Tampilkan postingan dengan label Aktualita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aktualita. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Mei 2010

Aktualita: Mbah Priok pun Akhirnya Murka


Hanya dengan alasan pembangunan, banyak pihak yang mengabaikan situs bersejarah. Kesadaran sering datang terlambat, apalagi ketika nyawa menjadi taruhan. Diperlukan kearifan semua pihak.

Siapa tak kenal Tanjung Priok? Sebuah wilayah di utara Jakarta tersebut memang pernah mendulang masa keemasan. Sebab, salah satu pelabuhan internasional Indonesia terdapat di wilayah ini.

Hilir mudik kendaraan berat dan aktivitas bongkar muat selalu menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Tapi siapa sangka di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pesisir, nama Tanjung Priok ternyata diambil dari nama seorang tokoh ulama yang melakukan siar agama Islam sejak ratusan tahun silam?

Ya, dialah Al Imam al-Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad al-Husaini Ass Syafi‘i Sunni RA atau akrab disapa mbah Priok. Makam mbah Priok terdapat di dalam areal pelabuhan Petikemas Koja, Tanjungpriok.

Makam keramat ini selalu diziarahi para ulama dan santri. Utamanya pada Kamis malam Jumat atau walimatul haul maqam dan pada Ahad akhir di setiap bulan Shafar. Para peziarah tidak hanya berasal dari DKI Jakarta, melain-kan juga berasal dari ulama dan santri di seluruh pulau Jawa.

Meski cukup disegani dan dihormati, namun upaya pelestarian makam keramat tersebut memang tidak mudah. Pihak ahli waris sering mendapat ancaman dan teror dari oknum tak bertanggung jawab yang berusaha menggusur keberadaan makam mbah Priok.

Pada tahun 2004 misalnya, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembokaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Pendakwah Sejati

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok. Mbah Priok bukan orang asli Jakarta.
Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan tahun 1722 dengan nama al-Imam al- Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad R.A. Al Imam al-Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam al-Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama al-Arif Billah al-Habib Ali al-Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Habib Hasan memasukan periuk berisi beras ke jubahnya.
Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi. Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Habib Hasan dan al-Arif Billah al-Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung hingga 10 hari, sehingga Habib Hasan wafat. Sedangkan al-Arif Billah al-Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai periuk dan sebuah dayung terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah al-Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung, yang artinya dayung pendek. Nama al-Imam al-Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.

Kekeramatan dari makam Mbah Priok tidak diragukan lagi. Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karamah dari ulama legendaris ini. Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada beberapa wartawan.

Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peri-ngatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.

Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para pe-ziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril.

Tragedi yang Memilukan

Darah akhirnya tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan. Ada yang tewas tergeletak, semen-tara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan -demi sebuah tanah makam-.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang me-legenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba-tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.

Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh. Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru pada hari kejadian itu terealisasi.

Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur. Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindah-kan ke TPU Semper.

Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasad-nya dibawa ahli waris ke luar kota.

Karenanya, masyarakat Jakarta Utara menganggap makam Mbah Priok sebagai makam keramat. Masyarakat Muslim di Jakarta Utara sangat menghormati makam itu dan setiap setahun sekali diadakan acara haul yang dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Bentrok fisik yang terjadi Rabu (14/4) antara 400-an yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Inilah ‘harga’ yang harus dibayar bila pembangunan menafikan ke-arifan lokal. Masihkan keadaan serupa akan diteruskan?(AULA No. 05/XXXII Mei 2010)

Minggu, 25 April 2010

Kecintaan pada Gus Dur Tak Jua Luntur


Perkiraan sebagian kalangan yang menduga pesarean Gus Dur akan sepi peziarah usai hari ke-40, akhirnya terbukti meleset jauh. Ribuan jamaah dan simpatisan sang kiai unik seakan tidak bisa dibendung untuk datang ke Tebuireng setiap waktu.

