Jumat, 04 Januari 2013

Aula Januari 2013

Membidik Sang Tokoh Utama


Nama mendiang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali banyak diperbincangkan. Bukan dengan pujian, tapi penistaan. Setelah kasus pelecehan oleh politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dianggap selesai, muncul penistaan dalam bentuk yang lain. Kali ini melalui Lembar Kerja Siswa (LKS). Dampak serangan yang satu ini malah jauh lebih berbahaya. Sengaja?
Awal bulan Desember lalu banyak warga NU melakukan demo di beberapa tempat. Yah, itu karena mendiang Gus Dur, tokoh panutan mereka, dilecehkan begitu saja di banyak sekolah melalui LKS. LKS bernuansa merendahkan martabat seorang mantan presiden itu ditemukan di banyak tempat, seperti Tasikmalaya, Sukabumi, Gresik, Tulungagung, Jombang, dlsb. Di kota-kota itulah massa pemuda NU pecinta Gus Dur langsung bergolak melakukan protes keras. Kebanyakan mereka mendemo kantor dinas pendidikan, kantor kementrian agama atau kantor Pemkab setempat. Mereka menuntut agar LKS itu ditarik, diusut dan pelakunya diberikan sanksi yang tegas.
Beberapa LKS dari penerbitan yang berbeda memang terkesan berlebihan menuduh Gus Dur terlibat korupsi. Sebut saja LKS terbitan CV Hayati Tumbuh Subur terbitan Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Tuduhan Gus Dur terlibat skandal Bruneigate dan Buloggate terdapat di halaman 35. Fitnah di lembar LKS Sejarah yang terlanjur beredar di kalangan pelajar itu diulangi lagi pada soal tanya jawab di halaman 40, tepatnya pada soal nomor 9 dan 15. Pada soal multiple choice pada LKS yang diperuntukkan pelajar SMA dan MA kelas XII itu berbunyi: “Kasus korupsi yang menimpa Abdurahman Wahid sehingga dipecat dari kursi kepresidenan yaitu ...” kemudian di bawahnya terdapat pilihan jawaban Pertaminagate, Buloggate, Pelnigate, Garudagate dan Presidentgate. Subhanallah! Sebuah penggiringan yang sempurna. Di LKS yang lain ditulis dengan bahasa yang lain dan bentuk soal yang lain pula.
Terlepas dari gaya bahasa dan penerbit yang berbeda, ada indikasi kuat para pembuat soal adalah orang yang sama atau orang yang bekerjasama. Tanda-tanda itu dapat dibaca dari adanya kemiripan soal, waktu ditemukan yang hampir bersamaan, dan kelas yang dituju juga sama pula. Namun sayang, hingga kini jaringan mereka belum terbongkar oleh Diknas, Kemenag maupun aparat kepolisian.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Dr Nur Syam, mensinyalir ada tiga kemungkinan motif di balik pembuatan LKS tersebut. Pertama, ketidaksengajaan. Bisa jadi penulis tidak sengaja membuat soal yang dapat memicu masalah tersebut. Kedua, sengaja, tapi menganggap hal itu bukan masalah. Penulis merasa tidak bersalah, sebab dia menganggap soal yang disampaikan tersebut merupakan fakta yang memang sudah diketahui oleh publik. Ketiga, memang ada muatan politis. Namun, menurut mantan Rektor IAIN Sunan Ampel itu, apapun motif yang menyertai, dalam kasus pelecehan terhadap Gus Dur ini, penulis soal lalai pada unsur ideologis. Sosok Gus Dur merupakan tokoh terhormat yang memiliki banyak pengikut yang merasa terikat dengan sang tokoh. “Seharusnya,” kata tokoh asal Merakurak Tuban itu, “Penulis memperhitungkan bukan hanya soal aspek fakta, namun juga muatan politis dan ideologis tersebut,” jelasnya.


Beda Sutan dan LKS
Sama-sama melecehkan nama besar KH Abdurrahman Wahid, namun antara Sutan Bhatoegana dan LKS memiliki bobot yang berbeda. Bisa jadi Sutan mengucapkan kalimat yang melecehkan Gus Dur itu bersifat spontan, akibat terpancing oleh omongan Adhi Massardi yang terlebih dulu menyebut rezim Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh panutan Sutan, melindungi para koruptor. Pun demikian, ketika tekanan masyarakat pencinta Gus Dur semakin kuat, politisi asal Pematangsiantar yang terkenal dengan kengototan dan mendeliknya itu akhirnya bersedia meminta maaf kepada keluarga Gus Dur.
Lain halnya dengan LKS. Untuk dikatakan tidak ada kesengajaan rasanya tidak masuk akal. Sebab penulisan soal yang berkaitan dengan dunia pendidikan tentulah sudah direncanakan dalam waktu lama, dianggarkan dan ada lembaga yang memverifikasi. Kesempatan untuk melakukan koreksi masih terbuka lebar, mengingat LKS dalam bentuk tertulis di atas kertas. “Saya yakin, ada skenario besar yang sedang menggarap pembelokan sejarah nasional, menjelekkan citra Gus Dur, para ulama dan kaum nahdliyin,” kata Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, H Alfa Isnaeni. Untuk itulah anak-anak muda Ansor dan Banser langsung turun ke jalan meluruskan pembelokan sejarah bangsa tersebut saat mereka mengetahui hal itu. “Kalau hanya dibalas dengan tulisan, nggak dengar mereka itu. Makanya harus kita lawan,” lanjut Alfa dengan nada tinggi.
Terlepas dari motif Sutan Bhatoegana dan penulis soal yang melecehkan nama Gus Dur, Yenny Wahid, salah seorang putri Gus Dur, mengaku dapat memetik hikmah dari peristiwa itu. Yenny jadi mengerti, rupanya masih ada orang salah paham, selama ini Gus Dur lengser dianggap karena kasus korupsi. “Nah, dengan peristiwa itu, ada moment untuk meluruskan sejarah, meluruskan pemahaman yang salah kaprah di sebagian orang, terutama generasi muda,” jelasnya.
Disinggung tentang dampak buruk, istri anggota DPR RI dari Partai Gerindra Dhohir Farisi itu mengaku dampak LKS jauh lebih berat diban-ding ocehan Sutan. “Terus terang, beredarnya LKS yang membelokkan sejarah itu terasa sadis sekali. Mereka  meracuni pikiran bawah sadar generasi muda. Makanya harus ditarik dari peredaran,” tambah alumnus Harvard Kennedy School of Government yang kini menjabat Direktur Wahid Institute itu.

Pembelokan Sejarah Bangsa
Dapat dipastikan, penistaan nama Gus Dur dari buku-buku LKS bukanlah akibat kelalaian, tapi merupakan kesengajaan. Tujuannya untuk membelokkan sejarah dan meracuni pikiran generasi mendatang, seakan Gus Dur telah melakukan korupsi lalu diberhentikan dari kursi kepresidenan. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Jika memang Gus Dur turun karena korupsi, pastilah didahului dengan proses pengadilan hingga ia terbukti secara sah dan meyakinkan. Barulah keputusan MPR dibuat. Nyatanya, Gus Dur tidak pernah dibawa ke persidangan.
Yang benar, Gus Dur jatuh karena tidak mau kompromi dengan DPR, yang saat itu memang terlalu power full. Gus Dur juga terlalu kencang mengobrak-abrik birokrasi yang telah puluhan tahun menjadi sarang koruptor, sementara para penikmat korupsi yang telah mengurat dan mengakar itu telah bergabung menjadi lawan politiknya. Mereka bersekongkol untuk mengenyahkan siapa saja yang menghalangi mereka. Terbukti, kini setelah Gus Dur tidak ada, korupsi malah makin menjadi-jadi. Di sinilah semakin jelas, siapa sebenarnya perampok yang berteriak maling. Sengaja nama Gus Dur dijadikan sasaran, karena Gus Dur merupakan lambang nahdliyin. Ketika nama Gus Dur rusak, rusak pula nama kaum nahdliyin. Beruntung, langkah licik itu ketahuan sehingga kaum nahdliyin sekarang makin berhati-hati. (Mohammad Subhan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar