Sabtu, 15 Mei 2010

Aktualita: Mbah Priok pun Akhirnya Murka


Hanya dengan alasan pembangunan, banyak pihak yang mengabaikan situs bersejarah. Kesadaran sering datang terlambat, apalagi ketika nyawa menjadi taruhan. Diperlukan kearifan semua pihak.

Siapa tak kenal Tanjung Priok? Sebuah wilayah di utara Jakarta tersebut memang pernah mendulang masa keemasan. Sebab, salah satu pelabuhan internasional Indonesia terdapat di wilayah ini.

Hilir mudik kendaraan berat dan aktivitas bongkar muat selalu menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Tapi siapa sangka di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pesisir, nama Tanjung Priok ternyata diambil dari nama seorang tokoh ulama yang melakukan siar agama Islam sejak ratusan tahun silam?

Ya, dialah Al Imam al-Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad al-Husaini Ass Syafi‘i Sunni RA atau akrab disapa mbah Priok. Makam mbah Priok terdapat di dalam areal pelabuhan Petikemas Koja, Tanjungpriok.

Makam keramat ini selalu diziarahi para ulama dan santri. Utamanya pada Kamis malam Jumat atau walimatul haul maqam dan pada Ahad akhir di setiap bulan Shafar. Para peziarah tidak hanya berasal dari DKI Jakarta, melain-kan juga berasal dari ulama dan santri di seluruh pulau Jawa.

Meski cukup disegani dan dihormati, namun upaya pelestarian makam keramat tersebut memang tidak mudah. Pihak ahli waris sering mendapat ancaman dan teror dari oknum tak bertanggung jawab yang berusaha menggusur keberadaan makam mbah Priok.

Pada tahun 2004 misalnya, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembokaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Pendakwah Sejati

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok. Mbah Priok bukan orang asli Jakarta.
Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan tahun 1722 dengan nama al-Imam al- Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad R.A. Al Imam al-Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam al-Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama al-Arif Billah al-Habib Ali al-Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Habib Hasan memasukan periuk berisi beras ke jubahnya.
Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi. Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Habib Hasan dan al-Arif Billah al-Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung hingga 10 hari, sehingga Habib Hasan wafat. Sedangkan al-Arif Billah al-Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai periuk dan sebuah dayung terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah al-Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung, yang artinya dayung pendek. Nama al-Imam al-Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.

Kekeramatan dari makam Mbah Priok tidak diragukan lagi. Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karamah dari ulama legendaris ini. Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada beberapa wartawan.

Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peri-ngatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.

Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para pe-ziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril.

Tragedi yang Memilukan

Darah akhirnya tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan. Ada yang tewas tergeletak, semen-tara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan -demi sebuah tanah makam-.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang me-legenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba-tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.

Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh. Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru pada hari kejadian itu terealisasi.

Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur. Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindah-kan ke TPU Semper.

Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasad-nya dibawa ahli waris ke luar kota.

Karenanya, masyarakat Jakarta Utara menganggap makam Mbah Priok sebagai makam keramat. Masyarakat Muslim di Jakarta Utara sangat menghormati makam itu dan setiap setahun sekali diadakan acara haul yang dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Bentrok fisik yang terjadi Rabu (14/4) antara 400-an yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Inilah ‘harga’ yang harus dibayar bila pembangunan menafikan ke-arifan lokal. Masihkan keadaan serupa akan diteruskan?(AULA No. 05/XXXII Mei 2010)

Resensi: Mensyarahi Pemikiran Mbah Hasyim

Judul Buku: Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: KH Salahuddin Wahid, DR H Nadirsyah Hosen
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xxxix + 374 halaman
Peresensi: Siti Maslahah, S.Ag *)


Kepemimpinan duet KH Sahal Mahfudh dan Said Aqiel Siradj yang terpilih pada perhelatan Muktamar di Makasar sepertinya akan menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Yang mengemuka adalah keberatan yang disampaikan PWNU Jawa Timur terhadap komposisi kepengurusan harian PBNU masa khidmat 2010-2015. Hal ini dipicu oleh diakomodirnya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah muncul pada rapat formatur. Demikian pula ada beberapa nama yang posisinya berubah serta keluar dari kesepakan rapat.

Beberapa pihak telah mengingatkan agar dalam hal menentukan komposisi pengurus lebih memperhatikan aturan main organisasi. Jangan sampai hanya lantaran ingin menampung beberapa kader potensial, lantas mengesampingkan hasil kesepakatan Muktamar.
Semua pihak pastinya berkeinginan agar organisasi kebangkitan ulama ini dapat keluar dari kemelut. Sehingga potensi besar jam’iyah dapat tereksplorasi dengan optimal, bukan semata untuk kemajuan organisasi tapi juga dalam mengisi dan mengawal perjalanan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kalau semuanya berangkat dari komitmen ini, rasanya mempersatukan potensi itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Namun celakanya, mempersatukan para ulama, apalagi di masa sekarang bukanlah hal yang mudah. Tetapi para ulama NU, khususnya hadratus-syaikh berhasil melakukan hal tersebut. Mengapa dulu mbah Hasyim bisa melakukan itu? Karena yang menjadi lokomotifnya adalah ideologi.

Boleh dikata, ideologi yang menjadi media mempersatukan warga dan ghirah dalam memajukan organisasi kebangkitan para ulama ini mulai luntur seiring dengan kemunculan kepentingan sesaat sebagian elit dan warganya. Sebagai contoh, pada aroma pilkada dalam perhelatan Muktamar demikian terasa. Pasalnya, di setiap sudut pintu masuk dijejali oleh spanduk yang berisi foto orang-orang yang akan bertarung dalam kepemimpinan NU untuk lima tahun yang akan datang.

Sebagai kader NU, kita patut menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam terhadap fenomena tersebut. Sebab konsekuensinya bisa fatal, yaitu kepemimpinan NU tak ubahnya kepemimpinan partai politik, yang kerapkali mengandalkan modal finansial yang tidak kecil jumlahnya. Lalu, di manakah moralitas yang dijunjung tinggi oleh para ulama dan kiai selama ini?

Sebab sejak berdiri tahun 1926, NU dikenal sebagai organisasi para ulama yang dikenal dengan kepemimpinan moralnya. Mereka dicintai oleh umat bukan karena hartanya, tetapi karena kesalehan dan ketinggian ilmunya. Bahkan mereka cenderung untuk menampilkan diri sebagai pemimpin, karena menjadi pemimpin tidaklah mudah. Harus mempunyai kapasitas intelektual dan kapabilitas moral. Oleh sebab itu, pemimpin NU di masa lalu merupakan penghargaan dan penghormatan atas keistimewaan seorang tokoh.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Akbar NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, bukan karena beliau mau memimpin NU. Beliau terpilih melainkan karena kesepakatan para ulama yang memandang hadratus-syaikh sebagai mahaguru dan mahakiai. Kedalaman ilmunya sudah diragukan lagi, di samping kesalehan beliau yang telah memberikan inspirasi bagi warga NU.

Ada satu hal yang menonjol lagi dari Hadratussyaikh, yaitu kemampuannya dalam mengkonsolidasikan ulama. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu mempersatukan, bukan justru memecahbelah. Tentu saja, yang dimaksud dengan mempersatukan bukan karena iming-iming harta dan kuasa, tetapi lebih pada kesamaan visi.

Pentingnya persaudaraan dan persatuan ditegaskan oleh hadratussyaikh dalam Qanun Asasi NU, “Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. Beliau menambahkan, “Kerja sama dan tolong menolong merupakan sendi yang dapat menjadi acuan dalam mengatur tatanan sosial. Tanpa hal tersebut, maka keinginan, harapan, dan cita-cita akan lumpuh karena tidak akan mampu memecahkan tantangan. Sebab itu, barangsiapa bergotong-royong dalam urusan dunia dan akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Hidupnya akan terasa indah, tenang, nyaman, dan tenteram.”

Fondasi yang dibangun hadratus-syaikh telah menjadikan NU sebagai organisasi yang mempersatukan ulama dengan tujuan untuk menegakkan panji-panji keislaman rahmatan lim ‘alamin. NU harus menjadi teladan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia secara keseluruhan, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi persatuan nasional.

Hadratussyaikh dengan cerdas menulis sebuah buku khususnya, yang dikodifikasi sebagai ideologi NU, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al -Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, serta penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah).

Di dalam kitab ini, rumusan ideologi dikukuhkan dengan sangat baik oleh kakek Gus Dur ini. Dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyah yang dikenal dengan teologi usaha (al-kasbu). Dalam konsep ini disebutkan, bahwa setiap manusia harus melakukan ikhtiar dalam kehidupan nyata sembari memohon pertolongan kepada Tuhan.

Teologi ini kemudian dengan “teologi moderasi”, karena dapat menyelamatkan manusia dalam fatalisme dan kebebasan tak terkendali. Dalam fatalisme, seseorang bisa terjebak pada fanatisme dan ekstremisme, sedangkan pada kebebasan absolut bisa menjerumuskan seseorang pada sikap permisif. Teologi Asy’ariyah telah melahirkan sebuah sikap yang menjadikan umat Islam berada dalam keseimbangan dan ketenangan hidup.

Dalam hukum Islam (baca: fikih), hadratussyaikh memandang hendaknya warga NU merujuk kepada 4 imam mazhad fikih, yaitu Imam Syafii, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Secara khusus, hadratussyaikh menekankan pada Imam Syafii.

Kenapa harus merujuk kepada empat Imam mazhab fikih tersebut? Hal ini tidak lain, karena keempat imam tersebut mempunyai keahlian atau kepakaran dalam bidang hukum Islam, yang mana pandangan-pandangannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, paradigma NU dalam hukum sebenarnya juga kembali kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi harus melalui para imam tersebut. Sebab tidak banyak orang muslim yang mempunyai keahlian sebagai para ulama hukum Islam tadi.

Salah satu keistimewaan paradigma ini, bahwa seorang Muslim dalam memecahkan masalah tidak akan terjebak dalam paradigma hitam-putih, kaku dan rigid. Bahkan, paradigma hukum Islam ala NU jauh lebih akademik dan argumentatif jika dibandingkan dengan kalangan Wahabi dan kelompok puritan lainnya.

Sedangkan dalam spiritualitas, hadratussyaikh memadang agar warga NU merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu ciri yang menonjol dalam paradigma ini yaitu perpaduan antara dimensi spiritualitas dan formalitas. Formalisasi agama dalam ruang publik tanpa spiritualitas akan melahirkan kehampaan dan kekosongan.
Ideologi NU sebagaimana dijelaskan tersebut saat ini harus diakui semakin langka dan tidak terdengar lagi dalam tubuh NU. Dimensi yang menonjol adalah paradigma hukum, sedangkan dalam teologi dan spiritualitas kurang terdengar. Apalagi dalam forum keagamaan NU, sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam perhelatan Munas dan Muktamar hanya mengakomodasi bahtsul masail. Sedangkan dalam bidang teologi dan spiritualitas belum diakomodasi dalam perhelatan Muktamar.

Oleh karena itu, NU dalam lima tahun ke depan harus menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan-nya. Apalagi ditengah godaan politik yang begitu dahsyat. NU tidak mampu berkata “tidak”, karena bukan semata-mata tidak mampu, tetapi NU hakikatnya sedang mengalami krisis ideologi yang sangat akut. Yaitu hilangnya spiritualitas dalam ranah politik. Kecintaan kepada dunia diutamakan, sedangkan spiritualitas ukhrawi ditinggalkan.

Di penutup tulisan ini, ada baiknya NU kembali kepada jejak-jejak kehidupan dan pemikiran hadratus-syaikh Hasyim Asy’ari. Dan setiap kali Muktamar digelar, sayangnya pemikiran hadratus-syaikh tidak terdengar. Karenanya sangat mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap gagasan hadratus syaikh.
*) Peresensi adalah Pegiat Pendidikan dan Fungsionaris PC Fatayat NU Jombang Jatim.

Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Selamat Berkhidmat Pengurus Baru


Tuntas sudah perhelatan Muktamar NU di Makassar, Sulawesi Selatan. Malam itu, Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Arifin Nukmang, menutup hajatan terbesar Jam’iyah Nahdlatul Ulama tersebut. Gema lagu kebangsaan, alunan ayat suci Al-Quran dan merdunya bacaan Shalawat Badar yang diiringi gemericik air hujan di luar ruangan, membuat suasana semakin mengharukan.

Tidak sia-sia Muktamar NU ditunda hingga dua kali. Hajatan yang semula direncanakan pada bulan Desember tahun lalu itu sempat direncanakan digelar pada bulan Januari, namun akhirnya terlaksana pada bulan Maret lalu. Faktor utama penundaan adalah karena cuaca. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan panitia untuk memantapkan persiapan.
Ternyata benar. Muk-amar yang berlangsung tanggal 22-27 Maret itu akhirnya berlangsung sukses dan meriah.

Sejak tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar nuansa muktamar telah begitu terasa. Spanduk-spanduk ucapan se-lamat datang telah menyambut muktamirin. Sepanjang perjalanan dari bandara hingga arena muktamar di Asrama Haji Sudiang, dipenuhi spanduk dan baliho bernuansa muktamar. Bahkan cenderung berlebihan, karena tidak sedikit dari spanduk itu yang berisi kampanye calon Ketua Umum PBNU. Lengkap dengan foto dan tulisan kampanye. Bahkan beberapa di antaranya dengan “menjual” kiai sepuh. “Kok jadi kayak kam-panye Pilkada begini ya?” tutur salah seorang muktamirin yang mengaku dari Magelang.

Beberapa spanduk lainnya bertuliskan posko tim sukses calon tertentu. Terang-terangan. Karena nuansa model Pilkada yang terlalu kental itulah sampai panitia muktamar meminta agar spanduk dan baliho-baliho itu dibersihkan dari arena muktamar. Namun sayang, tidak semua tim sukses mematuhi permintaan itu. Rupanya sinyalemen KH A Hasyim Muzadi sejak jauh hari sebelum muktamar berlangsung, bahwa banyak pengurus PBNU lebih sibuk mengkampanyekan diri sendiri daripada mengurus persiapan muktamar, ternyata memang benar. Masing-masing sibuk memikirkan dirinya sendiri dalam pencalonan itu.

Meriah Tapi Gerah

Sesuai rencana, Muktamar ke-32 NU dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di gedung Celebes Convention Center (CCC, biasa dibaca Tripel C). Hadir dalam kesempatan itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di antaranya Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Joko Suyanto, Menteri Agama Surya Darma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Menlu Manty Natalegawa, Mendiknas Mohammad Nuh, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menkop UKM Syarif Hasan, Menteri PDT Helmy Faisal Zaini, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, dlsb.
Beberapa pejabat tinggi negara juga hadir. Di antaranya Ketua DPR RI Marzuki Ali, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD, beberapa duta besar negara sahabat, para mufti dari 12 negara, beberapa gubernur dan wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, walikota serta wakil walikota dari berbagai daerah, serta para anggota DPR RI maupun DPRD turut memenuhi kursi undangan kehormatan. Beberapa pimpinan ormas maupun orpol juga hadir.
Di tengah kemeriahan acara pembukaan itu ternyata masih menyisakan banyak keluhan. Para undangan VVIP banyak mengeluarkan keringat karena kepanasan. Rupanya penyejuk udara yang dipasang belum sepadan dengan kapasitas ruangan. Perasaan tidak nyaman tampak terlihat ketika mereka terus berkipaskipas di tengah acara berlangsung.

Persoalan lain, banyak peserta dan tamu undangan yang membawa undangan VVIP tidak dapat masuk. Sementara di luar ruangan tidak disediakan tv monitor dan pengeras suara. Praktis mereka hanya bisa terbengong-bengong sambil terus berdesakan. Mereka bertanya-tanya tentang keseriusan panitia yang mengundang mereka. Sudah datang jauh-jauh, teryata tidak mendapat-kan sambutan yang semestinya. “Saudara Tua NU ini memang luar biasa,” kata Ir H Chriswanto Santoso, MSc, Wakil Ketua DPP LDII yang juga tidak dapat masuk ruang pembukaan meski membawa kartu undangan VVIP.

Tidak hanya Pak Kris –sapaan akrabnya—yang menerima nasib seperti itu. Banyak kiai sepuh juga mengalami nasib yang sama. Termasuk beberapa mantan menteri dan anggota DPR RI yang datang dari beberapa daerah. Mereka mengeluhkan ketatnya pengamanan yang dinilai berlebihan. “Banyak orang mengeluhkan pengamanan presiden yang berle-bihan,” kata KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Jember.

Cuaca Mendukung

Prediksi panitia daerah yang disampaikan jauh sebelum muktamar digelar, bahwa pada bulan Maret cuaca kota Makassar sudah terang, tidak salah. Terbukti, selama berlangsung muktamar tidak pernah turun hujan, sehingga seluruh acara dapat berlangsung sukses. Meski tidak hujan, namun bukan berarti tidak ada “penderitaan” lain bagi muktamirin. Tantangan justru muncul dari sisi sebaliknya. Cuaca panas terik! Yah, cuaca kota Makassar memang jauh lebih panas dari pada di Jakarta maupun Surabaya. Apalagi bagi mereka yang menyewa rumah penduduk sebagai tempat tinggal karena membawa rombongan besar. Penderitaan mereka semakin bertambah karena kebanyakan rumah itu beratap seng dan tuan rumah tidak menyediakan kipas angin. Sudah begitu air sangat dibatasi, padahal di kampung halaman mereka biasa mempergunakan air sepuasnya. “Waduh, benar-benar tantangan,” kata Sujani, salah seorang wartawan Aula yang turut menikmati penderitaan itu.

Namun anehnya, meski selama proses pembukaan hingga beberapa kali persidangan cuaca selalu panas, pada saat menjelang pemilihan Rais Am dan Ketua Umum berlangsung ternyata cuaca tiba-tiba berubah. Sejak pagi hingga siang terus mendung. Bahkan ketika malam tiba hujan rintik-rintik terus turun mengiringi, seakan turut mendinginkan hati muktamirin yang kala itu semakin memanas terkait pencalonan. Banyak orang mengaku heran sekaligus bersyukur dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba itu.

Penutupan Dipercepat

Bayang-bayang ketidakpastian terus mengiringi Muktamar NU di Makassar sejak awal. Selain telah dilakukan penundaan dua kali, ketidakpastian juga masih terjadi soal waktu pembukaan. Semula presiden direncanakan membuka acara itu pada tanggal 22 Maret, namun yang terjadi malah tanggal 23 Maret, gara menunggu kepastian kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.

Ketidakpastian juga terjadi dalam pemilihan Rais Am dan Ketua Umum. Acara penting yang semula dijadwalkan hari Jum’at malam itu akhirnya harus ditunda hingga Sabtu pagi. Demikian pula dengan penutupan, yang dijadwalkan Ahad pagi oleh Wapres Budiono akirnya dipercepat pada Sabtu malam oleh Wakil Gubernur Sulsel Ir H Arifin Nukmang.

Meski penutupan dipercepat, namun prosesi penutupan tetap berjalan khidmat. Dr KH MA Sahal Mahfudh dan Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, Rais Am dan Ketua Umum PBNU terpilih, tampak khidmat mengikuti prosesi penutupan itu. Begitu pula Drs H Slamet Effendy Yusuf, MSi —kandidat yang bersaing ketat dan sehat dengan Kang Said hingga tahap akhir —, berikut beberapa jajaran anggota pengurus PBNU yang lain, turut melakukan hal yang sama. Mereka berdiri di panggung kehormatan untuk mengikuti prosesi penutupan tersebut. Acara penutupan memang tidak seramai pembukaan. Wajar, dan bukan pemandangan baru lagi di dalam jam’iyah NU.

Bila pejabat yang membuka muktamar adalah seorang presiden, yang menutup “hanyalah” wakil gubernur, yang juga salah seorang Mustasyar PWNU Sulsel. Juga banyak muktamirin yang telah pulang lebih dahulu sebelum acara penutupan berlangsung. Persoalannya adalah tiket pesawat yang mengharuskan mereka segera meninggalkan Makassar pada hari itu.

Namun prosesi penutupan tetap berlangsung khidmat. Dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, disusul pembacaan ayat suci Al-Quran dan dilanjutkan Shalawat Badar secara bersama-sama. Setelah sambutan-sambutan, prosesi ditutup dengan do’a dari para kiai. Seluruh rangkaian muktamar pun dinyatakan telah selesai. Selamat dan sukses untuk Nah-dlatul Ulama. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Imam Baru NU = Mbah Sahal dan Kang Said


Nahdlatul Ulama memiliki pemimpin baru. Rais Am tetap dipercayakan kepada Dr KH MA Sahal Mahfudh yang kini memasuki masa bakti ketiga kalinya, sedangkan Ketua Umum dipercayakan kepada Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, cendekiawan muslim asal Cirebon.

Meski dalam sejarah per-jalanan NU muktamar baru pertama kali ini diselenggarakan di Makassar, namun pelaksanaan muktamar tersebut dapat berlangsung sukses dan meriah.Bahkan lebih meriah dibanding muktamar sebelumnya di Asrama Haji Donohudan, Solo tahun 2004. Tidak sia-sia panitia menunda acara tersebut hingga dua kali.

Tanda-tanda sukses sebenarnya sudah diawali oleh laporan pertang-gungjawaban PBNU periode 2004-2009 yang langsung diterima secara bulat oleh muktamirin. Sidang yang dipimpin oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar dan LPj dibacakan oleh Dr KH A Hasyim Muzadi tidak mendapatkan ham-batan sedikit pun. Begitu ditawarkan Nasaruddin, “Apakah laporan pertanggungjawaban dapat diterima?” para peserta langsung menjawab, “Diterima!” secara serentak. Palu sidang pun langsung digedokkan di meja tanda mufakat telah dicapai.

Dalam sesi pemilihan Rais Am, nama Kiai Sahal dan Kiai Hasyim memang telah mengemuka sejak lama. Keduanya adalah Rais Am dan Ketua Umum PBNU periode sebelumnya. Ternyata kemunculan dua nama itu terus bertahan hingga akhir. Dalam pemilihan pertama itu terdapat 492 suara sah. Dari jumlah itu Kiai Sahal mendapatkan 272 suara, Kiai Hasyim 180 suara, KH Maemun Zubair 29 suara, dan Habib Luthfi 4 suara. Sisanya masuk pada KH Ma’ruf Amin, KH Abdullah Mokhtar, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Sirodj dan KH Shalahuddin.

Sesuai dengan ketentuan pemilihan yang mensyaratkan calon harus mendapatkan dukungan minimal 99 suara, maka hanya Kiai Sahal dan Kiai Hasyim-lah yang berhak diajukan kembali untuk dipilih oleh muktamirin. Namun sebelum pemilihan dilanjutkan, melalui secarik kertas Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Rais Am.

Suasana haru langsung memenuhi ruangan sidang. Para muktamirin mengumandangkan Sholawat Badar menyambut keputusan bijaksana tersebut, sambil mendatangi Kiai Hasyim. Ada yang memeluk sambil menciumnya, tetap dalam suasana haru. Bahkan ketika Kiai Hasyim berjalan meninggalkan ruang sidang, beberapa di antara mereka meneriakkan dukungan, “Hidup Pak Hasyim!” dengan nada tinggi.

Setelah Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia menjadi Rais Am, Kiai Sahal dipilih secara aklamasi. Suasana haru kembali menghinggapi wajah para muktamirin ketika palu sidang diketuk dan diikuti bacaan surat Al-Fatihah. Dramatis sekaligus memilukan. “Banyak orang menitikkan air mata karena haru,” kata Ustadz Sholeh Qosim, MSi, utusan JQH Pusat yang turut menyaksikan peristiwa itu.

Sedangkan dalam pemilihan Ketua Umum, rupanya banyak orang salah duga dalam penca-lonan. Sejak sebelum muktamar berlangsung, banyak orang memprediksi tiga nama dari tujuh calon yang muncul akan mendapatkan dukungan kuat. Mereka adalah KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), H Ahmad Bagdja dan KH Said Aqiel Sirodj (Kang Said). Tidak sedikit pula yang merasa yakin Gus Sholah bakal menjadi Ketua Umum, mengingat pencitraan yang di-lakukan tim adik kandung Gus Dur itu paling sempurna. Nama Slamet Effendy Yusuf seakan tidak masuk hitungan. Bahkan sehari sebelum pemilihan berlangsung, sebuah stasiun televisi hanya mengundang Gus Sholah dan Kang Said untuk melakukan debat kandidat. Artinya, hanya dua kandidat itulah yang diprediksi bakal kuat.

Namun apa yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan. Dalam pemilihan pertama, Kang Said mendapatkan 178 suara, Slamet Effeny 158 suara, Gus Sholah 83 suara, Ahmad Bagdja 34 suara, Ulil Abshar Abdalla 22 suara, Masdar F Mas’udi 6 suara, Ali Maschan Moesa 8 suara, Abdul Aziz 7 suara dan Hasyim Muzadi 6 suara. Praktis, hanya Kang Said dan Slametlah yang berhak mengikuti pemilihan selanjutnya, karena aturan mensyaratakan dukungan minimal 99 suara untuk maju di babak akhir.

Menjelang pemilihan akhir itu Gus Sholah datang lalu menggandeng tangan Slamet Effendy, yang dapat diartikan sebagai pengalihan dukungan. Mantan Menristek yang juga pengurus DPP Hanura, AS Hikam, turut duduk di samping Slamet. Sedangkan Kang Said hanya didampingi beberapa teman dekatnya. Sesekali KH Kafabih Mahrus duduk di samping-nya samping membicarakan se-suatu, lalu pergi menjauh.

Diiringi rintik hujan di luar, prosesi pemilihan tahap kedua dilakukan. Sejak awal nama Kang Said langsung unggul. Detik-detik mendebarkan terus berlangsung mengikuti pembacaan hasil pilihan muktamirin. Keributan sempat terjadi ketika Kang Said dipastikan menang dari Slamet. Banyak peserta muktamar secara spontan menghambur ke arah Kang Said untuk sekadar menjabat tangan atau menciumnya. Slamet Effendy segera mendatangi Kang Said untuk mengucapkan selamat. Setelah berangkulan, keduanya duduk berdampingan. Penghitungan langsung dihentikan ketika keamanan tidak mampu mengendalikan suasana. Beberapa kali himbauan panitia untuk tertib tidak diindahkan. Kotak suara pun terpaksa dipindahkan ke altar agar aman. Setelah cukup lama terhenti, penghitungan dapat dilanjutkan kembali. Sampai akhirnya ketika penghitungan berakhir sekitar pukul 21.00 WITA, dari 496 suara yang masuk, dipastikan perolehan untuk Kang Said 294 suara dan Slamet 201 suara, satu suara dinyatakan tidak sah karena masih memilih Gus Sholah. Setelah penghitungan usai, Kang Said dan Slamet Effendy segera mengangkat kedua tangan mereka yang ber-gandengan. Keduanya tampak rukun. Mereka juga melakukan konferensi pers bersama. Rintik hujan masih terus menyertai seluruh prosesi tersebut hingga berakhir.

Pascamuktamar Makassar, kini PBNU memiliki pemimpin baru: Mbah Sahal dan Kang Said. Sosok Kiai Sahal sudah dikenal luas sebagai seorang ahli fiqih yang cenderung pendiam. Sedangkan Kang Said seorang jenius yang kadang suka melakukan kegenitan intelektual. Bahkan kadang menimbulkan kontroversial di kalangan kiai.

Tapi bagaimanapun, para muktamirin telah mempercayakan amanat kepada keduanya untuk meneruskan imamah. Semoga pasangan pengendali NU baru ini akan memberikan kesejukan kepada umat dan mengantarkan kebangkitan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Ikhtiar Bersama Memperbaiki Jam’iyah


Banyak persoalan dibahas dalam muktamar. Semuanya penting. Tapi muara akhirnya tetap sama: berbagai upaya untuk menjadikan organisasi para ulama ini tetap istiqamah, dengan pelayanan yang lebih baik.

Banyak keputusan penting terkait penataan organisasi disepakati dlam muktamar. Pembatasan masa bakti Ketua Tanfidziyah dan Rais Syuriah di berbagai level kepengurusan yang diusulkan cukup dua periode oleh Jawa Timur, ternyata tidak diterima muktamirin. Sebab kalau hal itu diterapkan di luar Jawa, maka bukan regenerasi yang didapat, malah justru kemunduran organisasi karena terbatasnya men-cari orang yang bersedia menjadi pengurus.

“Dengan demikian, masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tidak dibatasi, bisa satu, dua, tiga periode dan seterusnya. Tidak ada batasan,” kata Ketua Panitia Muktamar yang juga menjadi pimpinan sidang Komisi Organisasi, KH Hafidh Utsman, menyampaikan keputusan sidang komisi.

Memang, terkait pembatasan masa bakti pengurus, persoalan itu sebelumnya telah menjadi perdeba-tan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dilakukan, dengan alasan agar terjadi kaderisasi. Namun pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan. Kalau sampai itu terjadi, maka kader NU akan habis. Padahal bukanlah pekerjaan mudah untuk mempersiapkan kader yang baik di tempat mereka. “Mengabdi dan beribadah saja kok malah dibatasi periode sih?” kata utusan dari Ternate.

Meski pembatasan masa bakti Ketua dan Rais Syuriah tidak diterima oleh peserta sidang, namun banyak masukan yang diusulkan oleh PWNU Jatim justru diterima dengan baik oleh peserta. Bahkan materi yang tidak tercantum dalam draf dari PBNU, justru diusulkan oleh PWNU Jatim. “Banyak peserta yang berterima kasih kepada kami, karena banyak memberikan usulan dan dinilai sangat positif,” kata H Sholeh Hayat, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jatim yang turut bersidang dalam Komisi Organisasi.


Beberapa Masalah Penting

Sejak awal para utusan Jawa Timur memang dinilai paling siap dengan materi. Tidak heran jika banyak keputusan dihasilkan oleh muktamar, yang sebenarnya merupakan suara dari Jawa Timur. Di antara persoalan yang disepakati dan merupakan kontribusi besar dari PWNU Jatim itu adalah:

Pertama, disetujuinya pemben-tukan kepengurusan Pengurus Anak Ranting (PAR) yang efektif dibentuk di beberapa masjid dan mushalla milik NU. Hal itu dinilai sangat mendesak, karena banyak kasus yang terjadi di daerah, aset berupa masjid dan mushalla milik NU ternyata justru dikuasai oleh kelompok aliran wahabi. “Dengan demikian, para takmir masjid dan mushalla nantinya dapat dikukuhkan keberadaannya sebagai Pengurus Anak Ranting,” kata Pak Sholeh, sapaan H Sholeh Hayat, yang turut mengawal keputusan tersebut.

Kedua,
penyebutan secara sempurna identitas Ahlussunnah Waljama’ah dari yang awalnya hanya mencantumkan imam madzhab. Dengan demikian, keberadaan Aswaja ala NU tidak semata mengikuti salah satu imam mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i), tapi dilanjutkan dengan penyebutan mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid. Demikian pula dicantumkan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bertarekat.

Ketiga, hari lahir NU dengan menggunakan kalender hijriyah. Peringatan harlah NU hanya dipe-ringati pada tanggal 16 Rajab, tidak lagi menggunakan kalender masehi. Hal itu dilakukan lantaran dalam penentuan awal Ramadhan maupun hari raya Idul Fitri, semuanya dengan kalender hijriyah.

Keempat, semua aset tanah dan bangunan yang telah digunakan dengan nama NU, tidak bisa dialih-kan kepada pihak lain, tanpa persetu-juan dari PBNU. Hal itu sebagai upaya antisipasi agar semua aset tidak digunakan untuk kepentingan lain.

Kelima, dalam draf yang dikeluarkan oleh PBNU, keberadaan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ternyata tidak ada. PWNU akhirnya mendesak agar keberadaan ISNU dikembalikan lagi menjadi badan otonom (Banom) seperti semula.

Keenam, mengukuhkan persoalan rangkap jabatan kepada Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dengan jabatan politis. Draf yang semula dicantumkan nonaktif, dipertegas menjadi larangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi Rais ataupun Ketua yang merangkap jabatan politis. “Pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri,” kata KH Hafidz Utsman.

Sedangkan pengurus harian yang dimaksud adalah Rais Am, Wakil Rais Am, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum di tingkat Pengurus Besar (PB) serta Rais Syuriah dan Ketua di tingkat wilayah dan cabang. Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebe-lumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU nonaktif selama proses pemilihan berlangsung, baik Pilpres maupun Pilkada.

Ketujuh, penguatan posisi syuriah. Banyaknya polemik dan dualisme kepemimpinan yang akhirnya dikesankan terjadi hubungan tidak harmonis antara Syuriah dan Tanfi-dziyah, PWNU Jatim mengusulkan masukan bahwa posisi Syuriah adalah sangat berwibawa di NU. Karena itu, Syuriah diberikan wewenang untuk menentukan arah kebijakan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan Nahdlatul Ulama. Di-samping itu Syuriah juga memberikan petunjuk, bimbingan dan pem-binaan terkait pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasar faham Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf. Yang juga penting adanya adalah kewenangan untuk mengendalikan, membimbing, mengawasi dan mengoreksi jalannya organisasi NU dengan pertimbangan syar’i dan ketentuan organisasi.

Kedelapan, usulan terhadap keberadaan badan otonom. Karena seperti disadari, ada berbagai disharmonisasi yang terjadi antara badan otonom dengan NU sebagai induk organisasinya. Malah tidak jarang Banom terkesan berjalan sendiri dan berada di luar kendali NU. Untuk menyelesaikan persoalan ini, usulan PWNU Jatim adalah keberadaan badan otonom dikembalikan kepada rumusan hasil Muktamar 2004 dengan tambahan usulan sebagai berikut: sebelum dipilih dalam per-musyawaratan badan otonom, calon ketua umum dan ketua harus mendapatkan persetujuan tertulis dan pertimbangan dari pengurus NU sesuai tingkatannya. Demikian pula, PD/ PRT badan otonom wajib meratifikasi/ mencantumkan ketentuan AD/ ART Nahdlatul Ulama yang mengatur tentang badan otonom. Dan yang selanjutnya adalah NU sebagai induk organisasi memiliki hak pembinaan dan mengambil tindakan organisatoris apabila diperlukan.

Pada kesempatan ini pula, PWNU Jatim mengusulkan badan otonom baru yakni Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pembinaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai catatan, sebelum diakui sebagai Banom, badan hukum Yayasan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama yang disahkan melalui SK Menkumham Nomor C-88.HT.01.03.TH.2007 tanggal 26 Nopember 2007 harus dibubarkan terlebih dahulu).

Permasalahan Politik

Komisi Bahstul Masail Diniyyah Qonuniyyah (Bidang Keagamaan Perundang-undangan)
Muktamar ke-32 NU menghasil-kan keputusan agar proses Pemilu kepala daerah tingkat gubernur (Pilgub) dihapuskan. Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah Muktamar ke-32 NU Ridwan Lubis. Menurut Ridwan, Pilkada Gubernur dihapus karena dinilai menyedot biaya yang mahal serta berpotensi menimbul-kan konflik. “Kita mengusulkan agar gubernur diajukan oleh partai politik atau independen, lalu dipilih oleh DPRD I. Dari DPRD mengirimkan 2-3 orang, lalu presiden memilihnya, pertimbangannya karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat,” ujarnya. Di samping persoalan tersebut, Ridwan menyebutkan, dalam praktiknya tidak jarang antara bupati/walikota tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan gubernur akibat perebutan kekuasaan. “Karena bupati/ walikota juga merasa memiliki kekuasaan, sehingga posisi gubernur tidak ada kewibawaan,” cetusnya.

Oleh karenanya, dengan usulan demikian, Ridwan berharap agar partai hendaknya menyiapkan kadernya untuk dapat mengisi pos di level gubernur sehingga bisa diajukan oleh DPRD di tingkatan provinsi.

Konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masih terus berlangsung hingga kini tidak dibahas dalam muktamar. Namun begitu, NU akan melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak sebagai bentuk perhatian kepada parpol yang banyak diisi kaum nahdliyin itu. “Sejak dari awal kami tidak menga-gendakan pembahasan masalah konflik di PKB,” kata Sekretaris Panitia Muktamar NU ke-32, Taufik R Abdullah.

Taufik menjelaskan, peran NU dalam merespon konflik PKB sangatlah normatif. Peran NU ada tiga, yaitu dalam politik, etik moral sebagai petunjuk berpolitik bagi warga NU, dan peran organisatoris NU yang hanya sekadar memproduksi kader-kader yang akan disalurkan dalam berbagai segmen. “Kalau dituntut politis paling banter peran melakukan komunikasi dari berbagai pihak agar mereka bisa melaksanakan petunjuk NU,” ujarya.

Pembahasan masalah konflik PKB ini memang menjadi tuntutan sejumlah pihak, khususnya para politisi PKB. Namun banyak kalangan yang justru tidak setuju dengan urusan parpol yang satu ini. Alasannya, mereka khawatir NU akan ditarik ke ranah politik praktis kembali.

Demi Kebaikan NU

Ikhtiar yang telah dilakukan orang-orang terpilih dari berbagai utusan di Indonesia dan dari belahan dunia itu semuanya sama, yakni demi kebaikan NU di masa yang akan datang. Tantangan yang dihadapi umat dan jam’iyah tentunya tidaklah semakin mudah dan ringan. Namun tetap memerlukan berbagai kreasi dan amal nyata demi terjaganya ek-sistensi sebuah bangsa yang bermartabat. Ucapan terima kasih sepatutnya layak disampaikan kepada mereka yang berkenan datang dan turut memikirkan NU untuk jangka waktu mendatang. Semoga Allah menerima ikhtiar ini, dan selamat berjuang! (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Mereka Melihat NU Telah Berubah


Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama tidak hanya menjadi perhatian warga pribumi. Sejumlah perwakilan negara sahabat tidak mau melewatkan momentum besar itu. Termasuk para pengamat yang sudah menjadi langganan hadir dalam acara besar NU. Bagaimana kesan mereka?

Muktamar secara resmi belum dibuka. Tapi siang itu, Senin (22/3), keramaian di Asrama Haji Sudiang, Makassar sudah sangat terasa. Ruang registrasi terlihat sesak dengan antrian peserta. Mereka berdesakan, namun tetap tertib dan tertata. Udara panas terik seakan tak dirasakan oleh mereka. Sound system dari panggung pentas seni yang disiapkan juga mulai bergema. Di sudut lain, senyum para pedagang di stan pameran mulai tersungging, membayangkan keuntungan yang bakal mereka kantongi dari arena.

Pada saat yang sama, beberapa ulama NU sedang berdialog dengan mufti dan cendekiawan dari 12 negara, dalam konferensi pra muktamar di Hotel Sahid Makassar. Mereka antara lain Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Suriah), Dr Amr Mustafa Hassanein Fefaie El Wardany (Mesir), Datok Haji Wan Zahidi Haji Wan The (Malaysia), Mr Ekrem Kelec (Turki), Abdurahman Bin Abdullah Azaid (Arab Saudi), Mohammed AN Abualrob Khadra (Palestina), Sulaiman Usman Muhammad Tula (Sudan), Syeikh Hasan Abdallah, Syeikh Maulana Ahmad Zein, Syeikh Abd Annasir Jabri, Syeikh Saaduddin Muhammad Ajouz, Dr Ghalib Arraisi (semuanya dari Lebanon) dan Nidhomuddin Sam Za’i (Maroko). Sedangkan di peserta dari luar Timur Tengah adalah Sadekov Komili (Rusia), Meuleman Johan Hendrik (Belanda), Ikebal Mohammed Adam Patel (Australia), Ju Hwa Lee (Korea) dan Eng Essam Fadel Al Shangqiti (IDB).
Dalam konferensi bertajuk “peran ulama memajukan dunia Islam” itu disepakati tiga rekomendasi yang dibacakan Ketua PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA. Pertama, menyatukan persepsi dunia Islam yang selama ini terpecah untuk memajukan dunia Islam. Kedua, merumuskan konsep strategis yang dibuat untuk meningkatkan peradaban Islam, terutama dengan pendekatan keagamaan. Ketiga, membangkitkan peranan ulama di masa kini dan mendatang.

Tiga rekomendasi yang dihasilkan menjadi poin kesepakatan yang akan dibawa ke pertemuan Liga Arab yang akan berlangsung di Libya, beberapa bulan mendatang. Bahkan akan menjadi bahan rekomendasi resmi ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Tanggapan Positif

Di sela-sela muktamar, sejumlah perwakilan negara sahabat yang hadir turut mengungkapkan rasa optimis mereka, bahwa Nahdlatul Ulama akan mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia dengan kepemimpinan yang baru.

Presiden The Australian Federation of Islamic Councils Ikebal Mohammed Adam Patel menga-takan, pihaknya optimistis melalui Muktamar NU ke-32 ini energi para muktamirin akan mampu tersalurkan dalam memilih pemimpin yang terbaik bagi masa depan NU. “Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjembatani keharmo-nisan antara masyarakat dan pemimpinnya, termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki pemikiran positif,” kata Ikebal.

Mengenai sinyalemen yang mendeskreditkan penganut agama Islam sebagai pelaku teror di se-jumlah negara – termasuk Australia, menurut Ikebal, NU sebagai organisasi Islam terbesar harus mampu menepis anggapan tersebut dengan melakukan pembinaan pada umat muslim. “Sesungguhnya umat Islam mencintai perdamaian. Kalaupun ada sinyalemen bahwa muslim radikal terkait dengan terorisme, itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik suatu negara dan dunia,” ujarnya.

Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman Mohammed Amen Al-Khayyat juga mengharapkan muktamar kali ini dapat melahirkan perubahan bagi Indonesia untuk keluar dari berbagai persoalan. Menurut dia, perhelatan akbar ormas Islam terbesar di Indonesia ini merupakan momentum yang baik untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menentukan arah perjuangan organisasi ke depan.

“Sejarah membuktikan, organisasi ini mampu berkiprah tidak hanya di negerinya, tetapi juga menjadi perhitungan organisasi Islam dunia melalui ketokohan sejumlah pemimpin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,” tuturnya.

Senada dengan itu, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Al-Mehdawi, turut memberikan sambu-tan hangat atas terselenggaranya muktamar kali ini. Diplomat yang bertugas di Indonesia sejak tiga tahun lalu itu merasa optimis bahwa muktamar bisa menghasilkan keputusan-keputusan penting untuk NU, Islam dan Indonesia.
Faris juga berharap agar NU tidak terlalu dalam masuk ke dunia politik. Tapi lebih banyak berperan dalam kehidupan sosial dalam peningkatan kemajuan ekonomi dan pendidikan.

“Ke depan, NU harus terus berperan dalam kemajuan ekonomi dan pendidikan. Itulah inti dari keberadaan NU sebagai unsur penting dalam kehidupan sosial di Indonesia, bukan dalam bidang poli-tik,” kata-nya saat ditemui di sela-sela konferensi.

Muktamar di Mata Pengamat

Selain para pejabat negara, tampak pula beberapa peneliti asing yang hadir dalam muktamar kali ini. Mereka, antara lain peneliti NU senior dari Belanda Martin Van Bruinessen, Mitsuo Nakamura dari Jepang dan Andree Feillard dari Prancis serta beberapa peneliti muda dari Amerika, Jepang dan Prancis.

Kepada Aula, Martin mengungkapkan dua kesan yang ia rasakan berbeda di banding muktamar sebelumnya. Pertama, diadakannya muktamar di luar Jawa menjadi salah satu agenda strategis NU ke depan. Pasalnya, keterlibatan warga NU selama ini didominasi oleh penduduk pulau Jawa sebagai basis utama massa NU. “Sebenarnya wajar kalau orang menganggap bahwa NU itu Jawa sentris, karena basis massanya ada di Jawa. Tapi dengan diadakannya muktamar di luar Jawa sekarang ini, baik sekali untuk melibatkan warga NU luar Jawa dan menumbuhkan keinginan kuat mereka untuk berperan lebih besar di dalam NU,” ungkapnya.

Kedua, meskipun sesungguhnya persaingan untuk menjadi Ketua Umum PBNU selalu ada di setiap muktamar, tapi kali ini Martin melihatnya sangat terbuka. Baginya, ini adalah fenomena yang sangat erat hubungannya dengan fakta bahwa sejak tahun 1998 segala aspek kehidupan di Indonesia banyak yang dipolitisir. “Daya tarik politik terlalu kuat dan tentu berpengaruh ter-hadap perjalanan NU,” lanjutnya.

Ke depan, Martin berharap NU terus menjadi wadah generasi muda untuk mengembangkan intelektualitasnya. NU tidak perlu lagi ditarik pada kepentingan politik sebagian elit yang belum tentu sama dengan kepentingan politik warga NU yang ada di bawah.

“NU mewakili sebagian besar dari umat Islam Indonesia. Orang bilang 25 juta ada yang bilang 40 juta. Yang jelas sebagian rakyat Indonesia terwakili oleh NU. Maka para elit tidak boleh memikirkan kepentingan sendiri, tapi harus memikirkan warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota. Warga NU harus tetap optimis. Tapi itu belum cukup, harus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya sehingga NU tidak hanya dilihat dari jumlah massanya yang besar, tapi juga bisa berperan dalam bidang sosial, ekonomi dan keagamaan,” lanjut profesor di Utrecht University, Belanda ini.

Sedangkan Mitsuo Nakamura sangat mengapresiasi kemajuan NU dalam bidang teknologi informasi. Dalam muktamar kali ini, pada setiap ruangan disediakan layar monitor, sehingga siapapun bisa memantau setiap momen yang terjadi tanpa harus hadir di ruang sidang karena disiarkan secara live oleh TV9 milik PWNU Jawa Timur. Selain itu, menurutnya, keberadaan NU Online juga menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi NU. Melalui situs resmi PBNU itu, ia mengaku sangat terbantu ketika berada di Jepang dan ingin mengetahui perkembangan NU di Indonesia.

Di sisi lain, professor dari Chiba University ini juga melihat per-kembangan NU yang menjelma menjadi menjadi organisasi yang sangat demokratis sejak adanya reformasi.
“Dulu ketika di zaman Orde Baru, NU harus melawan intervensi dari luar sehingga agak tertutup. Tapi sekarang terkesan sangat terbuka dan perbedaan pendapat disikapi secara alamiah dan bijak,” terang peneliti yang tertarik pada NU karena Gus Dur itu.

Adapun banyaknya kandidat yang bersaing dalam muktamar, bagi Nakamura, hal itu menun-jukkan pluralitas unsur di dalam NU. Maka ia berharap agar sang pemimpin yang terpilih dapat mengakomodir semua unsur yang ada di dalam NU.

“Satu hal lagi yang terasa berbeda adalah ketidakhadiran Gus Dur. Ya, saya dan kawan-kawan peneliti di luar negeri merasa kehilangan. Gus Dur adalah phenomenon history. Saya mulai tertarik dengan NU karena dikenalkan oleh Gus Dur. Tapi meskipun secara fisik Gus Dur sudah tidak ada, saya merasakan sekarang Gus Dur ada di mana-mana melalui pemikiran dan warisan beliau,” jelas peneliti yang mengikuti Muktamar NU sejak 1979 ini.

Di mata Nakamura, NU sebagai civil society memiliki potensi-potensi besar untuk berperan bagi kemajuan Indonesia maupun dunia. Ke depan, ia berharap agar NU dapat menjadi bagian solusi, setidaknya terhadap dua hal. Pertama, ikut memberantas kemiskinan. “Ekonomi makro Indonesia memang terus meningkat. Masih banyak warga miskin yang lemah, dan NU harus beperan memberikan solusi,” jelas peneliti yang pernah mengajar di Universitas Indonesai itu.

Kedua, berpartisipasi mengatasi konflik kemanusiaan karena unsur agama. Kepada negara-negara berpenduduk mayoritas nonmuslim, NU harus terus berdakwah mewujudkan misi perdamaian Islam ala NU. Di internal umat Islam sendiri, NU juga harus meningkatkan dialog-dialog sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

“NU bergerak di dalam sebuah negara dengan jumlah orang Islam yang terbanyak di dunia. Dan hubungan antara masyarakat yang beragama Islam dan non Islam merupakan salah satu faktor yang menentukan nasibnya umat manusia pada hari depan,” pungkas Nakamura, yang datang ke Makassar bersama istri yang juga seorang antropolog dan sedang meneliti tentang pesantren. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Muktamar Tak Bahas Rekonsiliasi PKB


Komisi Rekomendasi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 telah menyelesaikan tugasnya. Di antara beberapa rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah dan lem-baga lainnya adalah meminta agar Islam tidak dibajak oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan agama.

Bahkan, komisi ini merekomendasikan membentuk suatu lembaga yang berfungsi meredam terorisme dan meluruskan pemahaman bahwa jihad bukanlah terorisme.
“Salah satu rekomendasi yang dihasilkan komisi kami adalah membentuk suatu badan yang berfungsi memberantas terorisme secara kultural dan ideologi dan meluruskan konsep pema-haman tentang jihad,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Prof Dr H Masykuri Abdillah.
Menurutnya, hal yang penting dilakukan badan tersebut adalah meluruskan pemahaman keagamaan bahwa jihad itu bukan terorisme, begitu pula segala bentuk teror yang mengatasnamakan jihad, sebab beberapa kelompok yang melakukan aksi teror kerap menggunakan dalil jihad. Selain itu, ia mengatakan, diperlukan pula status hukum yang menegaskan anti terorisme untuk meredam aksi-aksi teror yang terjadi di tanah air. Karena itu, membendung dan memberantas terorisme dengan cara pendekatan kultural, ideologi dan secara hukum sangat diperlukan. “Kita mengeluarkan rekomendasi kepada se-mua pihak agar menjaga agama, agar jangan sampai dibajak atas nama terorisme,” katanya. Selain itu, Muktamar NU juga mengeluarkan rekomendasi penanganan terorisme dari sisi hukum secara tegas. “Dari segi hukum misalnya, dengan penegakan hukum baik dengan menggunakan alat negara melalui serangan militer atau menggunakan Densus 88,” katanya.

Oleh karena itu, Muktamar merekomandasikan agar dilakukan upaya pelurusan persepsi global terhadap jihad yang disalahpahami sebagai terorisme. Bahwa jihad bukanlah terorisme karena terorisme bukanlah ajaran Islam. Pemerintah hendaknya melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan konflik, terutama konflik-konflik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference of Islamic Scholars (ICIS), perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih besar lagi, agar peran yang dilakukan bisa lebih maksimal. Di sisi lain, lanjutnya, melalui kegiatan dakwah di masjid dan majelis taklim terus disosialisasikan bahwa jihad itu bukan terorisme dan Islam bukan pendukung terorisme. NU juga mengajak Ormas, LSM dan pemerintah bekerja sama dalam mewujudkan “deradikalisasi”, serta mengajak pe-laku-pelaku teror berdialog dan kembali ke ajaran yang benar.

Selain itu, komisi ini juga mengu-sulkan agar pembaruan pemikiran gerakan Islam tidak menyimpang dari Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Sejalan dengan keyakinan umat bahwa Islam itu tetap sesuai dengan semua waktu dan tempat (shalih likull zaman wa makan), pembaruan (tajdid) pemahaman keagamaan merupakan suatu keniscayaan, karena masyarakat kini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ide-ide pembaruan keaga-maan di era reformasi ini semakin kencang dihembuskan oleh berbagai kalangan Islam, baik yang berlatar belakang tradisionalis maupun mo-dernis sendiri, meski kedua kelom-pok ini kini tidak memiliki perbedaan yang berarti. “Di antara ide-ide pembaruan itu ada yang mendukung pengunaan rasio secara bebas dan meninggalkan teks-teks (nash-nash) al-Quran dan Hadits, termasuk yang bersifat absolut (qath’i), sehingga hal ini telah mengarah pada tingkat me-resahkan tokoh dan umat Islam,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Panitia ICIS III ini.

Oleh karena itu, Muktamar me-nekankan kembali, bahwa ide-ide pembaruan (tajdid) pemahaman agama merupakan suatu keharusan, tetapi pembaruan ini seharusnya tetap sejalan dengan standar metodologi pemahaman agama yang telah menjadi konsesus ulama mayoritas (ahlussunnah wal jama’ah), dengan tetap berpegang pada kaidah: al-muhâfazhah ‘alal qadîmis shâlih wal akhdzu bil jadîdil ashlah (mempertahankan ide-ide lama yang baik dan mengambil ide-ide baru yang lebih baik). Di antara pembaruan yang sangat dibutuhkan pada saat ini adalah pengutamaan teologi tentang pan-dangan hidup (world view) yang lebih dinamis (menekankan ikhtiar) dari-pada yang bersifat statis (menekankan taqdir) dalam rangka memperkuat motivasi bagi percepatan pembangu-nan umat dan bangsa Indonesia.

Komisi Rekomendasi juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi di bi-dang politik, ekonomi, pendidikan, penegakan hukum dan HAM. Soal pendidikan, misalnya, walau sistem pendidikan nasional sudah baik, tapi kurang memperhatikan pendidikan di pondok pesantren. Bidang kese-hatan yang belum menyentuh kalangan masyarakat desa, kelompok bawah dan miskin, sehingga perlu-nya pemberdayaan kembali Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Terkait politik, NU menilai etika politik di Indonesia semakin demokratis, tapi belum menyentuh hal yang substantif. Sebab, belum dibarengi dengan budaya etika yang baik. “Misalnya di dalam Pilkada dan organisasi tertentu, kadang-kadang masih menggunakan money politics,” ujar Masykuri.

Adapun dalam kancah perpolitikan internasional, pemerintah juga diminta aktif dengan melibat-kan unsur masyarakat atau people to people. “Ini terkait image building terkait soal budaya Islam dan terorisme. Pemerintah bisa aktif dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat dunia, seperti di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Myanmar, Uighur, Palestina dan lainnya,” pungkasnya.

Di sisi lain, desakan agar NU mendorong rekonsiliasi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa ternyata batal masuk dalam salah satu reko-mendasi muktamar. Padahal banyak pihak jauh-jauh hari mengharapkan NU ikut urun rembug menyelesaikan kisruh di parpol yang kelahiranya ia fasilitasi. Bahkan, tidak hanya berupa desakan, beberapa PCNU dari Jatim juga telah membawa sekaligus menawarkan konsep rekonsiliasi yang telah disusun beberapa pihak di Surabaya sebelum pelaksanaan muktamar. Salah satunya ialah agar PBNU membentuk tim rekonsiliasi untuk segera menyelesaikan kemelut di partai yang identik dengan Gus Dur itu.

Penyelesaian terkait dengan konflik internal di PKB nanti hanya akan dilakukan secara informal. Artinya, NU bisa mengambil posisi melalui peran etik dan moral. Atau, melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terkait agar bersatu, bukan hanya untuk kader NU di PKB, tapi juga di seluruh parpol yang ada.

Keputusan tersebut dipastikan dalam rapat pleno komisi-komisi. Mayoritas PCNU dan PWNU berpan-dangan bahwa NU dan PKB me-miliki wilayah yang berbeda. “NU memang punya tanggung jawab, tapi tanggung jawab itu tidak harus dilakukan secara formal,” tegas Sekretaris Panitia Muktamar Taufik R Abdullah. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ihwal: Muktamar, Jawa Timur Jadi Pusat Perhatian


Muktamar sudah berlangsung sebanyak tiga puluh dua kali. Pada penye-lenggaraan di Sulawesi Selatan, semua perhatian dialamatkan kepada PWNU Jawa Timur. Tidak sedikit yang iri dengan kemajuan yang dimiliki

Keberadaan kontingen Jawa Timur demikian dominan. Pada kegiatan sidang komisi maupun pleno, nyaris kafilah Jatim banyak memberikan masukan berarti untuk perbaikan NU di masa yang akan datang. Bahkan hal-hal yang tidak terfikirkan sebelumnya, justru idenya muncul dari Jatim. Tentu saja hal ini bukannya datang dengan tiba-tiba. Perbincangan yang intensif selalu dilakukan, jauh sebelum materi Muktamar diterima. “Praktis, agenda bahtsul masail, rekomendasi, perbaikan AD/ART sudah rampung sebelum rombongan berangkat ke Makasar,” tandas Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, H Sholeh Hayat, SH.

Hal ini ditambah dengan sigapnya para pengurus untuk terus memantau kondisi muktamar serta membicarakannya secara khusus di posko Jatim maupun saat bertemu di arena. Yang baru saja dilakukan dan ternyata manfaatnya sangat terasa adalah membuat draf perubahan dengan tetap menulis-kan redaksi awal materi dengan draf perubahan yang diinginkan. “Kami telah mempersiapkan lima lembar halaman perubahan, khususnya pada sidang komisi organisasi,” kata Sekretaris PWNU Jatim, H Masyhudi Muchtar, MBA.

Draf usulan itu kemudian diserahkan kepada pimpinan sidang yang kala itu dipimpin oleh KH Hafidh Utsman. Cara baru model Jatim ini diapresiasi oleh Kiai Hafidh karena lebih memudahkan dan efektif. Praktis, dengan cara ini dapat dikatakan pimpinan sidang justru menjadi juru bicara dari usulan PWNU Jatim. “Kalau mengusulkan sendiri, kan tidak selamanya para peserta mau menerima?” tandas Pak Hudi (sapaan akrab sekretaris PWNU Jatim) saat dikonfirmasi. “Pimpinan sidang tinggal menawarkan kepada peserta, dan apabila ada yang kurang paham maka kita menjelaskan,” lanjut mantan anggota DPRD Jatim ini. Dengan cara itu, seolah peserta beranggapan bahwa materi yang diwarkan adalah dari PBNU. “Padahal itu kan usulan dari kami?” tandas Pak Hudi dengan senyumnya yang khas.

TV 9 dan Aula Semakin Bikin Iri

Yang juga menjadi “pukulan telak” bagi banyak peserta lain adalah kehadiran TV9. TV yang baru saja diluncurkan oleh PWNU Jatim ini ternyata tampil optimal selama Muktamar. Untuk menayangkan suasana di sidang komisi maupun pleno, para peserta yang tidak memiliki id-card, tidak perlu memaksakan diri untuk mengintip lewat jendela. Cukup duduk dengan tertib di luar karena telah tersedia beberapa unit televisi layar datar dan berukuran 21 inci dan dua unit screen berukuran dua kali tiga meter. “Mending duduk di sini saja, tidak gerah dan lebih santai,” kata Abdullah Mabruk utusan dari Ke-pulauan Riau.

Bahkan untuk acara pembukaan yang menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, TV9 juga dengan percaya diri menayangkan acara tersebut secara live dan nyaris tanpa pesaing. Berkali-kali logo TV9 tampil disela-sela waktu jeda. Salah seorang peserta dari Halmahera yang telah menghadiri beberapa kali muktamar tidak bisa menyem-bunyikan kekagumannya. “Alhamduillah NU telah memiliki TV sendiri, kapan yang lain mengikuti ya?” katanya berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Sebenarnya untuk kegiatan Muktamar ini, TV9 mengalami musibah yang cukup berat. Empat buah TV Plasma yang dikirim lewat cargo dari Surabaya, ternyata setelah sampai di Makasar semuanya pecah. “Ini kecerobohan pihak cargo,” kata Helmy M Noor kepada wartawan. Karenanya, didukung oleh KH M Hasan Mutawakkil Alallah selaku Komisaris TV9, Helmy –sapaan akrabnya- telah melakukan upaya komplain atas kerugian ini. “Bila dikalkulasi, kerugian kami sampai empat puluh juta rupiah,” katanya.

Kekuatan lain dari kafilah NU Jawa Timur adalah kehadiran Majalah AULA. Kendati selama Muktamar banyak media harian maupun selebaran, namun keberadaan AULA turut mencuri perhatian peserta. Spanduk rentang berukuran 6 x 1 meter majalah yang telah berusia tiga puluh dua tahun ini, menghiasi arena muktamar. “Ada lima belas spanduk rentang yang terpasang di sudut-sudut lokasi,” kata Habib Wijaya, Kepala Tata Usaha Aula. Tidak berhenti sampai di situ saja, x baner AULA juga tersebar di setiap ruangan sidang komisi maupun pleno. Belum lagi crew majalah yang hilir mudik dengan kostum baru, serta dimilikinya stan pameran majalah yang menggandeng penerbit Khalista. Selama muktamar berlangsung, tidak sedikit para peserta yang menga-jak berdiskusi crew majalah dan akhirnya berkenan berkunjung ke stand di block C-5 di mana Aula berada. “Wah… NU Jatim benar-benar unjuk gigi,” kata peserta dari Maluku dengan wajah berbinar. Untuk internal NU sendiri sebenarnya ada majalah “pesaing”. Namun keberadaannya tidak seperti Aula.

Memang, keberadaan Muktamar diharapkan menjadi media silaturrahim seluruh potensi yang dimiliki oleh NU. Apa yang kurang, hendak-nya disempurnakan demi kebaikan di masa mendatang. Demikian pula, bila ada kendala menyelenggarakan sebuah ren-cana, tidak ada salahnya saling bertanya untuk kelancaran niat di kemudian hari. Inilah khidmat yang bisa dilakukan demi kebaikan NU di masa yang akan datang. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Pesantren: PP Tahfidzul Quran al-Hasan Ponorogo

Spesialis Qira’ah Sab’ah

Magelang, pertengahan tahun 1983. Petang belum menjelang saat Husein tiba di kediaman KH A Hamid di Kajoran Magelang. Bersama KH Qomar, ayah angkatnya, Husein hanya ingin sowan pada kiai yang tersohor sebagai waliyullah itu. Percakapan singkat tuan rumah dan tamu itulah yang kelak menentukan berdirinya PP al-Hasan.

“Ilmu yang kau peroleh sudah saatnya kau amalkan,” titah Kiai Hamid. Dua orang tamunya hanya mengangguk. “Caranya, segera dirikan pesantren di tempat yang kau tinggali saat ini,” kiai sepuh itu melanjutkan perintahnya.

Husein, kala itu berusia 30 tahun, sebenarnya masih kurang pede untuk merintis pesantren. Ia merasa ilmunya jauh dari cukup untuk mengasuh para santri. Namun, berbekal dukungan dari Kiai Hamid Kajoran, ia bismillah saja. Lokasi yang dipilih adalah tanah wakaf dari ayah angkatnya, KH Qomar, di kelurahan Patihan Wetan Ponorogo. “Tanggal berdirinya 7 Juli 1984. Jadi, hampir satu tahun setelah dawuh Kiai Hamid,” kata KH Husein Ali, nama lengkapnya.

Kiai Qomar sendiri, selain menjadi kiai di kelurahan itu, juga dikenal sebagai kontraktor sukses yang sangat mencintai al-Quran. Pengusaha santri itu hampir saban minggu mengadakan semaan al-Quran di rumahnya. Salah satu hafidz langganannya adalah santri bernama Husein Ali, yang kemudian ia ambil sebagai anak angkatnya.

Nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada nama ayah Kiai Qomar, yaitu Kiai Hasan Arjo. Selain itu saudara kembar Kiai Husein juga bernama Hasan, namun ia meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kiai Husein ingin mengenang dua orang tersebut. “Tentunya, saya tafaulan pada cucu kanjeng nabi, Sayyidina Hasan,” terangnya.
Hingga kini, ciri khas PP al-Hasan adalah pengajaran Qiraah Sab’ahnya. “Insya Allah, di daerah Karesidenan Madiun, hanya PP al-Hasan yang mengajarkan Qiraah Sab’ah,” kata Rais Syuriah PCNU Ponorogo 1997-1999 ini.

Di pesantren yang lokasinya cukup dekat dengan STAIN Ponorogo ini, para santri di pagi harinya dibebaskan bersekolah di luar pesantren. Sebab, al-Hasan hingga kini belum memiliki lembaga pendidikan formal. Selain di MA terdekat, ada pula beberapa santri yang kuliah di STAIN, maupun Institut Sunan Giri yang lokasinya juga tak jauh dari al-Hasan.

Hanya saja, meski menghafalkan al-Quran, tapi tak semua santri berminat mendalami Qiraah Sab’ah. Menurut Kiai Husein, dari dua puluh orang huffadz yang diwisuda, hanya satu orang yang berminat. “Sebab mempelajari variasi qiraah dari tujuh imam, memang sangat berat.” kata penasehat Jamiyatul Qurra’ wal Huffadz Jatim ini seraya tersenyum. Begitu beratnya, hingga kadang-kadang hafalan al-Qurannya hilang. Belum lagi durasi waktu yang lumayan lama.

Menurut ayah tiga orang anak yang semuanya hafidzul Quran ini, ada kesankesan unik ketika mengasuh para calon penghafal al-Quran. Ia terkesan dengan seorang santri bernama Muallif yang berasal dari Trenggalek. Ia hanya ber-pendidikan SD dari keluarga kurang mampu. Tanpa bekal sedikitpun, ia nekat sowan ke Kiai Husein mengutarakan niatnya menghafal al-Quran. Berbekal niat yang kuat ia menghafal al-Quran, sambil bekerja serabutan. Karena kegigihannya inilah, teman-temannya memberi gelar Mbah Sunan. “Hafalannya baik, suaranya juga bagus. Tajwidnya juga tanpa cela,” kisahnya. Tahun 1993 kebetulan ada Musabaqah Hifdzul Quran (MHQ) di Madiun. Oleh Kiai Husein, Mbah Sunan didelegasikan menjadi peserta lomba. Karena penampilannya yang katrok; perawakan kecil, wajah kurang manarik, dan kulitnya juga hitam legam, para juri lomba menganggap remeh Mbah Sunan. “Kiai, mbok ya santri panjenengan di make up sedikit, biar penampilan-nya lebih oke,” canda seorang juri pada Kiai Husein. “Lho, jangan lihat bungkusnya. Yang penting itu substansinya alias kemampuannya,” jawab Kiai Husein memberi jaminan, sambil terkekeh.

Jaminan mutu dari Kiai Husein manjur, para juri terperangah mendengar lantunan al-Quran dari bibir Mbah Sunan. Hasilnya, sosok yang sempat diremehkan ini menjadi kampiun I MHQ se-Karesidenan Madiun. “Saat ini Mbah Sunan ngajar ngaji di desanya,” kata Mustasyar PCNU Ponorogo ini.

Selain kisah Mbah Sunan, ada beragam kisah unik lainnya. Ia menyebut kisah seorang santri eksentrik dari Yogyakarta. Namanya Arif Irfan. Selain menghafalkan al-Quran, ia juga belajar di STAIN Ponorogo. Di mata teman-teman-nya, Arif dikenal sebagai santri yang hobi keluyuran. Pamitnya nonton bioskop, cangkruk di warkop, dll. Tak pernah ia terlihat nderes al-Quran di kamarnya. Tahu-tahu ia selesai setoran hafalan pada Kiai Husein. Tak dinyana, dalam jangka waktu satu tahu, ia telah menguasai al-Quran di luar kepala. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala melihat keberhasilan Arif. Menurut Kiai Husein, ketika Arif pamit nonton bioskop pada teman-temannya, sebenarnya ia tidak ke lokasi pemutaran film. Justru ia mampir ke masjid. “Agar tak diketahui teman-temannya, ia bergonta-ganti masjid,” terang Kiai Husein sambil tersenyum mengingat kecerdikan Arif. Di beberapa masjid inilah ia nyicil hafalan al-Quran hingga ia diwisuda sebagai hafidz pada 1998.

Hingga kini, dalam berbagai ajang perlombaan MHQ, MTQ, maupun MQK (Musabaqah Qira-atul Kutub), terutama di kawasan Karesidenan Madiun, delegasi al-Hasan hampir menjadi langganan juara. Bahkan, grup hadrah al-Hasan menempati peringkat II berturut-turut pada lomba Hadrah Karesidenan Madiun 2008 dan 2009.

Ijazah dari Mbah Arwani

Kiai Husein merupakan pen-datang dari Jejeran Wonokromo Yogyakarta. Masa mudanya ia habiskan berkelana dari satu pondok ke pondok lainnya. Guru pertamanya adalah KH Ali Masykur, ayah kandungnya. Melalui ayah-nya, ia menghafal al-Quran di usia belia. Saat ayahnya wafat, Husein masih duduk di bangku MTs. Di usia muda itu ia lalu dititipkan ibunya pada KH A Muchith Nawawi. Sesekali, ia ikut ngaji pada KH Muhyiddin Nawawi. Keduanya adalah kiai terkemuka di Wonokromo Yogyakarta. “Alhamdulillah, di desa kelahiran saya, terdapat ratusan huffadz. Menurut Mbah Mundzir (Pengasuh PP Maunah Sari bandar Kidul Kediri-red) mudahnya para penduduk menghafalkan al-Quran karena disana ada 41 makam auliya,” terang Kiai Husein. Selepas itu Husein muda melanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten.

Bertahun tahun berguru pada Mbah Dim, Husein kembali mengembara. Kali ini ia terdampar di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Umar, Semarang. Di pesantren spesialis pendalaman tafsir ini, Husein mondok selama enam bulan. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya mengajar kitab pada masyarakat sekitar pondok. Istilahnya ngaji privat,” katanya tersenyum mengenang masa mudanya. Upahnya sebagai guru ngaji itulah yang ia gunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bekal membeli kitab. Kadangkala ia juga didundang ceramah maupun se-maan al-Quran.

Selepas itu, ia kembali mondok. Kali ini ia memilih berguru kepada KH Arwani Kudus. Ke-butuhan sehari-harinya ia penuhi dengan mengajar ngaji secara privat, memenuhi undangan ce-ramah, hingga semaan al-Quran. Di pesantren al-Quran ini, Husein betah hingga tiga tahun lamanya. Melalui silsilah keilmuan Mbah Arwani inilah, Husein mem-peroleh ijazah Qiraah Sab’ah. Berbekal ijazah itu ia me-ngembangkan pesantren spesialis Qiraah Sab’ah.

Hingga kini, jumlah santri PP al-Hasan berjumlah 230 putra–putri. “Itu belum termasuk santri kalong (non-mukim),” terang kiai yang aktif sebagai mubaligh ini Para santri ini datang dari ber-bagai daerah, meskipun mayoritas dari Sumatra. Untuk memenuhi jangkauan pengajaran al-Quran, Kiai Husein melebarkan sayap dengan mendirikan PP al-Hasan II di Dusun Carat Kauman Sumoroto, sekitar lima kilometer arah barat PP al-Hasan I.

“Alhamdulillah, berkat doa para masyayikh dan dukungan masyarakat, kedua pesantren ini tetap semangat dalam memasyarakatkan al-Quran,” terang Kiai Husein. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Muhibah: Ulama Lebanon Belajar kepada NU (Bagian Ke-2)

Memahami Peta Perjuangan Islam

Perjalanan rombongan para kiai NU tidak semata ke medan perang, tapi juga ke tempat para ulama kharismatik di Lebanon dan Syiria. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para ulama spiritual tertinggi kedua negeri. Berikut kelanjutan kisah mereka.

Setelah puas bertukar pikiran dengan para ulama dan berziarah ke makam-makam penting dan bersejarah, rombongan menuju ke hotel tempat menginap. Sepanjang perjalanan yang dilalui suasana serasa menyenangkan. Pemandangan alam cukup indah. Dataran tinggi, udara sejuk, dan jalanan berkelok-kelok membelah pepohonan rindang, teringat seperti di Tretes, Pasuruan. Sayang, waktu itu sedang turun hujan dan banyak jalanan macet.
Tidak begitu lama singgah di hotel, rombongan para ulama dari Indonesia sudah ditunggu para ulama Sunni dan Syi’i untuk jamuan makan malam di kantor Tajammu’. Pertemuan berakhir pukul 21.00, lalu istirahat di hotel, setelah seharian penuh dalam perjalanan keliling.

Esok hari, rombongan bertemu dengan Syeikh Abdul Amir Qobbalany, Mufti Syi’ah Lebanon. Isi pembicaraan tidak jauh berbeda dengan yang lain, seputar perjuangan menghadapi agresi Israel dan pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam menghadapi dominasi negara Barat. Setelah saling bertukar pendapat, rombongan menziarahi makam Rofiq Hariri dan makam syuhada, dilanjutkan dengan shalat dzuhur bersama.

Usai dzuhur dilakukan pertemuan lagi dengan para ulama Lebanon. Kali ini jumlahnya cukup banyak: 75 ulama Sunni dan 75 ulama Syi’i. Dalam kesempatan itu Kiai Hasyim kembali memperkenalkan ideologi Islam Ahlussunnah Waljamaah ala Nahdliyah. “Mereka kaget ketika Pak Hasyim menyebut ada Ukhuwah Wathaniyah. Sepertinya mereka baru tahu ada tambahan,” tutur Kiai Miftah. Tak lupa Kiai Hasyim terus memompa semangat perjuangan mereka, sekaligus meminta untuk terus menjaga persatuan di antara semua unsur bangsa.

Usai shalat maghrib di KBRI, Kiai Hasyim dijemput oleh utusan Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin tertinggi Hizbullah Lebanon. Pengasuh Pesma Al-Hikam Malang itu minta didampingi Mun’im DZ, pemimpin redaksi NU Online. Semula para penjemput tampak tidak merasa keberatan, tapi setelah menempuh perjalanan tidak terlalu jauh, Kiai Hasyim dipindahkan ke mobil lain, dan Mun’im dikembalikan ke hotel. Jadilan Kiai Hasyim sen-dirian bersama para pengawal.

Bisa dimaklumi, karena sedang dalam suasana perang, tempat tinggal pemimpin kharismatik itu dirahasiakan. Dalam pengawalan sangat ketat itu Kiai Hasyim harus berganti-ganti mobil. Tidak ada kesempatan berhenti. “Sampai mau kencing saja tidak diizinkan,” tutur Kiai Miftah menirukan cerita Kiai Hasyim. Walhasil, setelah menempuh perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan, Kiai Hasyim dapat bertemu dengan Syeikh Hasan Nasrallah dan mengadakan pembicaraan secara khusus. Syeikh Hasan tampak gembira dengan kedatangan tokoh asal Malang itu.

Sementara anggota rombongan yang sudah sampai di hotel masih tegang. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, namun kabar keberadaan Kiai Hasyim belum terdengar. Ia bagai ditelan bumi. Tidak tahu sedang berada di mana dan harus bertanya kepada siapa. Namun ketika jarum jam menunjukkan angka 23.00 Kiai Hasyim “dikembalikan” ke hotel. Alhamdulillah.

Tanpa perlu menginap lagi, malam itu juga rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Syiria. Udara sedang dingin dan salju mulai turun. Namun perjalanan tetap dilanjutkan. Sekitar pukul 04.00 dini hari mereka sudah sampai di Damascus. Sekitar pukul 08.00 mereka disambut Duta Besar RI, Muzammil Basyuni, di KBRI. Pembicaraan lebih banyak mengarah pada upaya Israel yang tengah membangun bendungan di perbatasan Mesir-Gaza Israel yang dinilai sangat merugikan bangsa Palestina. Kelak, jika bendungan itu sudah terealisasi, dengan mudah Gaza akan tenggelam jika bendungan itu dibuka oleh Israel. Anehnya, Mesir tetap berpangku tangan dengan pemandangan seperti itu.

Usai bertemu Dubes, rombongan sudah dinanti oleh Grand Mufti Syiria, Syeikh Ahmad Badrouddin Hassoun, yang kebetulan di tempat itu juga ada Mufti Damaskus. Dalam pertemuan khusus itu mereka saling bertukar pendapat seputar Islam dan ukhuwah. “Sudhlah, NU tidak usah melihat Islam model di negara lain, pertahankan saja Islam di Indonesia yang sesuai konsep NU, itu sudah sangat bagus,” salah satu pesan Syeikh Hassoun.

Rombongan diajak mengunjungi Ma’had Dauliy lil ‘Ulumissyar’iyyah wal Lughotil Arobiyah. Dari lembaga yang cukup disegani itu para kiai mendapatkan banyak tawaran beasiswa bagi anak-anak NU jika mau belajar di sana. Syaratnya pun cukup ringan. Cukup lulusan madrasah tsanawiyah pesantren, sudah dapat melanjutkan ke sana secara gratis. Tanpa memberikan jawaban pasti, rombongan sudah melanjutkan perjalanan ke Masjid Umawi, masih di Damascus. Masjid itulah yang kelak tempat turun Nabi Isa AS, tepatnya di menara masjid yang berwarna putih tersebut.

Masjid Umawi terasa istimewa karena di dalamnya ada makam Nabi Yahya AS. Meski mayoritas penduduk Syiria kaum Sunni, namun ruangan dalam masjid itu dipenuhi orang Syiah dari berbagai negara. Sebagai-mana lazimya komunitas Syi’ah di berbagai daerah, mereka selalu me-nangis dan meratap. Konon, di masjid itu memang ada sebuah ruangan yang dulu menjadi tempat singgah kepala Saiyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Radliallahu ‘anhuma) setelah dipenggal di Karbala. Tempat itu selalu ramai dipenuhi orang Syi’ah.

Rombongan juga berziarah ke makam Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang kaum muslimin dalam Perang Salib yang sangat disegani. Makam itu di depan masjid dan sedang direhab. Kondisi makam sangat terawat. Banyak peziarah laki-laki maupun perempuan yang menziarahi makam itu. Sebenarnya rombongan juga berniat menziarahi makam Sahabat Bilal bin Rabah, namun tidak sampai terlaksana ka-rena waktu yang terlalu sempit.

Rombongan juga menziarahi makam Imam Nawawi di kota Nawa yang berjarak sekitar 100 kilometer. Makam ulama ahli fiqih pengarang kita Riadlus Sholihin itu berada di makam umum di sebuah desa yang tenang. Usai dari makam Imam Nawawi, dilanjutkan lagi ke makam Nabi Ayub AS, tak jauh dari tempat itu. Rombongan juga diajak ke sumur tempat mandi Nabi Ayub AS sewaktu sakit.

Hari sudah malam. Perjalanan dipercepat agar dapat bertemu Syeikh Wahbah Az-Zuhaili.
Alhamdulillah, ulama kharismatik itu dapat menemui rombongan selama 1 jam di flat yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu ada pembicaaan yang cukup unik. “Antum harus jadi pimpinan (mungkin yang dimaksudkan menjadi Rais Am),” Syeikh Wahbah menunjuk Kiai Hasyim. “Saya tidak punya hak untuk jadi. Semua itu tergantung Syeikh Miftah dan kawan-kawan,” jawab Kiai Hasyim.

Tak puas dengan jawaban Kiai Hasyim, Syeikh Wahbah menghadap ke arah Kiai Miftah. “Pokoknya dia harus jadi pimpinan,” ujarnya dengan nada mantap. Kiai Miftah menja-wabnya dengan senyuman. Syeikh Wahbah makin tidak puas. Ia terus mencecar Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dengan permintaan yang sama. Sampai akhirnya muncullah jabwaban dari Kiai Miftah: “Qabiltu wa qabilna,” yang langsung disambut senyuman Syeikh Wahbah dan tepuk tangan para kiai. Mereka semua tampak senang menyambut jawaban Kiai Miftah. Pertemuan berakhir sekitar pukul 22.00. Di tengah udara berkabut rombongan kembali ke tempat menginap di flat.

Esok pagi rombongan menuju bandara. Dalam perjalanan terlihat betapa tertibnya penduduk di sana. Sepeda motor tidak boleh masuk kota Damascus. Pemandangan di Syiria memang sangat berbeda dengan ketika di Lebanon. Jika di Lebanon kaum perempuan hampir seluruhnya menutup aurat, di Syiria lebih bebas. Dengan pakain you can see saja mereka sudah dapat keluar rumah secara bebas. Cafe-cafe besar juga dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan besar.

Perjalanan pulang ke tanah air harus melalui bandara Abu Dhabi dan menaiki pesawat Lebanon, karena pesawat milik Syiria sudah tua-tua dan udzur. Itu semua merupakan dampak dari blokade Amerika Serikat yang sudah berlangsung cukup lama atas negeri itu. (AULA No.04/XXXII April 2010)