Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Februari 2017

Tokoh Muda dengan Banyak Terobosan

H. Abdullah Azwar Anas, S Pd, SS, M Si.
Tokoh Muda dengan Banyak Terobosan

Di usianya yang masih terbilang muda, Kang Anas, demikian ia biasa disapa, telah menorehkan karir yang cemerlang. Beberapa jabatan penting politik dan organisasi telah dipercayakan kepadanya. Kini, selain menjabat Bupati Banyuwangi, ia juga Ketua ISNU Jawa Timur. Terbaru, sejumlah partai politik menyebut-nyebut namanya untuk disandingkan mendampingi Pak De Karwo dalam Pilgub 2013.
--------

Ahad pagi (11/11) sekitar pukul 07.00 WIB, Aula mendatangi GOR Tawangalun dengan tujuan wawancara Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Ya, karena di tempat itulah Kang Anas bersama warganya sedang menyelenggarakan jalan sehat memperingati Hari Kesehatan Nasional di Banyuwangi. Ternyata benar, tak lama kemudian orang yang kami cari telah muncul.
“Aula ya!?” sapanya ketika kami bertemu, lalu ia mempersilakan masuk ke mobil dinasnya. Bupati asli putra daerah yang masih mengenakan kaos olah raga, training panjang dan sepatu kets itu tampak sumringah. Perasaan penuh optimis selalu tampak terpancar dari wajahnya. Tak lama kemudian mobil plat merah itu meluncur menuju rumah dinas. Nah, selama perjalanan itulah kami melakukan wawancara dengannya. “Sebentar lagi saya langsung ke Surabaya, Mas, untuk menggelar rapat koordinasi dengan jajaran pengurus ISNU,” ungkapnya sambil meminta maaf karena waktu yang diluangkan tidak banyak. Yah, memang itulah konsekuensi seorang pejabat, apalagi seorang kepala daerah.
Kang Anas pun bertutur tentang pengabdiannya di NU. Menurut bapak satu putra itu, kesadaran dirinya untuk aktif di lingkungan NU tidak datang begitu saja. Rupanya semua itu terjadi karena keinginan orang tuanya yang sejak lama mendambakan anak-anaknya menjadi aktifis NU dan mengabdi kepada kiai. Terbukti, sejak kecil dirinya sudah akrab dengan pendidikan NU. Beberapa kali dirinya nyantri di pondok pesantren kenamaan; mulai dari Pondok Pesantren An-Nuqoyyah (Sumenep), Bustanul Makmur (Banyuwangi), Darunnajah (Banyuwangi) dan Pesantren Ash-Shiddiqi Putra (Ashtra, Jember). Pesantren-pesantren itulah yang banyak membentuk karakter ke-NU-an dirinya.
Khusus untuk Pesantren An-Nuqoyyah, Guluk-guluk, Sumenep, suami dari Ipuk Fiestiandani ini mengaku dirinya punya kenangan tersendiri. Ketika masih SD, ia diajak oleh ayahnya menemui temannya di daerah Madura. Nah, setelah bertamu, tiba-tiba dia ditinggalkan di sana dan disuruh mondok di Pesantren An-Nuqoyyah, yang kebetulan tak jauh dari rumah teman ayahnya. “Tentu ini mengagetkan, niat berkunjung ternyata di suruh mondok,” kenangnya sambil terkekeh. 
Pengabdian di NU dimulai ketika dirinya duduk di bangku sekolah menengah atas dengan mendirikan IPNU Komisariat SMA Negeri Kotatif Jember. Memang, semasa SMA lelaki kelahiran Banyuwangi 6 Agustus 1973 itu mondok di Pesantren Ashtra dan sekolah di SMAN 1 Jember. Posisi itu diambil karena dia memegang teguh pesan ayahnya yang mengharuskan berpijak di pesantren. “Abah saya memperbolehkan sekolah di mana saja, asalkan tinggal di pesantren," Kang Anas menceritakan masa lalunya. “Nah, waktu sekolah di SMA Negeri 1 Jember itulah saya aktif di IPNU dan menjadi ketua komisariat di sana,” tuturnya dengan nada merendah. Padahal banyak orang mengakui terobosannya dalam membuka Komisariat IPNU di SMA Negeri bonafide tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa.
Dari IPNU komisariat itulah karirnya terus meningkat. Terutama sejak dirinya memutuskan hijrah ke ibukota untuk kuliah di Fakultas Teknologi IKIP dan Fakultas Sastra UI Jakarta pada tahun 1992. Selama masa-masa perkuliahan itu pula dirinya terus aktif di PP IPNU dan berupaya memberikan yang terbaik untuk NU. JabatanWakil Sekjen PP IPNU (1993-1996) dan Sekjen PP IPNU (1996-2000), bahkan Ketua Umum PP IPNU (2000-2003), pernah dipercayakan kepadanya. Rekam jejak yang sedemikian gemilang di usia muda itulah yang menjadikan anak kedua dari 11 bersaudara putra pasangan KH Achmad Musayyidi dan Hj Siti Aisyah itu semakin banyak mendapat kepercayaan dari NU.
Ketika masih menjabat Sekjen PP IPNU misalnya, ia telah terpilih menjadi anggota MPR-RI termuda kedua dari utusan golongan (1997-1999). Dari sinilah karir politiknya dimulai. Ketika PKB didirikan pada 1998, ia duduk di Wakil Ketua Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Garda Bangsa (1998-2000), setahun kemudian dipercaya menjadi Wakil Sekjen DPP PKB (2001-2005).
Kursi DPR RI mulai dirasakannya melalui hasil Pemilu 2004. Lima tahun ia duduk di Komisi V yang membidangi infrastruktur, transportasi, perumahan dan daerah tertinggal. Di komisi itulah Kang Anas menjadi salah satu inisiator penyelesaian kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, inisiator hak interpelasi DPR atas kenaikan bahan bakar pokok, dan juga inisiator hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan tarif BBM pada tahun 2007.

