Minggu, 25 April 2010

TV9, Menghibur dan Berdakwah di Layar Kaca



Alhamdulillah, itu barangkali kalimat yang paling pantas disampaikan sebagai ungkapan syukur karena NU telah memiliki stasiun televisi sendiri. Dengan harapan media ini dapat menjadi alternatif hiburan diantara tayangan yang ada.

TONTONLAH televisi yang berada di channel 42 UHF, maka anda akan bertemu dengan stasiun TV9,” kata Ahmad Hakim Jayli yang dipercaya sebagai Direktur Utama TV9 berpromosi. Ya, pada akhir bulan Januari lalu, berbarengan dengan peringatan hari lahir NU yang ke 84, secara resmi TV ini di soft launching. “Tapi kita masih dalam proses percobaan, jadi siarannya belum dapat diterima secara baik,” kata Hakim, sapaan akrabnya-.

Memenuhi Harapan

Boleh dikata, kehadiran TV9 sebagai jawaban atas berbagai harapan dan keinginan dari warga NU untuk mermiliki media televisi sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa SMS yang masuk ke Aula, tidak sedikit yang menginginkan agar NU secara mandiri dapat turut berperan aktif dalam menyajikan siaran yang lebih religius dan mendidik. Karena seperti dimaklumi bersama, tidak sedikit yang merasa kecewa dengan tampilan media visual baik di tingkat lokal maupun nasional.

Apalagi hal ini telah direkomendasikan oleh para PCNU dalam perhelatan Konferensi Wilayah NU beberapa waktu berselang. “Taushiyah para kiai telah mengamanatkan agar NU bisa melakukan langkah antisipasi dari dampak televisi,” ungkap bapak kelahiran 24 Mei 1970 ini.

Berangkat dari keprihatinan atas kondisi riil tersebut, maka beberapa orang NU yang ikut peduli dengan keadaan ini mulai merintis sebuah televisi lokal. “Awalnya kami men-dirikan PAS TV atau Pasuruan Televisi yang beroperasi di kota Pasuruan,” kenang almunus Universitas Brawijaya Malang ini.

Dan gayungpun bersambut. Lewat upaya keras yang dilakukan oleh KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah bersama para pegiat PAS TV, akhirnya keluarlah surat izin penyiaran nomor 367/KEP/MKom Info/10/2009 untuk TV9 di kanal 42. “Boleh dikata, PAS TV adalah sebagai embrio dari lahirnya TV9,” tandas bapak berputera satu ini. “Namun yang perlu diketahui, memperoleh izin itu sangat sulit. Ini kerja yang sangat luar biasa,” tandas Hakim.

Usai izin operasional didapat, tentu pekerjaan berat telah menanti. Agar bisa tayang, tentu saja membutuhkan alat pendukung yang ternyata biayanya tidak ringan. “Kalau mau ideal, untuk penyediaan sistem transmisi atau pemancar saja membutuhkan dana sekitar tujuh milyar,” tandas alumnus Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia ini.

Karena itu, untuk meringankan beban biaya yang demikian besar, pihak menejemen bekerjasama dengan televisi yang telah memiliki jangkauan luas. “Akhirnya kita menggunakan tower milik MNC yang memang berpengalaman dan jangkauannya luas,” tandas Hakim.

Namun demikian, TV yang berada dibawah PT Dakwah Inti Media (DIM) ini belum sepenuhnya dapat diterima dengan baik lantaran kekuatan jangkauan siarnya masih terbatas. “Namun kami akan berusaha optimal agar jangkauan dan mutu siaran akan dapat dinikmati dengan baik,” kata alumnus Pesantren Miftahul Huda, Gading Kasri Malang ini.

Siap Bersaing

Seperti diakui oleh Hakim, berbisnis di media elektronik ini cukup ketat. Dalam tahap awal, PT DIM sadar bahwa tidak mudah menggeser fanatisme pemirsa untuk berpindah ke chanel 42. “Namun kami optimis dengan persaingan ini,” tandasnya berbinar. Potensi warga NU yang merupakai penikmat sejati acara televisi, demikian pula banyaknya tokoh lokal di Jawa Timur yang memiliki massa fanatik, adalah potensi yang akan digarap secara serius. “Potensi besar itu nantinya akan kita imbangi dengan menyajikan tayangan dan program yang benar-benar dibutuhkan masyarakat,” kata jebolan Pesantren Darul Ulum Karang Pandan Pasuruan ini.

Apalagi televisi kebanggaan yang menempati kantor di Jalan Raya Darmo 96 Surabaya ini memiliki makna filosofis yang dalam. Menamakan televisi ini dengan TV9, setidaknya ada beberapa tujuan yang ingin dicapai. Sama dengan NU, maka sembilan memiliki makna sebagai representasi dari identitas NU. “Sembilan merupakan angka tertinggi. Dengan demikian, puncak prestasi adalah harapan dari televisi ini,” tandas Hakim dengan senyum optimisnya. “Puncak prestasi itu tentunya tidak semata di dunia, tapi juga sampai akhirat kelak,” katanya melanjutkan.

Yang juga menjadi inspirasi dari televisi ini adalah semangat untuk mengaktualisasikan metode dakwah seperti yang pernah dilakukan oleh Walisongo. “Akulturasi budaya dan agama yang demikian elegan telah dilakukan para wali ratusan tahun lamanya dalam melakukan islamisasi di tanah air,” tandas Hakim. “TV9 ini lahir untuk melakukan revitalisasi metode dakwah yang pernah dilakukan para wali,” lanjutnya.

Bagi Hakim, tantangan terberat sekarang adalah “Kalau saat Walisongo dulu berhasil melakukan islamisasi kultural, maka kita jaman sekarang harus melakukan modivikasi dakwah sehingga tetap menarik namun tidak menghilangkan substansi dari ajakan yang ada.”

Televisi ini memilih jargon “Santun dan Menyejukkan”. Boleh dikata, pemilihan kalimat tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. “Kami ingin memberikan alternatif hiburan dengan tidak meninggalkan pesan-pesan keagamaan. Jangan sampai dakwah yang kita lakukan tidak menarik, demikian pula jangan sampai hiburan kita jauh dari nuansa religiusitas,” tandas Hakim.

Karenanya, dengan kelebihan tayangan dan program yang akan dipilih serta ditunjang networking yang dimiliki struktur NU dari mulai level PW sampai MWC dan ranting serta komunitas kultural adalah potensi yang layak diopti-malkan. “Dengan potensi loyal audience yang dimiliki, kami bisa meyakinkan para mitra untuk berpartisipasi memperkenalkan produk dan jasanya di media ini,” kata Hakim.

Sebagai televisi yang kehadirannya dibidani oleh aktivis media NU, maka kehadiran TV9 akan terus berusaha menjalin komunikasi yang intens dengan komunitas jam’iyah. Karenanya, pada Musyawarah Kerja Khusus yang hendak diselenggarakan awal bulan depan, televisi ini akan memulai percobaan program siaran.

“TV9 mulai tayang mulai jam 17.00 dengan berbagai acara spesial,” tandas Hakim. Pihak TV9 juga senantiasa terbuka dalam menerima saran dan kritik demi kebaikan bersama. “Silakan disampaikan kepada kami. Masukan itu akan terus kami komunikasikan dengan crew yang ada,” tandasnya.

Yang tidak kalah penting adalah “Kami senantiasa meminta doa dan restu dari para masyayikh, kiai, ulama, maupun warga NU demi kesinambungan TV ini di masa mendatang,” tandas Hakim. Jangan sampai anugerah terbesar ini nantinya tidak bertahan lama. “Ini menyangkut eksistensi dakwah Islam dan keberadaan NU di tengah masyarakat,” katanya mengharap. Semoga sukses.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XII edisi Maret 2010 dalam rubrik “LIPSUS”.

Belimbing Tasikmadu Tuban

Produk Lokal, Juarai Kontes Internasional


Jenis belimbing tasikmadu telah dinobatkan sebagai produk unggulan nasional dan belimbing kualitas terbaik di Jatim. Siapa sangka kalau perintisnya adalah seorang lulusan pesantren yang pernah menjadi Ketua Ranting NU.

SULIT rasanya menggunakan bahasa untuk mengungkapkan semua rasa. Sama sulitnya dengan menjelaskan perbedaan manisnya madu, manisnya buah dengan manisnya gula. Demikian juga terasa sulit menggambarkan manisnya belimbing tasikmadu dengan belimbing lainnya. Manis rasanya, besar bentuknya, mencolok warnanya dan harum aromanya. “Pokoknya belimbing tasikmadu lebih enak,” begitu kira-kira akhirnya.

Ya. Belimbing jenis ini memang belum ada duanya sehingga diberi nama tasikmadu sesuai nama desanya. Di kawasan pantai utara Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, desa ini berada. Di arah timur pusat kota dan berbatasan dengan Kabupaten Lamongan bagian utara.

Siapa yang berperan besar di balik penemuan belimbing yang khas ini? Dialah H Mahrus. Seorang warga setempat yang secara otodidak dan sedikit nekat berani mencoba mengembangkannya.

Sebagaimana kehidupan di desa, menemukan rumah H Mahrus tidak sulit. Begitu masuk ke kawasan Desa Tasikmadu, bertanyalah kepada warga di mana lokasi rumah H Mahrus. Maka Anda akan sampai ke rumahnya dengan arahan mereka.

Putra pasangan H Muhammad Jais dan Hj Aminah ini mengaku keberhasilannya sempat diklaim dan diberitakan sebagai binaan salah satu pesantren yang berafiliasi ke ormas “tetangga”. Tentu H Mahrus keberatan. Gayung bersambut, PWNU Jatim memberinya Anugerah NU 2010 di bidang pengembangan ekonomi masyarakat.

Saat diundang untuk menerima Anugerah NU dalam puncak Harlah NU ke-84 pada Ahad (31/1) lalu, H Mahrus tak bisa hadir dan diwakili PCNU Tuban. Ia memohon maaf karena harus mengikuti kegiatan keagamaan di Kota Tuban yang se-cara istiqamah telah ia jalani beberapa tahun terakhir

15 Hektar dengan 6000 Pohon

Kisah keberhasilan H Mahrus dimulai pada tahun 1986. Saat itu ia baru saja pulang ke rumah setelah lulus dari Pendidikan Guru Agama (PGA setingkat SMA) di Pesantren Darut Tauhid Al-Alawi Senori, Tuban. Ia melihat pohon belimbing di depan rumahnya sedang berbuah. Meski banyak pohon belimbing lain di desanya, tapi masyarakat lebih menyukai belimbing yang ditanam oleh Ibu Aminah itu. Lebih manis kata mereka.

H Mahrus sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Ia hanya mengira bahwa dulu perawatannya bagus dan didukung dengan struktur tanah kapur di daerahnya yang memang baik untuk buah-buahan.

Perubahan besar berawal dari keberanian H Mahrus. Saat mayoritas masyarakat menanami ladangnya dengan jagung, kacang dan jenis palawija lainnya, H Mahrus nekat menanami ladang ayahnya dengan 33 pohon belimbing yang tumbuh dari biji belimbing yang dipetik dari depan rumah. Sedianya ia mengira panen akan membutuhkan waktu lama. Namun setelah dirawat secara intensif dengan pemupukan dan pengairan, ternyata hanya bu-tuh 9 bulan untuk panen.

Setelah panen, memang tidak semua pohon menghasilkan buah semanis induk belimbing . Namun dibanding dengan pohon milik warga lain, belimbing kata putra ketiga dari enam bersaudara initerasa lebih manis.

“Hasil panennya saya jual di pasar dengan harga 2.500 per kilo. Setiap pagi saya bawa dua kardus. Awalnya dikira mainan karena warnanya yang mencolok tapi selalu habis dalam waktu kurang dari 2 jam,” terang ayah dua anak ini.

Sejak itulah, masyarakat mulai mencari-cari belimbing H Mahrus. Mereka bingung bagaimana menyebut jenis belimbing itu sehingga disebut saja belimbing tasikmadu karena berasal dari Desa Tasikmadu. Ada pula yang menyingkatnya dengan menyebut blimbing madu karena saking manisnya.

Kabar adanya belimbing tasikmadu kemudian semakin luas. Banyak warga Kota Tuban yang tiba-tiba datang ke rumahnya untuk membeli belimbing. Terutama komunitas warga Tionghoa. Hampir setiap hari Ahad mereka datang dan mengambil sendiri belimbing di ladang. Seperti menjadi tempat wisata baru.

Saat itulah H Mahrus semakin yakin belimbing ini adalah ladang bisnisnya yang harus dikembangkan. Dari ladang yang hanya berukuran 40 x 45 meter persegi telah berkembang menjadi lahan seluas 15 hektar dengan sedikitnya 6.000 batang pohon belimbing. Pada umur empat tahun, satu pohon bisa menghasilkan 30-50 kilogram buah per tahun. Saat panen raya, desa ini bisa menghasilkan satu hingga dua ton buah bintang segar per hari. Dari harga Rp. 2.500 per kilo, sekarang sudah seharga Rp. 10.000 – Rp. 15.000 per kilo.

Kini, H Mahrus lebih banyak di rumah berkonsentrasi merawat dan memanen pohon belimbing. Untuk pemasaran dan mengembangkan usaha ke luar, H Mahrus menyerah-kannya kepada adiknya, Yasin. Tak hanya di Tuban, belimbingnya telah merambah ke hampir seluruh daerah di Jatim. Umumnya para tengkulak buah datang langsung ke rumahnya dan memasarkannya di daerah masing-masing.

Menurut H Mahrus salah seorang pembeli besarnya berasal dari Surabaya. Dia adalah seorang keturunan Tionghoa yang biasa memborong puluhan kwintal dan menjualnya di beberapa supermarket. Dia pula yang pernah membawa belimbing ini mengikuti kontes internaisonal buah tropis di Singapore pada 2002. Di sana, belimbing menang sebagai juara pertama kategori aroma dan juara ketiga kategori bentuk buah.

Karena itulah tak heran jika Menteri Pertanian RI Kabinet Indonesia Bersatu I, Anton Apriantono pada 2008 silam tak segan berkunjung ke ladang belimbing tasikmadu. Dinas Pertanian Provinsi Jatim juga tak ragu memberikan sertifikat kepada H Mahrus yang menetapkan belimbing tasikmadu sebagai varietas baru buah belimbing dan menjadi produk unggulan nasional dari Jatim.

Perkembangan bisnis belimbing tasikmadu dengan sendirinya meningkatkan taraf ekonomi warga Tasikmadu. Mereka tergolong dalam tiga kelompok yang memiliki peran berbeda. Pertama, tetangga yang memiliki ladang. Mereka melakukan perjanjian bagi hasil dengan merelakan ladangnya ditanami belimbing oleh H Mahrus. Mereka berhak menerima 1/3 hasil penjualan belimbing setelah dipotong biaya. Kedua, para pekerja yang membantu H Mahrus merawat dan memanen belimbing. Sebelumnya rata-rata mereka bekerja sebagai buruh tani yang jumlanya tak kurang dari 100 orang. Ketiga, warga sekitar yang menjadi penjual belimbing di sekitar jalan raya dan pasar-pasar tra-disional di Kecamatan Palang.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘WIRAUSAHA’.

Ulama Lebanon Belajar kepada NU


Bendera NU makin berkibar di pentas dunia. Melalui ICIS, nama Nahdlatul Ulama makin dipercaya untuk dapat memberikan inspirasi dalam menyatukan gerakan Islam berwawasan Rahmatn lil Alamin. Berikut kisah perjalanan utusan PBNU ke medan konflik di Lebanon, pertengahan Januari lalu.

KEPERCAYAAN dunia Islam kepada Nahdlatul Ulama rupanya semakin lama semakin menguat. Setidaknya bisa dilihat dari undangan Tajammu’ Ulama fi Lubnan (semacam MUI-nya Lebanon) pada pertengahan Januari lalu kepada PBNU. Dalam kesempatan itu rombongan yang berangkat adalah KH A Hasyim Muzadi (Ketua Umum), KH Masyhuri Na’im (Rais), KH Miftachul Akhyar (Rais Jatim), Ajengan Asep (Rais Jabar), Tubagus Halim (Rais Banten), HM Zed Hamdi (Ketua Kalbar), Gus Zaim Ahmad (Ketua Lasem), dan dua orang lainnya dari Malang. Maksud undangan adalah untuk misi perdamaian, sesuai mandat ICIS kepada NU sebelumnya.

Rombongan dari Jakarta menaiki pesawat Al-Ittihad milik milik Uni Emirat, turun di Abu Dhabi. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar tujuh jam. Rombongan sempat heran, karena menjelang perjalanan menuju Lebanon yang diperkirakan membutuhkan waktu tiga jam itu, pemeriksaan cukup ketat. Tidak seperti di Indonesia. Sepatu, arloji, bulpen, kopiah, semuanya dilepas untuk diperiksa. “Untung sarung tidak (dilepas),” gumam Kiai Miftah sambil terkekeh.

Sampai di Bandara Rafiq Hariri sekitar pukul tiga dini hari, mereka dijemput dua kelompok Sunni dan Syi’i di kamar VIP. Untuk membedakan kedua kelompok itu tidak terlalu sulit. Untuk gamis mereka hampir sama. Satu-satunya penanda mereka adalah penutup kepala. Pada kelompok Sunni ada kuncung warna merah, sedangkan di Syi’i tidak ada. Setelah melakukan pembicaraan sekitar setengah jam, mereka dibawa ke hotel untuk istirahat sejenak.

Pukul 09.00 rombongan sudah dijemput para tokoh ulama untuk menuju Lebanon Selatan di Distrik Khalda, jaraknya sekitar 130 km. Daerah ini berada dalam kekuasaan Hizbullah. Perjalanan dilakukan dengan menyisir pantai yang indah laut tengah Mediterania, melalui perkebunan pisang dan jeruk serta apartemen-apartemen di dataran tinggi Ghoolan sepanjang 72 km. Alam Lebanon memang sangat indah, dan subur. Tidak heran kalau negeri ini dijuluki Paris-nya Timur Tengah. Rombongan juga melewati gunung dan goa-goa persembunyian para gerilyawan Hizbullah. Di sepanjang perjalanan banyak terpampang foto-foto para syuhada di pinggir jalan. Semua itu untuk mengingatkan masyarakat bahwa mereka serang berperang melawan Israel. Kira-kira 50 kilometer menjelang sampai, suasana sudah tegang. Nuansa perang sudah mulai terasa.


Ada yang unik di Lebanon. Meski antara milisi dan pemerintah terus berperang, ditambah dengan perang lain yang melibatkan pemerintah plus milisi melawan Israel, ternyata dalam internal dalam negeri yang berkonflik itu memiliki kesepakatan tersendiri. Pariwisata, pendidikan, dan perbankan tidak boleh terganggu. Jadinya, meski dalam suasana perang, ketiga departemen itu tetap berjalan sebagaimana biasa. Tidak ada libur seperti di negara lain.

Sesampai di lembah Khiyam, mereka ditunjukkan bekas-bekas alat perang yang ditinggalkan Israel. Ada meriam dan tank yang rontok, serpihan bom, bangunan hancur, dlsb. Semuanya dibiarkan teronggok di tempat itu tanpa ada yang mengambil. “Kalau di tempat kita, mungkin sudah diambili pemulung,” ujar Kiai Miftah sambil tersenyum. Tak lupa mereka diajak melihat penjara Khiyam yang dikenal horor. Di tempat itulah dulu tentara Israel banyak menyiksa para pejuang muslimin di luar batas kemanusiaan.

Lembah Khiyam memang sempat dikuasai Israel. Namun melalui perang sangat sengit, akhirnya tempat itu dapat direbut kembali oleh Hizbullah. Hingga kini lembah Khiyam seakan tanah tak bertuan. Meski berada sangat dekat dengan permukiman Israel, namun wilayah itu tetap dalam penguasaan Hizbullah. Saking dekatnya dengan permukiman Israel, jangankan melihat, melempar sesuatu pun akan sampai. “Umpama ada yang melempar onde-onde dari sana, mungkin kita akan merasakan akibat,” tutur Kiai Miftah.

Tak jauh dari tempat itu banyak tank UNIFIL (penjaga perdamaian PBB dan pasukan Garuda ada di dalamnya) berseliweran. Indonesia memang mengirimkan dua ribu pasukannya untuk memperkuat perbatasan Lebanon-Israel. Beberapa waktu rombongan mengunjungi anggota TNI yang sedang bertugas di sana. Tak lupa sambil foto-foto untuk kenangan.

Perjalanan selanjutnya ke kota Shuur untuk bertemu dengan Syeikh Nabil Qouq, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Lebanon. Bedanya tinggi, besar dan tegap. Suaranya mantap. Dari Syeikh Nabil inilah Kiai Hasyim mendapatkan kenang-kenangan istimewa berupa serpihan bom cluster yang dijatuhkan oleh Israel. Padahal dalam konvensi internasional penggunaan bom itu sudah dilarang. Tapi namanya juga Israel, apapun dilakukan untuk dapat memenuhi ambisinya.

Selanjutnya perjalanan menuju kota Sidoon. Rombongan sudah ditunggu oleh para tokoh Sunni dan Syi’i di sana. Rombongan juga menemui Syeikh Hammood dan Syeikh Maulana Ahmad Zen, Ketua Tajammu’ di Shaida (Sidoon). Di tempat itu rombongan juga dipertemukan dengan Mufti Shaida dan Lubnan Al-Janub.

Esok hari perjalanan dilanjutkan ke lembah Biqo’ (Beeka). Di sini merupakan wilayah kekuasaan sekte Drutz. Rombongan dapat bertemu dengan tokoh spiritual Drutz, Syeikh Nasruddin al-Ghorib. Druts adalah semacam sekte kebatinan di Indonesia. Jumlah mereka lumayan besar dan juga lumayan kuat. Di parlemen, wakil mereka bergabung dengan para ulama Sunni dan Syi’i dalam menghadapi pemerintah yang didukung oleh Barat.

Setelah bertemu dengan Syeikh Mohammad Yazbik, Wakil Syeikh Hasan Nasrallah untuk wilayah Lebanon Timur, rombongan menziarahi makam Nabi Yunus AS di distrik Jiyyah. Sayang, makam itu kurang terawat. Terletak di perkampungan dengan jalan yang sempit, berada di dekat masjid yang juga tidak terawat. Selanjutnya ke makam Saiyidatina Khoulah binti Husain bin Ali RA.

Selanjutnya rombongan menuju kota Ba’albak (Balbeek) melalui kota ‘Alay. Di situlah terlihat betapa menariknya Lebanon. Ada kebun-kebun anggur yang luar biasa. Udara dingin menyengat, brrr..! Rombongan menziarahi makam Saiyid Abbas, Pimpinan Hizbullah sebelum Hasan Nas-rallah. Dilanjutkan ke makam Nabi Ayub AS, lalu ke makam Nabi Syits bin Adam AS. Untuk ukuran Indonesia, makam itu terbilang unik. Panjangnya 30 meter! Mungkin karena berada dalam komunitas Syiah, makam itu terawat rapi dan dikeramatkan.

Balbeek adalah kota yang menjadi pusat Syi’ah. Suasana cukup ramai. Ada pemandangan yang terasa aneh. Di setiap 100 meter terpampang banyak foto di pinggir jalan, seperti musim Pilkada di Indonesia. Pada tempat-tempat tertentu terbentang spanduk melintang di jalan. Isinya, bukan untuk mendukung salah satu pasangan calon, tapi ajakan untuk mati syahid! Foto-foto para pemimpin mereka dan orang-orang yang gugur sebagai syuhada menghiasi jalanan kota Balbeek. Semangat perang begitu terasa, dan tokoh-tokoh mereka begitu dikagumi.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan para ulama di sana, Kiai Hasyim selalu memberikan suntikan semangat perjuangan kepada mereka, sekaligus menjelaskan pemikiran NU dalam konsep ukhuwah dalam hubungannya bernegara. “Jangan kecil hati, dan jangan putus asa. Dengan persatuan, kemerdekaan akan dapat direbut kembali,” begitu wejangan Kiai Hasyim, sambil tak lupa menyebut Indonesia pernah dijajah bangsa lain selama 350 tahun.
(Kiai Hasyim bertemu Syeikh Hasan Nasrallah dan Syeikh Wahbah Az-Zuhailli menghendaki Kiai Hasyim pimpin NU ... bersambung pada edisi selanjutnya).

Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘MUHIBAH’.

Kecintaan pada Gus Dur Tak Jua Luntur


Perkiraan sebagian kalangan yang menduga pesarean Gus Dur akan sepi peziarah usai hari ke-40, akhirnya terbukti meleset jauh. Ribuan jamaah dan simpatisan sang kiai unik seakan tidak bisa dibendung untuk datang ke Tebuireng setiap waktu.

PIHAK Pesantren Tebuireng tidak menyangka jika kondisi makam keluarga besarnya akan berubah seperti itu. Saat upacara pemakaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara militer di awal pergantian tahun, tidak kurang dari lima puluh ribu orang memadati area pemakaman. Saat peringatan hari ketujuh wafatnya sang Presiden RI keempat itu, jamaah juga tidak kalah jumlahnya dengan saat pemakaman. Kondisi ini juga terjadi kala peringatan hari keempat puluh hari tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa itu.

Pada setiap Kamis, Jumat dan Sabtu malam, banyak juga peziarah yang tabarrukan ke pesarean keluarga besar Tebuireng ini. Jumlah bus yang parkir di sekitar pesantren tidak kurang dari 200 buah. Khusus hari Ahad siang, kondisinya semakin padat. Lokasi parkir di area Masjid Ulul Albab, dipastikan tidak akan dapat menampung banyaknya kendaraan peziarah. Untuk bisa keluar dari kerumunan manusia pun butuh waktu lumayan lama dan tenaga ekstra.

Yayuk Istichanah misalnya. Untuk menuju kampus setiap hari, ia membutuhkan waktu sekitar lima menit. Tapi saat Ahad siang, mahasiswi dari Jogoroto Jombang ini harus berjuang ekstra untuk bisa sampai. “Butuh waktu sekitar satu jam agar bisa sampai ke kampus,” kata mahasiswi Fakultas Dakwah IKAHA, yang kampusnya berada di selatan area parkir itu.

Disamping besarnya jumlah peziarah, kondisi itu diperparah dengan membeludaknya pedagang musiman yang memanfaatkan momentum tersebut. Menurut KH Shalahuddin Wahid, tidak kurang dari delapan ribu orang setiap hari datang ke pesarean keluarga besar Tebuireng melakukan ziarah. Melimpahnya peziarah benar-benar dimanfaatkan oleh para pedagang musiman. Mereka berjualan seke-hendak, baik di area parkir, sekitar pintu masuk dan keluar makam, maupun di tepian jalan raya. “Kondisi ini memaksa pesantren untuk mempersiapkan diri,” tandas sang pengasuh yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah itu.

Bagi Pesantren Tebuireng, kedatangan para peziarah dari berbagai daerah di tanah air ini menimbulkan banyak dampak. Tidak hanya bagi pengasuh, santri, petugas keamanan, guru dan pembina santri juga harus berfikir ekstra. Selama sebulan usai pemakaman Gus Dur, para santri amat terganggu dalam menjalankan kegiatan, pengajian setelah shalat Maghrib ditiadakan. Namun setelah 40 hari pemakaman, pengajian itu dimulai lagi, namun dengan me-nutup pintu gerbang pemakaman keluarga mulai pukul 17.00 sampai 20.00 WIB. Artinya, peziarah dilarang masuk antara jam lima hingga delapan malam, setelah itu dibuka kembali hingga sore hari selanjutnya. Kegiatan belajar siang hari pada hari Ahad juga dipindah ke hari Selasa.

Seiring dengan koordinasi yang intens dilakukan, kondisi kompleks Pesantren Tebuireng yang sebelumnya amburadul akibat padatnya peziarah mulai bisa dibenahi. Pedagang tidak boleh lagi berjualan di dalam kompleks. Kesibukan perparkiran itu terasa mengganggu kegiatan santri dan klinik yang letaknya dekat tempat parkir. Tidak hanya itu, karena banyaknya bus berukuran besar yang parkir dan berlalu-lalang, membuat banyak lokasi yang ambles dan sering membuat busnya selip.

“Untuk mengatasi masalah itu, perlu ada pengerasan tanah tempat parkir yang memakan biaya sekitar Rp 400 juta,” tandas salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU itu. Masalah lain ialah kurangnya MCK. Dengan tidak memadainya fasilitas ini, banyak orang BAB (buang air besar) di semak-semak di sekitar pemakaman umum yang menempel dengan pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. “Bisa dibayangkan bagaimana baunya,” tandas alumnus ITB itu dengan menggelengkan kepala. Untuk mengatasi masalah ini Pesantren Tebuireng harus membangun sejumlah MCK di dekat tempat parkir dengan dana hampir Rp 100 juta.

Belum lagi persoalan tukang parkir liar yang hingga kini belum terselesaikan. Mereka adalah orang luar Jombang yang bekerja sama dengan warga sekitar. Selain tidak sopan, biasanya mereka menarik bayar parkir jauh lebih tinggi dari harga wajar. Harganya melangit. Kadang, mereka bilang parkir sudah penuh, lalu mobil dihentikan di tempat parkir yang mereka buat sendiri, padahal sebetulnya masih ada tempat kosong di tempat parkir resmi.

Faktor keamanan dari tangan jahil orang-orang luar ini juga masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Banyak burung dan barang kesayangan lain milik warga yang hilang. Aparat desa dan keamanan pondok masih belum mampu mengatasi persoalan itu. “Butuh koordinasi dengan aparat keamanan dan Banser,” ujar salah seorang keluarga pondok. Yah, kondisi pemakaman memang belum ideal.

“Yang paling ideal adalah menyediakan tempat parkir baru yang dilengkapi dengan kios untuk pedagang makanan dan souvenir serta oleh-oleh,” kata Gus Sholah. Lokasi yang dimaksud Gus Sholah berada di sekitar 1 kilometer di sebelah Utara kompleks pesantren. “Tetapi biayanya sekitar Rp 3 miliar,” tandas mantan anggota Komnas HAM itu. Menurut Gus Sholah, jumlah sebesar itu di luar kemampuan Pesantren Tebuireng. “Layak kalau pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat membantu pembiayaan itu,” katanya menyarankan. Pada kunjungan anggota DPRD Jawa Timur beberapa waktu berselang, juga merekomendasikan hal serupa. Mereka prihatin dengan kondisi di Tebuireng. Bahkan wakil rakyat itu menyarankan agar fasilitas dimaksud dapat didukung oleh pemerintah dengan dana hingga sepuluh milyar rupiah.

Wali Kesepuluh?

Banyak alasan yang dikemukakan peziarah sehingga berkenan jauh-jauh datang ke Tebuireng. Salah seorang di antara mereka adalah Muhammad Yamin dari Lampung. Saat Aula bertanya, yang bersangkutan menjawab bahwa kedatangannya bersama rombongan karena mencintai dan menghormati Gus Dur. Petani yang berpenghasilan ala kadarnya itu benar-benar merasa kehilangan sosok KH Abdurrahman Wahid.

Benarkah Gus Dur itu seorang wali? Ketika hal ini ditanyakan kepada Gus Sholah, dengan diplomatis, mantan Cawapres pasangan Wiranto itu menjawab, “Menurut saya, wali itu mengandung dua aspek, yakni keagamaan dan sosial. Secara sosial, tidak bisa dibantah bahwa Gus Dur sudah dianggap sebagai seorang wali. Adanya peziarah yang mengambil tanah untuk tujuan mendapat berkah, menunjukkan adanya anggapan itu,” katanya mantap. Sedang dari aspek keagamaan, semua manusia tidak mungkin mengetahui sejauh mana Gus Dur itu dapat disebut sebagai seorang wali. “Itu adalah rahasia Allah,” lanjutnya. “Yang jelas, penghormatan terhadap Gus Dur yang kita saksikan setelah wafatnya menunjukkan bahwa Gus Dur adalah pemimpin yang hidup di hati rakyat,” pungkas adik kandung Gus Dur itu.

Mungkin tidak terlalu penting memperbincangkan kewalian KH Abdurrahman Wahid. Yang mendesak seperti dikemukakan oleh anak Gus Dur, Inayah Wulandari adalah berupaya menghadirkan kembali gagasan-gagasan yang telah diperjuangkan Gus Dur. Ning Inayah –sapaan akrabnya- menyatakan bahwa tidak ada perlunya berbagai pengakuan serta penghargaan yang diberikan kepada al-marhum ayahnya. “Yang paling adalah menauladani serta meneruskan ide-ide Gus Dur dalam kese-harian,” katanya.

Ya, mencari sosok pengganti Gus Dur akan sulit. Di PKB misalnya, apakah seorang Yenny Abdurrahman Wahid bisa mengembalikan suara PKB seperti saat partai itu bertarung pada perhelatan pemilu 1999 dan 2004? Rasanya sangat tidak mungkin. Pemilu 2009 lalu membuktikan dengan gamblang bahwa partai itu bisa jadi tidak aman saat Pemilu 2014 kelak. Suaranya terjun bebas lantaran Gus Dur tak lagi berkampanye dan terpisah dari pemimpin PKB yang kini berkuasa.

Kebesaran dan kebangkitan PKB hanya dapat dilakukan bila kubu yang selama ini berseteru dapat bersatu dalam payung besar, apalagi jika PKNU turut melebur ke dalamnya. Islah adalah kata kunci agar partai itu tetap dipercaya oleh konstituen.

Demikian pula, sosok Gus Dur tak tergantikan, meskipun tidak lagi masuk dalam jabatan struktural NU. Masyarakat tidak terlampau mempersoalkan jabatan tersebut. Selama tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU sekaligus komitmennya untuk membela masyarakat dan kepentingan kalangan minoritas menjadi kredit point yang akhirnya membuat warga demikian mencintainya.

Gus Dur tak ambil pusing dengan kalangan yang akan menghujat atau memprotes tindakannya. Baginya, penegakan HAM, anti kekerasan, anti diskriminasi dan kebebasan beragama, adalah hal yang mungkin bisa dilakukan para aktifis pro demokrasi. Tapi sosok Gus Dur demikian sentral. Upaya Gus Dur dengan melakukan judivical review UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi dalam usahanya membela kelompok Ahmadiyah, tidak lagi memperhatikan resistensi dari mayoritas umat Islam. Itulah yang membedakan Gus Dur dengan yang lain. Karenanya, sampai kapan pun Gus Dur akan dikenang jasanya sebagai orang yang sangat peduli dengan penderitaan kalangan minoritas, termasuk rakyat yang teraniaya.

Karenanya, bila pesarean Gus Dur tak juga sepi dari peziarah, ini pertanda bahwa banyak rakyat yang merasa kehilangan sosok kiai nyleneh itu. Saat pemakaman, para pejabat negara, politisi lintas partai, kiai dari berbagai pesantren, termasuk rakyat jelata akhirnya berbaur dan dipertemukan dalam momentum tersebut. Meski jasad Gus Dur telah tiada, namun suara tahlil dan bacaan al-Quran tidak pernah mati dari makamnya. Bahkan tidak sedikit yang meyakini Gus Dur sebagai wali kesepuluh di tanah Jawa.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘NUANSA’.

Saudagar dari Masjid


Hadji Kalla

Ia adalah sosok berpengaruh di Sulawesi Selatan. Dermawan, mencintai masjid, dan menjadi bendahara NU Sulsel hingga akhir hayatnya. Hadji Kalla, demikian masyarakat mengenal sosok ini.

SUATU ketika, ia sengaja menaruh beberapa lembar uang di sela-sela tumpukan kain yang akan dijual. Kain itulah yang akan dipasarkan oleh para karyawannya. Ini dilakukannya berkali-kali. Hadji Kalla tinggal menunggu apakah ada laporan tentang uang-uang tersebut. Jika ada, berarti karyawannya lolos seleksi kejujuran, begitu pula sebaliknya. Tes kejujuran inilah yang menjadi seleksi awal bagi karyawan untuk ikut bekerja bersama Hadji Kalla. Baginya, kejujuran merupakan tiang pancang keberhasilan.

Hadji Kalla adalah pendiri PT. Hadji Kalla. Ia lahir pada 1920. Perjuangannya dimulai dari nol dan dari tempat tinggalnya sendiri, kampung Nipa Kabupaten Bone. Meski sudah yatim semenjak usia 3 tahun, ia pantang berputus asa. Segala macam usaha ia lakoni, hingga pada usia 15 tahun ia telah memiliki kios sendiri di Pasar Bajoe, enam kilometer sebelah Timur Ibukota Kabupaten Watampone. Meski memiliki kios sendiri, Hadji Kalla tak gengsi keliling menjajakan dagangannya. Dengan menggunakan kampilo (keranjang besar dari anyaman daun kelapa), ia menyusuri kecamatan-kecamatan di Bone. Dari keuletannya, Hadji Kalla gigih menabung hingga pada pertengahan 1930-an ia berhasil menunaikan ibadah haji. Jadilah ia haji remaja.

Terinspirasi dari tampilan toko tekstil di Makkah dan Madinah yang menarik, Hadji Kalla merombak penampilan kiosnya agar mempesona. Ia memajang kain dengan pola artistik, menguraikannya dari gulungan, dan memajangnya dengan menarik. Berhasil. Perniagaannya mulai berkembang pesat.

Kedua keberhasilan itu, berniaga dan berhaji, belumlah lengkap. Pengusaha remaja itu ingin berumah tangga. Pilihannya jatuh pada Athirah, anak kepala kampung Bukaka. Gadis cantik itu baru berusia 13 tahun saat menikah dengan Hadji Kalla yang berumur 17 tahun. Kelak, duet suami istri inilah yang membawa NV. Hadji Kalla, perusahaan keluarga itu, pada perkembangan yang luar biasa.

Merasa membutuhkan ruang gerak yang leluasa, Hadji Kalla memutuskan membuka beberapa toko di Jl. Wajo Watampone. Selain tetap berniaga tekstil, ia membuka toko pakaian jadi dan toko kelontong. Bisa dibilang, tokonya merupakan yang terbesar di kabupaten Bone. Insting bisnisnya yang tajam menuntun Hadji Kalla untuk kembali membuka toko di kawasan perniagaan Makassar. Kali ini, ia menjalankan roda perdagangan hasil bumi, sambil tetap mengontrol beberapa tokonya di Bone.

Di kota inilah, Hadji Kalla memperluas kegiatan niaganya dengan membikin payung usaha bernama NV Hadji Kalla. NV adalah singkatan dari istilah Belanda Namlozee Venonschap yang artinya Perseroaan Terbatas (PT). Sebagaimana perahu phinisi, kali ini Hadji Kalla mengembangkan layarnya untuk mengarungi samudera perniagaan yang lebih luas. Ya, selain membuka toko, Hadji Kalla juga menekuni bisnis konstruksi, lalu meningkatkan jangkauannya dengan menggarap usaha transportasi yang bergerak di ekspedisi darat dan angkutan penumpang. Usaha ini dumulai pada 1960. Labelnya angkutannya “Cahaya Bone”. Sebagai pengusaha yang saleh, Hadji Kalla mewajibkan semua pengemudi truk maupun bus miliknya untuk singgah di masjid tatkala waktu shalat tiba.

Sederhana dan Dermawan

Suatu ketika, Alwi Hamu, pemimpin grup Harian Fajar, berada di kantor PT Hadji Kalla. Ia menyaksikan bos yang tak suka ruangan ber-AC tersebut mem-berikan sumbangan pembangunan masjid. Dia menduga, paling-paling sumbangan yang diberikan hanya Rp 5 juta. Ternyata sumbangan yang diberikan Hadji Kalla Rp 50 juta. Jumlah yang luar biasa besar pada tahun 1970-an. “Kenapa banyak sekali, Puang Haji?” tanya Alwi. “Tidak tahulah kenapa hati-ku menyuruh memberikan sebanyak itu. Mungkin itu memang rezekinya yang dititipkan kepada saya,” jawab Hadji Kalla kalem.

Begitu cintanya pada masjid, Hadji Kalla rela membobol tembok rumahnya agar tersambung pada Masjid raya Makassar. Sepanjang hidupnya, ia menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Pada masa kepengurusan itu, terbentuk Yayasan Masjid Raya, yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama dengan merekrut alumni IAIN. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla. Salah satunya adalah KH. Sanusi Baco, ulama kharismatik asal Makassar. Menurut Gurutta Sanusi, Hadji Kalla sering menjadi imam di masjid itu, tentunya dengan mengajak para karyawan perusahaannya. Hadji Kalla memang mengundang Gurutta Sanusi, yang pada saat itu baru saja pulang dari Kairo, Mesir, untuk tinggal di Masjid Raya. Dia juga diberi kepercayaan memimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Sanusi juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla, yaitu setiap Kamis pada waktu zuhur. “Haji Kalla sebagai pengurus masjid memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masjid dan jemaahnya,” kata Sanusi. Selama hidupnya, Hadji Kalla juga menjadi menjadi bendahara “abadi” NU hingga akhir hayatnya. “Dia memang santri dan juga pengusaha yang sukses,” puji KH Ali Yafie dalam sebuah kesempatan.

Selain kerja keras, kunci keberhasilan Hadji Kalla membangun imperium bisnis-nya adalah karena keteguhannya memegang kejujuran. “Laba yang kalian peroleh dari kesusahan orang lain, haram hukumnya,” terang Jusuf, salah satu putera Hadji Kalla, menirukan ucapan bapaknya. Jusuf Kalla, mantan wakil presiden itu, masih ingat tatkala ayahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan NV Hadji Kalla pada dirinya. “Ucu, perusahaan ini kuserahkan kepadamu dalam keadaan tanpa hutang satu sen pun!” Ucu adalah panggilan sayang Hadji Kalla pada Jusuf, yang secara genetik mewarisi darah bisnis ayahnya.

Di saat kepemimpinan Jusuf inilah, PT Hadji Kalla menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang menjual mobil Toyota. “Kami lebih duluan dari Astra (PT Astra International Tbk). Jadi, kalau mau bicara Toyota jangan macam-macam. Kita lebih duluan menge-nal Toyota. Tapi, kami cukup jadi agennya Toyota saja,” candanya dalam sebuah kesempatan. Kalla mengatakan bahwa filosofi PT Hadji Kalla adalah hidup berma-syarakat. Itulah sebabnya, Hadji Kalla lebih banyak mengurus Masjid Raya daripada perusahaan.

Menurut Jusuf, PT Hadji Kalla merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang menggu-nakan kata Hadji. “Dulu banyak, sekarang hanya satu,” katanya.

Selain itu, salah satu pesan yang selalu diingat Jusuf adalah agar selalu membayar zakat tepat waktu. “Hitunglah zakat perusahaan secara benar, karena itu haknya orang miskin.” katanya menirukan ucapan sosok yang dicintainya. Tak heran jika sejak berdirinya NV Hadji Kalla hingga berubah menjadi PT Hadji Kalla (saat ini), konsorsium bisnis ini tak pernah telat membayar zakatnya. Bahkan sebelum Hadji Kalla tutup usia pada 15 April 1982, ada pemandangan tak lazim setiap menjelang ramadan di depan kediamannya di Jl. Andalas No. 2 Makassar. Para pengemis dan fakir miskin antri mendapatkan pemberian zakat dan sedekah dari keluarga Hadji Kalla. Setelah itu, Hadji Kalla bergegas membagikan zakat dan sedekahnya di pelosok-pelosok. Bagaimana dengan pajak? Jangan khawatir, sebab Hadji Kalla langganan mendapatkan penghargaan pemerintah karena selain tepat waktu, ia juga membayar pajak dalam jumlah yang besar.

“Bantulah orang yang lagi kesusahan dan Allah akan menggan-tinya 70 kali lebih banyak,” terang Aksa Mahmud, menantu Hadji Kalla menuturkan pesan mertuanya. Menjelang subuh, dengan berjalan kaki mertuanya itu membagikan uang kepada para penyapu jalan. “Kasihan mereka. Orang lain masih tidur, mereka sudah bekerja. Pekerjaannya tidak banyak dilihat orang lain,” kata Hadji Kalla, yang pecandu sepak bola. Di dunia kulit bundar, ia pernah menjadi donatur tetap klub PSM Makassar.

Falsafah hidup Hadji Kalla juga dituturkan oleh Drs Abdurrahman, mantan Sekretaris PWNU Sulsel. Hadji Kalla punya prinsip teguh. Mengambil keuntungan dari perniagaan seperti mengambil wudhu (bersuci). “Jika air wudhu yang kita ambil kotor maka wudhu tidak sah. Begitu juga dengan berbisnis, jika perdagangan yang kita lakukan terkotori, maka hasil yang kita peroleh tidak sah.” kata Hadji Kalla suatu ketika.

Sekarang perusahaan yang bermula dari lapak kain sederhana itu menjadi sebuah jaringan konglomerasi yang bergerak di berbagai bidang usaha. Perusa-haan Kalla beserta anak-anak perusahaannya bergerak di bidang perdagangan mobil, konstruksi bangunan, jembatan, perkapalan, real estate, transportasi, peter-nakan udang, perikanan, kelapa sawit, dan telekomunikasi.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘USWAH’.

Mbah Ma’shum dan Santri Jin

Ada kisah menarik yang terjadi saat KH Ma’shum Ahmad, ayahanda KH Ali Ma’shum, saat bersilaturrahim ke seorang kiai di Lombok. Menjelang waktu maghrib kiai asal Lasem itu sampai di sana. Saat dijamu oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum mengetahui betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat mengaji dan berdzikir. “Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah maju. Santrinya banyak. Semoga mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah Ma’shum. Setelah mengamini doa temannya, tuan rumah hanya tersenyum penuh arti.

Akan tetapi, keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi, tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang, dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Dia bertanya kepada sang tuan rumah, kemana gerangan para santrinya. Lalu, kiai itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin.

Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh, dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia. Kekeramatannya yang lain, adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan atau oleh-oleh berupa beberapa biji buah kelapa itu. Kiai dari Lombok itu bernama Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdhatul-Wathan pada 1356 H (1936 M).

Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid belajar di Makkah, dalam didikan Syekh Hasan bin Muhammad al-Massyath al-Makki, salah seorang ulama terkenal di Hijaz pada eranya. Dia sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda jalan.

* Dinukil dari Mbah Ma’shum Lasem: the Authorized biography of KH Ma’shum Ahmad karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren/2007. Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘IBRAH’

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Oleh KH Muhyiddin Abdusshomad

PADA suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampak-kanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, “Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, “Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang ber-akibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab, 33)

1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya.” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menun-jukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-Abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2. Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (mempedulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong.” (Shahih al-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang di-kenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, “Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, “Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, “Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina’, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan “Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangan-nya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut. Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252)

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewa-jibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menye-babkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami.
Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya.
Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian.
Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang me-musuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.
Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik 'WAWASAN'

Gus Dur, Tak Lekang oleh Waktu



“Ah, Gitu aja kok repot!”, guyonan khas Gus Dur itu kini tak terdengar lagi. Yah, karena sang pemilik kalimat itu telah berpulang ke rahmatullah. Kalaupun masih terdengar di televisi, mungkin disuarakan oleh Gus Pur, tokoh yang memerankan sosok mirip Gus Dur.

SUDAH sebulan lebih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dimakamkan. Namun hingga kini kharismanya belum juga memudar. Setiap hari para peziarah masih terus berdatangan dari berbagai daerah. Terlebih pada Sabtu malam atau hari Ahad. Dipastikan rombongan bus dari berbagai daerah akan terlihat berjejer memadati areal parkir pesantren. Padahal sebenarnya areal parkir itu sudah cukup luas. Yah, banyak orang sudah terlanjur menganggap Gus Dur sebagai wali ke sepuluh yang makamnya harus diziarahi.
Nama Gus Dur memang sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Sejak kabar wafatnya tersiar pada Rabu malam (30/12), pelayat sudah mulai berdatangan ke Pesantren Tebuireng. Bahkan sebelum Subuh, masjid di kompleks pesantren tersebut sudah dipenuhi massa. Begitu juga pendapa joglo yang ada di areal makam. Mereka membaca tahlil dan mendoakan Gus Dur.

Memang dari malam hingga pagi tidak ada pengamanan, sehingga para pelayat dengan leluasa dapat hilir mudik di lokasi pemakaman. Barulah pada pukul 08.00 WIB, petugas keamanan melakukan penertiban. Selain keluarga, mereka diminta ke luar dari areal pesantren. Ini agar petugas bisa menyiapkan upacara kenegaraan serta memberi kesempatan kepada Paspampres untuk melakukan penyisiran terhadap kemungkinan bom.

Benar prediksi banyak kalangan yang memperkirakan para pelayat akan membeludak. Karena itu aparat disiagakan tidak hanya di lokasi pemakaman, tapi juga di beberapa titik di sekitar kawasan Tebuireng. Bahkan di sepanjang Jalan Raya Surabaya – Jombang, petugas kepo-lisian disiagakan di setiap perem-patan maupun pertigaan jalan.

Personel Banser dari Satkorcab Jombang juga tampak sibuk di lokasi pemakaman.
Jenazah Gus Dur yang dibawa dengan mobil VW Caravelle tiba sekitar pukul 11.30 WIB.
Setelah dishalatkan, jenazah Gus Dur yang berada di dalam peti berselimut bendera Merah Putih itu kembali diusung dan dimasukkan ke mobil jenazah dan dibawa ke kom-pleks pemakaman.

Presiden SBY memimpin upacara pemakaman. ”Atas nama negara, dengan ini mempersembahkan ke persada Ibu Pertiwi, jiwa raga dan jasa almarhum KH Abdurrahman Wahid. Jabatan, Presiden RI keempat. Putra dari KH Wachid Hasyim,” kata SBY dalam pidato pemakaman kenegaraan. “Beliau berjuang tanpa pamrih kepada bangsa dan negara ini, utamanya ketika menjadi pemimpin organisasi keagamaan terbesar, Nahdlatul Ulama,” lanjut Presiden.

Sementara itu KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) yang mewakili pihak keluarga meminta maaf atas segala khilaf yang pernah diperbuat kakak kandungnya itu selama hidupnya. “Perhatian yang diberikan semua pihak terhadap Gus Dur, baik selama hidupnya maupun pada saat beliau wafat, kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih,” katanya sambil menahan isak tangis yang menghentikan pidatonya itu selama beberapa saat.

Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah Gus Dur diperiksa terlebih dahulu oleh KH Maimun Zubair. Tembakan salvo ke udara dilontarkan dari senapan 10 personel Kopassus beriringan dengan takbir untuk mengantarkan jasad Gus Dur ke dalam liang lahat. Putra menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, membuka tali kafan, memberikan bantal tanah, sekaligus mengumandangkan adzan sebelum jenazah diberi papan telisik. Sebelum menurunkan tanah pertama kali ke liang lahat, Presiden SBY terlebih dulu menghormat kepada jenazah dengan sikap sempurna, lalu mengayunkan skropnya secara perlahan. Prosesi talqin dilakukan oleh KH Maimun Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang.

Gus Dur dimakamkan di pemakaman keluarga yang berada di dalam kompleks Pesantren Tebuireng. Makam mantan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu berada di sebelah utara makam KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebuireng, yang tak lain adalah kakek Gus Dur. Bergandengan dengan makam KH Hasyim Asy’ari adalah makam Nyai Nafidoh, istri Hadratussyeikh. Di tempat tersebut juga dimakamkan ayah Gus Dur, KH A Wachid Hasyim, menteri agama pertama. Juga ada makam KH Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, yang selama hidupnya berbeda pandangan dengan sang keponakan.

Pada masa-masa awal usai pemakaman, gundukan tanah di kubur Gus Dur selalu berkurang, karena banyak diambil orang untuk “jimat” dan pengobatan. Sampai akhirnya, untuk mengamankan akidah dari kesyirikan sekaligus mengamankan makam sang ulama, IPS NU Pagar Nusa menjaganya siang malam. Tidak hanya itu, mereka juga membuat pagar dari tali rafia sebagai batas, agar tidak ada lagi orang mendekat. Tak lupa, di beberapa sudut pemakaman ditulisi larangan mengambil segala sesuatu dari lokasi makam.

Sosok Penuh Kontroversi

Gus Dur lahir pada tanggal bulan Sya’ban di Denanyar Jombang, bertepatan dengan 7 September 1940, dari pasangan KH A Wachid Hasyim dan Ny Hj Solichah. Nama kecilnya Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti sang penakluk, merujuk pada nama tokoh Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Kakek dari ayah adalah KH Hasyim Asyari, sementara kakek dari pihak ibu KH Bisri Syansuri, keduanya tokoh besar NU. Ayah Gus Dur, KH Wachid Hasyim, adalah Menteri Agama tahun 1949. Namanya juga Gus Dur, ia secara terbuka pernah menyatakan bahwa dirinya memiliki darah Tionghoa, berasal dari marga Tan.

Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Selanjutnya secara berturut-turut terpilih kembali dalam muktamar di Krapyak, Jogjakarta (1989) dan Cipasung, Tasikmalaya (1994). Saat jatuhnya Orde Baru yang diiringi dengan munculnya banyak partai, Gus Dur bersama sejumlah kiai mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Dalam pandangan Gus Sholah, puncak prestasi NU adalah ketika Gus Dur mendapatkan kepercayaan sebagai Presiden RI keempat. Namun kursi kehormatan itu tidak bertahan lama karena pada tanggal 23 Juli 2001, MPR yang dipimpin Amien Rais memakzulkannya.

Sosok Gus Dur memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Saat menjabat presiden misalnya, ia mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Itu artinya paham komunisme yang diwakili oleh PKI diperbolehkan hidup kembali. Tidak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan, asal berada di bawah bendera Indonesia. Ia juga terlibat dalam Yayasan Shimon Peres, padahal Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan hati bangsa Indonesia terluka cukup dalam atas ulah bangsa Israel menindas bangsa Palestina.

Peraih Ramon Magsaysay award (penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori pemimpin komunitas) memang dikenal sebagai penganut aliran pluralis. Ia selalu dekat dan rajin membela kalangan minoritas yang merasa diperlakukan tidak adil. Bagi Gus Dur, kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman dan demokrasi di Indonesia harus terus menjadi hak mendasar bagi manusia. Tidak heran kalau kemudian dia getol membela Ahma-diyah, kontra RUU antipornografi dan pornoaksi, mengusulkan Konghucu sebagai agama resmi negara, dlsb.

Gus Dur memang Gus Dur, sosok yang serba unik dan suka nyentrik. Presiden forum dialog antarumat beragama dunia itu bisa berkawan dengan siapa saja. Bahkan dalam salah satu pernyataannya, berkawan dengan setan pun tidak ada masalah. Wajar kalau banyak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. “Ka-rena selama hidupnya banyak berkawan dengan rakyat kecil, jangan heran bila makamnya juga tak sepi dikunjungi peziarah sampai sekarang,” kata Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Wakil Gubernur Jawa Timur, yang juga masih kerabatnya.

Kepergian Gus Dur adalah duka bagi semua. Terlebih bagi mereka yang suka humor. Tak akan lagi terdengar suara ceplas-ceplos yang kadang kasar tapi lucu. Tak akan tampak lagi seorang presiden yang tertidur di tempat kehormatan dalam forum resmi kenegaraan. NU dan bangsa Indonesia merasa kehilangan sosok pemimpin yang dicintai sangat dalam oleh rakyat dan umatnya. Seorang tokoh yang hebat. Bukan malaikat yang selalu benar tak pernah salah, bukan pula setan yang selalu salah tak penah benar. Gus Dur adalah Gus Dur, sosok yang serba kontroversi. Bahkan tanggal kelahirannya pun tetap menjadi kontroversi hingga kini. Selamat jalan, Gus.....

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'OBITUARI'

Pecinta Ilmu Yang Rendah Hati


KH Abdul Karim, Pendiri Pondok Lirboyo

Pertama kali menetap di Desa Lirboyo, ia langsung melantunkan adzan. Aneh, selepas itu, semalaman penduduk desa tak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang.

NAMA kiai ini KH Abdul Karim. Ia adalah pendatang dari Magelang yang kemudian diambil menantu Kiai Sholeh, Banjarmelati Kediri. Perpindahan Kiai Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang berharap dengan menetapnya Kiai Karim di Lirboyo akan menjadi tonggak penting syiar Islam di daerah itu. Gayung bersambut, kepala desa Lirboyo juga memohon kepada Kiai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Benar, selepas Kiai Karim melantunkan adzan, Desa Lirboyo bebas dedemit. Dan, tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, Kiai Karim mendirikan surau mungil nan sederhana. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1910.

Secara garis besar Kiai Karim adalah pribadi yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia juga gemar mela-kukan riyadlah mengolah jiwa alias tirakat. Kealimannya juga mulai terdengar ke luar daerah. Adalah bocah bernama Umar asal Madiun, yang menjadi santri pertama yang menimba ilmu dari Kiai Karim. Kedatangannya disambut baik oleh shahibul bait, karena kedatangan musafir itu untuk menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kiai.

Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal Kiai Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernama Syamsuddin dan Maulana, yang sama-sama berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari Kiai Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes disambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman. Di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan jahil. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin dibanjiri santri. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuk-lah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Karena jumlah santri semakin membludak, dan musalla kecil tak lagi representatif, maka timbullah gagasan dari Kiai Karim untuk mendirikan masjid. Semula masjid itu amat sederhana, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika masjid sederhana itu porak poranda disapu angin puting beliung. Akhirnya, KH Muhammad, kakak ipar Kiai Karim, berinisiatif membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Setelah bermusyawarah dan meminta izin pada KH Ma’ruf Kedunglo Kediri, dalam tempo peng-garapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi. Dinding serta lantainya terbuat dari batu merah, gaya bangunannya bergaya klasik, yang merupakan perpaduan model arsitektur Jawa kuno dengan Timur Tengah. Peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri Kiai Karim yang kedua, Salamah dengan KH Manshur Paculgowang Jombang.

Murid Kiai Kholil Bangkalan

Kiai Karim lahir pada 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang. Nama kecilnya adalah Manaf, putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manaf berusia 14 tahun, mulailah ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Daerah pertama yang dituju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas Karim meneruskan pengembaraannya di daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk. Di sini Karim menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk, untuk memper-dalam pengkajian ilmu al-Quran. Karena tetap haus ilmu, ia kemudian meneruskan pengembaraannya ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang ter-kenal dengan ilmu sharafnya. Tujuh tahun lamanya ia kerasan menuntut ilmu di pesantren ini. Periodenya selanjutnya diteruskan dengan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Surabaya. Era mondok yang paling berkesan adalah tatkala ia berguru pada ulama kharismatik yang menjadi guru para ulama Jawa dan Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan. Tak tanggung-tanggung, Karim berguru di pesantren ini selama 23 tahun! Tak heran jika dalam usia yang terus bertambah, ia masih belum tertarik membina rumah tangga.

Pada saat berusia 40 tahun, Karim, yang mulai dipanggil kiai, memilih meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan, KH M Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika Mbah Hasyim menjodohkan Kiai Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmlati Kediri. Akhirnya pada tahun 1328 H/ 1908 M, Kiai Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian Kiai karim bersama istri ter-cinta hijrah ke tempat baru, Lirboyo.

Sosok Kiai Karim dikenal sebagai sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan ke-adaan bagaimanapun. Hal ini terbukti tatkala menderita sakit, Kiai Karim masih saja istiqomah untuk mem-berikan pengajian dan memimpin shalat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Sebagai pengasuh ratusan santri, sikapnya yang kebapakan dan rendah hati, masih lekat diingatan para santri yang masih menangi zamannya.

Pernah, suatu ketika, ada pemuda yang berniat mondok di Lirboyo. Pakaiannya perlente sambil menen-teng koper, sebuah penanda kemewahan pada zaman itu. Di gerbang pondok, ia berpapasan dengan orang tua berpenampilan sederhana. Dengan seenaknya ia minta tolong pada orang tua itu untuk membawa-kan kopernya yang berat. “Antarkan aku ke ndalem Kiai Karim,” perintah-nya. Yang dimintai tolong segera mengiyakan. Setelah sampai di rumah kiai, orang tua itu meminta sang pemuda agar menunggu Kiai Karim barang sejenak. Alangkah terperanjatnya pemuda itu saat Kiai Karim muncul dari balik pintu ruang tengah, sebab orang tua yang ia suruh menenteng kopernya itu adalah Kiai Karim! Konon, saking malunya, pemuda perlente tersebut langsung mem-batalkan niatnya mondok di Lirboyo.

Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, saat Kiai Karim wafat pada 1954. Sepeninggal Kiai Karim, Ponpes Lirboyo dilanjutkan para menantunya, seperti KH Marzuqi Dahlan (adik KH Ihsan Dahlan Jampes, penulis Sirajut Thalibin), KH Mahrus Ali dan KH Jauhari. Adapun menantu yang lain, KH Abdullah mengasuh pesantren Turus Gurah Kediri, KH Manshur Anwar mengasuh pesantren Tarbiyatun Nasyiin Pacolgowang Jom-bang, sedangkan KH. Zaini mengasuh pesantren Krapyak Yogyakarta.

Sekarang, pesantren yang menapak usia seabad ini dihuni sekitar 10 ribu santri. Diasuh secara kolektif oleh para cucu Kiai Karim, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya Mahrus, KH Habibullah Zaini, dll.

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'USWAH'

Penghentian Kehamilan Dalam Konteks Kesehatan Reproduksi (Tinjauan Sudut Pandang Agama)

September silam, Undang-Undang Kesehatan telah disahkan. Salah satu isi UU No. 36 Tahun 2009 ini adalah legalisasi aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana hukum aborsi atau penghentian kehamilan dalam persepektif agama? Simak ulasan Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim Drs H Hasjim Abbas, M.Hi

Pendahuluan

Beragam pandangan merespon tindakan yang bertujuan mengatur jarak kelahiran anak, upaya membatasi jumlah anak, mencegah terjadi kehamilan sama sekali, hingga tindakan menghalangi proses lanjut kehamilan (menghentikan kehamilan) dan terjadi terminasi hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan sesuai masa kehamilan lengkap dan bersifat alami. Polemik akan terus bergulir dipengaruhi oleh faktor hetero-genitas budaya, pandangan hidup, rujukan faham keagamaan dan landasan teori keilmuan sains. Wajar berkembang kontroversi persepsi terkait provokasi persalinan/kelahiran tak wajar yang dipaksakan.
Berbeda dengan tindakan ‘azel (coitus erectus) guna mencegah akar kehamilan lewat penggagalan konsepsi, termasuk ‘azel berindikasi ghilah agar produksi ASI tidak ter-ganggu oleh kehamilan berikutnya hingga usia baby mencapai dua tahun. Tindakan tersebut sepanjang disetujui oleh isteri boleh (mubah) dilakukan. Demikian pula praktek wa’du, yakni menghilangkan nyawa bayi yang terlahir hidup. Praktek wa’du tersebut yang membudaya pada komunitas Arab periode sebelum datang agama Islam (Jahiliyah) disorot oleh QS. al-Takwir: 8-9 sebagai pembunuhan yang tak beralasan (biadab). Untuk kedua tindakan itu telah diatur dalam hukum syari’at melalui nash (rumusan hukum tertulis), berikut sanksi moral keagamaan.
Pengaturan penghentian kehamilan melalui legislasi (perundang-undangan) agaknya disemangati oleh konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi tersebut berintikan hak perempuan sama dengan laki-laki dalam memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak. Regulasi dari pengaturan tersebut pasti mengundang reaksi penolakan karena tidak mempertimbangkan aspirasi hukum Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Kesan spontan pengaturan tersebut berorientasi pada watak individualisme dan bebas nilai dari negara-negara penggagas konvensi itu. World Health Organization (WHO) pantas dipersalahkan telah merelatifisasi alasan kesehatan mental emosional dan sosial terkait aborsi.
Tema aborsi sebagai fenomena sosial kemasyarakatan seharusnya disikapi dengan kearifan lokal. Menurut Prof. DR. Muladi (guru besar hukum pada Universitas Diponegoro) yang penting tidak melanggar norma agama.2 Bila substansi konvensi tersebut masih bermasalah di dalam negeri Indonesia, masih terbuka pengajuan keberatan, usul reservasi atau penundaan ratifikasi.

Konsep Hak Asasi Islam Terkait Aborsi

Keputusan melakukan aborsi atas gagasan pelaku wanita berstatus layang, janda atau isteri bila dipandang sebagai hak asasi pribadi bersangkutan dan dapat diputuskan secara bebas dan bertanggung-jawab, berarti telah mengindikasikan klaim hak dasar sepihak. Perkawinan, berkeluarga dan berketurunan (reproduksi) selama ini telah memasuki ranah deprivatisasi dengan berbagai norma hukum yang me-ngatur kelembagaannya.
Dalam pandangan hukum Islam tindakan aborsi atau dengan ungkapan penghalusan “penghentian kehamilan” setidaknya membenturkan hak asasi janin, hak suami, hak para kerabat dan hak masyarakat. Berikut dicoba uraikan akumulasi hak-hak asasi tersebut:

a) Hak asasi janin: Setiap janin berhak atas hidup berikut hak perlindungan untuk hidup. Hak asasi tersebut terkait jatidiri janin sebagai manusia (bani Adam) sebagai pengejawantahan martabat karamah insaniyah yang tersurat pada penegasan QS. al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautran, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.”
Berkat karamah insaniyah tersebut janin secara individual berpotensi siap mengemban mandat khilafah di atas permukaan bumi. Menghentikan kehamilan berakibat kematian yang dipaksakan. Perlakuan tersebut bertentangan dengan theologi keimanan, karena hak mengakhiri kehidupan makhluk merupakan wewenang Allah semata. Tidak kurang dari 26 unit ayat Al-Qur’an mengeksplisitkan dogma tersebut, utamanya QS. al-Furqan ayat 3: “....dan mereka tak kuasa mematikan, menghidupkan.... “
Demikian pula QS. al-Najm ayat 44: “Dan Dia-lah sesungguhnya yang mematikan dan menghidupkan”
Tindakan menghentikan kehamilan identik dengan menderivasi program penciptaan oleh Allah “falayughayyirunna khalqallah” (QS. al-Nisa’:119).
Hak atas hidup dan hak memperoleh perlindungan untuk hidup bagi janin telah memperoleh pe-ngakuan konsensus (ijmak) pakar hukum Islam lintas mazhab melalui landas pemikiran di balik perintah menunda pelaksanaan hukuman mati bagi seorang wanita hamil sampai ia melahirkan. Rasiologis penundaan adalah agar bayi dalam kandungan harus beroleh hak hidup sebagai hak asasinya, karena ia bukan subyek hukum yang harus ikut bertangung jawab atas perilaku ibunya. Konsensus fuqaha tersebut sejalan dengan konvensi internasional “Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil.” Konsensus dari kedua komunitas berbeda tersebut mengimplisitkan deprivatisasi aborsi atau penghentian kehamilan, bukan lagi merupakan hak asasi perempuan yang bebas dan bertanggung jawab secara mandiri.

b) Hak asasi suami: hak asasi versi hukum Islam adalah hak bagi se-orang suami terkait tujuan dasar pensyari’atan perkawinan, antara lain hak memperoleh keturunan biologis sekaligus genealogis (penetapan ikatan nasab). Perempuan sebagai isteri terikat kewajiban kekeluargaan yang merupakan hak suami. Seperti digariskan dalam penegasan QS. al-Baqarah 228: “... dan para wanita mem-punyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf....”
Kriteria ma’ruf terkait hak menerapkan standar hukum agama, hukum kebiasaan dan kepribadian yang luhur.

c) Hak asasi kerabat dan hak asasi masyarakat: merefleksikan implikasi moralitas, yakni beban moral membangun citra kepatuhan kepada norma syari’at, termasuk di dalamnya “kontrak warga sipil sebagai mu’minah”. Kontrak seorang perempuan untuk tidak melakukan tindakan aborsi atau penghentian kehamilan terumuskan dalam QS. al-Mumtahanah 12: “wala yaqtulna awladahunna...” (... dan tidak akan membunuh anak-anaknya...).
Atas penggal kalimat tersebut beredar penafsiran kontekstual antara lain: pantang membunuh mati bayi pasca dilahirkan hidup, pantang memungut anak orang lain diikuti dengan pengakuan tak jujur bahwa anak tersebut adalah anak kandung suami pasangan hidupnya, dan pantang menggugurkan bayi dari rahim.
Hak asasi masyarakat terkait implikasi moralitas warga dapat dikembangkan dengan konsep hukum qasamah. Elaborasi hukum qasamah berangkat dari korban pembunuhan di lokasi tertentu yang tak kunjung terkuak siapakah tersangka pelaku pembunuhan tersebut. Warga setempat berpeluang menolak tuduhan pembunuhan dengan upaya sumpah kolektif melibatkan 50 pria dewasa bahwa tidak satupun dari mereka sebagai pembunuh korban tersebut. Sumpah kolektif ditindaklanjuti dengan pembayaran dam (denda pembunuhan) yang dipikul secara bersama oleh 50 warga TKP dan diserahkan kepada ahli waris korban.
Dalam tinjauan hukum Islam benturan hak asasi terkait tindakan aborsi bukan dikorelasikan dengan kejahatan pembunuhan, atau diorientasikan pada kejahatan kesusilaan seperti pada KUHP yang berlaku, melainkan diidentifisir sebagai tindakan “ijhadh ijtima’i“ (mengeluarkan paksa janin sebelum melewati bulan keempat usia kehamilan secara kolektif/melibatkan jasa orang lain) atau diidentifikasi sebagai “isqath ikhtiyari” (pengguguran bayi atas kehendak pribadi wanita pada usia kandungan melewati bulan keempat hingga ketujuh).
Kategori aborsi provocatus menurut hukum Islam sebagai pembunuhan serupa sengaja (syibih al-‘amdi) atau tidak sengaja. An-caman pidananya tak sampai ke level qishash (hukum mati), melainkan sebatas denda pidana seharga gharrah + sepersepuluh denda pembunuhan tak sengaja pada wanita/ibu tersebut.

Fase Pertumbuhan Janin Terkait Aborsi

Konsep keberadaan janin sesuai QS. al-Najm 32: “wa idz antum ajin-natan fi buthuni ummahatikum” (dan Tuhan Maha Tahu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu). Konsep ayat tersebut membentuk terminologi “janin” dalam hukum Islam sebagai: organ yang dapat dilepaskan oleh seorang wanita dan secara pasti diketahui berasal dari rongga rahim/uterus. Kehidupan organ tersebut menempel pada rahim yang merupakan bagian dari struktur anatomi perut manusia perempuan.
Tahapan pembentukan janin melalui fase nuthfah, fase ‘alaqah, fase mudhghah, dan fase kelahiran. Rangkaian proses tersebut lewat pembelahan sel, pembentukan embrio dan pertumbuhannya sebagai makhluk yang serba baru berasal dari bahan-bahan homogen. Di kalangan ahli kedokteran disebut proses epigenesis. Rincian fase dan tahapan terjabarkan pada QS. al-Mu’minun 12-14.
Fase terjadi implantasi blastotis pada rahim ibu (nidasi) menurut Sayid Quthub disebut tahap “alaqah” kurang lebih 14 hari pasca berakhir menstruasi. Fase tersebut oleh Imam al-Ghazali diilustrasikan sebagai momentum ijab-qabul (transaksi penawaran dan penerimaan obyek jual-beli). Sekira dikehendaki tindakan aborsi sebelum itu (pra implantasi) maka tidak berdampak menodai aqad. Bila proses pembuahan telah berlangsung, maka penghentian kehamilan menimbulkan konsekuensi merusak alur persiapan kehidupan.
Fase janin memasuki pembentukan ‘alaqah oleh sebagian ulama fiqih dianalogkan setara dengan telur burung. Calon jamaah haji atau umrah yang dengan sadar men-jadikan telur itu pecah saat terikat kondisi ihram, maka yang bersangkutan terkena denda (dam isa’ah) bersedekah seharga seekor burung betina yang melahirkan telur tersebut. Logika analogi tersebut mendasari pandangan hukum bahwa tindakan aborsi/penghentian kehamilan saat janin berada di fase ‘alaqah terkena denda pidana dan tindakan tersebut berstrata mematikan sesuatu yang potensi kehidupannya harus dilindungi. Status makruh tahrim layak dinisbahkan pada tindakan aborsi tersebut, karena proses implantasi merepre-sentasikan sel hidup.
Fase pertumbuhan janin yang dipandang sebagai periode kritis oleh seluruh ahli hukum Islam adalah tahapan ditiupkan roh. Tak ada kepastian waktu kapan fase relatif terjadi, perkiraan sementara pada usia 120 hari/20 minggu usia kehamilan. Peniupan roh pada janin merupakan starting point masa depan bayi itu dipandang sebagai subyek yang akan ikut mengalami kebangkitan di hari kiamat, karena padanya berlaku tingkat kecakapan menerima hak (ahliyyah al-wujub) betapa berada pada strata tidak sempurna. Penegasan QS. al-Takwir 7-8: “Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh, dan apa-bila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh.”
Penghentian kehamilan pada fase peniupan roh, dipandang sebagai kejahatan dan haram hukum melakukannya. Pembatasan limit waktu 120 hari dikemukakan oleh al-Ramli (Syafi’iyah), Syeikh Tanthawi (Universitas al-Azhar Kairo), demikian pula MUI melalui Fatwa Munas VI tahun 2000. Pengecualian pada fatwa tersebut sebatas alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa ibu. Data perkenan menghentikan kehamilan sesudah fase peniupan roh, yakni setelah lewat 120 hari usia kehamilan atas dasar untuk menyelamatkan kesehatan pernah difatwakan oleh Syeikh Jadu al-Haq Ali Jadu al-Haq (guru besar Universitas al-Azhar) pada tahun 1991.
Kecenderungan memandang bayi yang melampaui fase peniupan roh (+ usia 120 hari kehamilan) seperti anak pada umumnya, terbaca pada elaborasi fiqih yang menganjurkan aqiqah meskipun terlahir dalam keadaan mati.

Indikasi Penghentian Kehamilan

Gejala keterkaitan tindakan peng-hentian kehamilan lazim diklasifikasi-kan indikasi medis dan indikasi non-medis. Ancaman jiwa ibu bila kehamilan berlanjut, ibu mengalami ke-lainan fisik (penyakit biomedis), janin didiagnosis mengalami cacat fisik akibat penyakit yang diturunkan secara genetik, kekhawatiran bayi dalam rahim terinfeksi penyakit menular dari ibu atau bapak, janin didiagnosis menderita syndroma down, ibu terjangkiti penyakit rubella, lazim diklasifikasi indikasi medis.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan, seperti kehamilan perempuan PSK (zina), hamil karena diperkosa, kehamilan yang status pernikahannya segera difasakh/dibatalkan dan sejenisnya diklasifikasikan indikasi non-medis karena lebih dekat pada indikasi psikis/depresi mental. Termasuk indikasi non-medis adalah kegagalan kontrasepsi, bayang-bayang kesulitan hidup secara ekonomis, hasil hubungan sedarah (incest) dan lain sebagainya.
Disiplin hukum Islam menyeder-hanakan klasifikasi indikasi penghentian kehamilan ke dalam 2 (dua) kategori: indikasi hajat dan indikasi dharurat. Perawatan (terapi) kesehatan setara hajat, sebaiknya meng-hindar dari aborsi. Demikian pula indikasi non-medis lainnya, karena secara fisik tak terdapat gejala penyakit, melainkan sehat jasmani.
Bila deteksi medis diperoleh diagnosis ancaman kematian ibu bila tidak segera dihentikan kehamilannya, serta dokter spesialis menganjurkan dan tak ada alternatif solusi lain, maka kondisi dharurat serupa itu menjadi dasar dilakukan tindakan aborsi. Kon-disi serupa analog dengan keberadaan anak-anak dan wanita muslimah yang diposisikan sebagai pagar berlindung orang-orang kafir dari serangan tentara Islam. Dalam kondisi terpaksa sekali anak-anak atau wanita sipil yang muslimah dikorbankan. Dalam kondisi dharurat sekalipun tindakan menghentikan kehamilan harus menem-puh upaya selektif, tidak melanggar norma syari’at dan terjamin aman. Penghentian dengan cara tubectomi (wanita) dan vasectomi (pria) tidak boleh dilakukan karena berakibat kemandulan permanen.

Indikasi Hamil Di Luar Nikah

Kehamilan di luar nikah merupakan hasil reproduksi didahului oleh praktek hubungan zina. Gejala tersebut tergolong penyimpangan perilaku seksual yang diharamkan oleh Islam dan berdampak luas terhadap lembaga perkawinan. Penghentian kehamilan yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah dan tidak bernilai emergensi. Prof. Dr. Muh. Said Ramadhan al-Buthiy melarang aborsi dalam kasus kehamilan yang tidak sah, termasuk akibat perzinaan. Menurut beliau aborsi hanya boleh dilakukan bagi isteri yang sah dalam sebuah keluarga karena indikasi medis.
Strategi pengharaman abortus berindikasi perzinaan bersumber dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap seorang wanita dari suku Ghamid/Azd yang tengah mengandung bayi dan mengakui kehamilan itu karena zina. Wanita tersebut dibiarkan hidup hingga janin yang dikandungnya lahir serta telah ada pihak yang siap mengoper perawatan selanjutnya. Selepas itu baru dilakukan eksekusi rajam.
Berbeda halnya pada wanita muda yang diperkosa dan kemudian hamil. Di sana terhimpun indikasi sosial psikologis dan indikasi medis. Tindakan penghentian kehamilan terutama pada usia kehamilan di bawah 40 hari pasca perkosaan bisa merujuk kepada fatwa:
a) Mufti Bosnia membolehkan aborsi bagi wanita yang hamil karena perkosaan saat perang;
b) Sayid Thanthawi pada Konferensi Kairo 1977 membolehkan aborsi akibat perkosaan pada usia kehamilan empat bulan pertama;
c) Pemerintah Sudan mentolerir aborsi bagi korban perkosaan.

Rangkuman

1) Penghentian kehamilan (terminasi hasil konsepsi) dari sudut pandang agama Islam tergolong masalah ijtihadiah (pemikiran kreatif) karena tidak tersedia petunjuk nash syar’i yang jelas. Penghentian kehamilan berada pada wilayah vacum hukum antara ‘azel (coitus erectus) dan al-wa’du (pembunuhan bayi pasca lahir hidup);

2) Terminologi abortus atau peghentian kehamilan dalam literatur hukum Islam (fiqih) beragam antara: ijhadh (pengguguran kandungan usia –4 bulan), karena melibatkan jasa orang lain diikat dengan ijtima’i, isqath ikhtiyariy (mengeluarkan janin pada usia 4–7 bulan kandungan atas prakarsa sendiri), ilqa (mem-buang keluar), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan janin dalam kondisi tak bernyawa). Kesatuan unsur materiil tindakan terletak pada:
(a) tindakan sengaja dengan tujuan mengo-songkan rahim dari janin;
(b) dilakukan sebelum akhir dari masa alamiah kehamilan;
(c) organ yang dikeluarkan semula berada dalam rahim;

3) Hukum Islam mengklasifikasi indikasi dengan ‘udzur syar’i dan ‘udzur ghairu syar’i, berkadar hajat atau dharurah;

4) Tindakan penghentian kehamilan mempertentangkan hak asasi janin, hak asasi suami, hak asasi kerabat, hak asasi masyarakat dan hak asasi perempuan yang hamil;

5) Tindakan aborsi tidak bersifat emergensi dan lebih cenderung simpomatik terkait kehamilan yang tidak diinginkan, berindikasi non-medis. Perlu diupayakan tindakan yang berpotensi saddu al-dzari’ah, menyelesaikan masalah sejak dari kausalitasnya, bukan sebatas mengatasi gejala dan akibat semata;

6) Penghentian kehamilan pada dasarnya terlarang (haram) kecuali dihadapkan pada kondisi dharurat dan berindikasi medis. Teknik penghentian tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, seperti berakibat kemandulan tetap (vasec-tomi dan tubectomi) dan harus terjamin dari ancaman resiko fatal, seperti kematian atau kecacatan permanen.q

* Makalah disajikan pada Seminar Hukum Kesehatan, bertema “Pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi dan Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan yang Baru ditinjau dari Sudut Pandang Agama” oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanggal 24 Nopember 2009 di Surabaya, dan dimuat di Majalah Aula edisi Januari 2010 dalam Rubrik Dirasah.