mendengar jawaban itu,  Mbah Wahab mendesak dengan menga-takan “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho.” Namun melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah.”

Dengan kian sempitnya waktu yang ada, akhirnya Kiai Ridwan melakukan shalat istikharah, minta petunjuk kepada kepada Allah serta qiyamullail untuk inspirasi gambar terbaik. Dalam tidurnya, Kiai Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, yakni melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding telah menunjukkan jam 02 dini hari. Setelah terbangun, Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba meng-ingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan sangat mirip dengan gambar dalam mimpinya.

Pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan latin. Akhirnya, sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna.

Namun kesulitan selanjutnya adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Saat mencari kain di wilayah Surabaya, ternyata tidak menemukan yang cocok seperti pada petunjuk mimpinya semalam. Tidak putus asa, Kiai Ridwan mencari hingga ke Malang. Syukurlah, kain yang dicari ternyata ada kendati hanya tersisa 4 X 6 meter. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah, lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Inilah bentuk asli lambang NU sekaligus ukurannya kala itu.

Menjelang pembukaan, simbol NU telah dipasang di arena Kongres. Adanya simbol baru itu menam-bah keindahan suasana. Ketika acara dibuka dan peserta yang berjumlah 18 ribu diperkenalkan dengan symbol jam’iyah itu, mayoritas orang berdecak kagum. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19 karena pada perjalanan berikutnya terjadi dinamika yang demikian menarik sesuai dengan semangat zaman yang bergerak menuju kemajuan serta didorong semangat perjuangan.

Arti Lambang NU
Dalam pandangan Kiai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan di bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf latin.

Makna lambang NU:
1. Bumi (bola dunia): Bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
2. Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat: Tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
3. Peta Indonesia: Melambangkan bahwa NU didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan negara Republik Indonesia.
4. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
5. Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
6. Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kw.
7. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah Saw.
8. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafii.
9. Jumlah bintang seluruhnya Sembilan, bermakna Walisongo (Sembilan orang wali) penyebar agama Islam di tanah Jawa.
10. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti ke-bangkitan ulama.
11. Tulisan warna putih bermakna kesucian.

Sebuah Refleksi
Dengan usianya yang kian senja, sudah waktunya seluruh elemen NU untuk kembali merenungi sejarah panjang pendirian jam’iyah ini. Demikian pula sedapat mungkin mencari relevansi semangat dari dicarikannya lambang yang telah dengan susah payah ditemukan.

Penting diingat dan diperjuangkan bahwa berdirinya NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah wal Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI.
Semoga ini akan mengembalikan ghirah dalam berkhidmat kepada organisasi, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini penting dengan ter-sebarnya Islam yang rahmatan lil’alamin. (AULA Juni 2010)