PIHAK Pesantren Tebuireng tidak menyangka jika kondisi makam keluarga besarnya akan berubah seperti itu. Saat upacara pemakaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara militer di awal pergantian tahun, tidak kurang dari lima puluh ribu orang memadati area pemakaman. Saat peringatan hari ketujuh wafatnya sang Presiden RI keempat itu, jamaah juga tidak kalah jumlahnya dengan saat pemakaman. Kondisi ini juga terjadi kala peringatan hari keempat puluh hari tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa itu.

Pada setiap Kamis, Jumat dan Sabtu malam, banyak juga peziarah yang tabarrukan ke pesarean keluarga besar Tebuireng ini. Jumlah bus yang parkir di sekitar pesantren tidak kurang dari 200 buah. Khusus hari Ahad siang, kondisinya semakin padat. Lokasi parkir di area Masjid Ulul Albab, dipastikan tidak akan dapat menampung banyaknya kendaraan peziarah. Untuk bisa keluar dari kerumunan manusia pun butuh waktu lumayan lama dan tenaga ekstra.

Yayuk Istichanah misalnya. Untuk menuju kampus setiap hari, ia membutuhkan waktu sekitar lima menit. Tapi saat Ahad siang, mahasiswi dari Jogoroto Jombang ini harus berjuang ekstra untuk bisa sampai. “Butuh waktu sekitar satu jam agar bisa sampai ke kampus,” kata mahasiswi Fakultas Dakwah IKAHA, yang kampusnya berada di selatan area parkir itu.

Disamping besarnya jumlah peziarah, kondisi itu diperparah dengan membeludaknya pedagang musiman yang memanfaatkan momentum tersebut. Menurut KH Shalahuddin Wahid, tidak kurang dari delapan ribu orang setiap hari datang ke pesarean keluarga besar Tebuireng melakukan ziarah. Melimpahnya peziarah benar-benar dimanfaatkan oleh para pedagang musiman. Mereka berjualan seke-hendak, baik di area parkir, sekitar pintu masuk dan keluar makam, maupun di tepian jalan raya. “Kondisi ini memaksa pesantren untuk mempersiapkan diri,” tandas sang pengasuh yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah itu.

Bagi Pesantren Tebuireng, kedatangan para peziarah dari berbagai daerah di tanah air ini menimbulkan banyak dampak. Tidak hanya bagi pengasuh, santri, petugas keamanan, guru dan pembina santri juga harus berfikir ekstra. Selama sebulan usai pemakaman Gus Dur, para santri amat terganggu dalam menjalankan kegiatan, pengajian setelah shalat Maghrib ditiadakan. Namun setelah 40 hari pemakaman, pengajian itu dimulai lagi, namun dengan me-nutup pintu gerbang pemakaman keluarga mulai pukul 17.00 sampai 20.00 WIB. Artinya, peziarah dilarang masuk antara jam lima hingga delapan malam, setelah itu dibuka kembali hingga sore hari selanjutnya. Kegiatan belajar siang hari pada hari Ahad juga dipindah ke hari Selasa.

Seiring dengan koordinasi yang intens dilakukan, kondisi kompleks Pesantren Tebuireng yang sebelumnya amburadul akibat padatnya peziarah mulai bisa dibenahi. Pedagang tidak boleh lagi berjualan di dalam kompleks. Kesibukan perparkiran itu terasa mengganggu kegiatan santri dan klinik yang letaknya dekat tempat parkir. Tidak hanya itu, karena banyaknya bus berukuran besar yang parkir dan berlalu-lalang, membuat banyak lokasi yang ambles dan sering membuat busnya selip.

“Untuk mengatasi masalah itu, perlu ada pengerasan tanah tempat parkir yang memakan biaya sekitar Rp 400 juta,” tandas salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU itu. Masalah lain ialah kurangnya MCK. Dengan tidak memadainya fasilitas ini, banyak orang BAB (buang air besar) di semak-semak di sekitar pemakaman umum yang menempel dengan pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. “Bisa dibayangkan bagaimana baunya,” tandas alumnus ITB itu dengan menggelengkan kepala. Untuk mengatasi masalah ini Pesantren Tebuireng harus membangun sejumlah MCK di dekat tempat parkir dengan dana hampir Rp 100 juta.

Belum lagi persoalan tukang parkir liar yang hingga kini belum terselesaikan. Mereka adalah orang luar Jombang yang bekerja sama dengan warga sekitar. Selain tidak sopan, biasanya mereka menarik bayar parkir jauh lebih tinggi dari harga wajar. Harganya melangit. Kadang, mereka bilang parkir sudah penuh, lalu mobil dihentikan di tempat parkir yang mereka buat sendiri, padahal sebetulnya masih ada tempat kosong di tempat parkir resmi.

Faktor keamanan dari tangan jahil orang-orang luar ini juga masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Banyak burung dan barang kesayangan lain milik warga yang hilang. Aparat desa dan keamanan pondok masih belum mampu mengatasi persoalan itu. “Butuh koordinasi dengan aparat keamanan dan Banser,” ujar salah seorang keluarga pondok. Yah, kondisi pemakaman memang belum ideal.

“Yang paling ideal adalah menyediakan tempat parkir baru yang dilengkapi dengan kios untuk pedagang makanan dan souvenir serta oleh-oleh,” kata Gus Sholah. Lokasi yang dimaksud Gus Sholah berada di sekitar 1 kilometer di sebelah Utara kompleks pesantren. “Tetapi biayanya sekitar Rp 3 miliar,” tandas mantan anggota Komnas HAM itu. Menurut Gus Sholah, jumlah sebesar itu di luar kemampuan Pesantren Tebuireng. “Layak kalau pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat membantu pembiayaan itu,” katanya menyarankan. Pada kunjungan anggota DPRD Jawa Timur beberapa waktu berselang, juga merekomendasikan hal serupa. Mereka prihatin dengan kondisi di Tebuireng. Bahkan wakil rakyat itu menyarankan agar fasilitas dimaksud dapat didukung oleh pemerintah dengan dana hingga sepuluh milyar rupiah.

Wali Kesepuluh?

Banyak alasan yang dikemukakan peziarah sehingga berkenan jauh-jauh datang ke Tebuireng. Salah seorang di antara mereka adalah Muhammad Yamin dari Lampung. Saat Aula bertanya, yang bersangkutan menjawab bahwa kedatangannya bersama rombongan karena mencintai dan menghormati Gus Dur. Petani yang berpenghasilan ala kadarnya itu benar-benar merasa kehilangan sosok KH Abdurrahman Wahid.

Benarkah Gus Dur itu seorang wali? Ketika hal ini ditanyakan kepada Gus Sholah, dengan diplomatis, mantan Cawapres pasangan Wiranto itu menjawab, “Menurut saya, wali itu mengandung dua aspek, yakni keagamaan dan sosial. Secara sosial, tidak bisa dibantah bahwa Gus Dur sudah dianggap sebagai seorang wali. Adanya peziarah yang mengambil tanah untuk tujuan mendapat berkah, menunjukkan adanya anggapan itu,” katanya mantap. Sedang dari aspek keagamaan, semua manusia tidak mungkin mengetahui sejauh mana Gus Dur itu dapat disebut sebagai seorang wali. “Itu adalah rahasia Allah,” lanjutnya. “Yang jelas, penghormatan terhadap Gus Dur yang kita saksikan setelah wafatnya menunjukkan bahwa Gus Dur adalah pemimpin yang hidup di hati rakyat,” pungkas adik kandung Gus Dur itu.

Mungkin tidak terlalu penting memperbincangkan kewalian KH Abdurrahman Wahid. Yang mendesak seperti dikemukakan oleh anak Gus Dur, Inayah Wulandari adalah berupaya menghadirkan kembali gagasan-gagasan yang telah diperjuangkan Gus Dur. Ning Inayah –sapaan akrabnya- menyatakan bahwa tidak ada perlunya berbagai pengakuan serta penghargaan yang diberikan kepada al-marhum ayahnya. “Yang paling adalah menauladani serta meneruskan ide-ide Gus Dur dalam kese-harian,” katanya.