Memimpin Daerah
Dua tahun lalu Kang Anas terpilih sebagai Bupati Banyuwangi. Di tanah kelahirannya itu makin tampak jelaslah jiwa kepemimpinnya yang luar biasa. Betapa tidak, gonjang-ganjing dunia politik di Kota Gandrung itu sangat keras dan berlarut-larut. Banyak korban telah berjatuhan. Tapi setelah tampuk kepemimpinan berada di tangan Kang Anas, suasana panas itu sirna dengan sendirinya.
Ketika suasana sudah tenang, Kang Anas memulai kerja dengan semangat tinggi. Ia bertekad untuk menjadikan Banyuwangi sebagai The Sunrise of Java. Banyak gebrakan luar biasa ia tunjukkan. Kekayaan alam dan potensi sumber daya manusia yang ada ia manfaatkan betul untuk membangun. Hasilnya? Ternyata luar biasa. Dalam masa dua tahun ia berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 72,2 persen pada akhir tahun lalu, dengan IPM dari 68% menjadi 72,08%.
Atas sentuhan tangannya pula Banyuwangi menjadi semakin menarik di mata investor.
“Menurut data BKPM, tahun 2010 Banyuwangi menempati ranking 31 dalam hal minat investasi di Jawa Timur. Dan pada tahun 2011, Banyuwangi sudah berada di urutan nomor 3 untuk kota tujuan investasi, di bawah Gresik dan Sidoarjo,” tuturnya dengan optimis.
Masalah keamanan dan kemiskinan juga sudah ditandanginya sejak menjabat bupati. Dua tahun silam, Kabupaten Banyuwangi masuk 10 besar rawan kejahatan. Tapi kini, tempat asal muasal budaya Osing ini sudah menapak di 10 besar daerah teraman di Jawa Timur. Salah satu kunci keberhasilannya,  Kang Anas secara rutin mengajak berbagai pihak, Forpimda, kalangan LSM, Ormas dan media duduk bersama memikirkan dan mendukung kondusifitas daerah untuk  Banyuwangi ke depan. 
"Kita punya forum pertemuan tiga bulanan dengan semua pihak. Saya ingin semua elemen masyarakat terlibat dalam program-program pemerintah untuk ikut serta menyejahterakan rakyat," paparnya.
Nama Azwar Anas memang identik dengan terobosan. Untuk mendongkrak pariwisata daerah misalnya, berbagai acara digelar. Bahkan kegiatan-kegiatan berskala  internasional, mulai dari Banyuwangi Ethno Carnival, International Supercross sampai Tour de Ijen. Lelaki yang selalu tampak enerjik itu tak pernah berhenti mempromosikan eco-tourism yang banyak dimiliki di tanah Blambangan itu. Kini, Banyuwangi telah menjadi salah satu destinasi wisata nasional dan internasional. “Ketika banyak wisatawan datang ke Banyuwangi, maka banyak pihak yang diuntungkan, khususnya rakyat,” Kang Anas menjelaskan motif di balik tujuannya.
Salah seorang bupati terbaik selama pendidikan Lemhannas 2012 itu tak keberatan menularkan kunci suksesnya. Salah satu dari kunci itu adalah tetap menjaga komunikasi yang baik dengan para ulama, tokoh lintas agama dan para insan media. Kegiatan itu rutin ia laksanakan setiap tiga bulan sekali. “Untuk menjaga stabilitas keamanan masyarakat dan mendengarkan keluh kesah apa yang ada dalam masyarakat,” tuturnya. Selain itu, yang terpenting adalah pertemuan tersebut juga dapat menjadi motor penggerak dari pembangunan ekonomi yang sedang digalakkan oleh Pemda.

Tetap Setia Berkhidmat
Sebagai seorang kader, Kang Anas mengaku tak pernah lepas komunikasi dengan para stakeholder NU. Ia secara intensif selalu melakukan komunikasi dengan para kiai. "Setiap tiga bulan sekali saya bertemu para kiai, pengasuh-pengasuh pesantren, pengurus dan tokoh-tokoh NU. Saya selalu dengarkan taushiyah-taushiyah mereka. Ini jadi bahan buat saya dalam memimpin Banyuwangi," Kang Anas menularkan resep yang lain.
Ketua PCNU Banyuwangi, KH Masykur Ali, tidak menampik sinyalemen itu. Bahkan Kiai Masykur memandang Azwar Anas sebagai pribadi yang luar biasa dalam memimpin Banyuwangi. Kang Anas, menurutnya, bisa masuk ke semua lini dan membuat gebrakan-gebrakan yang luar biasa. 
"Program-program yang diusungnya memang menyentuh masyarakat, khususnya rakyat kecil. Ia benar-benar diterima. Terobosan-terobosannya belum pernah dilakukan oleh bupati-bupati sebelumnya," terang Pengasuh Pesantren Ibnu Sina Genteng Banyuwangi itu. Lebih dari itu, Kiai Masykur mengacungkan jempol atas upaya Kang Anas dalam menutup lokalisasi di Banyuwangi. Menurutnya, hal itu merupakan tindakan nyata dari seorang umara’ dalam memerangi kemungkaran di daerah kekuasaannya.
Model komunikasi yang efektif ke semua kalangan juga diakui oleh Kiai Masykur. Kang Azwar tidak saja mampu berkomunikasi dengan baik kepada kalangan NU, terhadap pihak-pihak di luar NU juga mendapat dukungan yang besar, termasuk dari kalangan non muslim. Ia mampu menyatukan kerukunan dan kebersamaan antar umat beragama unuk membangun Banyuwangi. Kang Anas, dalam pandangan Kiai Masykur, harus menjabat bupati dua periode agar pekerjaannya tuntas untuk menyejahterakan Banyuwangi.
"Kalau beliau nyalon (bupati) lagi, tidak perlu kampanye, bisa langsung jadi. Karena dukungan masyarakat luar biasa. Seluruh elemen mendukungnya. Pak Anas sudah terbukti," kiai yang selalu enerjik itu mempromosikan kadernya.
Berkat terobosan yang dilakukan dan prestasi yang diraih, pada akhir tahun 2012 lalu Kang Anas terpilih sebagai Bupati Paling Inovatif di bidang kesehatan di Provinsi Jawa Timur. Penghargaan diberikan langsung oleh Gubernur Jawa Timur Dr H Soekarwo.

Kesuksesan di usia muda itulah yang menjadikan Gubernur Jawa Timur Soekarwo (konon) meliriknya untuk mendampingi dalam Pilgub 29 Agustus mendatang. Menanggapi isu bakal digandeng Pak De Karwo, Kang Anas menyatakan, ia menghargai siapapun yang memiliki ide tersebut. Namun ia lebih memilih berkonsentrasi untuk berkhidmat di Banyuwangi yang sekarang sedang berkembang.

*) Dimuat di Majalah Aula 2013

Selasa, 27 April 2010

Tokoh: AGH Sanusi Baco

Ulama Kharismatik Panutan Masyarakat

Jika orang Sulawesi Selatan memanggil Anre Gurutta kepada seorang tokoh, tentu tokoh  itu adalah ulama yang disegani. Sebutan Anre Gurutta menempati status sosial yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis. Dialah Anre Gurutta Haji (AGH) Sanusi Baco, Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan.

Pembukaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama berlangsung gegap gempita. Gedung Celebes Convention Centre (Triple C) Makassar penuh sesak dengan sekitar 5000-an peserta. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandai pembukaan dengan menyampaikan sambutan dan menabuh beduk di penghujung acara. Kemudian Gurutta Sanusi Baco, sapaan akrabnya, diberi kehormatan untuk menutup acara itu dengan memimpin doa.

Gurutta Sanusi Baco adalah ulama pemimpin spiritual masyarakat Bugis. Selain menjadi Rais Syuriah, Gurutta juga dipercaya sebagai Ketua MUI Sulawesi Selatan, Mustasyar PBNU dan Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar serta mengasuh pesantren NU Nah-dlatul Ulum di Kabupaten Maros.

Pemberian gelar Anre Gurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam berdakwah. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anre Gurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anre Gurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.

Gurutta Sanusi Baco dikenal sebagai ulama dengan semangat dakwah yang tak kenal lelah. Sejak muda, Gurutta Sanusi Baco sudah aktif mengajar ngaji dan ceramah keliling di berbagai daerah. Di usianya yang sudah 73 tahun ini, Gurutta Sanusi Baco juga masih tetap menjalani aktifitas dakwahnya.

Sebelum pelaksanaan Muktamar, hampir semua kandidat Ketua Umum PBNU tak lupa meminta restunya. Sebagai tuan rumah, tentu saja Gurutta Sanusi Baco memiliki kharisma dan pengaruh kuat untuk muktamirin.

Sahabat Karib Gus Dur

Gurutta Sanusi Baco lahir di Maros, 4 April 1937 dengan nama Sanusi. Putra kedua dari enam bersaudara dari seorang ayah bernama Baco. Ketika beranjak muda, namanya dinisbatkan kepada ayahnya menjadi Sanusi Baco. Pada zaman Jepang, Sanusi kecil men-jadi perawat kuda tentara Jepang di Maros. Sementara ayahnya adalah seorang mandor.
Setelah merasa cukup dengan belajar kepada beberapa guru ngaji di desanya, Gurutta Sanusi Baco kemudian mondok di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. Setelah lulus aliyah pada tahun 1958, Gurutta Sanusi Baco hijrah ke Makassar dan mengajar ngaji di beberapa tempat.

