Minggu, 25 April 2010

Mbah Ma’shum dan Santri Jin

Ada kisah menarik yang terjadi saat KH Ma’shum Ahmad, ayahanda KH Ali Ma’shum, saat bersilaturrahim ke seorang kiai di Lombok. Menjelang waktu maghrib kiai asal Lasem itu sampai di sana. Saat dijamu oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum mengetahui betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat mengaji dan berdzikir. “Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah maju. Santrinya banyak. Semoga mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah Ma’shum. Setelah mengamini doa temannya, tuan rumah hanya tersenyum penuh arti.

Akan tetapi, keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi, tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang, dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Dia bertanya kepada sang tuan rumah, kemana gerangan para santrinya. Lalu, kiai itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin.

Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh, dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia. Kekeramatannya yang lain, adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan atau oleh-oleh berupa beberapa biji buah kelapa itu. Kiai dari Lombok itu bernama Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdhatul-Wathan pada 1356 H (1936 M).

Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid belajar di Makkah, dalam didikan Syekh Hasan bin Muhammad al-Massyath al-Makki, salah seorang ulama terkenal di Hijaz pada eranya. Dia sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda jalan.

* Dinukil dari Mbah Ma’shum Lasem: the Authorized biography of KH Ma’shum Ahmad karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren/2007. Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘IBRAH’

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

Oleh KH Muhyiddin Abdusshomad

PADA suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Nabi SAW dengan memakai baju yang jelek.” Rasul SAW lalu bertanya, “Apakah engkau memiliki harta? Ia jawab, “Iya”. Rasul SAW bertanya lagi, “Dari mana harta itu kau peroleh?” Ia menjawab, “Allah SWT telah memberikanku (harta berupa) unta, kambing, kuda dan budak” Rasul SAW kemudian bersabda, “Jika Allah SWT memberimu harta, maka tampak-kanlah bekas (hasil/manfaat) nikmat dan kemurahan Allah SWT yang diberikan kepadamu itu” (HR. Abu Dawud)

Suatu ketika rasul bersabda kepada para sahabatnya, “Tidak akan masuk surga seorang yang di hatinya terdapat sifat riya”. Kemudian ada yang bertanya tentang seorang yang memakai pakaian yang indah, sandal yang mewah dan surban yang mahal. Apakah orang itu telah riya karena berpenampilan melebihi yang lainnya. Rasul SAW kemudian menjawab, “Belum tentu, karena Allah SWT itu indah dan senang pada keindahan. Yang dimaksud riya adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. (HR. Bukhari Muslim)

Beberapa hadits ini menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW sangat mendambakan umatnya untuk tampil dan terlihat indah, rapi dan bersih. Memperhatikan penampilan sehingga tidak ada halangan banginya untuk dapat bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Yang ber-akibat terjaganya citra agama Islam sebagai agama yang bersih dan anggun.

Dalam kehidupan sehari-hari, anjuran tersebut bersifat fleksibel dan relatif. Disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta profesi sehari-hari. Tidak terpaku pada satu model saja asalkan tidak dimaksudkan untuk sekedar bergaya, pamer kekayaan atau menyombongkan diri. (Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan, kajian kitab kuning, 25-26) Jika di dalam teks-teks keagamaan secara tidak langsung ditemukan larangan atau anjuran untuk berhias dengan model tertentu, maka hal itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak hanya terpaku kepada pengertian secara harfiyah saja.

Intinya adalah bagaimana seorang muslim berhias dan memperindah dirinya dengan tetap mendahulukan kesopanan, menutup aurat dan kerapian serta tidak berlebihan dan urakan. Dan yang terpenting adalah tidak untuk menimbulkan rangsangan atau menggoda orang lain. Inilah makna dari firman Allah SWT:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab, 33)

1. Memelihara Jenggot

Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya.” (Shahih al-Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menun-jukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.

Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)

Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-Abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375-376)

2. Memakai Celana Cingkrang

Asal mula penggunaan celana cingkrang seperti yang dipakai oleh sebagian komunitas muslim adalah untuk menghindari larangan Nabi Muhammad SAW. Karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (mempedulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong.” (Shahih al-Bukhari, 3392)

Hadits ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.

Sifat inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang di-kenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong, merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani menjelaskan, “Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, “Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, “Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina’, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan “Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

3. Memakai Cadar

Firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya." (QS. Al-Nur, 31)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah SWT kepada perempuan-perempuan muslim untuk merendahkan pandangan-nya serta menjaga kemaluannya, lebih umum lagi adalah seluruh organ reproduksinya. Terkait dengan pembahasan aurat, ayat ini menegaskan larangan untuk menampakkan seluruh anggota badan perempuan kecuali yang biasa nampak darinya (ma dhahara minha). Inilah yang kemudian menjadi batasan aurat bagi perempuan,

Yang menjadi perdebatan kemudian, karena ayat ini tidak menyebutkan secara detail anggota badan yang dimaksud. Itulah sebabnya para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya itu. Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan kedua tangan. Keduanya adalah sesuatu yang biasa nampak ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Wajah adalah penanda pertama untuk mengenali seseorang. Begitu pula dengan tangan yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Di dalam tafsir Ibn Katsir dikutip keterangan dari al-A’masy Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya” ia berkata, “Wajah dan kedua tangan dan cincinnya”. Al-Marghinani dari kalangan Hanafiyah mengatakan, “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya” (al-Hidayah, juz I hal 158).

Dalam madzhab Malik, Syaikh Ibn Khallaf al-Baji memberikan keterangan, “Terkadang seorang Istri menemani suaminya yang makan bersama laki-laki lain. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki tersebut boleh melihat wajah dan kedua tangan wanita tersebut. Sebab dua anggota tubuh tersebut adalah yang biasa terlihat ketika makan. (Al-Muntaqa syarh al-Muwaththa’ juz IV hal 252)

Ibn Hajar dari kalangan Syafi’iyyah menukil pendapat dari Qadhi Iyadh bahwa terjadi ijma’ bahwa seorang perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Karena menutup wajah hukumnya sunnah dan, oleh karena itu, laki-laki yang berada di depannya juga disunnahkan memalingkan pandangan karena itulah perintah al-Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz VII hal 193)

Dari sekian pendapat ini, tidak ada satupun yang menegaskan kewajiban memakai cadar, karena memang wajah itu bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi. Pemakaian cadar yang berlaku di masyarakat Arab dahulu adalah tradisi bagi masyarakat tertentu. Ada pendapat dari golongan Hanafiyyah yang mewa-jibkan cadar karena wajah termasuk anggota yang wajib ditutup. Namun penerapan dari pendapat ini juga harus melihat konteksnya. Karena bisa jadi pemakaian cadar itu justru menye-babkan pemakainya terisolir manakala hal tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat, Apalagi hanya karena persoalan ini akan menyebabkan perpecahan antara umat Islam karena disertai tudingan salah bagi mereka yang tidak memakai cadar.

Dengan demikian, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang, dan memakai cadar tidak bisa dikategorikan sebagai identitas Islami.
Pertama, karena dari segi dalil, hal tersebut masih terjadi perdebatan ulama dari dulu sampai sekarang (khilafiyah). Bahkan terhitung lemah dalilnya bagi yang mewajibkannya.
Kedua, di samping lemah dalil, memelihara jenggot, memakai celana cingkrang dan memakai cadar tidak ada signifikansi dan pengaruhnya dalam realitas hidup kekinian.
Ketiga, sebagian yang dianggap identitas Islami itu pada kenyataannya juga digunakan oleh tokoh-tokoh non-muslim yang me-musuhi Islam. Misalnya Fidel Castro, perdana menteri Cuba yang komunis, Calvin (pembaharu Perancis yang juga nasrani), Karl Mark (bapaknya para komunis) dan lain sebagainya. Semuanya mengggunakan jenggot. Foto-fotonya bisa dilihat di berbagai buku ensiklopedi.
Semakin sulit kita menjelaskan ketika ada pertanyaan: “Katanya jenggot itu identitas Islami. Tetapi mengapa orang non-muslim yang memusuhi Islam juga menggunakannya?”.

* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik 'WAWASAN'

Gus Dur, Tak Lekang oleh Waktu



“Ah, Gitu aja kok repot!”, guyonan khas Gus Dur itu kini tak terdengar lagi. Yah, karena sang pemilik kalimat itu telah berpulang ke rahmatullah. Kalaupun masih terdengar di televisi, mungkin disuarakan oleh Gus Pur, tokoh yang memerankan sosok mirip Gus Dur.

SUDAH sebulan lebih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dimakamkan. Namun hingga kini kharismanya belum juga memudar. Setiap hari para peziarah masih terus berdatangan dari berbagai daerah. Terlebih pada Sabtu malam atau hari Ahad. Dipastikan rombongan bus dari berbagai daerah akan terlihat berjejer memadati areal parkir pesantren. Padahal sebenarnya areal parkir itu sudah cukup luas. Yah, banyak orang sudah terlanjur menganggap Gus Dur sebagai wali ke sepuluh yang makamnya harus diziarahi.
Nama Gus Dur memang sudah terlanjur melekat di hati masyarakat. Sejak kabar wafatnya tersiar pada Rabu malam (30/12), pelayat sudah mulai berdatangan ke Pesantren Tebuireng. Bahkan sebelum Subuh, masjid di kompleks pesantren tersebut sudah dipenuhi massa. Begitu juga pendapa joglo yang ada di areal makam. Mereka membaca tahlil dan mendoakan Gus Dur.

Memang dari malam hingga pagi tidak ada pengamanan, sehingga para pelayat dengan leluasa dapat hilir mudik di lokasi pemakaman. Barulah pada pukul 08.00 WIB, petugas keamanan melakukan penertiban. Selain keluarga, mereka diminta ke luar dari areal pesantren. Ini agar petugas bisa menyiapkan upacara kenegaraan serta memberi kesempatan kepada Paspampres untuk melakukan penyisiran terhadap kemungkinan bom.

Benar prediksi banyak kalangan yang memperkirakan para pelayat akan membeludak. Karena itu aparat disiagakan tidak hanya di lokasi pemakaman, tapi juga di beberapa titik di sekitar kawasan Tebuireng. Bahkan di sepanjang Jalan Raya Surabaya – Jombang, petugas kepo-lisian disiagakan di setiap perem-patan maupun pertigaan jalan.

Personel Banser dari Satkorcab Jombang juga tampak sibuk di lokasi pemakaman.
Jenazah Gus Dur yang dibawa dengan mobil VW Caravelle tiba sekitar pukul 11.30 WIB.
Setelah dishalatkan, jenazah Gus Dur yang berada di dalam peti berselimut bendera Merah Putih itu kembali diusung dan dimasukkan ke mobil jenazah dan dibawa ke kom-pleks pemakaman.

Presiden SBY memimpin upacara pemakaman. ”Atas nama negara, dengan ini mempersembahkan ke persada Ibu Pertiwi, jiwa raga dan jasa almarhum KH Abdurrahman Wahid. Jabatan, Presiden RI keempat. Putra dari KH Wachid Hasyim,” kata SBY dalam pidato pemakaman kenegaraan. “Beliau berjuang tanpa pamrih kepada bangsa dan negara ini, utamanya ketika menjadi pemimpin organisasi keagamaan terbesar, Nahdlatul Ulama,” lanjut Presiden.

Sementara itu KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) yang mewakili pihak keluarga meminta maaf atas segala khilaf yang pernah diperbuat kakak kandungnya itu selama hidupnya. “Perhatian yang diberikan semua pihak terhadap Gus Dur, baik selama hidupnya maupun pada saat beliau wafat, kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih,” katanya sambil menahan isak tangis yang menghentikan pidatonya itu selama beberapa saat.

Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah Gus Dur diperiksa terlebih dahulu oleh KH Maimun Zubair. Tembakan salvo ke udara dilontarkan dari senapan 10 personel Kopassus beriringan dengan takbir untuk mengantarkan jasad Gus Dur ke dalam liang lahat. Putra menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, membuka tali kafan, memberikan bantal tanah, sekaligus mengumandangkan adzan sebelum jenazah diberi papan telisik. Sebelum menurunkan tanah pertama kali ke liang lahat, Presiden SBY terlebih dulu menghormat kepada jenazah dengan sikap sempurna, lalu mengayunkan skropnya secara perlahan. Prosesi talqin dilakukan oleh KH Maimun Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang.

Gus Dur dimakamkan di pemakaman keluarga yang berada di dalam kompleks Pesantren Tebuireng. Makam mantan Ketua Dewan Syura DPP PKB itu berada di sebelah utara makam KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebuireng, yang tak lain adalah kakek Gus Dur. Bergandengan dengan makam KH Hasyim Asy’ari adalah makam Nyai Nafidoh, istri Hadratussyeikh. Di tempat tersebut juga dimakamkan ayah Gus Dur, KH A Wachid Hasyim, menteri agama pertama. Juga ada makam KH Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, yang selama hidupnya berbeda pandangan dengan sang keponakan.

Pada masa-masa awal usai pemakaman, gundukan tanah di kubur Gus Dur selalu berkurang, karena banyak diambil orang untuk “jimat” dan pengobatan. Sampai akhirnya, untuk mengamankan akidah dari kesyirikan sekaligus mengamankan makam sang ulama, IPS NU Pagar Nusa menjaganya siang malam. Tidak hanya itu, mereka juga membuat pagar dari tali rafia sebagai batas, agar tidak ada lagi orang mendekat. Tak lupa, di beberapa sudut pemakaman ditulisi larangan mengambil segala sesuatu dari lokasi makam.

Sosok Penuh Kontroversi

Gus Dur lahir pada tanggal bulan Sya’ban di Denanyar Jombang, bertepatan dengan 7 September 1940, dari pasangan KH A Wachid Hasyim dan Ny Hj Solichah. Nama kecilnya Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti sang penakluk, merujuk pada nama tokoh Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Kakek dari ayah adalah KH Hasyim Asyari, sementara kakek dari pihak ibu KH Bisri Syansuri, keduanya tokoh besar NU. Ayah Gus Dur, KH Wachid Hasyim, adalah Menteri Agama tahun 1949. Namanya juga Gus Dur, ia secara terbuka pernah menyatakan bahwa dirinya memiliki darah Tionghoa, berasal dari marga Tan.

Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Selanjutnya secara berturut-turut terpilih kembali dalam muktamar di Krapyak, Jogjakarta (1989) dan Cipasung, Tasikmalaya (1994). Saat jatuhnya Orde Baru yang diiringi dengan munculnya banyak partai, Gus Dur bersama sejumlah kiai mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Dalam pandangan Gus Sholah, puncak prestasi NU adalah ketika Gus Dur mendapatkan kepercayaan sebagai Presiden RI keempat. Namun kursi kehormatan itu tidak bertahan lama karena pada tanggal 23 Juli 2001, MPR yang dipimpin Amien Rais memakzulkannya.

Sosok Gus Dur memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Saat menjabat presiden misalnya, ia mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Itu artinya paham komunisme yang diwakili oleh PKI diperbolehkan hidup kembali. Tidak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan, asal berada di bawah bendera Indonesia. Ia juga terlibat dalam Yayasan Shimon Peres, padahal Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan hati bangsa Indonesia terluka cukup dalam atas ulah bangsa Israel menindas bangsa Palestina.

Peraih Ramon Magsaysay award (penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori pemimpin komunitas) memang dikenal sebagai penganut aliran pluralis. Ia selalu dekat dan rajin membela kalangan minoritas yang merasa diperlakukan tidak adil. Bagi Gus Dur, kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman dan demokrasi di Indonesia harus terus menjadi hak mendasar bagi manusia. Tidak heran kalau kemudian dia getol membela Ahma-diyah, kontra RUU antipornografi dan pornoaksi, mengusulkan Konghucu sebagai agama resmi negara, dlsb.

Gus Dur memang Gus Dur, sosok yang serba unik dan suka nyentrik. Presiden forum dialog antarumat beragama dunia itu bisa berkawan dengan siapa saja. Bahkan dalam salah satu pernyataannya, berkawan dengan setan pun tidak ada masalah. Wajar kalau banyak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. “Ka-rena selama hidupnya banyak berkawan dengan rakyat kecil, jangan heran bila makamnya juga tak sepi dikunjungi peziarah sampai sekarang,” kata Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Wakil Gubernur Jawa Timur, yang juga masih kerabatnya.

Kepergian Gus Dur adalah duka bagi semua. Terlebih bagi mereka yang suka humor. Tak akan lagi terdengar suara ceplas-ceplos yang kadang kasar tapi lucu. Tak akan tampak lagi seorang presiden yang tertidur di tempat kehormatan dalam forum resmi kenegaraan. NU dan bangsa Indonesia merasa kehilangan sosok pemimpin yang dicintai sangat dalam oleh rakyat dan umatnya. Seorang tokoh yang hebat. Bukan malaikat yang selalu benar tak pernah salah, bukan pula setan yang selalu salah tak penah benar. Gus Dur adalah Gus Dur, sosok yang serba kontroversi. Bahkan tanggal kelahirannya pun tetap menjadi kontroversi hingga kini. Selamat jalan, Gus.....

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'OBITUARI'

Pecinta Ilmu Yang Rendah Hati


KH Abdul Karim, Pendiri Pondok Lirboyo

Pertama kali menetap di Desa Lirboyo, ia langsung melantunkan adzan. Aneh, selepas itu, semalaman penduduk desa tak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang.

NAMA kiai ini KH Abdul Karim. Ia adalah pendatang dari Magelang yang kemudian diambil menantu Kiai Sholeh, Banjarmelati Kediri. Perpindahan Kiai Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang berharap dengan menetapnya Kiai Karim di Lirboyo akan menjadi tonggak penting syiar Islam di daerah itu. Gayung bersambut, kepala desa Lirboyo juga memohon kepada Kiai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Benar, selepas Kiai Karim melantunkan adzan, Desa Lirboyo bebas dedemit. Dan, tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, Kiai Karim mendirikan surau mungil nan sederhana. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1910.

Secara garis besar Kiai Karim adalah pribadi yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia juga gemar mela-kukan riyadlah mengolah jiwa alias tirakat. Kealimannya juga mulai terdengar ke luar daerah. Adalah bocah bernama Umar asal Madiun, yang menjadi santri pertama yang menimba ilmu dari Kiai Karim. Kedatangannya disambut baik oleh shahibul bait, karena kedatangan musafir itu untuk menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kiai.

Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal Kiai Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernama Syamsuddin dan Maulana, yang sama-sama berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari Kiai Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes disambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman. Di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan jahil. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin dibanjiri santri. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuk-lah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Karena jumlah santri semakin membludak, dan musalla kecil tak lagi representatif, maka timbullah gagasan dari Kiai Karim untuk mendirikan masjid. Semula masjid itu amat sederhana, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika masjid sederhana itu porak poranda disapu angin puting beliung. Akhirnya, KH Muhammad, kakak ipar Kiai Karim, berinisiatif membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Setelah bermusyawarah dan meminta izin pada KH Ma’ruf Kedunglo Kediri, dalam tempo peng-garapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi. Dinding serta lantainya terbuat dari batu merah, gaya bangunannya bergaya klasik, yang merupakan perpaduan model arsitektur Jawa kuno dengan Timur Tengah. Peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri Kiai Karim yang kedua, Salamah dengan KH Manshur Paculgowang Jombang.

Murid Kiai Kholil Bangkalan

Kiai Karim lahir pada 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diyangan Kawedanan Mertoyudan Magelang. Nama kecilnya adalah Manaf, putra ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manaf berusia 14 tahun, mulailah ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Daerah pertama yang dituju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas Karim meneruskan pengembaraannya di daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk. Di sini Karim menuntut ilmu kurang lebih selama 6 Tahun. Selanjutnya pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono Nganjuk, untuk memper-dalam pengkajian ilmu al-Quran. Karena tetap haus ilmu, ia kemudian meneruskan pengembaraannya ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang ter-kenal dengan ilmu sharafnya. Tujuh tahun lamanya ia kerasan menuntut ilmu di pesantren ini. Periodenya selanjutnya diteruskan dengan nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro Surabaya. Era mondok yang paling berkesan adalah tatkala ia berguru pada ulama kharismatik yang menjadi guru para ulama Jawa dan Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan. Tak tanggung-tanggung, Karim berguru di pesantren ini selama 23 tahun! Tak heran jika dalam usia yang terus bertambah, ia masih belum tertarik membina rumah tangga.

Pada saat berusia 40 tahun, Karim, yang mulai dipanggil kiai, memilih meneruskan pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh sahabat karibnya semasa di Bangkalan, KH M Hasyim Asy’ari. Hingga pada suatu ketika Mbah Hasyim menjodohkan Kiai Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmlati Kediri. Akhirnya pada tahun 1328 H/ 1908 M, Kiai Karim menikah dengan Siti Khodijah Binti KH Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian Kiai karim bersama istri ter-cinta hijrah ke tempat baru, Lirboyo.

Sosok Kiai Karim dikenal sebagai sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan ke-adaan bagaimanapun. Hal ini terbukti tatkala menderita sakit, Kiai Karim masih saja istiqomah untuk mem-berikan pengajian dan memimpin shalat berjamaah, meski harus dipapah oleh para santri. Sebagai pengasuh ratusan santri, sikapnya yang kebapakan dan rendah hati, masih lekat diingatan para santri yang masih menangi zamannya.

Pernah, suatu ketika, ada pemuda yang berniat mondok di Lirboyo. Pakaiannya perlente sambil menen-teng koper, sebuah penanda kemewahan pada zaman itu. Di gerbang pondok, ia berpapasan dengan orang tua berpenampilan sederhana. Dengan seenaknya ia minta tolong pada orang tua itu untuk membawa-kan kopernya yang berat. “Antarkan aku ke ndalem Kiai Karim,” perintah-nya. Yang dimintai tolong segera mengiyakan. Setelah sampai di rumah kiai, orang tua itu meminta sang pemuda agar menunggu Kiai Karim barang sejenak. Alangkah terperanjatnya pemuda itu saat Kiai Karim muncul dari balik pintu ruang tengah, sebab orang tua yang ia suruh menenteng kopernya itu adalah Kiai Karim! Konon, saking malunya, pemuda perlente tersebut langsung mem-batalkan niatnya mondok di Lirboyo.

Mendung kedukaan menggelayut menaungi Lirboyo, saat Kiai Karim wafat pada 1954. Sepeninggal Kiai Karim, Ponpes Lirboyo dilanjutkan para menantunya, seperti KH Marzuqi Dahlan (adik KH Ihsan Dahlan Jampes, penulis Sirajut Thalibin), KH Mahrus Ali dan KH Jauhari. Adapun menantu yang lain, KH Abdullah mengasuh pesantren Turus Gurah Kediri, KH Manshur Anwar mengasuh pesantren Tarbiyatun Nasyiin Pacolgowang Jom-bang, sedangkan KH. Zaini mengasuh pesantren Krapyak Yogyakarta.

Sekarang, pesantren yang menapak usia seabad ini dihuni sekitar 10 ribu santri. Diasuh secara kolektif oleh para cucu Kiai Karim, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya Mahrus, KH Habibullah Zaini, dll.

* Dimuat di Majalah AULA edisi Pebruari 2010 dalam rubrik 'USWAH'

Penghentian Kehamilan Dalam Konteks Kesehatan Reproduksi (Tinjauan Sudut Pandang Agama)

September silam, Undang-Undang Kesehatan telah disahkan. Salah satu isi UU No. 36 Tahun 2009 ini adalah legalisasi aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana hukum aborsi atau penghentian kehamilan dalam persepektif agama? Simak ulasan Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim Drs H Hasjim Abbas, M.Hi

Pendahuluan

Beragam pandangan merespon tindakan yang bertujuan mengatur jarak kelahiran anak, upaya membatasi jumlah anak, mencegah terjadi kehamilan sama sekali, hingga tindakan menghalangi proses lanjut kehamilan (menghentikan kehamilan) dan terjadi terminasi hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan sesuai masa kehamilan lengkap dan bersifat alami. Polemik akan terus bergulir dipengaruhi oleh faktor hetero-genitas budaya, pandangan hidup, rujukan faham keagamaan dan landasan teori keilmuan sains. Wajar berkembang kontroversi persepsi terkait provokasi persalinan/kelahiran tak wajar yang dipaksakan.
Berbeda dengan tindakan ‘azel (coitus erectus) guna mencegah akar kehamilan lewat penggagalan konsepsi, termasuk ‘azel berindikasi ghilah agar produksi ASI tidak ter-ganggu oleh kehamilan berikutnya hingga usia baby mencapai dua tahun. Tindakan tersebut sepanjang disetujui oleh isteri boleh (mubah) dilakukan. Demikian pula praktek wa’du, yakni menghilangkan nyawa bayi yang terlahir hidup. Praktek wa’du tersebut yang membudaya pada komunitas Arab periode sebelum datang agama Islam (Jahiliyah) disorot oleh QS. al-Takwir: 8-9 sebagai pembunuhan yang tak beralasan (biadab). Untuk kedua tindakan itu telah diatur dalam hukum syari’at melalui nash (rumusan hukum tertulis), berikut sanksi moral keagamaan.
Pengaturan penghentian kehamilan melalui legislasi (perundang-undangan) agaknya disemangati oleh konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi tersebut berintikan hak perempuan sama dengan laki-laki dalam memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak. Regulasi dari pengaturan tersebut pasti mengundang reaksi penolakan karena tidak mempertimbangkan aspirasi hukum Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Kesan spontan pengaturan tersebut berorientasi pada watak individualisme dan bebas nilai dari negara-negara penggagas konvensi itu. World Health Organization (WHO) pantas dipersalahkan telah merelatifisasi alasan kesehatan mental emosional dan sosial terkait aborsi.
Tema aborsi sebagai fenomena sosial kemasyarakatan seharusnya disikapi dengan kearifan lokal. Menurut Prof. DR. Muladi (guru besar hukum pada Universitas Diponegoro) yang penting tidak melanggar norma agama.2 Bila substansi konvensi tersebut masih bermasalah di dalam negeri Indonesia, masih terbuka pengajuan keberatan, usul reservasi atau penundaan ratifikasi.

Konsep Hak Asasi Islam Terkait Aborsi

Keputusan melakukan aborsi atas gagasan pelaku wanita berstatus layang, janda atau isteri bila dipandang sebagai hak asasi pribadi bersangkutan dan dapat diputuskan secara bebas dan bertanggung-jawab, berarti telah mengindikasikan klaim hak dasar sepihak. Perkawinan, berkeluarga dan berketurunan (reproduksi) selama ini telah memasuki ranah deprivatisasi dengan berbagai norma hukum yang me-ngatur kelembagaannya.
Dalam pandangan hukum Islam tindakan aborsi atau dengan ungkapan penghalusan “penghentian kehamilan” setidaknya membenturkan hak asasi janin, hak suami, hak para kerabat dan hak masyarakat. Berikut dicoba uraikan akumulasi hak-hak asasi tersebut:

a) Hak asasi janin: Setiap janin berhak atas hidup berikut hak perlindungan untuk hidup. Hak asasi tersebut terkait jatidiri janin sebagai manusia (bani Adam) sebagai pengejawantahan martabat karamah insaniyah yang tersurat pada penegasan QS. al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautran, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.”
Berkat karamah insaniyah tersebut janin secara individual berpotensi siap mengemban mandat khilafah di atas permukaan bumi. Menghentikan kehamilan berakibat kematian yang dipaksakan. Perlakuan tersebut bertentangan dengan theologi keimanan, karena hak mengakhiri kehidupan makhluk merupakan wewenang Allah semata. Tidak kurang dari 26 unit ayat Al-Qur’an mengeksplisitkan dogma tersebut, utamanya QS. al-Furqan ayat 3: “....dan mereka tak kuasa mematikan, menghidupkan.... “
Demikian pula QS. al-Najm ayat 44: “Dan Dia-lah sesungguhnya yang mematikan dan menghidupkan”
Tindakan menghentikan kehamilan identik dengan menderivasi program penciptaan oleh Allah “falayughayyirunna khalqallah” (QS. al-Nisa’:119).
Hak atas hidup dan hak memperoleh perlindungan untuk hidup bagi janin telah memperoleh pe-ngakuan konsensus (ijmak) pakar hukum Islam lintas mazhab melalui landas pemikiran di balik perintah menunda pelaksanaan hukuman mati bagi seorang wanita hamil sampai ia melahirkan. Rasiologis penundaan adalah agar bayi dalam kandungan harus beroleh hak hidup sebagai hak asasinya, karena ia bukan subyek hukum yang harus ikut bertangung jawab atas perilaku ibunya. Konsensus fuqaha tersebut sejalan dengan konvensi internasional “Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil.” Konsensus dari kedua komunitas berbeda tersebut mengimplisitkan deprivatisasi aborsi atau penghentian kehamilan, bukan lagi merupakan hak asasi perempuan yang bebas dan bertanggung jawab secara mandiri.

b) Hak asasi suami: hak asasi versi hukum Islam adalah hak bagi se-orang suami terkait tujuan dasar pensyari’atan perkawinan, antara lain hak memperoleh keturunan biologis sekaligus genealogis (penetapan ikatan nasab). Perempuan sebagai isteri terikat kewajiban kekeluargaan yang merupakan hak suami. Seperti digariskan dalam penegasan QS. al-Baqarah 228: “... dan para wanita mem-punyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf....”
Kriteria ma’ruf terkait hak menerapkan standar hukum agama, hukum kebiasaan dan kepribadian yang luhur.

c) Hak asasi kerabat dan hak asasi masyarakat: merefleksikan implikasi moralitas, yakni beban moral membangun citra kepatuhan kepada norma syari’at, termasuk di dalamnya “kontrak warga sipil sebagai mu’minah”. Kontrak seorang perempuan untuk tidak melakukan tindakan aborsi atau penghentian kehamilan terumuskan dalam QS. al-Mumtahanah 12: “wala yaqtulna awladahunna...” (... dan tidak akan membunuh anak-anaknya...).
Atas penggal kalimat tersebut beredar penafsiran kontekstual antara lain: pantang membunuh mati bayi pasca dilahirkan hidup, pantang memungut anak orang lain diikuti dengan pengakuan tak jujur bahwa anak tersebut adalah anak kandung suami pasangan hidupnya, dan pantang menggugurkan bayi dari rahim.
Hak asasi masyarakat terkait implikasi moralitas warga dapat dikembangkan dengan konsep hukum qasamah. Elaborasi hukum qasamah berangkat dari korban pembunuhan di lokasi tertentu yang tak kunjung terkuak siapakah tersangka pelaku pembunuhan tersebut. Warga setempat berpeluang menolak tuduhan pembunuhan dengan upaya sumpah kolektif melibatkan 50 pria dewasa bahwa tidak satupun dari mereka sebagai pembunuh korban tersebut. Sumpah kolektif ditindaklanjuti dengan pembayaran dam (denda pembunuhan) yang dipikul secara bersama oleh 50 warga TKP dan diserahkan kepada ahli waris korban.
Dalam tinjauan hukum Islam benturan hak asasi terkait tindakan aborsi bukan dikorelasikan dengan kejahatan pembunuhan, atau diorientasikan pada kejahatan kesusilaan seperti pada KUHP yang berlaku, melainkan diidentifisir sebagai tindakan “ijhadh ijtima’i“ (mengeluarkan paksa janin sebelum melewati bulan keempat usia kehamilan secara kolektif/melibatkan jasa orang lain) atau diidentifikasi sebagai “isqath ikhtiyari” (pengguguran bayi atas kehendak pribadi wanita pada usia kandungan melewati bulan keempat hingga ketujuh).
Kategori aborsi provocatus menurut hukum Islam sebagai pembunuhan serupa sengaja (syibih al-‘amdi) atau tidak sengaja. An-caman pidananya tak sampai ke level qishash (hukum mati), melainkan sebatas denda pidana seharga gharrah + sepersepuluh denda pembunuhan tak sengaja pada wanita/ibu tersebut.

Fase Pertumbuhan Janin Terkait Aborsi

Konsep keberadaan janin sesuai QS. al-Najm 32: “wa idz antum ajin-natan fi buthuni ummahatikum” (dan Tuhan Maha Tahu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu). Konsep ayat tersebut membentuk terminologi “janin” dalam hukum Islam sebagai: organ yang dapat dilepaskan oleh seorang wanita dan secara pasti diketahui berasal dari rongga rahim/uterus. Kehidupan organ tersebut menempel pada rahim yang merupakan bagian dari struktur anatomi perut manusia perempuan.
Tahapan pembentukan janin melalui fase nuthfah, fase ‘alaqah, fase mudhghah, dan fase kelahiran. Rangkaian proses tersebut lewat pembelahan sel, pembentukan embrio dan pertumbuhannya sebagai makhluk yang serba baru berasal dari bahan-bahan homogen. Di kalangan ahli kedokteran disebut proses epigenesis. Rincian fase dan tahapan terjabarkan pada QS. al-Mu’minun 12-14.
Fase terjadi implantasi blastotis pada rahim ibu (nidasi) menurut Sayid Quthub disebut tahap “alaqah” kurang lebih 14 hari pasca berakhir menstruasi. Fase tersebut oleh Imam al-Ghazali diilustrasikan sebagai momentum ijab-qabul (transaksi penawaran dan penerimaan obyek jual-beli). Sekira dikehendaki tindakan aborsi sebelum itu (pra implantasi) maka tidak berdampak menodai aqad. Bila proses pembuahan telah berlangsung, maka penghentian kehamilan menimbulkan konsekuensi merusak alur persiapan kehidupan.
Fase janin memasuki pembentukan ‘alaqah oleh sebagian ulama fiqih dianalogkan setara dengan telur burung. Calon jamaah haji atau umrah yang dengan sadar men-jadikan telur itu pecah saat terikat kondisi ihram, maka yang bersangkutan terkena denda (dam isa’ah) bersedekah seharga seekor burung betina yang melahirkan telur tersebut. Logika analogi tersebut mendasari pandangan hukum bahwa tindakan aborsi/penghentian kehamilan saat janin berada di fase ‘alaqah terkena denda pidana dan tindakan tersebut berstrata mematikan sesuatu yang potensi kehidupannya harus dilindungi. Status makruh tahrim layak dinisbahkan pada tindakan aborsi tersebut, karena proses implantasi merepre-sentasikan sel hidup.
Fase pertumbuhan janin yang dipandang sebagai periode kritis oleh seluruh ahli hukum Islam adalah tahapan ditiupkan roh. Tak ada kepastian waktu kapan fase relatif terjadi, perkiraan sementara pada usia 120 hari/20 minggu usia kehamilan. Peniupan roh pada janin merupakan starting point masa depan bayi itu dipandang sebagai subyek yang akan ikut mengalami kebangkitan di hari kiamat, karena padanya berlaku tingkat kecakapan menerima hak (ahliyyah al-wujub) betapa berada pada strata tidak sempurna. Penegasan QS. al-Takwir 7-8: “Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh, dan apa-bila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh.”
Penghentian kehamilan pada fase peniupan roh, dipandang sebagai kejahatan dan haram hukum melakukannya. Pembatasan limit waktu 120 hari dikemukakan oleh al-Ramli (Syafi’iyah), Syeikh Tanthawi (Universitas al-Azhar Kairo), demikian pula MUI melalui Fatwa Munas VI tahun 2000. Pengecualian pada fatwa tersebut sebatas alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa ibu. Data perkenan menghentikan kehamilan sesudah fase peniupan roh, yakni setelah lewat 120 hari usia kehamilan atas dasar untuk menyelamatkan kesehatan pernah difatwakan oleh Syeikh Jadu al-Haq Ali Jadu al-Haq (guru besar Universitas al-Azhar) pada tahun 1991.
Kecenderungan memandang bayi yang melampaui fase peniupan roh (+ usia 120 hari kehamilan) seperti anak pada umumnya, terbaca pada elaborasi fiqih yang menganjurkan aqiqah meskipun terlahir dalam keadaan mati.

Indikasi Penghentian Kehamilan

Gejala keterkaitan tindakan peng-hentian kehamilan lazim diklasifikasi-kan indikasi medis dan indikasi non-medis. Ancaman jiwa ibu bila kehamilan berlanjut, ibu mengalami ke-lainan fisik (penyakit biomedis), janin didiagnosis mengalami cacat fisik akibat penyakit yang diturunkan secara genetik, kekhawatiran bayi dalam rahim terinfeksi penyakit menular dari ibu atau bapak, janin didiagnosis menderita syndroma down, ibu terjangkiti penyakit rubella, lazim diklasifikasi indikasi medis.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan, seperti kehamilan perempuan PSK (zina), hamil karena diperkosa, kehamilan yang status pernikahannya segera difasakh/dibatalkan dan sejenisnya diklasifikasikan indikasi non-medis karena lebih dekat pada indikasi psikis/depresi mental. Termasuk indikasi non-medis adalah kegagalan kontrasepsi, bayang-bayang kesulitan hidup secara ekonomis, hasil hubungan sedarah (incest) dan lain sebagainya.
Disiplin hukum Islam menyeder-hanakan klasifikasi indikasi penghentian kehamilan ke dalam 2 (dua) kategori: indikasi hajat dan indikasi dharurat. Perawatan (terapi) kesehatan setara hajat, sebaiknya meng-hindar dari aborsi. Demikian pula indikasi non-medis lainnya, karena secara fisik tak terdapat gejala penyakit, melainkan sehat jasmani.
Bila deteksi medis diperoleh diagnosis ancaman kematian ibu bila tidak segera dihentikan kehamilannya, serta dokter spesialis menganjurkan dan tak ada alternatif solusi lain, maka kondisi dharurat serupa itu menjadi dasar dilakukan tindakan aborsi. Kon-disi serupa analog dengan keberadaan anak-anak dan wanita muslimah yang diposisikan sebagai pagar berlindung orang-orang kafir dari serangan tentara Islam. Dalam kondisi terpaksa sekali anak-anak atau wanita sipil yang muslimah dikorbankan. Dalam kondisi dharurat sekalipun tindakan menghentikan kehamilan harus menem-puh upaya selektif, tidak melanggar norma syari’at dan terjamin aman. Penghentian dengan cara tubectomi (wanita) dan vasectomi (pria) tidak boleh dilakukan karena berakibat kemandulan permanen.

Indikasi Hamil Di Luar Nikah

Kehamilan di luar nikah merupakan hasil reproduksi didahului oleh praktek hubungan zina. Gejala tersebut tergolong penyimpangan perilaku seksual yang diharamkan oleh Islam dan berdampak luas terhadap lembaga perkawinan. Penghentian kehamilan yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah dan tidak bernilai emergensi. Prof. Dr. Muh. Said Ramadhan al-Buthiy melarang aborsi dalam kasus kehamilan yang tidak sah, termasuk akibat perzinaan. Menurut beliau aborsi hanya boleh dilakukan bagi isteri yang sah dalam sebuah keluarga karena indikasi medis.
Strategi pengharaman abortus berindikasi perzinaan bersumber dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap seorang wanita dari suku Ghamid/Azd yang tengah mengandung bayi dan mengakui kehamilan itu karena zina. Wanita tersebut dibiarkan hidup hingga janin yang dikandungnya lahir serta telah ada pihak yang siap mengoper perawatan selanjutnya. Selepas itu baru dilakukan eksekusi rajam.
Berbeda halnya pada wanita muda yang diperkosa dan kemudian hamil. Di sana terhimpun indikasi sosial psikologis dan indikasi medis. Tindakan penghentian kehamilan terutama pada usia kehamilan di bawah 40 hari pasca perkosaan bisa merujuk kepada fatwa:
a) Mufti Bosnia membolehkan aborsi bagi wanita yang hamil karena perkosaan saat perang;
b) Sayid Thanthawi pada Konferensi Kairo 1977 membolehkan aborsi akibat perkosaan pada usia kehamilan empat bulan pertama;
c) Pemerintah Sudan mentolerir aborsi bagi korban perkosaan.

Rangkuman

1) Penghentian kehamilan (terminasi hasil konsepsi) dari sudut pandang agama Islam tergolong masalah ijtihadiah (pemikiran kreatif) karena tidak tersedia petunjuk nash syar’i yang jelas. Penghentian kehamilan berada pada wilayah vacum hukum antara ‘azel (coitus erectus) dan al-wa’du (pembunuhan bayi pasca lahir hidup);

2) Terminologi abortus atau peghentian kehamilan dalam literatur hukum Islam (fiqih) beragam antara: ijhadh (pengguguran kandungan usia –4 bulan), karena melibatkan jasa orang lain diikat dengan ijtima’i, isqath ikhtiyariy (mengeluarkan janin pada usia 4–7 bulan kandungan atas prakarsa sendiri), ilqa (mem-buang keluar), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan janin dalam kondisi tak bernyawa). Kesatuan unsur materiil tindakan terletak pada:
(a) tindakan sengaja dengan tujuan mengo-songkan rahim dari janin;
(b) dilakukan sebelum akhir dari masa alamiah kehamilan;
(c) organ yang dikeluarkan semula berada dalam rahim;

3) Hukum Islam mengklasifikasi indikasi dengan ‘udzur syar’i dan ‘udzur ghairu syar’i, berkadar hajat atau dharurah;

4) Tindakan penghentian kehamilan mempertentangkan hak asasi janin, hak asasi suami, hak asasi kerabat, hak asasi masyarakat dan hak asasi perempuan yang hamil;

5) Tindakan aborsi tidak bersifat emergensi dan lebih cenderung simpomatik terkait kehamilan yang tidak diinginkan, berindikasi non-medis. Perlu diupayakan tindakan yang berpotensi saddu al-dzari’ah, menyelesaikan masalah sejak dari kausalitasnya, bukan sebatas mengatasi gejala dan akibat semata;

6) Penghentian kehamilan pada dasarnya terlarang (haram) kecuali dihadapkan pada kondisi dharurat dan berindikasi medis. Teknik penghentian tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, seperti berakibat kemandulan tetap (vasec-tomi dan tubectomi) dan harus terjamin dari ancaman resiko fatal, seperti kematian atau kecacatan permanen.q

* Makalah disajikan pada Seminar Hukum Kesehatan, bertema “Pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi dan Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan yang Baru ditinjau dari Sudut Pandang Agama” oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanggal 24 Nopember 2009 di Surabaya, dan dimuat di Majalah Aula edisi Januari 2010 dalam Rubrik Dirasah.