Ya, mencari sosok pengganti Gus Dur akan sulit. Di PKB misalnya, apakah seorang Yenny Abdurrahman Wahid bisa mengembalikan suara PKB seperti saat partai itu bertarung pada perhelatan pemilu 1999 dan 2004? Rasanya sangat tidak mungkin. Pemilu 2009 lalu membuktikan dengan gamblang bahwa partai itu bisa jadi tidak aman saat Pemilu 2014 kelak. Suaranya terjun bebas lantaran Gus Dur tak lagi berkampanye dan terpisah dari pemimpin PKB yang kini berkuasa.

Kebesaran dan kebangkitan PKB hanya dapat dilakukan bila kubu yang selama ini berseteru dapat bersatu dalam payung besar, apalagi jika PKNU turut melebur ke dalamnya. Islah adalah kata kunci agar partai itu tetap dipercaya oleh konstituen.

Demikian pula, sosok Gus Dur tak tergantikan, meskipun tidak lagi masuk dalam jabatan struktural NU. Masyarakat tidak terlampau mempersoalkan jabatan tersebut. Selama tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU sekaligus komitmennya untuk membela masyarakat dan kepentingan kalangan minoritas menjadi kredit point yang akhirnya membuat warga demikian mencintainya.

Gus Dur tak ambil pusing dengan kalangan yang akan menghujat atau memprotes tindakannya. Baginya, penegakan HAM, anti kekerasan, anti diskriminasi dan kebebasan beragama, adalah hal yang mungkin bisa dilakukan para aktifis pro demokrasi. Tapi sosok Gus Dur demikian sentral. Upaya Gus Dur dengan melakukan judivical review UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi dalam usahanya membela kelompok Ahmadiyah, tidak lagi memperhatikan resistensi dari mayoritas umat Islam. Itulah yang membedakan Gus Dur dengan yang lain. Karenanya, sampai kapan pun Gus Dur akan dikenang jasanya sebagai orang yang sangat peduli dengan penderitaan kalangan minoritas, termasuk rakyat yang teraniaya.

Karenanya, bila pesarean Gus Dur tak juga sepi dari peziarah, ini pertanda bahwa banyak rakyat yang merasa kehilangan sosok kiai nyleneh itu. Saat pemakaman, para pejabat negara, politisi lintas partai, kiai dari berbagai pesantren, termasuk rakyat jelata akhirnya berbaur dan dipertemukan dalam momentum tersebut. Meski jasad Gus Dur telah tiada, namun suara tahlil dan bacaan al-Quran tidak pernah mati dari makamnya. Bahkan tidak sedikit yang meyakini Gus Dur sebagai wali kesepuluh di tanah Jawa.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘NUANSA’.

Gus Dur, Tak Lekang oleh Waktu



“Ah, Gitu aja kok repot!”, guyonan khas Gus Dur itu kini tak terdengar lagi. Yah, karena sang pemilik kalimat itu telah berpulang ke rahmatullah. Kalaupun masih terdengar di televisi, mungkin disuarakan oleh Gus Pur, tokoh yang memerankan sosok mirip Gus Dur.

SUDAH sebulan lebih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dimakamkan. Namun hingga kini kharismanya belum juga memudar. Setiap hari para peziarah masih terus berdatangan dari berbagai daerah. Terlebih pada Sabtu malam atau hari Ahad. Dipastikan rombongan bus dari berbagai daerah akan terlihat berjejer memadati areal parkir pesantren. Padahal sebenarnya areal parkir itu sudah cukup luas. Yah, banyak orang sudah terlanjur menganggap Gus Dur sebagai wali ke sepuluh yang makamnya harus diziarahi.
Nama Gus Dur memang sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Sejak kabar wafatnya tersiar pada Rabu malam (30/12), pelayat sudah mulai berdatangan ke Pesantren Tebuireng. Bahkan sebelum Subuh, masjid di kompleks pesantren tersebut sudah dipenuhi massa. Begitu juga pendapa joglo yang ada di areal makam. Mereka membaca tahlil dan mendoakan Gus Dur.

Memang dari malam hingga pagi tidak ada pengamanan, sehingga para pelayat dengan leluasa dapat hilir mudik di lokasi pemakaman. Barulah pada pukul 08.00 WIB, petugas keamanan melakukan penertiban. Selain keluarga, mereka diminta ke luar dari areal pesantren. Ini agar petugas bisa menyiapkan upacara kenegaraan serta memberi kesempatan kepada Paspampres untuk melakukan penyisiran terhadap kemungkinan bom.

Benar prediksi banyak kalangan yang memperkirakan para pelayat akan membeludak. Karena itu aparat disiagakan tidak hanya di lokasi pemakaman, tapi juga di beberapa titik di sekitar kawasan Tebuireng. Bahkan di sepanjang Jalan Raya Surabaya – Jombang, petugas kepo-lisian disiagakan di setiap perem-patan maupun pertigaan jalan.

Personel Banser dari Satkorcab Jombang juga tampak sibuk di lokasi pemakaman.
Jenazah Gus Dur yang dibawa dengan mobil VW Caravelle tiba sekitar pukul 11.30 WIB.
Setelah dishalatkan, jenazah Gus Dur yang berada di dalam peti berselimut bendera Merah Putih itu kembali diusung dan dimasukkan ke mobil jenazah dan dibawa ke kom-pleks pemakaman.

Presiden SBY memimpin upacara pemakaman. ”Atas nama negara, dengan ini mempersembahkan ke persada Ibu Pertiwi, jiwa raga dan jasa almarhum KH Abdurrahman Wahid. Jabatan, Presiden RI keempat. Putra dari KH Wachid Hasyim,” kata SBY dalam pidato pemakaman kenegaraan. “Beliau berjuang tanpa pamrih kepada bangsa dan negara ini, utamanya ketika menjadi pemimpin organisasi keagamaan terbesar, Nahdlatul Ulama,” lanjut Presiden.

Sementara itu KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) yang mewakili pihak keluarga meminta maaf atas segala khilaf yang pernah diperbuat kakak kandungnya itu selama hidupnya. “Perhatian yang diberikan semua pihak terhadap Gus Dur, baik selama hidupnya maupun pada saat beliau wafat, kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih,” katanya sambil menahan isak tangis yang menghentikan pidatonya itu selama beberapa saat.

Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah Gus Dur diperiksa terlebih dahulu oleh KH Maimun Zubair. Tembakan salvo ke udara dilontarkan dari senapan 10 personel Kopassus beriringan dengan takbir untuk mengantarkan jasad Gus Dur ke dalam liang lahat. Putra menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, membuka tali kafan, memberikan bantal tanah, sekaligus mengumandangkan adzan sebelum jenazah diberi papan telisik. Sebelum menurunkan tanah pertama kali ke liang lahat, Presiden SBY terlebih dulu menghormat kepada jenazah dengan sikap sempurna, lalu mengayunkan skropnya secara perlahan. Prosesi talqin dilakukan oleh KH Maimun Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang.

Gus Dur dimakamkan di pemakaman keluarga yang berada di dalam kompleks Pesantren Tebuireng. Makam mantan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu berada di sebelah utara makam KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebuireng, yang tak lain adalah kakek Gus Dur. Bergandengan dengan makam KH Hasyim Asy’ari adalah makam Nyai Nafidoh, istri Hadratussyeikh. Di tempat tersebut juga dimakamkan ayah Gus Dur, KH A Wachid Hasyim, menteri agama pertama. Juga ada makam KH Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, yang selama hidupnya berbeda pandangan dengan sang keponakan.

Pada masa-masa awal usai pemakaman, gundukan tanah di kubur Gus Dur selalu berkurang, karena banyak diambil orang untuk “jimat” dan pengobatan. Sampai akhirnya, untuk mengamankan akidah dari kesyirikan sekaligus mengamankan makam sang ulama, IPS NU Pagar Nusa menjaganya siang malam. Tidak hanya itu, mereka juga membuat pagar dari tali rafia sebagai batas, agar tidak ada lagi orang mendekat. Tak lupa, di beberapa sudut pemakaman ditulisi larangan mengambil segala sesuatu dari lokasi makam.

Sosok Penuh Kontroversi

Gus Dur lahir pada tanggal bulan Sya’ban di Denanyar Jombang, bertepatan dengan 7 September 1940, dari pasangan KH A Wachid Hasyim dan Ny Hj Solichah. Nama kecilnya Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti sang penakluk, merujuk pada nama tokoh Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Kakek dari ayah adalah KH Hasyim Asyari, sementara kakek dari pihak ibu KH Bisri Syansuri, keduanya tokoh besar NU. Ayah Gus Dur, KH Wachid Hasyim, adalah Menteri Agama tahun 1949. Namanya juga Gus Dur, ia secara terbuka pernah menyatakan bahwa dirinya memiliki darah Tionghoa, berasal dari marga Tan.

Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Selanjutnya secara berturut-turut terpilih kembali dalam muktamar di Krapyak, Jogjakarta (1989) dan Cipasung, Tasikmalaya (1994). Saat jatuhnya Orde Baru yang diiringi dengan munculnya banyak partai, Gus Dur bersama sejumlah kiai mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Dalam pandangan Gus Sholah, puncak prestasi NU adalah ketika Gus Dur mendapatkan kepercayaan sebagai Presiden RI keempat. Namun kursi kehormatan itu tidak bertahan lama karena pada tanggal 23 Juli 2001, MPR yang dipimpin Amien Rais memakzulkannya.

Sosok Gus Dur memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Saat menjabat presiden misalnya, ia mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Itu artinya paham komunisme yang diwakili oleh PKI diperbolehkan hidup kembali. Tidak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan, asal berada di bawah bendera Indonesia. Ia juga terlibat dalam Yayasan Shimon Peres, padahal Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan hati bangsa Indonesia terluka cukup dalam atas ulah bangsa Israel menindas bangsa Palestina.

Peraih Ramon Magsaysay award (penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori pemimpin komunitas) memang dikenal sebagai penganut aliran pluralis. Ia selalu dekat dan rajin membela kalangan minoritas yang merasa diperlakukan tidak adil. Bagi Gus Dur, kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman dan demokrasi di Indonesia harus terus menjadi hak mendasar bagi manusia. Tidak heran kalau kemudian dia getol membela Ahma-diyah, kontra RUU antipornografi dan pornoaksi, mengusulkan Konghucu sebagai agama resmi negara, dlsb.

Gus Dur memang Gus Dur, sosok yang serba unik dan suka nyentrik. Presiden forum dialog antarumat beragama dunia itu bisa berkawan dengan siapa saja. Bahkan dalam salah satu pernyataannya, berkawan dengan setan pun tidak ada masalah. Wajar kalau banyak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. “Ka-rena selama hidupnya banyak berkawan dengan rakyat kecil, jangan heran bila makamnya juga tak sepi dikunjungi peziarah sampai sekarang,” kata Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Wakil Gubernur Jawa Timur, yang juga masih kerabatnya.

Kepergian Gus Dur adalah duka bagi semua. Terlebih bagi mereka yang suka humor. Tak akan lagi terdengar suara ceplas-ceplos yang kadang kasar tapi lucu. Tak akan tampak lagi seorang presiden yang tertidur di tempat kehormatan dalam forum resmi kenegaraan. NU dan bangsa Indonesia merasa kehilangan sosok pemimpin yang dicintai sangat dalam oleh rakyat dan umatnya. Seorang tokoh yang hebat. Bukan malaikat yang selalu benar tak pernah salah, bukan pula setan yang selalu salah tak penah benar. Gus Dur adalah Gus Dur, sosok yang serba kontroversi. Bahkan tanggal kelahirannya pun tetap menjadi kontroversi hingga kini. Selamat jalan, Gus.....

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'OBITUARI'