Selasa, 27 April 2010

Nuansa: Baayun Mulud

Meneladani Nabi Lewat Tradisi

Awalnya, tradisi ini adalah upacara nenek moyang orang Banjar yang masih beragama Kaharingan (anismisme). Lalu, ratusan tahun silam, para pendakwah dengan arif meniupkan ruh Islam dalam tradisi yang disebut Baayun Mulud ini. Sarat nilai filosofis, pesan religiusitas, dan kearifan lokal (local wisdom).

Pada masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan, memberi nama yang baik sebagai harapan bagi hidupnya kelak, merupakan sebuah kewajiban. Pemberian nama dalam adat Banjar dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking (tali/tangkai) pusat, pada saat itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan cocok untuk anak tersebut.

Pada waktu pemotongan tang-king bayi itu akan di-lantak-kan (dimasukkan seperti ditanam) serbuk rautan emas dan serbuk intan ke dalam lubang pangkal pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak kelak kalau sudah dewasa memiliki semangat keras dan hidup berharga seperti sifat intan dan emas.
Pada upacara ini akan dimulai dengan membaca ayat suci al-Quran kemudian diteruskan dengan pemberian nama resmi kepada anak yang dilakukan oleh patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diisapkan garam, madu, dan air kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si anak berguna bagi kehidupan manusia seperti sifat benda tersebut. Anak yang sudah diberi nama ini akan dibawa berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir di acara tersebut (terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si anak.

Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan). Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa, dan lain-lain.

Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan seperti sarana kemusyrikan seba-gaimana tuduhan kaum puritan, tetapi nantinya dimakan beramai-ramai oleh orang yang hadir. Sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus merekatkan ikatan emosional masyarakat. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.

Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair Barzanji, syair Syarafal Anam, dan syair Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat di-mulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan.
Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang tua yang hadir ber-harap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan biasanya akan diayun oleh ibunya, ayunan ini mem-berikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk peristiwa maulud Nabi. Demikian dalam catatan Museum Lambung Mangkurat.

Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibaratkan melakukan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.

Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang tua yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat bahagia dan beruntung. “Tradisi ini sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi dan prosesi budaya yang berharga bagi perkembangan Islam di Kalsel,” terang Zulfa Jamalie tuli-sannya yang berjudul “Kearifan Lokal Dakwah dalam Tradisi Baayun Anak di Banua Halat”.

Uniknya, peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksa-nakan saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan saat ini ada saja orang yang sudah dewasa ikut baayun. “Tujuannya beragam, ada yang sekedar ingin ikut-ikutan tetapi sebagian besar karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah, serta sebagai ucapan syukur setelah satu keinginan telah terwujud,” ujar Abdul Khaer, alumni IAIN Antasari Banjarmasin.

Menurutnya, tradisi semacam ini haruslah tetap dilestarikan sebagai salah satu bagian dari kekayaan khazanah budaya Nusantara. Terlebih, Baayun Mulud juga merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam meniupkan ruh Islam pada tradisi nenek moyang. “Sehingga, dengan cara seperti ini Islam bisa membumi di kawasan Nusantara.” lanjutnya.

Membumikan Islam

Setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan (ladang) menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upa-cara adalah Balai, semacam balairung besar.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhir-nya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. “Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam,” demikian terang sejarawan Banjar, HA Gazali Usman.

Menurutnya, tradisi semacam ini merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam melakukan islamisasi budaya-budaya lokal, sehingga selaras dengan nilai-nilai Islam.
Inilah dialetika agama dan budaya. Budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya. Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan me-lestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecin-taan umat kepada Nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehi-dupan. (AULA No. 05/XXXII April 2010)

Tokoh: AGH Sanusi Baco

Ulama Kharismatik Panutan Masyarakat

Jika orang Sulawesi Selatan memanggil Anre Gurutta kepada seorang tokoh, tentu tokoh  itu adalah ulama yang disegani. Sebutan Anre Gurutta menempati status sosial yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis. Dialah Anre Gurutta Haji (AGH) Sanusi Baco, Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan.

Pembukaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama berlangsung gegap gempita. Gedung Celebes Convention Centre (Triple C) Makassar penuh sesak dengan sekitar 5000-an peserta. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandai pembukaan dengan menyampaikan sambutan dan menabuh beduk di penghujung acara. Kemudian Gurutta Sanusi Baco, sapaan akrabnya, diberi kehormatan untuk menutup acara itu dengan memimpin doa.

Gurutta Sanusi Baco adalah ulama pemimpin spiritual masyarakat Bugis. Selain menjadi Rais Syuriah, Gurutta juga dipercaya sebagai Ketua MUI Sulawesi Selatan, Mustasyar PBNU dan Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar serta mengasuh pesantren NU Nah-dlatul Ulum di Kabupaten Maros.

Pemberian gelar Anre Gurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam berdakwah. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anre Gurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anre Gurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.

Gurutta Sanusi Baco dikenal sebagai ulama dengan semangat dakwah yang tak kenal lelah. Sejak muda, Gurutta Sanusi Baco sudah aktif mengajar ngaji dan ceramah keliling di berbagai daerah. Di usianya yang sudah 73 tahun ini, Gurutta Sanusi Baco juga masih tetap menjalani aktifitas dakwahnya.

Sebelum pelaksanaan Muktamar, hampir semua kandidat Ketua Umum PBNU tak lupa meminta restunya. Sebagai tuan rumah, tentu saja Gurutta Sanusi Baco memiliki kharisma dan pengaruh kuat untuk muktamirin.

Sahabat Karib Gus Dur

Gurutta Sanusi Baco lahir di Maros, 4 April 1937 dengan nama Sanusi. Putra kedua dari enam bersaudara dari seorang ayah bernama Baco. Ketika beranjak muda, namanya dinisbatkan kepada ayahnya menjadi Sanusi Baco. Pada zaman Jepang, Sanusi kecil men-jadi perawat kuda tentara Jepang di Maros. Sementara ayahnya adalah seorang mandor.
Setelah merasa cukup dengan belajar kepada beberapa guru ngaji di desanya, Gurutta Sanusi Baco kemudian mondok di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. Setelah lulus aliyah pada tahun 1958, Gurutta Sanusi Baco hijrah ke Makassar dan mengajar ngaji di beberapa tempat.

Saat itulah, Gurutta Sanusi Baco mendapat kesempatan meraih beasiswa dar i Departemen Agama untuk kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Di negeri piramid itu, Gurutta Sanusi Baco mulai bersahabat dengan Gus Dur dan Gus Mus (KH Musthofa Bisri).

“Saya adalah teman seperjalanan Gus Dur ketika naik kapal menuju Kairo untuk kuliah di sana. Perjalanannya satu bulan dua hari. Membosankan sekali. Untung ada Gus Dur yang selalu bercerita menghibur,” kata Gurutta Sanusi Baco mengenang Gus Dur.

Pada tahun 1967, Gurutta Sanusi Baco berniat untuk melanjutkan kuliah S-2 di Al-Azhar. Namun ter-paksa ditarik pulang ke tanah air oleh pemerintah Indonesia karena Gurutta Sanusi Baco mendaftar sebagai tentara sukarela untuk berperang melawan Israel.

Persahabatannya dengan Gus Dur membuat Gurutta Sanusi Baco bertekad untuk berkhidmah di NU. Setelah kembali ke Makassar, aktifitasnya adalah mengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan mulai diminta mengajar ngaji serta ceramah di berbagai daerah. Tak lama kemudian, Gurutta Sanusi Baco diangkat sebagai dosen negeri di Fakultas Syariah IAIN Sultan Hasanuddin Makasar.

“Waktu itu Gus Dur sempat datang ke Makassar. Saya menjemputnya di bandara dengan sepeda motor vespa. Ternyata vespanya mogok, akhirnya saya naik vespa dan Gus Dur yang mendorongnya. Setelah bisa jalan baru kami berkeliling kota Makassar,” kenang ayah dari delapan anak ini.

Semangat Dakwah Tak Kenal Usia

Perjuangan dakwahnya juga dilalui bersama Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla). Saat Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar, terbentuk Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla.

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla.

Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk pindah ke rumahnya sendiri di Jl Pongtiku yang terletak di belakang Masjid Lailatul Qodri Makassar.

Dengan demikian, aktifitas dakwahnya tidak hanya di Masjid Raya, tetapi juga mengisi pengajian setelah subuh dan maghrib di Masjid Lailatul Qodri. Kecintaan beraktifitas di masjid inilah yang ditanamkan pada anak-anaknya. Setiap subuh, Gurutta Sanusi Baco menggendong salah satu anaknya yang masih tidur kemudian tiba-tiba terbangun ketika berada di pangkuan saat mengisi pengajian.

Tahun 1987, keluarga Gurutta Sanusi Baco kemudian pindah ke rumah di Jl Kelapa Tiga Makassar. Namun aktifitasnya terus ia jalani dengan mengajar di kampus, ber-khidmah di NU, berdakwah di masjid-masjid dan ceramah di berbagai daerah di pulau Sulawesi. Hingga pada tahun 1992, Gurutta Sanusi Baco diberi amanah menjadi Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan dan Ketua MUI Sulawesi Selatan sampai sekarang.

Tahun 2001, Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU.

Kini, usianya yang semakin senja tak menghalangi Gurutta Sanusi Baco berdakwah. Bahkan, di saat para muktamirin mulai meninggalkan Makassar usai penutupan pada Sabtu (27/3) malam, pagi harinya Gurutta Sanusi Baco sudah dijemput untuk ceramah di Kabupaten Pinrang yang berjarak sekitar 200 km dari Makassar kemudian di Kabupaten Polman yang berjarak 250 km dari Makassar dan baru berada di rumah pada Selasa (29/3).

“Abah kemana-mana masih suka nyetir mobil sendiri. Baru se-telah operasi bypass karena pe-nyempitan jantung tahun 2008 lalu Abah benar-benar berhenti nyetir. Itupun karena dipaksa dokter,” tutur putra keenam Gurutta Sanusi Baco, Dr Nur Taufiq, MA.

Saat ditanya apa resepnya? Gurutta Sanusi Baco menuturkan, semangat dakwah adalah motivator hidupnya. Meski di rumah kadang kelihatan capek dan letih, tapi ketika menyampaikan ceramah suaranya tetap lantang dan penuh semangat.

Di sisi lain, Gurutta yang dulunya perokok berat berhenti total pada tahun 2000. Saat berada di Masjidil Haram Makkah, Gurutta Sanusi Baco berdoa di Hijr Ismail agar diberi kekuatan oleh Allah menyelesaikan semua amanah yang ia emban dengan baik. Setelah berdoa, ternyata semua rokoknya hilang dan menurutnya itu adalah isyarat bahwa ia harus benar-benar meninggalkan rokok. Selain itu, setelah subuh Gurutta Sanusi Baco selalu menyem-patkan diri untuk selalu jalan-jalan pagi di sekitar rumahnya. Namun setelah operasi itu, Gurutta Sanusi Baco kini mengisi pagi harinya dengan bersepeda di tempat dengan sepeda statis. (AULA No. 03/XXXII April 2010)

Kancah Dakwah: Yayasan Yatim dan Janda (Yatinda) Sepanjang

Andalkan Doa untuk Santuni Yatim dan Janda


Satu lagi profil penerima penghargaan Anugerah NU di Jawa Timur Aula hadirkan. Dialah H Khoiri dengan aktivitasnya di Yatinda. Untuk santunan, lebih dari dua juta ia habiskan dalam sebulan. Uniknya tak ada donatur tetap. Tak ada pula proposal permohonan bantuan.

Suatu siang di tahun 2004. H Khoiri sedang di depan rumahnya sambil beristirahat. Tampak seorang perempuan tua berjalan lambat. Tangan kanannya sesekali menyeka wajah dari keringat. Ia seakan tak kuasa menahan terik matahari yang menyengat. Dan tangan kirinya mem-bawa selembar kain yang dilipat.

“Mau ke mana bu?” sapa H Khoiri.
“Mau ke pegadaian pak. Menggadaikan sarung ini untuk makan,” jawab janda itu.
“Memangnya kain sarung seperti itu dihargai berapa,” lanjut pria yang berusia lebih dari setengah abad itu bertanya lagi.
“Ya, paling-paling tiga ribu,” jawab janda itu.

Terhenyaklah batin H Khoiri mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka di sekitar rumahnya ada seorang janda tua yang sedang berjuang hidup dengan cara seperti itu. “Wah, jangan-jangan tidak hanya satu, tapi banyak. Atau jangan-jangan ia juga membiayai hidup anak-anaknya?” Demikian kira-kira kegalauan Abah Khoiri-sapaan H Khoiri-kala itu.
Peristiwa itu membangkitkan rasa empati H Khoiri dan keluarganya meskipun ia sendiri tergo-long dari keluarga yang sederhana. Hanya saja ia merasa lebih ber-untung karena lima anaknya sudah berkeluarga dan bekerja.

Tekad itu ternyata makin bergelora. Ya, minimal sekedar memberi beras untuk para yatim dan janda di sekitar rumahnya. Apalagi istri, anak dan tetangga mendukung gagasannya. Sekelompok tim kecil dibentuknya sehingga mun-cul nama Yatinda. Pendataan yatim dan janda kemudian dilakukan di sekitar rumahnya. Tapi ada ma-salah besar di hadapinya. Mau dapat uang dari mana?

H Khoiri dan pengurus Yatinda tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdoa. Berhari-hari kegiatan Yatinda hanya berkumpul dan berdoa bersama. Abah Khoiri kemudian memberanikan diri mengutarakan maksudnya itu kepada salah seorang pengasuh pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Dari situlah Yatinda menerima bantuan pertama.

Tak selesai di situ. setelah dihitung-hitung, apa yang didapat masih kurang. Tidak cukup kalau dibagikan kepada semua yatim dan janda yang sudah didata. Para pengurus Yatinda tak putus asa.

“Tiap malam kami terus berdoa bersama. Dan alhamdulillah, ada orang tak dikenal tiba-tiba datang dan memberikan bantuan beras. Ada juga yang memberikan uang sesuai yang kami butuhkan. Perasaan kami waktu itu sangat terharu. Kami bersujud dan menangis penuh rasa syukur. Kami yakin itu pertanda Allah meridlai jalan yang kami pilih,” terang Abah Khoiri saat ditemui di rumah mungilnya.

Sejak itu, tekad para pengurus Yatinda terus berkobar. Mereka menarget akan membagi sembako kepada para janda setiap bulan dan memberi uang santunan kepada para yatim setiap minggu.

“Kalau di suatu rumah ada seorang janda dengan tiga anak yatim. Berarti kami akan mem-berikan empat paket sembako. Biasanya per paket isinya beras dua kilogram dan beberapa mi instan. Tapi kadang juga ada yang nyumbang tahu, tempe atau lauk-pauk lain. Ya kami tambahkan saja apa adanya,” lanjut pria kelahiran Tebuireng, Jombang itu.
Yatinda tak punya kantor sekretariat khusus. Semua kegiatan dipusatkan di rumah Abah Khoiri an Hj Mujiati, istrinya. Letaknya memang agak jauh dari jalan raya. Meski juga tidak ada papan nama, menemukannya tidak terlalu sulit. Dengan menelusuri rel kereta api di sekitar stasiun Sepanjang kemu-dian bertanya kepada warga setempat, siapapun akan menemukannya. Rumah itu asalnya adalah rumah keluarga Hj Mujiati.

Abah Khoiri sendiri adalah sosok pegiat sosial sejak muda. Khoiri kecil sempat ikut ngaji di Pesantren Tebuireng kepada pada masyayikh di pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Kemudian ia nekat pergi ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah setelah tamat Sekolah Rakyat. Untuk hidup, Khoiri muda sembari bekerja sebagai penjaga toko meubel di pagi hari dan menjadi juru masak di beberapa pesantren di Kecamatan Taman. Sedikit demi sedikit, ia pun bisa menyerap ilmu yang diajarkan di pesantren-pesantren itu.

Ia kemudian aktif di MWC NU Taman. Pernah menjadi Ketua PAC GP Ansor, ikut mendirikan dan mengembangkan IPS NU Pagar Nusa dan selebihnya bergiat di bidang sosial keagamaan yang ada di desa tempat tinggalnya beserta istri.

Ada yang Keluar Karena Tak Tahan

Umumnya, lembaga sosial lain akan menyebar proposal bantuan, menyebar kotak amal, bah-kan meminta sumbangan dari pintu ke pintu dan sebagainya. Tapi itu semua tidak dilakukan oleh Yatinda. Usaha yang mereka lakukan hanya berkumpul dan berdoa bersama setiap malam.

Saat-saat kritis hampir selalu terjadi. Meski hari saatnya membagi santunan kurang satu hari, Yatinda kadang belum memiliki apapun untuk dibagi. Baru pada malam hari atau pagi harinya ada saja orang yang memberi bantuan.

Kenapa begitu yakin hanya dengan doa? Abah Khoiri menyitir beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang intinya menerangkan bahwa siapapun yang berani menjamin hidup anak yatim dan fakir miskin maka Allah akan menjamin hidup keluarganya.

Apakah benar-benar hanya dengan doa? Ternyata ada beberapa peraturan tidak tertulis di internal Yatinda yang bisa jadi ikut mendukung kelangsungan Yatinda.

“Untuk menjaga kesucian Yatinda, kami sudah berjanji tidak mengambil sedikit pun bantuan yang diterima. Karena itulah, ba-nyak pengurus yang tidak tahan dan keluar. Di sisi lain, semua dermawan kami catat untuk selalu kami doakan dan jalin komunikasi yang baik,” tambah Pak Musa, tetangga Abah Khoiri yang juga pengurus Yatinda.

Awalnya. Yatinda hanya menyantuni para yatim dan janda di sekitar rumah Abah Khoiri. Namun saat ini Yatinda mampu menyantuni 38 yatim setiap minggunya dan sekitar 200-an janda setiap bulannya yang menjangkau lima kampung di kawasan Sepanjang. Yaitu, Wonocolo Selatan, Bebekan Selatan, Ketegan, Taman dan Kalijaten.

Bahkan, rumah Abah Khoiri yang sedianya berukuran 12 x 4 meter persegi, sebagainnya di-bongkar dan diwakafkan sebagai mushalla yang berukuran 6 x 4 meter persegi. Saat Aula meliput, mushalla yang baru dibangun sekitar enam bulan itu sudah nyaman. Tembok sudah dicat mulus, keramik indah sudah menempel sebagai alas, atap sudah dicor dan rencananya akan ditingkat. Dari mana uangnya? “Tidak tahu, ada saja yang kasih bantuan,” selalu begitu jawaban Abah Khoiri.

Di mushalla itulah setiap sore anak-anak yatim diajari mengaji oleh Hj Mujiati. Sementara, para janda dan fakir diajak beristighotsah setiap minggu pagi dan mendoakan keselamatan para dermawan yang ditulis di papan hitam kecil di pojok mushalla.
Untuk membagikan santunan, bukan para janda dan fakir yang datang. tetapi pengurus Yatinda yang keliling ke lima desa dengan berjalan kaki sambil mendorong gerobak kecil. (AULA No.05/XXXII April 2010)

Pendidikan: Universitas Islam Makassar

Menjajaki Luar Negeri


Awalnya hanya Akademi Dakwah yang dikelola oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), lalu berkembang menjadi salah satu universitas terkemuka di Sulawesi Selatan.

Tak heran jika Sulsel disebut sebagai benteng NU di kawasan Indonesia Timur, sebab dalam konteks pendidikan, nahdliyin di provinsi ini punya andil dalam pendirian perguruan tinggi yang berafiliasi kaum santri. Sebut saja Universitas Islam Makassar atau yang akrab disebut UIM.

“Pada mulanya, embrio UIM hanya Akademi Dakwah mula-mula dipimpin oleh Drs H Umar Syihab bersama H Husain Abbas. Akademi ini diresmikan pada 21 Februari 1966 oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Mr Muh Natsir Said,” terang Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS, Rektor UIM.

Hanya berselang tujuh tahun, akademi ini levelnya meningkat menjadi Fakultas Dakwah yang bernaung di bawah Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) yang dipimpin oleh Umar Syihab (1973-1975) didampingi oleh KHM Sanusi Baco, KHA Rahim Amin, Bustani Syarif, H Mohtar Husein, H Sahabuddin dan H Iskandar Idi. Beberapa pengurus inilah yang kemudian terus berusaha meningkatkan kualitas lem-baga pendidikan ini.

Tongkat estafet kepemimpinan kemudian beralih kepada H Abd Rahim Amin (1975-1979), didam-pingi oleh H Mahmud Abbas, H A Rahman Idrus dan Mubarak Pataba, kemudian dilanjutkan oleh H. Arsyad Parenrengi didampingi oleh H. Arisah AS, Fahruddin D dan M Amin Daud serta H Adam Mama sampai terbentuknya Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) al-Ghazali.

Tatkala kepemimpinan dipegang oleh Drs H Patombongi Badrun pada tahun 1990, STID resmi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) berdasarkan SK Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1990 tanggal 25 April 1990. Kemudian dilanjutkan oleh Drs KH M Busaeri Juddah pada tahun 1995-1997. Kemudian pada akhir tahun 1997 STAI al-Ghazali Makassar dipimpin oleh Dr H Abd Kadir Ahmad MS sampai terbentuknya UIM pada tahun 2000.

Sejak menjadi UIM, kampus yang terletak di Jl Perintis Kemerdekaan Km 09 No 29 Makassar ini telah memiliki enam fakultas, yakni Fakultas Pertanian, Fakultas Agama Islam, Fakultas Sospol, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi, Fakultas Sastra, serta Fakultas Ilmu Kesehatan. “Alhamdulillah, pada tahun ini kami membuka tiga program studi kependidikan,” kata Bu Majdah. Tiga prodi tersebut adalah studi Pendidikan Guru SD (PGSD), pendidikan bahasa Inggris, dan pendidikan bahasa Indonesia. “Tiga prodi ini berada dalam naungan Fakultas Sastra UIM,” terang wanita yang juga istri Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Agus Arifin Nu’mang MS, ini. Bahkan, menurut ibu empat anak ini, UIM sementara masih menunggu izin Dikti untuk Program Studi Ilmu Gizi dan Transfusi Darah untuk Fakultas Kesehatan, serta Prodi Teknik Sipil untuk Fakultas Teknik.

“Demi meningkatkan kualitas civitas akademika, kami juga menjalin kerja sama dengan Hay Group, sebuah pusat riset internasional yang memiliki kantor pusat di Singapura,” lanjutnya. Adapun kerjasama itu dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS sebagai Rektor UIM dan Andreas Raharso PhD, Ketua Pusat Riset dan Pengembangan Hay Grup, pada November tahun lalu.

“Dengan kerja sama ini nantinya UIM dan Hay Group bisa melakukan tukar informasi, pengembangan pendidikan, penelitian, dan soal pemberangkatan mahasiswa yang mau bekerja di luar negeri,” jelas Bu Majdah usai penandatanganan MoU. Penandatanganan MoU itu dilakukan sebagai rangkaian Workshop Internasional Peran Ilmuwan Indonesia Internasional dalam Pembangunan Indonesia. Workshop tersebut digelar atas kerja sama Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4), Dirjen Dikti, dan UIM. Pada workshop ini menghadirkan ilmuwan internasional antara lain Dr Muhammad Reza, pakar energi yang berkarir di Swedia dan Dr Etin Anwar yang juga dosen Hobart and William Smith College AS. Selain itu juga ada Dr Ugi Suharto, guru besar dan direktur ekonomi syariah pada Universitas College Bahrain, serta Andreas Raharso. Ratusan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Makassar, birokrat, industriawan, dan perwakilan organisasi masyara-kat sipil (OMS) menghadiri acara ini.

Alokasi Beasiswa

Selain itu, kampus yang bernaung di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Al-Ghazali Makassar ini juga mengalokasikan beasiswa bagi 234 mahasiswa berprestasi, khususnya dari kalangan keluarga kurang mampu dari segi ekonomi. ”Beasiswa ini kami prioritaskan bagi maha-siswa yang berprestasi dan dari kalangan yang kurang mampu,” katanya menerangkan.
UIM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengedepankan kualitas keilmuan yang berimbang dengan akhlak Islami, terus berusaha mendorong mahasiswa untuk meningkatkan kualitas diri. Salah satu upaya untuk memotivasi hal tersebut, lanjutnya, pihaknya menyalur-kan bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang mampu memperlihat-kan prestasi akademiknya. Meskipun UIM sebagai perguruan tinggi Islam, ia mengatakan, pihaknya tidak membatasi dalam menerima mahasiswa sepanjang mau mengikuti aturan yang ada. “Apalagi kami bukan hanya menyiapkan fakultas untuk jurusan pendidikan agama, namun fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti pertanian, ekonomi dan sebagainya,” ujarnya.

Dengan demikian, Bu Majdah mengatakan, cukup banyak pilihan untuk menimba ilmu sesuai dengan keinginan dan bakat serta minat calon mahasiswa. Selain mengalokasikan bantuan 234 beasiswa, UIM pada awal bulan silam mendapatkan bantuan buku sebanyak 800 eksemplar dari Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Menanggapi hal tersebut, salah se-orang mahasiswa Fakultas Pertanian UIM, Zainal mengatakan, buku yang disalurkan Ditjen Dikti tersebut sangat membantu, khususnya bagi mahasiswa yang kurang mampu. “Apalagi beasiswa yang disalurkan itu, dapat mengurangi beban keluarga yang kurang mampu,” ujarnya. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

Resensi: Menjadi Penulis itu Berproses


Judul Buku: Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis, Muhammad Suhaidi RB, Muhammadun AS, dkk.
Penerbit: Muara Progresif, Surabaya
Cetakan: I, 2009
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Imdad Fahmi Azizi *)


Di era globalisasi, dunia kepenulisan menjadi tantangan bagi kaum santri untuk menemukan eksistensi diri. Dan pekerjaan menulis menjadi pilihan, sehingga santri tidak ketinggalan zaman. Dikalangan santri, menulis adalah tantangan tersendiri. Menjadi penulis tidak langsung jadi, butuh proses yang mendaki. Setidaknya itu yang dialami ke-13 penulis buku ini yang semuanya berasal dari kaum santri.
Sebagaimana dikutip dalam lampiran buku ini, Imam al-Ghazali berkata, “Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis!” Pramoediya Ananta Toer juga mengingatkan, bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. KH Zainal Arifin Toha, tokoh panutan buku ini mengatakan, bahwa dengan menulis maka Aku Ada.

Membangun Tradisi Membaca

Kunci menjadi penulis menurut pengalaman Muhammadun As adalah membaca. Membaca adalah faktor yang paling menentukan dalam menulis. Dalam kacamata Rijal Mumazziq Zionis, membaca tidak hanya menambah literatur kita, melainkan menyokong sege-nap argumentasi dan memperkaya khazanah pengetahuan.

Menurut Noviana Herlanti, salah satu penulis buku ini yang juga seorang cerpenis, menulis tanpa disertai kegiatan membaca adalah sama seperti orang buta yang ingin berjalan tanpa tongkat. Dengan selalu membaca, semangat, pantang menyerah, akan mengantarkan santri mampu bersaing dalam dunia kepenulisan.

Sebagaimana pengalaman Nur Faishal, sense kepenulisan tidak lahir begitu saja. Tidak given. Oleh karena itu, terlepas dari aktivitas apapun, harus ada waktu senggang untuk membaca. Karena menggeluti dunia kepenulisan harus total. (hlm. 46)

Segendang sepenarian dengan itu, penulis lain, Salman Rusydie Anwar, menekankan bahwa menjadi seorang penulis adalah menjadi sosok yang harus total mempelajari banyak hal. Bagi calon penulis, hendaknya membangun terlebih dahulu tradisi belajar yang kuat agar tidak hanya menjadi seorang penulis biasa tetapi menjadi seorang penulis hebat. (hlm. 122)

Menikmati Proses

Seorang calon penulis pemula harus mampu menjadi batu karang yang siap menerima serbuan ombak sekeras dan sedahsyat apapun. Kita harus belajar pada pengalaman. Menulis merupakan bagian dari anjuran agama. Dan Alquran tidak hanya menyuruh kita agar cerdas membaca, tetapi juga dianjurkan untuk cerdas dalam menulis. Perpaduan membaca dan menulis merupakan perpaduan ideal generasi Alquran yang sejati. Keberhasilan dan kesuksesan menembus media cetak akan terjadi, ketika sudah dilakukan berkali-kali.
Sebagaimana pengalaman Rijal Mumazziq Zionis, yang menjadi modal utama penulis adalah niat, komitmen, dan sabar dalam berproses. Proses adalah sebuah tahapan paling urgen dan paling menentukan dalam kepenulisan. Sebelum dia aktif di dunia kepenulisan, dia membuat buletin pribadi, hingga dengan itu terinspirasi untuk terus menulis sehingga tulisannya berhasil dimuat di salah satu massa nasional.

Menulis harus bersungguh-sungguh. Secara spirit dunia kepenulisan mengajari kita untuk tidak mudah putus asa. Ada kaitan antara kepenulisan dan kemandirian. Di sinilah kemudian seorang penulis menemukan idealismenya. Kata Muhammadun AS, dengan menulis, santri menjadi penyangga paradaban bangsa. Harus berjuang dengan konsep istiqomah (ajeg atau konsisten), jalan istiqomah menjadi pertaruhan hidup penulis di masa depan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Suhaidi-mengutip Jorge Luis Borges, menulis merupakan pengalaman yang essensial. Penulis-penulis handal sekalipun, mempunyai pengalaman-pengalaman pahit selama berproses, misalnya tulisan ditolak oleh redaktur ketika baru pertama kali mengirimkannya, serta merasa jenuh dan bosan. Hal itu lumrah terjadi, karena tidak ada kesuksesan yang tidak diawali dengan kepahitan dan tantangan. Apalagi dalam ‘hukum kesuksesan’ sebagaimana dalam literatur pesantren, telah diatur bahwa kesuksesan membutuhkan proses yang panjang (tul al-zaman).

Sebagaimana yang dialami Ahmad Khotib pula, bahwa menulis itu tidak mudah, bahkan sampai ‘berdarah-darah’. Untuk menjadi seorang penulis, harus berani memaksa diri sendiri. Dia sampai ‘menghukum diri’ selama 30 hari dengan sanksi menulis. Pada hari ke-21, dian jatuh sakit, tapi terus dipaksakan. Hingga akhirnya dirulisannya diterima di Jawa Pos pada tanggal 11 Mei tahun 2008. (hlm. 156)

Disamping itu, menjadi penulis membutuhkan seorang teman, guru, teman berimprovisasi. Dalam istilah Azizah Hefni, penulis membutuhkan guru kreatif. Dunia keilmuan dan dunia kepenulisan laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dan terus berkembang. Selanjutnya, dunia kepenulisan pada dasarnya adalah peneguhan terhadap eksistensi.

Menurut Noviana Herliyanti, cerpenis, menulis adalah pembebasan, atas diri kita yang lemah, kemampuan yang jauh dai sempurna, dan kesulitan berdamai dengan takdir. Membebaskan kita untuk berekspresi, tulisan mewakili setiap emosi. Membebaskan kita untuk mencapai mimpi. Membebaskan kita dari perasaan minder. Membuat kita cerdas, dan lain sebagainya.

Ach. Syaiful A’la, mengatakan bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang, butuh tenaga ‘superekstra’. Pekerjaan menulis seperti bengkel sepeda. Artinya main bongkar pasang dan berani mengi-dentifikasi diri. Tentang tulisan yang baik ini, Ach. Sayiful A’la mengutip perkataan D Zawawi Imron, bahwa tulisan yang baik adalah yang dibisa dibaca dan dimengerti oleh disiplin ilmu yang lain termasuk juga orang awam yang suka membaca buku.

Menjadi penulis tidak harus mempunyai bakat dan pendidikan formal tinggi. Tidak perlu ada ke-turunan darah penulis. D Zawawi Imron tidak pernah mengenyam pengalaman di bangku kuliah, bahkan tidak lulus SD. Tulisannya sering dimuat diberbagai media dan menjadi sumber ilmu. Menulis tidak hanya membuahkan kekayaan materi dan ketenaran, tapi juga kekayaaan batin. Apabila tulisan kita dimuat, melahirkan kepuasan pribadi. Dalam istilah Zuhairi Misrawi, menulis adalah kepuasan batin (KOMPAS, 18/2). Butuh ketelatenan dan keuletan, sebagaimana yang dijelaskan Salahuddin Wahid dan AS Laksana (Jawa Pos, 31/1).

Untuk pemula, buku ini sangat bagus. Kekurangannya, isi buku ini kurang sistematis, tidak ada muatan teori yang memadai, terkesan cerita kecil saja. Walaupun begitu, buku ini mampu memberi motivasi tinggi kepada pembaca.

Menjadi penulis dan bergelut di dunia kepenulisan adalah sebuah pilihan dan kehormatan. Pilihan, ka-rena kita total menggelutinya. Kehormatan, karena kita menjadi pengabdi kebenaran. Walaupun membutuhkan proses yang panjang-minimal tidak mudah patah arang. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

*) Peresensi adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ) Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Ibrah: Pesan Kiai Muslih

Kiai Muslih, yang memimpin pesantren di Kebumen, senantiasa menegaskan kepada santri-santrinya tentang pentingnya menelaah kitab-kitab tasawuf dan kebatinan Jawa. Salah seorang santri, yang terkenal lantaran semangatnya yang membara, mem-buat sebuah catatan atas semua yang diajarkan Kiai Muslih dan menghabiskan masa istirahatnya untuk merenungkan ajaran-ajaran para ulama sufi dan para wali.

Setelah dua puluh tahun mondok, santri tersebut diminta sang kiai untuk pulang kampung dan mengamalkan seluruh pelajaran yang didapatnya.

“Terima kasih Kiai, atas segala kebaikan dan ajaran yang selama ini Kiai berikan kepada saya. Akan tetapi, saya masih belum merasa puas menimba ilmu di pesantren ini. Saya ingin lebih lama lagi nyantri untuk menuntaskan kitab-kitab yang masih belum saya kaji. Sudilah kiranya Kiai mempertimbangkan permohonan saya ini,” pinta santri dengan takzim.

Beberapa saat suasana berubah lengang. Lalu Kiai Muslih menjawab, “Aku anggap sudah saatnya kau mempelajari kitab-kitab tasawuf yang lebih dalam lagi dari yang diajarkan di pondok ini, yakni Kitab Kehidupan. Ya, kehidupan yang sesungguhnya di masyarakat. Jini, ada satu hal lagi yang harus kau ketahui; ada sebutan Kitab Garing, yaitu kitab-kitab yang berupa kertas dan tulisan beserta isi dan maknanya, dan itulah yang diajarkan di sini. Yang kedua ada-lah Kitab Teles, yaitu pengejawan-tahan dari Kitab Garing ke dalam kehidupan nyata. Sejak dulu, para sufi dan para wali menjalankan ini sesudah sekian puluh tahun lamanya mereka belajar beragam ilmu. Sujud raga dan sujud jiwa adalah lentera dalam meniti jalan hidup ini. Sekarang pulanglah dan amalkan ilmumu sebaik mungkin. Semoga Allah senantiasa melindungi setiap langkahmu.” (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

* Dinukil dari karya Fahruddin Nasrullah, Syekh Branjang Abang, [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007], h. 49)

Uswah: Syekh Yusuf Al-Makassari

Ulama Pejuang Lintas Negara


Sebagai putera Nusantara, justru namanya berkibar di Afrika. Ia dikenal sebagai seorang sufi, komandan tempur, sekaligus aktivis dakwah lintas negara. Benar-benar multitalenta.

SAYA melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan meng-gumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani.” Demikianlah kata-kata indah Taufiq Ismail terukir indah di buku bertajuk Syekh Yusuf, seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis oleh Abu Hamid. Ia mengguratkan catatan usai mengunjungi sebuah bukit di kawasan Faure, Desa Macassar, Afrika Selatan, di musim gugur Bulan April 1993.

Nama lengkap pahlawan ini adalah Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’e, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Sebagai keluarga bangsawan maka Yusuf pun berkesempatan belajar ke Cikoang, sebuah desa yang menjadi sentral pengajaran ilmu agama. Para gurunya adalah keluarga- sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW, seperti Syekh Jalaludin al-Aidid dan Sayyid Ba’lawi At-Thahir. Dari dua ulama inilah Yusuf kecil belajar, selain pada Daeng Ri Tassamang, ulama yang menjadi guru para bangsawan kerajaan Gowa.

Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota bernama Pangeran Surya, yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Di Aceh ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah.

Dari Aceh ia berangkat ke Yaman dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah Tareqat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa’adah Al-Ba’laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke seantero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperoleh-nya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus).

Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah), Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon, Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

Dari Banten Hingga Afsel

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Setelah itu, Syekh Yusuf pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, pada bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebar-kan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Karena pengaruhnya yang besar, dan berpotensi melahirkan pemberontakan, Belanda merasa risau dan khawatir. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab ia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sebagai putera terbaik Nusantara, Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhijjah 1116 H.

Makam Syekh Yusuf yang berada di Gowa adalam salah satu dari lima versi makamnya. Yaitu di Cape Town (Afrika Selatan), Srilanka, Banten, dan Madura. “Makam sebenarnya Syekh Yusuf ada di Lakiung (Gowa),” kata sejarawan Anhar Gonggong.

Di sebelah kanan makam Syekh Yusuf, juga dikebumikan Sitti Daeng Nisanga (istri syekh Yusuf yang juga bibi Sultan Hasanuddin). Sedangkan di samping kirinya ada makam Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa XIX yang juga putera Sultan Hasanuddin). Ada pula makam Syekh Abdul Dhahir, murid utama Syekh Yusuf.

Hebatnya, Syekh Yusuf tidak hanya dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat Banten dan Makassar. Pun demikian bagi warga Afrika Selatan.

Pada Oktober 2005, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya. Dua di antaranya adalah Andi Makmun, keturunan ke sembilan Syekh Yusuf dan Syachib Sulton, keturunan ke sepuluh.

Melihat kiprah dan perjuangan Syekh Yusuf, Nelson Mandela, pejuang anti diskriminasi dan mantan presiden Afsel, bahkan menjuluki putra Nusantara itu sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

* Dimuat di Majalah AULA No. 04/XXXII April 2010 dalam rubrik "USWAH".

Minggu, 25 April 2010

TV9, Menghibur dan Berdakwah di Layar Kaca



Alhamdulillah, itu barangkali kalimat yang paling pantas disampaikan sebagai ungkapan syukur karena NU telah memiliki stasiun televisi sendiri. Dengan harapan media ini dapat menjadi alternatif hiburan diantara tayangan yang ada.

TONTONLAH televisi yang berada di channel 42 UHF, maka anda akan bertemu dengan stasiun TV9,” kata Ahmad Hakim Jayli yang dipercaya sebagai Direktur Utama TV9 berpromosi. Ya, pada akhir bulan Januari lalu, berbarengan dengan peringatan hari lahir NU yang ke 84, secara resmi TV ini di soft launching. “Tapi kita masih dalam proses percobaan, jadi siarannya belum dapat diterima secara baik,” kata Hakim, sapaan akrabnya-.

Memenuhi Harapan

Boleh dikata, kehadiran TV9 sebagai jawaban atas berbagai harapan dan keinginan dari warga NU untuk mermiliki media televisi sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa SMS yang masuk ke Aula, tidak sedikit yang menginginkan agar NU secara mandiri dapat turut berperan aktif dalam menyajikan siaran yang lebih religius dan mendidik. Karena seperti dimaklumi bersama, tidak sedikit yang merasa kecewa dengan tampilan media visual baik di tingkat lokal maupun nasional.

Apalagi hal ini telah direkomendasikan oleh para PCNU dalam perhelatan Konferensi Wilayah NU beberapa waktu berselang. “Taushiyah para kiai telah mengamanatkan agar NU bisa melakukan langkah antisipasi dari dampak televisi,” ungkap bapak kelahiran 24 Mei 1970 ini.

Berangkat dari keprihatinan atas kondisi riil tersebut, maka beberapa orang NU yang ikut peduli dengan keadaan ini mulai merintis sebuah televisi lokal. “Awalnya kami men-dirikan PAS TV atau Pasuruan Televisi yang beroperasi di kota Pasuruan,” kenang almunus Universitas Brawijaya Malang ini.

Dan gayungpun bersambut. Lewat upaya keras yang dilakukan oleh KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah bersama para pegiat PAS TV, akhirnya keluarlah surat izin penyiaran nomor 367/KEP/MKom Info/10/2009 untuk TV9 di kanal 42. “Boleh dikata, PAS TV adalah sebagai embrio dari lahirnya TV9,” tandas bapak berputera satu ini. “Namun yang perlu diketahui, memperoleh izin itu sangat sulit. Ini kerja yang sangat luar biasa,” tandas Hakim.

Usai izin operasional didapat, tentu pekerjaan berat telah menanti. Agar bisa tayang, tentu saja membutuhkan alat pendukung yang ternyata biayanya tidak ringan. “Kalau mau ideal, untuk penyediaan sistem transmisi atau pemancar saja membutuhkan dana sekitar tujuh milyar,” tandas alumnus Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia ini.

Karena itu, untuk meringankan beban biaya yang demikian besar, pihak menejemen bekerjasama dengan televisi yang telah memiliki jangkauan luas. “Akhirnya kita menggunakan tower milik MNC yang memang berpengalaman dan jangkauannya luas,” tandas Hakim.

Namun demikian, TV yang berada dibawah PT Dakwah Inti Media (DIM) ini belum sepenuhnya dapat diterima dengan baik lantaran kekuatan jangkauan siarnya masih terbatas. “Namun kami akan berusaha optimal agar jangkauan dan mutu siaran akan dapat dinikmati dengan baik,” kata alumnus Pesantren Miftahul Huda, Gading Kasri Malang ini.

Siap Bersaing

Seperti diakui oleh Hakim, berbisnis di media elektronik ini cukup ketat. Dalam tahap awal, PT DIM sadar bahwa tidak mudah menggeser fanatisme pemirsa untuk berpindah ke chanel 42. “Namun kami optimis dengan persaingan ini,” tandasnya berbinar. Potensi warga NU yang merupakai penikmat sejati acara televisi, demikian pula banyaknya tokoh lokal di Jawa Timur yang memiliki massa fanatik, adalah potensi yang akan digarap secara serius. “Potensi besar itu nantinya akan kita imbangi dengan menyajikan tayangan dan program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat,” kata jebolan Pesantren Darul Ulum Karang Pandan Pasuruan ini.

Apalagi televisi kebanggaan yang menempati kantor di Jalan Raya Darmo 96 Surabaya ini memiliki makna filosofis yang dalam. Menamakan televisi ini dengan TV9, setidaknya ada beberapa tujuan yang ingin dicapai. Sama dengan NU, maka sembilan memiliki makna sebagai representasi dari identitas NU. “Sembilan merupakan angka tertinggi. Dengan demikian, puncak prestasi adalah harapan dari televisi ini,” tandas Hakim dengan senyum optimisnya. “Puncak prestasi itu tentunya tidak semata di dunia, tapi juga sampai akhirat kelak,” katanya melanjutkan.

Yang juga menjadi inspirasi dari televisi ini adalah semangat untuk mengaktualisasikan metode dakwah seperti yang pernah dilakukan oleh Walisongo. “Akulturasi budaya dan agama yang demikian elegan telah dilakukan para wali ratusan tahun lamanya dalam melakukan islamisasi di tanah air,” tandas Hakim. “TV9 ini lahir untuk melakukan revitalisasi metode dakwah yang pernah dilakukan para wali,” lanjutnya.

Bagi Hakim, tantangan terberat sekarang adalah “Kalau saat Walisongo dulu berhasil melakukan islamisasi kultural, maka kita jaman sekarang harus melakukan modivikasi dakwah sehingga tetap menarik namun tidak menghilangkan substansi dari ajakan yang ada.”

Televisi ini memilih jargon “Santun dan Menyejukkan”. Boleh dikata, pemilihan kalimat tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. “Kami ingin memberikan alternatif hiburan dengan tidak meninggalkan pesan-pesan keagamaan. Jangan sampai dakwah yang kita lakukan tidak menarik, demikian pula jangan sampai hiburan kita jauh dari nuansa religiusitas,” tandas Hakim.

Karenanya, dengan kelebihan tayangan dan program yang akan dipilih serta ditunjang networking yang dimiliki struktur NU dari mulai level PW sampai MWC dan ranting serta komunitas kultural adalah potensi yang layak diopti-malkan. “Dengan potensi loyal audience yang dimiliki, kami bisa meyakinkan para mitra untuk berpartisipasi memperkenalkan produk dan jasanya di media ini,” kata Hakim.

Sebagai televisi yang kehadirannya dibidani oleh aktivis media NU, maka kehadiran TV9 akan terus berusaha menjalin komunikasi yang intens dengan komunitas jam’iyah. Karenanya, pada Musyawarah Kerja Khusus yang hendak diselenggarakan awal bulan depan, televisi ini akan memulai percobaan program siaran.

“TV9 mulai tayang mulai jam 17.00 dengan berbagai acara spesial,” tandas Hakim. Pihak TV9 juga senantiasa terbuka dalam menerima saran dan kritik demi kebaikan bersama. “Silakan disampaikan kepada kami. Masukan itu akan terus kami komunikasikan dengan crew yang ada,” tandasnya.

Yang tidak kalah penting adalah “Kami senantiasa meminta doa dan restu dari para masyayikh, kiai, ulama, maupun warga NU demi kesinambungan TV ini di masa mendatang,” tandas Hakim. Jangan sampai anugerah terbesar ini nantinya tidak bertahan lama. “Ini menyangkut eksistensi dakwah Islam dan keberadaan NU di tengah masyarakat,” katanya mengharap. Semoga sukses.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XII edisi Maret 2010 dalam rubrik “LIPSUS”.

Belimbing Tasikmadu Tuban

Produk Lokal, Juarai Kontes Internasional


Jenis belimbing tasikmadu telah dinobatkan sebagai produk unggulan nasional dan belimbing kualitas terbaik di Jatim. Siapa sangka kalau perintisnya adalah seorang lulusan pesantren yang pernah menjadi Ketua Ranting NU.

SULIT rasanya menggunakan bahasa untuk mengungkapkan semua rasa. Sama sulitnya dengan menjelaskan perbedaan manisnya madu, manisnya buah dengan manisnya gula. Demikian juga terasa sulit menggambarkan manisnya belimbing tasikmadu dengan belimbing lainnya. Manis rasanya, besar bentuknya, mencolok warnanya dan harum aromanya. “Pokoknya belimbing tasikmadu lebih enak,” begitu kira-kira akhirnya.

Ya. Belimbing jenis ini memang belum ada duanya sehingga diberi nama tasikmadu sesuai nama desanya. Di kawasan pantai utara Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, desa ini berada. Di arah timur pusat kota dan berbatasan dengan Kabupaten Lamongan bagian utara.

Siapa yang berperan besar di balik penemuan belimbing yang khas ini? Dialah H Mahrus. Seorang warga setempat yang secara otodidak dan sedikit nekat berani mencoba mengembangkannya.

Sebagaimana kehidupan di desa, menemukan rumah H Mahrus tidak sulit. Begitu masuk ke kawasan Desa Tasikmadu, bertanyalah kepada warga di mana lokasi rumah H Mahrus. Maka Anda akan sampai ke rumahnya dengan arahan mereka.

Putra pasangan H Muhammad Jais dan Hj Aminah ini mengaku keberhasilannya sempat diklaim dan diberitakan sebagai binaan salah satu pesantren yang berafiliasi ke ormas “tetangga”. Tentu H Mahrus keberatan. Gayung bersambut, PWNU Jatim memberinya Anugerah NU 2010 di bidang pengembangan ekonomi masyarakat.

Saat diundang untuk menerima Anugerah NU dalam puncak Harlah NU ke-84 pada Ahad (31/1) lalu, H Mahrus tak bisa hadir dan diwakili PCNU Tuban. Ia memohon maaf karena harus mengikuti kegiatan keagamaan di Kota Tuban yang se-cara istiqamah telah ia jalani beberapa tahun terakhir

15 Hektar dengan 6000 Pohon

Kisah keberhasilan H Mahrus dimulai pada tahun 1986. Saat itu ia baru saja pulang ke rumah setelah lulus dari Pendidikan Guru Agama (PGA setingkat SMA) di Pesantren Darut Tauhid Al-Alawi Senori, Tuban. Ia melihat pohon belimbing di depan rumahnya sedang berbuah. Meski banyak pohon belimbing lain di desanya, tapi masyarakat lebih menyukai belimbing yang ditanam oleh Ibu Aminah itu. Lebih manis kata mereka.

H Mahrus sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Ia hanya mengira bahwa dulu perawatannya bagus dan didukung dengan struktur tanah kapur di daerahnya yang memang baik untuk buah-buahan.

Perubahan besar berawal dari keberanian H Mahrus. Saat mayoritas masyarakat menanami ladangnya dengan jagung, kacang dan jenis palawija lainnya, H Mahrus nekat menanami ladang ayahnya dengan 33 pohon belimbing yang tumbuh dari biji belimbing yang dipetik dari depan rumah. Sedianya ia mengira panen akan membutuhkan waktu lama. Namun setelah dirawat secara intensif dengan pemupukan dan pengairan, ternyata hanya bu-tuh 9 bulan untuk panen.

Setelah panen, memang tidak semua pohon menghasilkan buah semanis induk belimbing . Namun dibanding dengan pohon milik warga lain, belimbing kata putra ketiga dari enam bersaudara initerasa lebih manis.

“Hasil panennya saya jual di pasar dengan harga 2.500 per kilo. Setiap pagi saya bawa dua kardus. Awalnya dikira mainan karena warnanya yang mencolok tapi selalu habis dalam waktu kurang dari 2 jam,” terang ayah dua anak ini.

Sejak itulah, masyarakat mulai mencari-cari belimbing H Mahrus. Mereka bingung bagaimana menyebut jenis belimbing itu sehingga disebut saja belimbing tasikmadu karena berasal dari Desa Tasikmadu. Ada pula yang menyingkatnya dengan menyebut blimbing madu karena saking manisnya.

Kabar adanya belimbing tasikmadu kemudian semakin luas. Banyak warga Kota Tuban yang tiba-tiba datang ke rumahnya untuk membeli belimbing. Terutama komunitas warga Tionghoa. Hampir setiap hari Ahad mereka datang dan mengambil sendiri belimbing di ladang. Seperti menjadi tempat wisata baru.

Saat itulah H Mahrus semakin yakin belimbing ini adalah ladang bisnisnya yang harus dikembangkan. Dari ladang yang hanya berukuran 40 x 45 meter persegi telah berkembang menjadi lahan seluas 15 hektar dengan sedikitnya 6.000 batang pohon belimbing. Pada umur empat tahun, satu pohon bisa menghasilkan 30-50 kilogram buah per tahun. Saat panen raya, desa ini bisa menghasilkan satu hingga dua ton buah bintang segar per hari. Dari harga Rp. 2.500 per kilo, sekarang sudah seharga Rp. 10.000 – Rp. 15.000 per kilo.

Kini, H Mahrus lebih banyak di rumah berkonsentrasi merawat dan memanen pohon belimbing. Untuk pemasaran dan mengembangkan usaha ke luar, H Mahrus menyerah-kannya kepada adiknya, Yasin. Tak hanya di Tuban, belimbingnya telah merambah ke hampir seluruh daerah di Jatim. Umumnya para tengkulak buah datang langsung ke rumahnya dan memasarkannya di daerah masing-masing.

Menurut H Mahrus salah seorang pembeli besarnya berasal dari Surabaya. Dia adalah seorang keturunan Tionghoa yang biasa memborong puluhan kwintal dan menjualnya di beberapa supermarket. Dia pula yang pernah membawa belimbing ini mengikuti kontes internaisonal buah tropis di Singapore pada 2002. Di sana, belimbing menang sebagai juara pertama kategori aroma dan juara ketiga kategori bentuk buah.

Karena itulah tak heran jika Menteri Pertanian RI Kabinet Indonesia Bersatu I, Anton Apriantono pada 2008 silam tak segan berkunjung ke ladang belimbing tasikmadu. Dinas Pertanian Provinsi Jatim juga tak ragu memberikan sertifikat kepada H Mahrus yang menetapkan belimbing tasikmadu sebagai varietas baru buah belimbing dan menjadi produk unggulan nasional dari Jatim.

Perkembangan bisnis belimbing tasikmadu dengan sendirinya meningkatkan taraf ekonomi warga Tasikmadu. Mereka tergolong dalam tiga kelompok yang memiliki peran berbeda. Pertama, tetangga yang memiliki ladang. Mereka melakukan perjanjian bagi hasil dengan merelakan ladangnya ditanami belimbing oleh H Mahrus. Mereka berhak menerima 1/3 hasil penjualan belimbing setelah dipotong biaya. Kedua, para pekerja yang membantu H Mahrus merawat dan memanen belimbing. Sebelumnya rata-rata mereka bekerja sebagai buruh tani yang jumlanya tak kurang dari 100 orang. Ketiga, warga sekitar yang menjadi penjual belimbing di sekitar jalan raya dan pasar-pasar tra-disional di Kecamatan Palang.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘WIRAUSAHA’.

Ulama Lebanon Belajar kepada NU


Bendera NU makin berkibar di pentas dunia. Melalui ICIS, nama Nahdlatul Ulama makin dipercaya untuk dapat memberikan inspirasi dalam menyatukan gerakan Islam berwawasan Rahmatn lil Alamin. Berikut kisah perjalanan utusan PBNU ke medan konflik di Lebanon, pertengahan Januari lalu.

KEPERCAYAAN dunia Islam kepada Nahdlatul Ulama rupanya semakin lama semakin menguat. Setidaknya bisa dilihat dari undangan Tajammu’ Ulama fi Lubnan (semacam MUI-nya Lebanon) pada pertengahan Januari lalu kepada PBNU. Dalam kesempatan itu rombongan yang berangkat adalah KH A Hasyim Muzadi (Ketua Umum), KH Masyhuri Na’im (Rais), KH Miftachul Akhyar (Rais Jatim), Ajengan Asep (Rais Jabar), Tubagus Halim (Rais Banten), HM Zed Hamdi (Ketua Kalbar), Gus Zaim Ahmad (Ketua Lasem), dan dua orang lainnya dari Malang. Maksud undangan adalah untuk misi perdamaian, sesuai mandat ICIS kepada NU sebelumnya.

Rombongan dari Jakarta menaiki pesawat Al-Ittihad milik milik Uni Emirat, turun di Abu Dhabi. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar tujuh jam. Rombongan sempat heran, karena menjelang perjalanan menuju Lebanon yang diperkirakan membutuhkan waktu tiga jam itu, pemeriksaan cukup ketat. Tidak seperti di Indonesia. Sepatu, arloji, bulpen, kopiah, semuanya dilepas untuk diperiksa. “Untung sarung tidak (dilepas),” gumam Kiai Miftah sambil terkekeh.

Sampai di Bandara Rafiq Hariri sekitar pukul tiga dini hari, mereka dijemput dua kelompok Sunni dan Syi’i di kamar VIP. Untuk membedakan kedua kelompok itu tidak terlalu sulit. Untuk gamis mereka hampir sama. Satu-satunya penanda mereka adalah penutup kepala. Pada kelompok Sunni ada kuncung warna merah, sedangkan di Syi’i tidak ada. Setelah melakukan pembicaraan sekitar setengah jam, mereka dibawa ke hotel untuk istirahat sejenak.

Pukul 09.00 rombongan sudah dijemput para tokoh ulama untuk menuju Lebanon Selatan di Distrik Khalda, jaraknya sekitar 130 km. Daerah ini berada dalam kekuasaan Hizbullah. Perjalanan dilakukan dengan menyisir pantai yang indah laut tengah Mediterania, melalui perkebunan pisang dan jeruk serta apartemen-apartemen di dataran tinggi Ghoolan sepanjang 72 km. Alam Lebanon memang sangat indah, dan subur. Tidak heran kalau negeri ini dijuluki Paris-nya Timur Tengah. Rombongan juga melewati gunung dan goa-goa persembunyian para gerilyawan Hizbullah. Di sepanjang perjalanan banyak terpampang foto-foto para syuhada di pinggir jalan. Semua itu untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka serang berperang melawan Israel. Kira-kira 50 kilometer menjelang sampai, suasana sudah tegang. Nuansa perang sudah mulai terasa.


Ada yang unik di Lebanon. Meski antara milisi dan pemerintah terus berperang, ditambah dengan perang lain yang melibatkan pemerintah plus milisi melawan Israel, ternyata dalam internal dalam negeri yang berkonflik itu memiliki kesepakatan tersendiri. Pariwisata, pendidikan, dan perbankan tidak boleh terganggu. Jadinya, meski dalam suasana perang, ketiga departemen itu tetap berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada libur seperti di negara lain.

Sesampai di lembah Khiyam, mereka ditunjukkan bekas-bekas alat perang yang ditinggalkan Israel. Ada meriam dan tank yang rontok, serpihan bom, bangunan hancur, dlsb. Semuanya dibiarkan teronggok di tempat itu tanpa ada yang mengambil. “Kalau di tempat kita, mungkin sudah diambili pemulung,” ujar Kiai Miftah sambil tersenyum. Tak lupa mereka diajak melihat penjara Khiyam yang dikenal horor. Di tempat itulah dulu tentara Israel banyak menyiksa para pejuang muslimin di luar batas kemanusiaan.

Lembah Khiyam memang sempat dikuasai Israel. Namun melalui perang sangat sengit, akhirnya tempat itu dapat direbut kembali oleh Hizbullah. Hingga kini lembah Khiyam seakan tanah tak bertuan. Meski berada sangat dekat dengan permukiman Israel, namun wilayah itu tetap dalam penguasaan Hizbullah. Saking dekatnya dengan permukiman Israel, jangankan melihat, melempar sesuatu pun akan sampai. “Umpama ada yang melempar onde-onde dari sana, mungkin kita akan merasakan akibat,” tutur Kiai Miftah.

Tak jauh dari tempat itu banyak tank UNIFIL (penjaga perdamaian PBB dan pasukan Garuda ada di dalamnya) berseliweran. Indonesia memang mengirimkan dua ribu pasukannya untuk memperkuat perbatasan Lebanon-Israel. Beberapa waktu rombongan mengunjungi anggota TNI yang sedang bertugas di sana. Tak lupa sambil foto-foto untuk kenangan.

Perjalanan selanjutnya ke kota Shuur untuk bertemu dengan Syeikh Nabil Qouq, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Lebanon. Bedanya tinggi, besar dan tegap. Suaranya mantap. Dari Syeikh Nabil inilah Kiai Hasyim mendapatkan kenang-kenangan istimewa berupa serpihan bom cluster yang dijatuhkan oleh Israel. Padahal dalam konvensi internasional penggunaan bom itu sudah dilarang. Tapi namanya juga Israel, apapun dilakukan untuk dapat memenuhi ambisinya.

Selanjutnya perjalanan menuju kota Sidoon. Rombongan sudah ditunggu oleh para tokoh Sunni dan Syi’i di sana. Rombongan juga menemui Syeikh Hammood dan Syeikh Maulana Ahmad Zen, Ketua Tajammu’ di Shaida (Sidoon). Di tempat itu rombongan juga dipertemukan dengan Mufti Shaida dan Lubnan Al-Janub.

Esok hari perjalanan dilanjutkan ke lembah Biqo’ (Beeka). Di sini merupakan wilayah kekuasaan sekte Drutz. Rombongan dapat bertemu dengan tokoh spiritual Drutz, Syeikh Nasruddin al-Ghorib. Druts adalah semacam sekte kebatinan di Indonesia. Jumlah mereka lumayan besar dan juga lumayan kuat. Di parlemen, wakil mereka bergabung dengan para ulama Sunni dan Syi’i dalam menghadapi pemerintah yang didukung oleh Barat.

Setelah bertemu dengan Syeikh Mohammad Yazbik, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah untuk wilayah Lebanon Timur, rombongan menziarahi makam Nabi Yunus AS di distrik Jiyyah. Sayang, makam itu kurang terawat. Terletak di perkampungan dengan jalan yang sempit, berada di dekat masjid yang juga tidak terawat. Selanjutnya ke makam Saiyidatina Khoulah binti Husain bin Ali RA.

Selanjutnya rombongan menuju kota Ba’albak (Balbeek) melalui kota ‘Alay. Di situlah terlihat betapa menariknya Lebanon. Ada kebun-kebun anggur yang luar biasa. Udara dingin menyengat, brrr..! Rombongan menziarahi makam Saiyid Abbas, Pimpinan Hizbullah sebelum Hasan Nas-rallah. Dilanjutkan ke makam Nabi Ayub AS, lalu ke makam Nabi Syits bin Adam AS. Untuk ukuran Indonesia, makam itu terbilang unik. Panjangnya 30 meter! Mungkin karena berada dalam komunitas Syiah, makam itu terawat rapi dan dikeramatkan.

Balbeek adalah kota yang menjadi pusat Syi’ah. Suasana cukup ramai. Ada pemandangan yang terasa aneh. Di setiap 100 meter terpampang banyak foto di pinggir jalan, seperti musim Pilkada di Indonesia. Pada tempat-tempat tertentu terbentang spanduk melintang di jalan. Isinya, bukan untuk mendukung salah satu pasangan calon, tapi ajakan untuk mati syahid! Foto-foto para pemimpin mereka dan orang-orang yang gugur sebagai syuhada menghiasi jalanan kota Balbeek. Semangat perang begitu terasa, dan tokoh-tokoh mereka begitu dikagumi.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan para ulama di sana, Kiai Hasyim selalu memberikan suntikan semangat perjuangan kepada mereka, sekaligus menjelaskan pemikiran NU dalam konsep ukhuwah dalam hubungannya bernegara. “Jangan kecil hati, dan jangan putus asa. Dengan persatuan, kemerdekaan akan dapat direbut kembali,” begitu wejangan Kiai Hasyim, sambil tak lupa menyebut Indonesia pernah dijajah bangsa lain selama 350 tahun.
(Kiai Hasyim bertemu Syeikh Hasan Nasrallah dan Syeikh Wahbah Az-Zuhailli menghendaki Kiai Hasyim pimpin NU ... bersambung pada edisi selanjutnya).

Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘MUHIBAH’.