Kamis, 29 April 2010

Ihwal: Muktamar, Jawa Timur Jadi Pusat Perhatian


Muktamar sudah berlangsung sebanyak tiga puluh dua kali. Pada penye-lenggaraan di Sulawesi Selatan, semua perhatian dialamatkan kepada PWNU Jawa Timur. Tidak sedikit yang iri dengan kemajuan yang dimiliki

Keberadaan kontingen Jawa Timur demikian dominan. Pada kegiatan sidang komisi maupun pleno, nyaris kafilah Jatim banyak memberikan masukan berarti untuk perbaikan NU di masa yang akan datang. Bahkan hal-hal yang tidak terfikirkan sebelumnya, justru idenya muncul dari Jatim. Tentu saja hal ini bukannya datang dengan tiba-tiba. Perbincangan yang intensif selalu dilakukan, jauh sebelum materi Muktamar diterima. “Praktis, agenda bahtsul masail, rekomendasi, perbaikan AD/ART sudah rampung sebelum rombongan berangkat ke Makasar,” tandas Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, H Sholeh Hayat, SH.

Hal ini ditambah dengan sigapnya para pengurus untuk terus memantau kondisi muktamar serta membicarakannya secara khusus di posko Jatim maupun saat bertemu di arena. Yang baru saja dilakukan dan ternyata manfaatnya sangat terasa adalah membuat draf perubahan dengan tetap menulis-kan redaksi awal materi dengan draf perubahan yang diinginkan. “Kami telah mempersiapkan lima lembar halaman perubahan, khususnya pada sidang komisi organisasi,” kata Sekretaris PWNU Jatim, H Masyhudi Muchtar, MBA.

Draf usulan itu kemudian diserahkan kepada pimpinan sidang yang kala itu dipimpin oleh KH Hafidh Utsman. Cara baru model Jatim ini diapresiasi oleh Kiai Hafidh karena lebih memudahkan dan efektif. Praktis, dengan cara ini dapat dikatakan pimpinan sidang justru menjadi juru bicara dari usulan PWNU Jatim. “Kalau mengusulkan sendiri, kan tidak selamanya para peserta mau menerima?” tandas Pak Hudi (sapaan akrab sekretaris PWNU Jatim) saat dikonfirmasi. “Pimpinan sidang tinggal menawarkan kepada peserta, dan apabila ada yang kurang paham maka kita menjelaskan,” lanjut mantan anggota DPRD Jatim ini. Dengan cara itu, seolah peserta beranggapan bahwa materi yang diwarkan adalah dari PBNU. “Padahal itu kan usulan dari kami?” tandas Pak Hudi dengan senyumnya yang khas.

TV 9 dan Aula Semakin Bikin Iri

Yang juga menjadi “pukulan telak” bagi banyak peserta lain adalah kehadiran TV9. TV yang baru saja diluncurkan oleh PWNU Jatim ini ternyata tampil optimal selama Muktamar. Untuk menayangkan suasana di sidang komisi maupun pleno, para peserta yang tidak memiliki id-card, tidak perlu memaksakan diri untuk mengintip lewat jendela. Cukup duduk dengan tertib di luar karena telah tersedia beberapa unit televisi layar datar dan berukuran 21 inci dan dua unit screen berukuran dua kali tiga meter. “Mending duduk di sini saja, tidak gerah dan lebih santai,” kata Abdullah Mabruk utusan dari Ke-pulauan Riau.

Bahkan untuk acara pembukaan yang menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, TV9 juga dengan percaya diri menayangkan acara tersebut secara live dan nyaris tanpa pesaing. Berkali-kali logo TV9 tampil disela-sela waktu jeda. Salah seorang peserta dari Halmahera yang telah menghadiri beberapa kali muktamar tidak bisa menyem-bunyikan kekagumannya. “Alhamduillah NU telah memiliki TV sendiri, kapan yang lain mengikuti ya?” katanya berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Sebenarnya untuk kegiatan Muktamar ini, TV9 mengalami musibah yang cukup berat. Empat buah TV Plasma yang dikirim lewat cargo dari Surabaya, ternyata setelah sampai di Makasar semuanya pecah. “Ini kecerobohan pihak cargo,” kata Helmy M Noor kepada wartawan. Karenanya, didukung oleh KH M Hasan Mutawakkil Alallah selaku Komisaris TV9, Helmy –sapaan akrabnya- telah melakukan upaya komplain atas kerugian ini. “Bila dikalkulasi, kerugian kami sampai empat puluh juta rupiah,” katanya.

Kekuatan lain dari kafilah NU Jawa Timur adalah kehadiran Majalah AULA. Kendati selama Muktamar banyak media harian maupun selebaran, namun keberadaan AULA turut mencuri perhatian peserta. Spanduk rentang berukuran 6 x 1 meter majalah yang telah berusia tiga puluh dua tahun ini, menghiasi arena muktamar. “Ada lima belas spanduk rentang yang terpasang di sudut-sudut lokasi,” kata Habib Wijaya, Kepala Tata Usaha Aula. Tidak berhenti sampai di situ saja, x baner AULA juga tersebar di setiap ruangan sidang komisi maupun pleno. Belum lagi crew majalah yang hilir mudik dengan kostum baru, serta dimilikinya stan pameran majalah yang menggandeng penerbit Khalista. Selama muktamar berlangsung, tidak sedikit para peserta yang menga-jak berdiskusi crew majalah dan akhirnya berkenan berkunjung ke stand di block C-5 di mana Aula berada. “Wah… NU Jatim benar-benar unjuk gigi,” kata peserta dari Maluku dengan wajah berbinar. Untuk internal NU sendiri sebenarnya ada majalah “pesaing”. Namun keberadaannya tidak seperti Aula.

Memang, keberadaan Muktamar diharapkan menjadi media silaturrahim seluruh potensi yang dimiliki oleh NU. Apa yang kurang, hendak-nya disempurnakan demi kebaikan di masa mendatang. Demikian pula, bila ada kendala menyelenggarakan sebuah ren-cana, tidak ada salahnya saling bertanya untuk kelancaran niat di kemudian hari. Inilah khidmat yang bisa dilakukan demi kebaikan NU di masa yang akan datang. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Pesantren: PP Tahfidzul Quran al-Hasan Ponorogo

Spesialis Qira’ah Sab’ah

Magelang, pertengahan tahun 1983. Petang belum menjelang saat Husein tiba di kediaman KH A Hamid di Kajoran Magelang. Bersama KH Qomar, ayah angkatnya, Husein hanya ingin sowan pada kiai yang tersohor sebagai waliyullah itu. Percakapan singkat tuan rumah dan tamu itulah yang kelak menentukan berdirinya PP al-Hasan.

“Ilmu yang kau peroleh sudah saatnya kau amalkan,” titah Kiai Hamid. Dua orang tamunya hanya mengangguk. “Caranya, segera dirikan pesantren di tempat yang kau tinggali saat ini,” kiai sepuh itu melanjutkan perintahnya.

Husein, kala itu berusia 30 tahun, sebenarnya masih kurang pede untuk merintis pesantren. Ia merasa ilmunya jauh dari cukup untuk mengasuh para santri. Namun, berbekal dukungan dari Kiai Hamid Kajoran, ia bismillah saja. Lokasi yang dipilih adalah tanah wakaf dari ayah angkatnya, KH Qomar, di kelurahan Patihan Wetan Ponorogo. “Tanggal berdirinya 7 Juli 1984. Jadi, hampir satu tahun setelah dawuh Kiai Hamid,” kata KH Husein Ali, nama lengkapnya.

Kiai Qomar sendiri, selain menjadi kiai di kelurahan itu, juga dikenal sebagai kontraktor sukses yang sangat mencintai al-Quran. Pengusaha santri itu hampir saban minggu mengadakan semaan al-Quran di rumahnya. Salah satu hafidz langganannya adalah santri bernama Husein Ali, yang kemudian ia ambil sebagai anak angkatnya.

Nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada nama ayah Kiai Qomar, yaitu Kiai Hasan Arjo. Selain itu saudara kembar Kiai Husein juga bernama Hasan, namun ia meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kiai Husein ingin mengenang dua orang tersebut. “Tentunya, saya tafaulan pada cucu kanjeng nabi, Sayyidina Hasan,” terangnya.
Hingga kini, ciri khas PP al-Hasan adalah pengajaran Qiraah Sab’ahnya. “Insya Allah, di daerah Karesidenan Madiun, hanya PP al-Hasan yang mengajarkan Qiraah Sab’ah,” kata Rais Syuriah PCNU Ponorogo 1997-1999 ini.

Di pesantren yang lokasinya cukup dekat dengan STAIN Ponorogo ini, para santri di pagi harinya dibebaskan bersekolah di luar pesantren. Sebab, al-Hasan hingga kini belum memiliki lembaga pendidikan formal. Selain di MA terdekat, ada pula beberapa santri yang kuliah di STAIN, maupun Institut Sunan Giri yang lokasinya juga tak jauh dari al-Hasan.

Hanya saja, meski menghafalkan al-Quran, tapi tak semua santri berminat mendalami Qiraah Sab’ah. Menurut Kiai Husein, dari dua puluh orang huffadz yang diwisuda, hanya satu orang yang berminat. “Sebab mempelajari variasi qiraah dari tujuh imam, memang sangat berat.” kata penasehat Jamiyatul Qurra’ wal Huffadz Jatim ini seraya tersenyum. Begitu beratnya, hingga kadang-kadang hafalan al-Qurannya hilang. Belum lagi durasi waktu yang lumayan lama.

Menurut ayah tiga orang anak yang semuanya hafidzul Quran ini, ada kesankesan unik ketika mengasuh para calon penghafal al-Quran. Ia terkesan dengan seorang santri bernama Muallif yang berasal dari Trenggalek. Ia hanya ber-pendidikan SD dari keluarga kurang mampu. Tanpa bekal sedikitpun, ia nekat sowan ke Kiai Husein mengutarakan niatnya menghafal al-Quran. Berbekal niat yang kuat ia menghafal al-Quran, sambil bekerja serabutan. Karena kegigihannya inilah, teman-temannya memberi gelar Mbah Sunan. “Hafalannya baik, suaranya juga bagus. Tajwidnya juga tanpa cela,” kisahnya. Tahun 1993 kebetulan ada Musabaqah Hifdzul Quran (MHQ) di Madiun. Oleh Kiai Husein, Mbah Sunan didelegasikan menjadi peserta lomba. Karena penampilannya yang katrok; perawakan kecil, wajah kurang manarik, dan kulitnya juga hitam legam, para juri lomba menganggap remeh Mbah Sunan. “Kiai, mbok ya santri panjenengan di make up sedikit, biar penampilan-nya lebih oke,” canda seorang juri pada Kiai Husein. “Lho, jangan lihat bungkusnya. Yang penting itu substansinya alias kemampuannya,” jawab Kiai Husein memberi jaminan, sambil terkekeh.

Jaminan mutu dari Kiai Husein manjur, para juri terperangah mendengar lantunan al-Quran dari bibir Mbah Sunan. Hasilnya, sosok yang sempat diremehkan ini menjadi kampiun I MHQ se-Karesidenan Madiun. “Saat ini Mbah Sunan ngajar ngaji di desanya,” kata Mustasyar PCNU Ponorogo ini.

Selain kisah Mbah Sunan, ada beragam kisah unik lainnya. Ia menyebut kisah seorang santri eksentrik dari Yogyakarta. Namanya Arif Irfan. Selain menghafalkan al-Quran, ia juga belajar di STAIN Ponorogo. Di mata teman-teman-nya, Arif dikenal sebagai santri yang hobi keluyuran. Pamitnya nonton bioskop, cangkruk di warkop, dll. Tak pernah ia terlihat nderes al-Quran di kamarnya. Tahu-tahu ia selesai setoran hafalan pada Kiai Husein. Tak dinyana, dalam jangka waktu satu tahu, ia telah menguasai al-Quran di luar kepala. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala melihat keberhasilan Arif. Menurut Kiai Husein, ketika Arif pamit nonton bioskop pada teman-temannya, sebenarnya ia tidak ke lokasi pemutaran film. Justru ia mampir ke masjid. “Agar tak diketahui teman-temannya, ia bergonta-ganti masjid,” terang Kiai Husein sambil tersenyum mengingat kecerdikan Arif. Di beberapa masjid inilah ia nyicil hafalan al-Quran hingga ia diwisuda sebagai hafidz pada 1998.

Hingga kini, dalam berbagai ajang perlombaan MHQ, MTQ, maupun MQK (Musabaqah Qira-atul Kutub), terutama di kawasan Karesidenan Madiun, delegasi al-Hasan hampir menjadi langganan juara. Bahkan, grup hadrah al-Hasan menempati peringkat II berturut-turut pada lomba Hadrah Karesidenan Madiun 2008 dan 2009.

Ijazah dari Mbah Arwani

Kiai Husein merupakan pen-datang dari Jejeran Wonokromo Yogyakarta. Masa mudanya ia habiskan berkelana dari satu pondok ke pondok lainnya. Guru pertamanya adalah KH Ali Masykur, ayah kandungnya. Melalui ayah-nya, ia menghafal al-Quran di usia belia. Saat ayahnya wafat, Husein masih duduk di bangku MTs. Di usia muda itu ia lalu dititipkan ibunya pada KH A Muchith Nawawi. Sesekali, ia ikut ngaji pada KH Muhyiddin Nawawi. Keduanya adalah kiai terkemuka di Wonokromo Yogyakarta. “Alhamdulillah, di desa kelahiran saya, terdapat ratusan huffadz. Menurut Mbah Mundzir (Pengasuh PP Maunah Sari bandar Kidul Kediri-red) mudahnya para penduduk menghafalkan al-Quran karena disana ada 41 makam auliya,” terang Kiai Husein. Selepas itu Husein muda melanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten.

Bertahun tahun berguru pada Mbah Dim, Husein kembali mengembara. Kali ini ia terdampar di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Umar, Semarang. Di pesantren spesialis pendalaman tafsir ini, Husein mondok selama enam bulan. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya mengajar kitab pada masyarakat sekitar pondok. Istilahnya ngaji privat,” katanya tersenyum mengenang masa mudanya. Upahnya sebagai guru ngaji itulah yang ia gunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bekal membeli kitab. Kadangkala ia juga didundang ceramah maupun se-maan al-Quran.

Selepas itu, ia kembali mondok. Kali ini ia memilih berguru kepada KH Arwani Kudus. Ke-butuhan sehari-harinya ia penuhi dengan mengajar ngaji secara privat, memenuhi undangan ce-ramah, hingga semaan al-Quran. Di pesantren al-Quran ini, Husein betah hingga tiga tahun lamanya. Melalui silsilah keilmuan Mbah Arwani inilah, Husein mem-peroleh ijazah Qiraah Sab’ah. Berbekal ijazah itu ia me-ngembangkan pesantren spesialis Qiraah Sab’ah.

Hingga kini, jumlah santri PP al-Hasan berjumlah 230 putra–putri. “Itu belum termasuk santri kalong (non-mukim),” terang kiai yang aktif sebagai mubaligh ini Para santri ini datang dari ber-bagai daerah, meskipun mayoritas dari Sumatra. Untuk memenuhi jangkauan pengajaran al-Quran, Kiai Husein melebarkan sayap dengan mendirikan PP al-Hasan II di Dusun Carat Kauman Sumoroto, sekitar lima kilometer arah barat PP al-Hasan I.

“Alhamdulillah, berkat doa para masyayikh dan dukungan masyarakat, kedua pesantren ini tetap semangat dalam memasyarakatkan al-Quran,” terang Kiai Husein. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Muhibah: Ulama Lebanon Belajar kepada NU (Bagian Ke-2)

Memahami Peta Perjuangan Islam

Perjalanan rombongan para kiai NU tidak semata ke medan perang, tapi juga ke tempat para ulama kharismatik di Lebanon dan Syiria. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para ulama spiritual tertinggi kedua negeri. Berikut kelanjutan kisah mereka.

Setelah puas bertukar pikiran dengan para ulama dan berziarah ke makam-makam penting dan bersejarah, rombongan menuju ke hotel tempat menginap. Sepanjang perjalanan yang dilalui suasana serasa menyenangkan. Pemandangan alam cukup indah. Dataran tinggi, udara sejuk, dan jalanan berkelok-kelok membelah pepohonan rindang, teringat seperti di Tretes, Pasuruan. Sayang, waktu itu sedang turun hujan dan banyak jalanan macet.
Tidak begitu lama singgah di hotel, rombongan para ulama dari Indonesia sudah ditunggu para ulama Sunni dan Syi’i untuk jamuan makan malam di kantor Tajammu’. Pertemuan berakhir pukul 21.00, lalu istirahat di hotel, setelah seharian penuh dalam perjalanan keliling.

Esok hari, rombongan bertemu dengan Syeikh Abdul Amir Qobbalany, Mufti Syi’ah Lebanon. Isi pembicaraan tidak jauh berbeda dengan yang lain, seputar perjuangan menghadapi agresi Israel dan pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam menghadapi dominasi negara Barat. Setelah saling bertukar pendapat, rombongan menziarahi makam Rofiq Hariri dan makam syuhada, dilanjutkan dengan shalat dzuhur bersama.

Usai dzuhur dilakukan pertemuan lagi dengan para ulama Lebanon. Kali ini jumlahnya cukup banyak: 75 ulama Sunni dan 75 ulama Syi’i. Dalam kesempatan itu Kiai Hasyim kembali memperkenalkan ideologi Islam Ahlussunnah Waljamaah ala Nahdliyah. “Mereka kaget ketika Pak Hasyim menyebut ada Ukhuwah Wathaniyah. Sepertinya mereka baru tahu ada tambahan,” tutur Kiai Miftah. Tak lupa Kiai Hasyim terus memompa semangat perjuangan mereka, sekaligus meminta untuk terus menjaga persatuan di antara semua unsur bangsa.

Usai shalat maghrib di KBRI, Kiai Hasyim dijemput oleh utusan Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin tertinggi Hizbullah Lebanon. Pengasuh Pesma Al-Hikam Malang itu minta didampingi Mun’im DZ, pemimpin redaksi NU Online. Semula para penjemput tampak tidak merasa keberatan, tapi setelah menempuh perjalanan tidak terlalu jauh, Kiai Hasyim dipindahkan ke mobil lain, dan Mun’im dikembalikan ke hotel. Jadilan Kiai Hasyim sen-dirian bersama para pengawal.

Bisa dimaklumi, karena sedang dalam suasana perang, tempat tinggal pemimpin kharismatik itu dirahasiakan. Dalam pengawalan sangat ketat itu Kiai Hasyim harus berganti-ganti mobil. Tidak ada kesempatan berhenti. “Sampai mau kencing saja tidak diizinkan,” tutur Kiai Miftah menirukan cerita Kiai Hasyim. Walhasil, setelah menempuh perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan, Kiai Hasyim dapat bertemu dengan Syeikh Hasan Nasrallah dan mengadakan pembicaraan secara khusus. Syeikh Hasan tampak gembira dengan kedatangan tokoh asal Malang itu.

Sementara anggota rombongan yang sudah sampai di hotel masih tegang. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, namun kabar keberadaan Kiai Hasyim belum terdengar. Ia bagai ditelan bumi. Tidak tahu sedang berada di mana dan harus bertanya kepada siapa. Namun ketika jarum jam menunjukkan angka 23.00 Kiai Hasyim “dikembalikan” ke hotel. Alhamdulillah.

Tanpa perlu menginap lagi, malam itu juga rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Syiria. Udara sedang dingin dan salju mulai turun. Namun perjalanan tetap dilanjutkan. Sekitar pukul 04.00 dini hari mereka sudah sampai di Damascus. Sekitar pukul 08.00 mereka disambut Duta Besar RI, Muzammil Basyuni, di KBRI. Pembicaraan lebih banyak mengarah pada upaya Israel yang tengah membangun bendungan di perbatasan Mesir-Gaza Israel yang dinilai sangat merugikan bangsa Palestina. Kelak, jika bendungan itu sudah terealisasi, dengan mudah Gaza akan tenggelam jika bendungan itu dibuka oleh Israel. Anehnya, Mesir tetap berpangku tangan dengan pemandangan seperti itu.

Usai bertemu Dubes, rombongan sudah dinanti oleh Grand Mufti Syiria, Syeikh Ahmad Badrouddin Hassoun, yang kebetulan di tempat itu juga ada Mufti Damaskus. Dalam pertemuan khusus itu mereka saling bertukar pendapat seputar Islam dan ukhuwah. “Sudhlah, NU tidak usah melihat Islam model di negara lain, pertahankan saja Islam di Indonesia yang sesuai konsep NU, itu sudah sangat bagus,” salah satu pesan Syeikh Hassoun.

Rombongan diajak mengunjungi Ma’had Dauliy lil ‘Ulumissyar’iyyah wal Lughotil Arobiyah. Dari lembaga yang cukup disegani itu para kiai mendapatkan banyak tawaran beasiswa bagi anak-anak NU jika mau belajar di sana. Syaratnya pun cukup ringan. Cukup lulusan madrasah tsanawiyah pesantren, sudah dapat melanjutkan ke sana secara gratis. Tanpa memberikan jawaban pasti, rombongan sudah melanjutkan perjalanan ke Masjid Umawi, masih di Damascus. Masjid itulah yang kelak tempat turun Nabi Isa AS, tepatnya di menara masjid yang berwarna putih tersebut.

Masjid Umawi terasa istimewa karena di dalamnya ada makam Nabi Yahya AS. Meski mayoritas penduduk Syiria kaum Sunni, namun ruangan dalam masjid itu dipenuhi orang Syiah dari berbagai negara. Sebagai-mana lazimya komunitas Syi’ah di berbagai daerah, mereka selalu me-nangis dan meratap. Konon, di masjid itu memang ada sebuah ruangan yang dulu menjadi tempat singgah kepala Saiyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Radliallahu ‘anhuma) setelah dipenggal di Karbala. Tempat itu selalu ramai dipenuhi orang Syi’ah.

Rombongan juga berziarah ke makam Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang kaum muslimin dalam Perang Salib yang sangat disegani. Makam itu di depan masjid dan sedang direhab. Kondisi makam sangat terawat. Banyak peziarah laki-laki maupun perempuan yang menziarahi makam itu. Sebenarnya rombongan juga berniat menziarahi makam Sahabat Bilal bin Rabah, namun tidak sampai terlaksana ka-rena waktu yang terlalu sempit.

Rombongan juga menziarahi makam Imam Nawawi di kota Nawa yang berjarak sekitar 100 kilometer. Makam ulama ahli fiqih pengarang kita Riadlus Sholihin itu berada di makam umum di sebuah desa yang tenang. Usai dari makam Imam Nawawi, dilanjutkan lagi ke makam Nabi Ayub AS, tak jauh dari tempat itu. Rombongan juga diajak ke sumur tempat mandi Nabi Ayub AS sewaktu sakit.

Hari sudah malam. Perjalanan dipercepat agar dapat bertemu Syeikh Wahbah Az-Zuhaili.
Alhamdulillah, ulama kharismatik itu dapat menemui rombongan selama 1 jam di flat yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu ada pembicaaan yang cukup unik. “Antum harus jadi pimpinan (mungkin yang dimaksudkan menjadi Rais Am),” Syeikh Wahbah menunjuk Kiai Hasyim. “Saya tidak punya hak untuk jadi. Semua itu tergantung Syeikh Miftah dan kawan-kawan,” jawab Kiai Hasyim.

Tak puas dengan jawaban Kiai Hasyim, Syeikh Wahbah menghadap ke arah Kiai Miftah. “Pokoknya dia harus jadi pimpinan,” ujarnya dengan nada mantap. Kiai Miftah menja-wabnya dengan senyuman. Syeikh Wahbah makin tidak puas. Ia terus mencecar Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dengan permintaan yang sama. Sampai akhirnya muncullah jabwaban dari Kiai Miftah: “Qabiltu wa qabilna,” yang langsung disambut senyuman Syeikh Wahbah dan tepuk tangan para kiai. Mereka semua tampak senang menyambut jawaban Kiai Miftah. Pertemuan berakhir sekitar pukul 22.00. Di tengah udara berkabut rombongan kembali ke tempat menginap di flat.

Esok pagi rombongan menuju bandara. Dalam perjalanan terlihat betapa tertibnya penduduk di sana. Sepeda motor tidak boleh masuk kota Damascus. Pemandangan di Syiria memang sangat berbeda dengan ketika di Lebanon. Jika di Lebanon kaum perempuan hampir seluruhnya menutup aurat, di Syiria lebih bebas. Dengan pakain you can see saja mereka sudah dapat keluar rumah secara bebas. Cafe-cafe besar juga dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan besar.

Perjalanan pulang ke tanah air harus melalui bandara Abu Dhabi dan menaiki pesawat Lebanon, karena pesawat milik Syiria sudah tua-tua dan udzur. Itu semua merupakan dampak dari blokade Amerika Serikat yang sudah berlangsung cukup lama atas negeri itu. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Selasa, 27 April 2010

Nuansa: Baayun Mulud

Meneladani Nabi Lewat Tradisi

Awalnya, tradisi ini adalah upacara nenek moyang orang Banjar yang masih beragama Kaharingan (anismisme). Lalu, ratusan tahun silam, para pendakwah dengan arif meniupkan ruh Islam dalam tradisi yang disebut Baayun Mulud ini. Sarat nilai filosofis, pesan religiusitas, dan kearifan lokal (local wisdom).

Pada masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan, memberi nama yang baik sebagai harapan bagi hidupnya kelak, merupakan sebuah kewajiban. Pemberian nama dalam adat Banjar dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking (tali/tangkai) pusat, pada saat itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan cocok untuk anak tersebut.

Pada waktu pemotongan tang-king bayi itu akan di-lantak-kan (dimasukkan seperti ditanam) serbuk rautan emas dan serbuk intan ke dalam lubang pangkal pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak kelak kalau sudah dewasa memiliki semangat keras dan hidup berharga seperti sifat intan dan emas.
Pada upacara ini akan dimulai dengan membaca ayat suci al-Quran kemudian diteruskan dengan pemberian nama resmi kepada anak yang dilakukan oleh patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diisapkan garam, madu, dan air kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si anak berguna bagi kehidupan manusia seperti sifat benda tersebut. Anak yang sudah diberi nama ini akan dibawa berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir di acara tersebut (terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si anak.

Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan). Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa, dan lain-lain.

Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan seperti sarana kemusyrikan seba-gaimana tuduhan kaum puritan, tetapi nantinya dimakan beramai-ramai oleh orang yang hadir. Sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus merekatkan ikatan emosional masyarakat. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.

Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair Barzanji, syair Syarafal Anam, dan syair Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat di-mulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan.
Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang tua yang hadir ber-harap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan biasanya akan diayun oleh ibunya, ayunan ini mem-berikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk peristiwa maulud Nabi. Demikian dalam catatan Museum Lambung Mangkurat.

Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibaratkan melakukan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.

Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang tua yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat bahagia dan beruntung. “Tradisi ini sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi dan prosesi budaya yang berharga bagi perkembangan Islam di Kalsel,” terang Zulfa Jamalie tuli-sannya yang berjudul “Kearifan Lokal Dakwah dalam Tradisi Baayun Anak di Banua Halat”.

Uniknya, peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksa-nakan saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan saat ini ada saja orang yang sudah dewasa ikut baayun. “Tujuannya beragam, ada yang sekedar ingin ikut-ikutan tetapi sebagian besar karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah, serta sebagai ucapan syukur setelah satu keinginan telah terwujud,” ujar Abdul Khaer, alumni IAIN Antasari Banjarmasin.

Menurutnya, tradisi semacam ini haruslah tetap dilestarikan sebagai salah satu bagian dari kekayaan khazanah budaya Nusantara. Terlebih, Baayun Mulud juga merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam meniupkan ruh Islam pada tradisi nenek moyang. “Sehingga, dengan cara seperti ini Islam bisa membumi di kawasan Nusantara.” lanjutnya.

Membumikan Islam

Setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan (ladang) menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upa-cara adalah Balai, semacam balairung besar.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhir-nya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. “Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam,” demikian terang sejarawan Banjar, HA Gazali Usman.

Menurutnya, tradisi semacam ini merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam melakukan islamisasi budaya-budaya lokal, sehingga selaras dengan nilai-nilai Islam.
Inilah dialetika agama dan budaya. Budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya. Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan me-lestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecin-taan umat kepada Nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehi-dupan. (AULA No. 05/XXXII April 2010)

Tokoh: AGH Sanusi Baco

Ulama Kharismatik Panutan Masyarakat

Jika orang Sulawesi Selatan memanggil Anre Gurutta kepada seorang tokoh, tentu tokoh  itu adalah ulama yang disegani. Sebutan Anre Gurutta menempati status sosial yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis. Dialah Anre Gurutta Haji (AGH) Sanusi Baco, Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan.

Pembukaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama berlangsung gegap gempita. Gedung Celebes Convention Centre (Triple C) Makassar penuh sesak dengan sekitar 5000-an peserta. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandai pembukaan dengan menyampaikan sambutan dan menabuh beduk di penghujung acara. Kemudian Gurutta Sanusi Baco, sapaan akrabnya, diberi kehormatan untuk menutup acara itu dengan memimpin doa.

Gurutta Sanusi Baco adalah ulama pemimpin spiritual masyarakat Bugis. Selain menjadi Rais Syuriah, Gurutta juga dipercaya sebagai Ketua MUI Sulawesi Selatan, Mustasyar PBNU dan Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar serta mengasuh pesantren NU Nah-dlatul Ulum di Kabupaten Maros.

Pemberian gelar Anre Gurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam berdakwah. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anre Gurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anre Gurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.

Gurutta Sanusi Baco dikenal sebagai ulama dengan semangat dakwah yang tak kenal lelah. Sejak muda, Gurutta Sanusi Baco sudah aktif mengajar ngaji dan ceramah keliling di berbagai daerah. Di usianya yang sudah 73 tahun ini, Gurutta Sanusi Baco juga masih tetap menjalani aktifitas dakwahnya.

Sebelum pelaksanaan Muktamar, hampir semua kandidat Ketua Umum PBNU tak lupa meminta restunya. Sebagai tuan rumah, tentu saja Gurutta Sanusi Baco memiliki kharisma dan pengaruh kuat untuk muktamirin.

Sahabat Karib Gus Dur

Gurutta Sanusi Baco lahir di Maros, 4 April 1937 dengan nama Sanusi. Putra kedua dari enam bersaudara dari seorang ayah bernama Baco. Ketika beranjak muda, namanya dinisbatkan kepada ayahnya menjadi Sanusi Baco. Pada zaman Jepang, Sanusi kecil men-jadi perawat kuda tentara Jepang di Maros. Sementara ayahnya adalah seorang mandor.
Setelah merasa cukup dengan belajar kepada beberapa guru ngaji di desanya, Gurutta Sanusi Baco kemudian mondok di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. Setelah lulus aliyah pada tahun 1958, Gurutta Sanusi Baco hijrah ke Makassar dan mengajar ngaji di beberapa tempat.

Saat itulah, Gurutta Sanusi Baco mendapat kesempatan meraih beasiswa dar i Departemen Agama untuk kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Di negeri piramid itu, Gurutta Sanusi Baco mulai bersahabat dengan Gus Dur dan Gus Mus (KH Musthofa Bisri).

“Saya adalah teman seperjalanan Gus Dur ketika naik kapal menuju Kairo untuk kuliah di sana. Perjalanannya satu bulan dua hari. Membosankan sekali. Untung ada Gus Dur yang selalu bercerita menghibur,” kata Gurutta Sanusi Baco mengenang Gus Dur.

Pada tahun 1967, Gurutta Sanusi Baco berniat untuk melanjutkan kuliah S-2 di Al-Azhar. Namun ter-paksa ditarik pulang ke tanah air oleh pemerintah Indonesia karena Gurutta Sanusi Baco mendaftar sebagai tentara sukarela untuk berperang melawan Israel.

Persahabatannya dengan Gus Dur membuat Gurutta Sanusi Baco bertekad untuk berkhidmah di NU. Setelah kembali ke Makassar, aktifitasnya adalah mengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan mulai diminta mengajar ngaji serta ceramah di berbagai daerah. Tak lama kemudian, Gurutta Sanusi Baco diangkat sebagai dosen negeri di Fakultas Syariah IAIN Sultan Hasanuddin Makasar.

“Waktu itu Gus Dur sempat datang ke Makassar. Saya menjemputnya di bandara dengan sepeda motor vespa. Ternyata vespanya mogok, akhirnya saya naik vespa dan Gus Dur yang mendorongnya. Setelah bisa jalan baru kami berkeliling kota Makassar,” kenang ayah dari delapan anak ini.

Semangat Dakwah Tak Kenal Usia

Perjuangan dakwahnya juga dilalui bersama Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla). Saat Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar, terbentuk Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla.

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla.

Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk pindah ke rumahnya sendiri di Jl Pongtiku yang terletak di belakang Masjid Lailatul Qodri Makassar.

Dengan demikian, aktifitas dakwahnya tidak hanya di Masjid Raya, tetapi juga mengisi pengajian setelah subuh dan maghrib di Masjid Lailatul Qodri. Kecintaan beraktifitas di masjid inilah yang ditanamkan pada anak-anaknya. Setiap subuh, Gurutta Sanusi Baco menggendong salah satu anaknya yang masih tidur kemudian tiba-tiba terbangun ketika berada di pangkuan saat mengisi pengajian.

Tahun 1987, keluarga Gurutta Sanusi Baco kemudian pindah ke rumah di Jl Kelapa Tiga Makassar. Namun aktifitasnya terus ia jalani dengan mengajar di kampus, ber-khidmah di NU, berdakwah di masjid-masjid dan ceramah di berbagai daerah di pulau Sulawesi. Hingga pada tahun 1992, Gurutta Sanusi Baco diberi amanah menjadi Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan dan Ketua MUI Sulawesi Selatan sampai sekarang.

Tahun 2001, Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU.

Kini, usianya yang semakin senja tak menghalangi Gurutta Sanusi Baco berdakwah. Bahkan, di saat para muktamirin mulai meninggalkan Makassar usai penutupan pada Sabtu (27/3) malam, pagi harinya Gurutta Sanusi Baco sudah dijemput untuk ceramah di Kabupaten Pinrang yang berjarak sekitar 200 km dari Makassar kemudian di Kabupaten Polman yang berjarak 250 km dari Makassar dan baru berada di rumah pada Selasa (29/3).

“Abah kemana-mana masih suka nyetir mobil sendiri. Baru se-telah operasi bypass karena pe-nyempitan jantung tahun 2008 lalu Abah benar-benar berhenti nyetir. Itupun karena dipaksa dokter,” tutur putra keenam Gurutta Sanusi Baco, Dr Nur Taufiq, MA.

Saat ditanya apa resepnya? Gurutta Sanusi Baco menuturkan, semangat dakwah adalah motivator hidupnya. Meski di rumah kadang kelihatan capek dan letih, tapi ketika menyampaikan ceramah suaranya tetap lantang dan penuh semangat.

Di sisi lain, Gurutta yang dulunya perokok berat berhenti total pada tahun 2000. Saat berada di Masjidil Haram Makkah, Gurutta Sanusi Baco berdoa di Hijr Ismail agar diberi kekuatan oleh Allah menyelesaikan semua amanah yang ia emban dengan baik. Setelah berdoa, ternyata semua rokoknya hilang dan menurutnya itu adalah isyarat bahwa ia harus benar-benar meninggalkan rokok. Selain itu, setelah subuh Gurutta Sanusi Baco selalu menyem-patkan diri untuk selalu jalan-jalan pagi di sekitar rumahnya. Namun setelah operasi itu, Gurutta Sanusi Baco kini mengisi pagi harinya dengan bersepeda di tempat dengan sepeda statis. (AULA No. 03/XXXII April 2010)

Kancah Dakwah: Yayasan Yatim dan Janda (Yatinda) Sepanjang

Andalkan Doa untuk Santuni Yatim dan Janda


Satu lagi profil penerima penghargaan Anugerah NU di Jawa Timur Aula hadirkan. Dialah H Khoiri dengan aktivitasnya di Yatinda. Untuk santunan, lebih dari dua juta ia habiskan dalam sebulan. Uniknya tak ada donatur tetap. Tak ada pula proposal permohonan bantuan.

Suatu siang di tahun 2004. H Khoiri sedang di depan rumahnya sambil beristirahat. Tampak seorang perempuan tua berjalan lambat. Tangan kanannya sesekali menyeka wajah dari keringat. Ia seakan tak kuasa menahan terik matahari yang menyengat. Dan tangan kirinya mem-bawa selembar kain yang dilipat.

“Mau ke mana bu?” sapa H Khoiri.
“Mau ke pegadaian pak. Menggadaikan sarung ini untuk makan,” jawab janda itu.
“Memangnya kain sarung seperti itu dihargai berapa,” lanjut pria yang berusia lebih dari setengah abad itu bertanya lagi.
“Ya, paling-paling tiga ribu,” jawab janda itu.

Terhenyaklah batin H Khoiri mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka di sekitar rumahnya ada seorang janda tua yang sedang berjuang hidup dengan cara seperti itu. “Wah, jangan-jangan tidak hanya satu, tapi banyak. Atau jangan-jangan ia juga membiayai hidup anak-anaknya?” Demikian kira-kira kegalauan Abah Khoiri-sapaan H Khoiri-kala itu.
Peristiwa itu membangkitkan rasa empati H Khoiri dan keluarganya meskipun ia sendiri tergo-long dari keluarga yang sederhana. Hanya saja ia merasa lebih ber-untung karena lima anaknya sudah berkeluarga dan bekerja.

Tekad itu ternyata makin bergelora. Ya, minimal sekedar memberi beras untuk para yatim dan janda di sekitar rumahnya. Apalagi istri, anak dan tetangga mendukung gagasannya. Sekelompok tim kecil dibentuknya sehingga mun-cul nama Yatinda. Pendataan yatim dan janda kemudian dilakukan di sekitar rumahnya. Tapi ada ma-salah besar di hadapinya. Mau dapat uang dari mana?

H Khoiri dan pengurus Yatinda tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdoa. Berhari-hari kegiatan Yatinda hanya berkumpul dan berdoa bersama. Abah Khoiri kemudian memberanikan diri mengutarakan maksudnya itu kepada salah seorang pengasuh pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Dari situlah Yatinda menerima bantuan pertama.

Tak selesai di situ. setelah dihitung-hitung, apa yang didapat masih kurang. Tidak cukup kalau dibagikan kepada semua yatim dan janda yang sudah didata. Para pengurus Yatinda tak putus asa.

“Tiap malam kami terus berdoa bersama. Dan alhamdulillah, ada orang tak dikenal tiba-tiba datang dan memberikan bantuan beras. Ada juga yang memberikan uang sesuai yang kami butuhkan. Perasaan kami waktu itu sangat terharu. Kami bersujud dan menangis penuh rasa syukur. Kami yakin itu pertanda Allah meridlai jalan yang kami pilih,” terang Abah Khoiri saat ditemui di rumah mungilnya.

Sejak itu, tekad para pengurus Yatinda terus berkobar. Mereka menarget akan membagi sembako kepada para janda setiap bulan dan memberi uang santunan kepada para yatim setiap minggu.

“Kalau di suatu rumah ada seorang janda dengan tiga anak yatim. Berarti kami akan mem-berikan empat paket sembako. Biasanya per paket isinya beras dua kilogram dan beberapa mi instan. Tapi kadang juga ada yang nyumbang tahu, tempe atau lauk-pauk lain. Ya kami tambahkan saja apa adanya,” lanjut pria kelahiran Tebuireng, Jombang itu.
Yatinda tak punya kantor sekretariat khusus. Semua kegiatan dipusatkan di rumah Abah Khoiri an Hj Mujiati, istrinya. Letaknya memang agak jauh dari jalan raya. Meski juga tidak ada papan nama, menemukannya tidak terlalu sulit. Dengan menelusuri rel kereta api di sekitar stasiun Sepanjang kemu-dian bertanya kepada warga setempat, siapapun akan menemukannya. Rumah itu asalnya adalah rumah keluarga Hj Mujiati.

Abah Khoiri sendiri adalah sosok pegiat sosial sejak muda. Khoiri kecil sempat ikut ngaji di Pesantren Tebuireng kepada pada masyayikh di pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Kemudian ia nekat pergi ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah setelah tamat Sekolah Rakyat. Untuk hidup, Khoiri muda sembari bekerja sebagai penjaga toko meubel di pagi hari dan menjadi juru masak di beberapa pesantren di Kecamatan Taman. Sedikit demi sedikit, ia pun bisa menyerap ilmu yang diajarkan di pesantren-pesantren itu.

Ia kemudian aktif di MWC NU Taman. Pernah menjadi Ketua PAC GP Ansor, ikut mendirikan dan mengembangkan IPS NU Pagar Nusa dan selebihnya bergiat di bidang sosial keagamaan yang ada di desa tempat tinggalnya beserta istri.

Ada yang Keluar Karena Tak Tahan

Umumnya, lembaga sosial lain akan menyebar proposal bantuan, menyebar kotak amal, bah-kan meminta sumbangan dari pintu ke pintu dan sebagainya. Tapi itu semua tidak dilakukan oleh Yatinda. Usaha yang mereka lakukan hanya berkumpul dan berdoa bersama setiap malam.

Saat-saat kritis hampir selalu terjadi. Meski hari saatnya membagi santunan kurang satu hari, Yatinda kadang belum memiliki apapun untuk dibagi. Baru pada malam hari atau pagi harinya ada saja orang yang memberi bantuan.

Kenapa begitu yakin hanya dengan doa? Abah Khoiri menyitir beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang intinya menerangkan bahwa siapapun yang berani menjamin hidup anak yatim dan fakir miskin maka Allah akan menjamin hidup keluarganya.

Apakah benar-benar hanya dengan doa? Ternyata ada beberapa peraturan tidak tertulis di internal Yatinda yang bisa jadi ikut mendukung kelangsungan Yatinda.

“Untuk menjaga kesucian Yatinda, kami sudah berjanji tidak mengambil sedikit pun bantuan yang diterima. Karena itulah, ba-nyak pengurus yang tidak tahan dan keluar. Di sisi lain, semua dermawan kami catat untuk selalu kami doakan dan jalin komunikasi yang baik,” tambah Pak Musa, tetangga Abah Khoiri yang juga pengurus Yatinda.

Awalnya. Yatinda hanya menyantuni para yatim dan janda di sekitar rumah Abah Khoiri. Namun saat ini Yatinda mampu menyantuni 38 yatim setiap minggunya dan sekitar 200-an janda setiap bulannya yang menjangkau lima kampung di kawasan Sepanjang. Yaitu, Wonocolo Selatan, Bebekan Selatan, Ketegan, Taman dan Kalijaten.

Bahkan, rumah Abah Khoiri yang sedianya berukuran 12 x 4 meter persegi, sebagainnya di-bongkar dan diwakafkan sebagai mushalla yang berukuran 6 x 4 meter persegi. Saat Aula meliput, mushalla yang baru dibangun sekitar enam bulan itu sudah nyaman. Tembok sudah dicat mulus, keramik indah sudah menempel sebagai alas, atap sudah dicor dan rencananya akan ditingkat. Dari mana uangnya? “Tidak tahu, ada saja yang kasih bantuan,” selalu begitu jawaban Abah Khoiri.

Di mushalla itulah setiap sore anak-anak yatim diajari mengaji oleh Hj Mujiati. Sementara, para janda dan fakir diajak beristighotsah setiap minggu pagi dan mendoakan keselamatan para dermawan yang ditulis di papan hitam kecil di pojok mushalla.
Untuk membagikan santunan, bukan para janda dan fakir yang datang. tetapi pengurus Yatinda yang keliling ke lima desa dengan berjalan kaki sambil mendorong gerobak kecil. (AULA No.05/XXXII April 2010)

Pendidikan: Universitas Islam Makassar

Menjajaki Luar Negeri


Awalnya hanya Akademi Dakwah yang dikelola oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), lalu berkembang menjadi salah satu universitas terkemuka di Sulawesi Selatan.

Tak heran jika Sulsel disebut sebagai benteng NU di kawasan Indonesia Timur, sebab dalam konteks pendidikan, nahdliyin di provinsi ini punya andil dalam pendirian perguruan tinggi yang berafiliasi kaum santri. Sebut saja Universitas Islam Makassar atau yang akrab disebut UIM.

“Pada mulanya, embrio UIM hanya Akademi Dakwah mula-mula dipimpin oleh Drs H Umar Syihab bersama H Husain Abbas. Akademi ini diresmikan pada 21 Februari 1966 oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Mr Muh Natsir Said,” terang Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS, Rektor UIM.

Hanya berselang tujuh tahun, akademi ini levelnya meningkat menjadi Fakultas Dakwah yang bernaung di bawah Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) yang dipimpin oleh Umar Syihab (1973-1975) didampingi oleh KHM Sanusi Baco, KHA Rahim Amin, Bustani Syarif, H Mohtar Husein, H Sahabuddin dan H Iskandar Idi. Beberapa pengurus inilah yang kemudian terus berusaha meningkatkan kualitas lem-baga pendidikan ini.

Tongkat estafet kepemimpinan kemudian beralih kepada H Abd Rahim Amin (1975-1979), didam-pingi oleh H Mahmud Abbas, H A Rahman Idrus dan Mubarak Pataba, kemudian dilanjutkan oleh H. Arsyad Parenrengi didampingi oleh H. Arisah AS, Fahruddin D dan M Amin Daud serta H Adam Mama sampai terbentuknya Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) al-Ghazali.

Tatkala kepemimpinan dipegang oleh Drs H Patombongi Badrun pada tahun 1990, STID resmi berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) berdasarkan SK Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1990 tanggal 25 April 1990. Kemudian dilanjutkan oleh Drs KH M Busaeri Juddah pada tahun 1995-1997. Kemudian pada akhir tahun 1997 STAI al-Ghazali Makassar dipimpin oleh Dr H Abd Kadir Ahmad MS sampai terbentuknya UIM pada tahun 2000.

Sejak menjadi UIM, kampus yang terletak di Jl Perintis Kemerdekaan Km 09 No 29 Makassar ini telah memiliki enam fakultas, yakni Fakultas Pertanian, Fakultas Agama Islam, Fakultas Sospol, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi, Fakultas Sastra, serta Fakultas Ilmu Kesehatan. “Alhamdulillah, pada tahun ini kami membuka tiga program studi kependidikan,” kata Bu Majdah. Tiga prodi tersebut adalah studi Pendidikan Guru SD (PGSD), pendidikan bahasa Inggris, dan pendidikan bahasa Indonesia. “Tiga prodi ini berada dalam naungan Fakultas Sastra UIM,” terang wanita yang juga istri Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Agus Arifin Nu’mang MS, ini. Bahkan, menurut ibu empat anak ini, UIM sementara masih menunggu izin Dikti untuk Program Studi Ilmu Gizi dan Transfusi Darah untuk Fakultas Kesehatan, serta Prodi Teknik Sipil untuk Fakultas Teknik.

“Demi meningkatkan kualitas civitas akademika, kami juga menjalin kerja sama dengan Hay Group, sebuah pusat riset internasional yang memiliki kantor pusat di Singapura,” lanjutnya. Adapun kerjasama itu dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani Dr Ir Hj Majdah Muhiddin Zain MS sebagai Rektor UIM dan Andreas Raharso PhD, Ketua Pusat Riset dan Pengembangan Hay Grup, pada November tahun lalu.

“Dengan kerja sama ini nantinya UIM dan Hay Group bisa melakukan tukar informasi, pengembangan pendidikan, penelitian, dan soal pemberangkatan mahasiswa yang mau bekerja di luar negeri,” jelas Bu Majdah usai penandatanganan MoU. Penandatanganan MoU itu dilakukan sebagai rangkaian Workshop Internasional Peran Ilmuwan Indonesia Internasional dalam Pembangunan Indonesia. Workshop tersebut digelar atas kerja sama Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4), Dirjen Dikti, dan UIM. Pada workshop ini menghadirkan ilmuwan internasional antara lain Dr Muhammad Reza, pakar energi yang berkarir di Swedia dan Dr Etin Anwar yang juga dosen Hobart and William Smith College AS. Selain itu juga ada Dr Ugi Suharto, guru besar dan direktur ekonomi syariah pada Universitas College Bahrain, serta Andreas Raharso. Ratusan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Makassar, birokrat, industriawan, dan perwakilan organisasi masyara-kat sipil (OMS) menghadiri acara ini.

Alokasi Beasiswa

Selain itu, kampus yang bernaung di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Al-Ghazali Makassar ini juga mengalokasikan beasiswa bagi 234 mahasiswa berprestasi, khususnya dari kalangan keluarga kurang mampu dari segi ekonomi. ”Beasiswa ini kami prioritaskan bagi maha-siswa yang berprestasi dan dari kalangan yang kurang mampu,” katanya menerangkan.
UIM sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengedepankan kualitas keilmuan yang berimbang dengan akhlak Islami, terus berusaha mendorong mahasiswa untuk meningkatkan kualitas diri. Salah satu upaya untuk memotivasi hal tersebut, lanjutnya, pihaknya menyalur-kan bantuan beasiswa bagi mahasiswa yang mampu memperlihat-kan prestasi akademiknya. Meskipun UIM sebagai perguruan tinggi Islam, ia mengatakan, pihaknya tidak membatasi dalam menerima mahasiswa sepanjang mau mengikuti aturan yang ada. “Apalagi kami bukan hanya menyiapkan fakultas untuk jurusan pendidikan agama, namun fakultas yang mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti pertanian, ekonomi dan sebagainya,” ujarnya.

Dengan demikian, Bu Majdah mengatakan, cukup banyak pilihan untuk menimba ilmu sesuai dengan keinginan dan bakat serta minat calon mahasiswa. Selain mengalokasikan bantuan 234 beasiswa, UIM pada awal bulan silam mendapatkan bantuan buku sebanyak 800 eksemplar dari Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Menanggapi hal tersebut, salah se-orang mahasiswa Fakultas Pertanian UIM, Zainal mengatakan, buku yang disalurkan Ditjen Dikti tersebut sangat membantu, khususnya bagi mahasiswa yang kurang mampu. “Apalagi beasiswa yang disalurkan itu, dapat mengurangi beban keluarga yang kurang mampu,” ujarnya. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

Resensi: Menjadi Penulis itu Berproses


Judul Buku: Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis, Muhammad Suhaidi RB, Muhammadun AS, dkk.
Penerbit: Muara Progresif, Surabaya
Cetakan: I, 2009
Tebal: 224 halaman
Peresensi: Imdad Fahmi Azizi *)


Di era globalisasi, dunia kepenulisan menjadi tantangan bagi kaum santri untuk menemukan eksistensi diri. Dan pekerjaan menulis menjadi pilihan, sehingga santri tidak ketinggalan zaman. Dikalangan santri, menulis adalah tantangan tersendiri. Menjadi penulis tidak langsung jadi, butuh proses yang mendaki. Setidaknya itu yang dialami ke-13 penulis buku ini yang semuanya berasal dari kaum santri.
Sebagaimana dikutip dalam lampiran buku ini, Imam al-Ghazali berkata, “Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka jadilah penulis!” Pramoediya Ananta Toer juga mengingatkan, bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. KH Zainal Arifin Toha, tokoh panutan buku ini mengatakan, bahwa dengan menulis maka Aku Ada.

Membangun Tradisi Membaca

Kunci menjadi penulis menurut pengalaman Muhammadun As adalah membaca. Membaca adalah faktor yang paling menentukan dalam menulis. Dalam kacamata Rijal Mumazziq Zionis, membaca tidak hanya menambah literatur kita, melainkan menyokong sege-nap argumentasi dan memperkaya khazanah pengetahuan.

Menurut Noviana Herlanti, salah satu penulis buku ini yang juga seorang cerpenis, menulis tanpa disertai kegiatan membaca adalah sama seperti orang buta yang ingin berjalan tanpa tongkat. Dengan selalu membaca, semangat, pantang menyerah, akan mengantarkan santri mampu bersaing dalam dunia kepenulisan.

Sebagaimana pengalaman Nur Faishal, sense kepenulisan tidak lahir begitu saja. Tidak given. Oleh karena itu, terlepas dari aktivitas apapun, harus ada waktu senggang untuk membaca. Karena menggeluti dunia kepenulisan harus total. (hlm. 46)

Segendang sepenarian dengan itu, penulis lain, Salman Rusydie Anwar, menekankan bahwa menjadi seorang penulis adalah menjadi sosok yang harus total mempelajari banyak hal. Bagi calon penulis, hendaknya membangun terlebih dahulu tradisi belajar yang kuat agar tidak hanya menjadi seorang penulis biasa tetapi menjadi seorang penulis hebat. (hlm. 122)

Menikmati Proses

Seorang calon penulis pemula harus mampu menjadi batu karang yang siap menerima serbuan ombak sekeras dan sedahsyat apapun. Kita harus belajar pada pengalaman. Menulis merupakan bagian dari anjuran agama. Dan Alquran tidak hanya menyuruh kita agar cerdas membaca, tetapi juga dianjurkan untuk cerdas dalam menulis. Perpaduan membaca dan menulis merupakan perpaduan ideal generasi Alquran yang sejati. Keberhasilan dan kesuksesan menembus media cetak akan terjadi, ketika sudah dilakukan berkali-kali.
Sebagaimana pengalaman Rijal Mumazziq Zionis, yang menjadi modal utama penulis adalah niat, komitmen, dan sabar dalam berproses. Proses adalah sebuah tahapan paling urgen dan paling menentukan dalam kepenulisan. Sebelum dia aktif di dunia kepenulisan, dia membuat buletin pribadi, hingga dengan itu terinspirasi untuk terus menulis sehingga tulisannya berhasil dimuat di salah satu massa nasional.

Menulis harus bersungguh-sungguh. Secara spirit dunia kepenulisan mengajari kita untuk tidak mudah putus asa. Ada kaitan antara kepenulisan dan kemandirian. Di sinilah kemudian seorang penulis menemukan idealismenya. Kata Muhammadun AS, dengan menulis, santri menjadi penyangga paradaban bangsa. Harus berjuang dengan konsep istiqomah (ajeg atau konsisten), jalan istiqomah menjadi pertaruhan hidup penulis di masa depan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Suhaidi-mengutip Jorge Luis Borges, menulis merupakan pengalaman yang essensial. Penulis-penulis handal sekalipun, mempunyai pengalaman-pengalaman pahit selama berproses, misalnya tulisan ditolak oleh redaktur ketika baru pertama kali mengirimkannya, serta merasa jenuh dan bosan. Hal itu lumrah terjadi, karena tidak ada kesuksesan yang tidak diawali dengan kepahitan dan tantangan. Apalagi dalam ‘hukum kesuksesan’ sebagaimana dalam literatur pesantren, telah diatur bahwa kesuksesan membutuhkan proses yang panjang (tul al-zaman).

Sebagaimana yang dialami Ahmad Khotib pula, bahwa menulis itu tidak mudah, bahkan sampai ‘berdarah-darah’. Untuk menjadi seorang penulis, harus berani memaksa diri sendiri. Dia sampai ‘menghukum diri’ selama 30 hari dengan sanksi menulis. Pada hari ke-21, dian jatuh sakit, tapi terus dipaksakan. Hingga akhirnya dirulisannya diterima di Jawa Pos pada tanggal 11 Mei tahun 2008. (hlm. 156)

Disamping itu, menjadi penulis membutuhkan seorang teman, guru, teman berimprovisasi. Dalam istilah Azizah Hefni, penulis membutuhkan guru kreatif. Dunia keilmuan dan dunia kepenulisan laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dan terus berkembang. Selanjutnya, dunia kepenulisan pada dasarnya adalah peneguhan terhadap eksistensi.

Menurut Noviana Herliyanti, cerpenis, menulis adalah pembebasan, atas diri kita yang lemah, kemampuan yang jauh dai sempurna, dan kesulitan berdamai dengan takdir. Membebaskan kita untuk berekspresi, tulisan mewakili setiap emosi. Membebaskan kita untuk mencapai mimpi. Membebaskan kita dari perasaan minder. Membuat kita cerdas, dan lain sebagainya.

Ach. Syaiful A’la, mengatakan bahwa menulis bukanlah pekerjaan gampang, butuh tenaga ‘superekstra’. Pekerjaan menulis seperti bengkel sepeda. Artinya main bongkar pasang dan berani mengi-dentifikasi diri. Tentang tulisan yang baik ini, Ach. Sayiful A’la mengutip perkataan D Zawawi Imron, bahwa tulisan yang baik adalah yang dibisa dibaca dan dimengerti oleh disiplin ilmu yang lain termasuk juga orang awam yang suka membaca buku.

Menjadi penulis tidak harus mempunyai bakat dan pendidikan formal tinggi. Tidak perlu ada ke-turunan darah penulis. D Zawawi Imron tidak pernah mengenyam pengalaman di bangku kuliah, bahkan tidak lulus SD. Tulisannya sering dimuat diberbagai media dan menjadi sumber ilmu. Menulis tidak hanya membuahkan kekayaan materi dan ketenaran, tapi juga kekayaaan batin. Apabila tulisan kita dimuat, melahirkan kepuasan pribadi. Dalam istilah Zuhairi Misrawi, menulis adalah kepuasan batin (KOMPAS, 18/2). Butuh ketelatenan dan keuletan, sebagaimana yang dijelaskan Salahuddin Wahid dan AS Laksana (Jawa Pos, 31/1).

Untuk pemula, buku ini sangat bagus. Kekurangannya, isi buku ini kurang sistematis, tidak ada muatan teori yang memadai, terkesan cerita kecil saja. Walaupun begitu, buku ini mampu memberi motivasi tinggi kepada pembaca.

Menjadi penulis dan bergelut di dunia kepenulisan adalah sebuah pilihan dan kehormatan. Pilihan, ka-rena kita total menggelutinya. Kehormatan, karena kita menjadi pengabdi kebenaran. Walaupun membutuhkan proses yang panjang-minimal tidak mudah patah arang. (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

*) Peresensi adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ) Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Ibrah: Pesan Kiai Muslih

Kiai Muslih, yang memimpin pesantren di Kebumen, senantiasa menegaskan kepada santri-santrinya tentang pentingnya menelaah kitab-kitab tasawuf dan kebatinan Jawa. Salah seorang santri, yang terkenal lantaran semangatnya yang membara, mem-buat sebuah catatan atas semua yang diajarkan Kiai Muslih dan menghabiskan masa istirahatnya untuk merenungkan ajaran-ajaran para ulama sufi dan para wali.

Setelah dua puluh tahun mondok, santri tersebut diminta sang kiai untuk pulang kampung dan mengamalkan seluruh pelajaran yang didapatnya.

“Terima kasih Kiai, atas segala kebaikan dan ajaran yang selama ini Kiai berikan kepada saya. Akan tetapi, saya masih belum merasa puas menimba ilmu di pesantren ini. Saya ingin lebih lama lagi nyantri untuk menuntaskan kitab-kitab yang masih belum saya kaji. Sudilah kiranya Kiai mempertimbangkan permohonan saya ini,” pinta santri dengan takzim.

Beberapa saat suasana berubah lengang. Lalu Kiai Muslih menjawab, “Aku anggap sudah saatnya kau mempelajari kitab-kitab tasawuf yang lebih dalam lagi dari yang diajarkan di pondok ini, yakni Kitab Kehidupan. Ya, kehidupan yang sesungguhnya di masyarakat. Jini, ada satu hal lagi yang harus kau ketahui; ada sebutan Kitab Garing, yaitu kitab-kitab yang berupa kertas dan tulisan beserta isi dan maknanya, dan itulah yang diajarkan di sini. Yang kedua ada-lah Kitab Teles, yaitu pengejawan-tahan dari Kitab Garing ke dalam kehidupan nyata. Sejak dulu, para sufi dan para wali menjalankan ini sesudah sekian puluh tahun lamanya mereka belajar beragam ilmu. Sujud raga dan sujud jiwa adalah lentera dalam meniti jalan hidup ini. Sekarang pulanglah dan amalkan ilmumu sebaik mungkin. Semoga Allah senantiasa melindungi setiap langkahmu.” (Majalah AULA No. 05/XXXII April 2010)

* Dinukil dari karya Fahruddin Nasrullah, Syekh Branjang Abang, [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007], h. 49)

Uswah: Syekh Yusuf Al-Makassari

Ulama Pejuang Lintas Negara


Sebagai putera Nusantara, justru namanya berkibar di Afrika. Ia dikenal sebagai seorang sufi, komandan tempur, sekaligus aktivis dakwah lintas negara. Benar-benar multitalenta.

SAYA melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan meng-gumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani.” Demikianlah kata-kata indah Taufiq Ismail terukir indah di buku bertajuk Syekh Yusuf, seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis oleh Abu Hamid. Ia mengguratkan catatan usai mengunjungi sebuah bukit di kawasan Faure, Desa Macassar, Afrika Selatan, di musim gugur Bulan April 1993.

Nama lengkap pahlawan ini adalah Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’e, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Sebagai keluarga bangsawan maka Yusuf pun berkesempatan belajar ke Cikoang, sebuah desa yang menjadi sentral pengajaran ilmu agama. Para gurunya adalah keluarga- sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW, seperti Syekh Jalaludin al-Aidid dan Sayyid Ba’lawi At-Thahir. Dari dua ulama inilah Yusuf kecil belajar, selain pada Daeng Ri Tassamang, ulama yang menjadi guru para bangsawan kerajaan Gowa.

Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota bernama Pangeran Surya, yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Di Aceh ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah.

Dari Aceh ia berangkat ke Yaman dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah Tareqat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa’adah Al-Ba’laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke seantero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperoleh-nya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus).

Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah), Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon, Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

Dari Banten Hingga Afsel

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Setelah itu, Syekh Yusuf pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, pada bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebar-kan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Karena pengaruhnya yang besar, dan berpotensi melahirkan pemberontakan, Belanda merasa risau dan khawatir. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab ia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sebagai putera terbaik Nusantara, Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhijjah 1116 H.

Makam Syekh Yusuf yang berada di Gowa adalam salah satu dari lima versi makamnya. Yaitu di Cape Town (Afrika Selatan), Srilanka, Banten, dan Madura. “Makam sebenarnya Syekh Yusuf ada di Lakiung (Gowa),” kata sejarawan Anhar Gonggong.

Di sebelah kanan makam Syekh Yusuf, juga dikebumikan Sitti Daeng Nisanga (istri syekh Yusuf yang juga bibi Sultan Hasanuddin). Sedangkan di samping kirinya ada makam Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa XIX yang juga putera Sultan Hasanuddin). Ada pula makam Syekh Abdul Dhahir, murid utama Syekh Yusuf.

Hebatnya, Syekh Yusuf tidak hanya dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat Banten dan Makassar. Pun demikian bagi warga Afrika Selatan.

Pada Oktober 2005, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya. Dua di antaranya adalah Andi Makmun, keturunan ke sembilan Syekh Yusuf dan Syachib Sulton, keturunan ke sepuluh.

Melihat kiprah dan perjuangan Syekh Yusuf, Nelson Mandela, pejuang anti diskriminasi dan mantan presiden Afsel, bahkan menjuluki putra Nusantara itu sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

* Dimuat di Majalah AULA No. 04/XXXII April 2010 dalam rubrik "USWAH".