Saat itulah, Gurutta Sanusi Baco mendapat kesempatan meraih beasiswa dar i Departemen Agama untuk kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Di negeri piramid itu, Gurutta Sanusi Baco mulai bersahabat dengan Gus Dur dan Gus Mus (KH Musthofa Bisri).

“Saya adalah teman seperjalanan Gus Dur ketika naik kapal menuju Kairo untuk kuliah di sana. Perjalanannya satu bulan dua hari. Membosankan sekali. Untung ada Gus Dur yang selalu bercerita menghibur,” kata Gurutta Sanusi Baco mengenang Gus Dur.

Pada tahun 1967, Gurutta Sanusi Baco berniat untuk melanjutkan kuliah S-2 di Al-Azhar. Namun ter-paksa ditarik pulang ke tanah air oleh pemerintah Indonesia karena Gurutta Sanusi Baco mendaftar sebagai tentara sukarela untuk berperang melawan Israel.

Persahabatannya dengan Gus Dur membuat Gurutta Sanusi Baco bertekad untuk berkhidmah di NU. Setelah kembali ke Makassar, aktifitasnya adalah mengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan mulai diminta mengajar ngaji serta ceramah di berbagai daerah. Tak lama kemudian, Gurutta Sanusi Baco diangkat sebagai dosen negeri di Fakultas Syariah IAIN Sultan Hasanuddin Makasar.

“Waktu itu Gus Dur sempat datang ke Makassar. Saya menjemputnya di bandara dengan sepeda motor vespa. Ternyata vespanya mogok, akhirnya saya naik vespa dan Gus Dur yang mendorongnya. Setelah bisa jalan baru kami berkeliling kota Makassar,” kenang ayah dari delapan anak ini.

Semangat Dakwah Tak Kenal Usia

Perjuangan dakwahnya juga dilalui bersama Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla). Saat Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar, terbentuk Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla.

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla.

Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk pindah ke rumahnya sendiri di Jl Pongtiku yang terletak di belakang Masjid Lailatul Qodri Makassar.

Dengan demikian, aktifitas dakwahnya tidak hanya di Masjid Raya, tetapi juga mengisi pengajian setelah subuh dan maghrib di Masjid Lailatul Qodri. Kecintaan beraktifitas di masjid inilah yang ditanamkan pada anak-anaknya. Setiap subuh, Gurutta Sanusi Baco menggendong salah satu anaknya yang masih tidur kemudian tiba-tiba terbangun ketika berada di pangkuan saat mengisi pengajian.

Tahun 1987, keluarga Gurutta Sanusi Baco kemudian pindah ke rumah di Jl Kelapa Tiga Makassar. Namun aktifitasnya terus ia jalani dengan mengajar di kampus, ber-khidmah di NU, berdakwah di masjid-masjid dan ceramah di berbagai daerah di pulau Sulawesi. Hingga pada tahun 1992, Gurutta Sanusi Baco diberi amanah menjadi Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan dan Ketua MUI Sulawesi Selatan sampai sekarang.

Tahun 2001, Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU.

Kini, usianya yang semakin senja tak menghalangi Gurutta Sanusi Baco berdakwah. Bahkan, di saat para muktamirin mulai meninggalkan Makassar usai penutupan pada Sabtu (27/3) malam, pagi harinya Gurutta Sanusi Baco sudah dijemput untuk ceramah di Kabupaten Pinrang yang berjarak sekitar 200 km dari Makassar kemudian di Kabupaten Polman yang berjarak 250 km dari Makassar dan baru berada di rumah pada Selasa (29/3).

“Abah kemana-mana masih suka nyetir mobil sendiri. Baru se-telah operasi bypass karena pe-nyempitan jantung tahun 2008 lalu Abah benar-benar berhenti nyetir. Itupun karena dipaksa dokter,” tutur putra keenam Gurutta Sanusi Baco, Dr Nur Taufiq, MA.

Saat ditanya apa resepnya? Gurutta Sanusi Baco menuturkan, semangat dakwah adalah motivator hidupnya. Meski di rumah kadang kelihatan capek dan letih, tapi ketika menyampaikan ceramah suaranya tetap lantang dan penuh semangat.

Di sisi lain, Gurutta yang dulunya perokok berat berhenti total pada tahun 2000. Saat berada di Masjidil Haram Makkah, Gurutta Sanusi Baco berdoa di Hijr Ismail agar diberi kekuatan oleh Allah menyelesaikan semua amanah yang ia emban dengan baik. Setelah berdoa, ternyata semua rokoknya hilang dan menurutnya itu adalah isyarat bahwa ia harus benar-benar meninggalkan rokok. Selain itu, setelah subuh Gurutta Sanusi Baco selalu menyem-patkan diri untuk selalu jalan-jalan pagi di sekitar rumahnya. Namun setelah operasi itu, Gurutta Sanusi Baco kini mengisi pagi harinya dengan bersepeda di tempat dengan sepeda statis. (AULA No. 03/XXXII April 2010)

Minggu, 25 April 2010

Saudagar dari Masjid


Hadji Kalla

Ia adalah sosok berpengaruh di Sulawesi Selatan. Dermawan, mencintai masjid, dan menjadi bendahara NU Sulsel hingga akhir hayatnya. Hadji Kalla, demikian masyarakat mengenal sosok ini.

SUATU ketika, ia sengaja menaruh beberapa lembar uang di sela-sela tumpukan kain yang akan dijual. Kain itulah yang akan dipasarkan oleh para karyawannya. Ini dilakukannya berkali-kali. Hadji Kalla tinggal menunggu apakah ada laporan tentang uang-uang tersebut. Jika ada, berarti karyawannya lolos seleksi kejujuran, begitu pula sebaliknya. Tes kejujuran inilah yang menjadi seleksi awal bagi karyawan untuk ikut bekerja bersama Hadji Kalla. Baginya, kejujuran merupakan tiang pancang keberhasilan.

Hadji Kalla adalah pendiri PT. Hadji Kalla. Ia lahir pada 1920. Perjuangannya dimulai dari nol dan dari tempat tinggalnya sendiri, kampung Nipa Kabupaten Bone. Meski sudah yatim semenjak usia 3 tahun, ia pantang berputus asa. Segala macam usaha ia lakoni, hingga pada usia 15 tahun ia telah memiliki kios sendiri di Pasar Bajoe, enam kilometer sebelah Timur Ibukota Kabupaten Watampone. Meski memiliki kios sendiri, Hadji Kalla tak gengsi keliling menjajakan dagangannya. Dengan menggunakan kampilo (keranjang besar dari anyaman daun kelapa), ia menyusuri kecamatan-kecamatan di Bone. Dari keuletannya, Hadji Kalla gigih menabung hingga pada pertengahan 1930-an ia berhasil menunaikan ibadah haji. Jadilah ia haji remaja.

Terinspirasi dari tampilan toko tekstil di Makkah dan Madinah yang menarik, Hadji Kalla merombak penampilan kiosnya agar mempesona. Ia memajang kain dengan pola artistik, menguraikannya dari gulungan, dan memajangnya dengan menarik. Berhasil. Perniagaannya mulai berkembang pesat.

Kedua keberhasilan itu, berniaga dan berhaji, belumlah lengkap. Pengusaha remaja itu ingin berumah tangga. Pilihannya jatuh pada Athirah, anak kepala kampung Bukaka. Gadis cantik itu baru berusia 13 tahun saat menikah dengan Hadji Kalla yang berumur 17 tahun. Kelak, duet suami istri inilah yang membawa NV. Hadji Kalla, perusahaan keluarga itu, pada perkembangan yang luar biasa.

Merasa membutuhkan ruang gerak yang leluasa, Hadji Kalla memutuskan membuka beberapa toko di Jl. Wajo Watampone. Selain tetap berniaga tekstil, ia membuka toko pakaian jadi dan toko kelontong. Bisa dibilang, tokonya merupakan yang terbesar di kabupaten Bone. Insting bisnisnya yang tajam menuntun Hadji Kalla untuk kembali membuka toko di kawasan perniagaan Makassar. Kali ini, ia menjalankan roda perdagangan hasil bumi, sambil tetap mengontrol beberapa tokonya di Bone.

Di kota inilah, Hadji Kalla memperluas kegiatan niaganya dengan membikin payung usaha bernama NV Hadji Kalla. NV adalah singkatan dari istilah Belanda Namlozee Venonschap yang artinya Perseroaan Terbatas (PT). Sebagaimana perahu phinisi, kali ini Hadji Kalla mengembangkan layarnya untuk mengarungi samudera perniagaan yang lebih luas. Ya, selain membuka toko, Hadji Kalla juga menekuni bisnis konstruksi, lalu meningkatkan jangkauannya dengan menggarap usaha transportasi yang bergerak di ekspedisi darat dan angkutan penumpang. Usaha ini dumulai pada 1960. Labelnya angkutannya “Cahaya Bone”. Sebagai pengusaha yang saleh, Hadji Kalla mewajibkan semua pengemudi truk maupun bus miliknya untuk singgah di masjid tatkala waktu shalat tiba.

Sederhana dan Dermawan

Suatu ketika, Alwi Hamu, pemimpin grup Harian Fajar, berada di kantor PT Hadji Kalla. Ia menyaksikan bos yang tak suka ruangan ber-AC tersebut mem-berikan sumbangan pembangunan masjid. Dia menduga, paling-paling sumbangan yang diberikan hanya Rp 5 juta. Ternyata sumbangan yang diberikan Hadji Kalla Rp 50 juta. Jumlah yang luar biasa besar pada tahun 1970-an. “Kenapa banyak sekali, Puang Haji?” tanya Alwi. “Tidak tahulah kenapa hati-ku menyuruh memberikan sebanyak itu. Mungkin itu memang rezekinya yang dititipkan kepada saya,” jawab Hadji Kalla kalem.

Begitu cintanya pada masjid, Hadji Kalla rela membobol tembok rumahnya agar tersambung pada Masjid raya Makassar. Sepanjang hidupnya, ia menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Pada masa kepengurusan itu, terbentuk Yayasan Masjid Raya, yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama dengan merekrut alumni IAIN. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla. Salah satunya adalah KH. Sanusi Baco, ulama kharismatik asal Makassar. Menurut Gurutta Sanusi, Hadji Kalla sering menjadi imam di masjid itu, tentunya dengan mengajak para karyawan perusahaannya. Hadji Kalla memang mengundang Gurutta Sanusi, yang pada saat itu baru saja pulang dari Kairo, Mesir, untuk tinggal di Masjid Raya. Dia juga diberi kepercayaan memimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Sanusi juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla, yaitu setiap Kamis pada waktu zuhur. “Haji Kalla sebagai pengurus masjid memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masjid dan jemaahnya,” kata Sanusi. Selama hidupnya, Hadji Kalla juga menjadi menjadi bendahara “abadi” NU hingga akhir hayatnya. “Dia memang santri dan juga pengusaha yang sukses,” puji KH Ali Yafie dalam sebuah kesempatan.

Selain kerja keras, kunci keberhasilan Hadji Kalla membangun imperium bisnis-nya adalah karena keteguhannya memegang kejujuran. “Laba yang kalian peroleh dari kesusahan orang lain, haram hukumnya,” terang Jusuf, salah satu putera Hadji Kalla, menirukan ucapan bapaknya. Jusuf Kalla, mantan wakil presiden itu, masih ingat tatkala ayahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan NV Hadji Kalla pada dirinya. “Ucu, perusahaan ini kuserahkan kepadamu dalam keadaan tanpa hutang satu sen pun!” Ucu adalah panggilan sayang Hadji Kalla pada Jusuf, yang secara genetik mewarisi darah bisnis ayahnya.

Di saat kepemimpinan Jusuf inilah, PT Hadji Kalla menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menjual mobil Toyota. “Kami lebih duluan dari Astra (PT Astra International Tbk). Jadi, kalau mau bicara Toyota jangan macam-macam. Kita lebih duluan menge-nal Toyota. Tapi, kami cukup jadi agennya Toyota saja,” candanya dalam sebuah kesempatan. Kalla mengatakan bahwa filosofi PT Hadji Kalla adalah hidup berma-syarakat. Itulah sebabnya, Hadji Kalla lebih banyak mengurus Masjid Raya daripada perusahaan.

Menurut Jusuf, PT Hadji Kalla merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang menggu-nakan kata Hadji. “Dulu banyak, sekarang hanya satu,” katanya.

Selain itu, salah satu pesan yang selalu diingat Jusuf adalah agar selalu membayar zakat tepat waktu. “Hitunglah zakat perusahaan secara benar, karena itu haknya orang miskin.” katanya menirukan ucapan sosok yang dicintainya. Tak heran jika sejak berdirinya NV Hadji Kalla hingga berubah menjadi PT Hadji Kalla (saat ini), konsorsium bisnis ini tak pernah telat membayar zakatnya. Bahkan sebelum Hadji Kalla tutup usia pada 15 April 1982, ada pemandangan tak lazim setiap menjelang ramadan di depan kediamannya di Jl. Andalas No. 2 Makassar. Para pengemis dan fakir miskin antri mendapatkan pemberian zakat dan sedekah dari keluarga Hadji Kalla. Setelah itu, Hadji Kalla bergegas membagikan zakat dan sedekahnya di pelosok-pelosok. Bagaimana dengan pajak? Jangan khawatir, sebab Hadji Kalla langganan mendapatkan penghargaan pemerintah karena selain tepat waktu, ia juga membayar pajak dalam jumlah yang besar.

“Bantulah orang yang lagi kesusahan dan Allah akan menggan-tinya 70 kali lebih banyak,” terang Aksa Mahmud, menantu Hadji Kalla menuturkan pesan mertuanya. Menjelang subuh, dengan berjalan kaki mertuanya itu membagikan uang kepada para penyapu jalan. “Kasihan mereka. Orang lain masih tidur, mereka sudah bekerja. Pekerjaannya tidak banyak dilihat orang lain,” kata Hadji Kalla, yang pecandu sepak bola. Di dunia kulit bundar, ia pernah menjadi donatur tetap klub PSM Makassar.

Falsafah hidup Hadji Kalla juga dituturkan oleh Drs Abdurrahman, mantan Sekretaris PWNU Sulsel. Hadji Kalla punya prinsip teguh. Mengambil keuntungan dari perniagaan seperti mengambil wudhu (bersuci). “Jika air wudhu yang kita ambil kotor maka wudhu tidak sah. Begitu juga dengan berbisnis, jika perdagangan yang kita lakukan terkotori, maka hasil yang kita peroleh tidak sah.” kata Hadji Kalla suatu ketika.

Sekarang perusahaan yang bermula dari lapak kain sederhana itu menjadi sebuah jaringan konglomerasi yang bergerak di berbagai bidang usaha. Perusa-haan Kalla beserta anak-anak perusahaannya bergerak di bidang perdagangan mobil, konstruksi bangunan, jembatan, perkapalan, real estate, transportasi, peter-nakan udang, perikanan, kelapa sawit, dan telekomunikasi.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘USWAH’.