Kamis, 05 Agustus 2010

Fatayat dan Kepemimpinan Perempuan NU

Awal bulan ini, Fatayat NU menyelenggarakan Kongres di Jakarta. Sejarah panjang badan otonom ini telah menjadikan beberapa kadernya berkiprah di berbagai jabatan strategis. Hal ini memang sebagaimana diharapkan para pendirinya.

Usaha Tanpa Kenal Lelah

Latar belakang berdirinya Fatayat sebenarnya tak pernah lepas dari faktor pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak perempuan dan keagamaan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Namun demikian, selain menyangkut soal pendidikan, ketika itu juga untuk memberikan perhatian dengan menggalang kerja sama unsur-unsur kepemudaan Islam lain. Jika ada masalah, maka para aktifis bertemu di forum tersebut sebelum diselesaikan ke forum yang lebih besar. Forum-forum kepemudaan Islam ini pula yang menjadi embrio lain dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).  

Secara resmi, Fatayat NU didirikan pada tanggal 7 rajab 1369 yang bertepatan dengan 24 April 1950. Namun perintisannya sudah dimulai sejak tahun 1940 oleh tiga serangkai wanita; Murtasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik) dan Aminah Mansur (Sidoarjo).
Kiprah para pemudi NU yang terhimpun pada Fatayat NU sudah demikian besar. Pada tahun 1954, saat Muslimat membicarakan perkawinan di bawah umur dan pemberantasan buta huruf, banyak perempuan muda aktifis NU terlibat juga secara intensif. Ada pleno dimana Fatayat bergabung dengan rekan Muslimat. Kemajuan pemikiran yang muncul saat itu adalah adanya keputusan bahwa kalangan Fatayat dan Muslimat sudah harus diberi kesem-patan sebagai pemimpin publik dalam arti sesungguhnya. Bukan saja di intern, tapi di masyarakat secara luas. Karena itu, sudah muncul tuntutan agar kalangan Fatayat dan Muslimat juga berhak dicalonkan menjadi anggota legislatif. Pada tahun 1955, sudah ada wakil Muslimat yang duduk di DPR-RI, yakni Ibu Mach-mudah Mawardi dan Ibu Asmah Syahruni. Pada Muktamar NU tahun 1957, diputuskan secara resmi keterlibatan wanita NU di politik, meski pada Pemilu sebelumnya, yaitu tahun 1955, sudah ada anggota legislatif perempuan dari NU yang memperoleh 5 kursi dari fraksi NU, sedangkan di Konstituante, bertambah menjadi 9 orang, diantaranya Ibu Nihayah Bakry yang kemudian dikenal dengan Ibu Nihayah Maksum. Hal ini itu kian mentahbiskan bahwa perempuan sudah sangat maju.

Tahun 1962, pada Muktamar NU di Solo, muncul perdebatan boleh tidaknya aktifis perempuan menjadi kepala desa (Kades). Waktu itu ada anggota Fatayat NU yang akan mencalonkan diri sebagai Kades, tapi merasa tidak ada rujukan. Keputusannya ternyata NU memperbolehkan. Keputusan itu luar biasa maju, karena aktifis Fatayat disahkan untuk tampil di ruang publik.

Dalam kerangka mendobrak tradisi NU, ibu Ny Sholihah A Wahid Hasyim sempat menggugat penggunaan tirai tinggi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Waktu itu ibunda KH Abdurrahman Wahid ini berkata, “Saya nggak mau pakai tirai!”. Maka diaturlah pemisahan laki-laki dan perempuan masih tetap dengan tirai, tapi bukan dengan kain putih, melainkan dengan pot-pot pohon yang diatur rapi, berjajar ke belakang. Ada tirai, tapi di sela-sela daunnya kita masih dapat melihat ke bagian laki-laki.

Untunglah pemikiran dan geliat kesamaan perlakuan ini juga diimbangi dengan tauladan dari kiai berpengaruh. KH Bisri Syansuri, misalnya sudah mendirikan pesantren khusus untuk perempuan di Denanyar, Jombang, kendati kala itu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sempat menantang. Mbah Bisri (sapaan KH Bisri Syansuri) juga memberi banyak kelonggaran dalam hal pergaulan kepada puteri-puterinya. Longgar dalam pengertian boleh bertemu siapa saja, asal ditemani yang lebih tua. Hanya saja, Mbah Bisri sangat keras dalam menegakkan aturan agama.

Pengalaman Pasang-Surut

Pada masa awal kepengurusan di Fatayat, yang menjadi Ketua Umum (Ketum) adalah Muslimat, tapi yang menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dari Fatayat; seperti ex offisio. Dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan, Muslimat mendirikan sekolah, tapi guru-gurunya dari Fatayat. Hubungannya dulu seperti adik-kakak.

Semula Kongres Fatayat–Muslimat menyatu dengan Muktamar NU, tapi tahun 1967 di Surabaya, kongres mulai terpisah. Pertimbangannya, ketika NU membahas suatu persoalan, Muslimat dan Fatayat posisinya hanya sebagai “penggembira”. Wacana yang mengemuka kala itu adalah, lantas kapan perempuan NU dapat mengurusi dirinya sendiri? Tapi aneh-nya, sejak tahun 1967-1979 terjadi kevakuman di Fatayat dan Muslimat. Sebabnya, seperti diketahui, hampir seluruh anggota Muslimat-Fatayat adalah guru dan pegawai negeri; dan saat itu diberlakukan praktik monoloyalitas hanya kepada Golkar, dan banyak anggota Fatayat yang dihantui rasa ketakutan untuk menjadi pengurus.

Pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Kongres Muslimat-Fatayat digabung lagi. Perubahan terjadi di Fatayat NU. Sebagian besar PP Fatayat merasa sudah terlalu tua menjadi pengurus.

Perubahan drastis dimulai saat Fatayat dipimpin Ibu Mahfudhoh. Pada masa ke-pemimpinan beliau, Fatayat mempunyai program yang disebut: Kelangsungan Hidup Anak (KHI). Program itu sebenarnya punya Muslimat, Pembinaan Karang Balita, tapi kemudian diserahkan ke Fatayat dan diformulasikan dalam bentuk kerja sama dengan UNICEF dan DEPAG dalam bentuk KHI.

Arti Lambang:

1. Setangkai bunga melati, adalah lambing yang murni
2. Tegak di atas dua helai daun, berarti dalam setiap gerak langkahnya Fatayat tidak lepas dari pengawasan bapak dan ibu (NU dan Muslimat)
3. Di dalam sebuah bintang, berarti gerak langkah Fatayat selalu berlandaskan perintah Allah dan Sunnah Rasulullah.
4. Delapan bintang, berarti empat khalifah dan empat mazhab.
5. Dilingkari oleh tali persatuan, berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah waljamaah
6. Dilukiskan dengan warna putih di atas warna dasar hijau, berarti kesucian dan kebenaran.

Dasar Perjuangan

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, me-nyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)

Tujuan Fatayat NU

1. Terbentuknya pemudi atau wanita muda Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlahul karimah, bermoral, cakap bertanggungjawab, berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
2. Terwujudnya masyarakat yang berkeadilan gender.
3. Terwujudnya rasa kesetiaan ter-hadap asas, aqidah dan tujuan NU dalam menegakkan syariat Islam.

Visi, Misi, dan Isu Strategis

Visi: Penghapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis dan berkeadilan jender.

Misi: Membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender; Penguatan SDM; Human Resource Development, dan Pemberdayaan masyarakat.
Isu strategi: 1) Sistem Kaderisasi; 2) Sistem manajement organisasi; 3) Penguatan hak-hak perempuan dan penguatan ekonomi; 4) Sumber dana tetap.
Sasaran Program: 1) Masyarakat Umum; 2) Perempuan; 3) Usia 20 s/d 40 tahun. (AULA Juli 2010)

Selasa, 03 Agustus 2010

Pendidikan Pesantren Model Cina


Cina dengan segala kelebihan yang dimiliki, mampu memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja yang menyempatkan diri berkunjung ke sana. Banyak prestasi yang bisa diunduh dari negara tirai bambu ini. Berikut catatan rihlah yang dilakukan KH M Za’imuddin W As’ad (Wakil Rektor Unipdu Jombang) saat mengunjungi negara dengan penduduk terbesar di dunia ini kepada pembaca Aula.

Bersama pimpinan 29 PTS se Jawa Timur, saya mewakili UNIPDU (Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum) Jombang Jawa Timur berkesempatan mengunjungi Negara Cina selama seminggu. Kegiatan ini bertujuan untuk menyaksikan secara langsung dinamika pemerintah dan masyarakat di sana yang mampu bertahan bahkan menundukkan gempuran budaya Barat. Banyak pelajaran berharga dari proses diskusi dan komunikasi serta melihat dengan nyata dari serangkaian muhibbah tersebut. Berikut ini di antaranya yang dapat saya bagikan.

Guru TK di atas Dosen

Istilah full day school yang biasa menjadi nilai lebih sekolah-sekolah tertentu di tanah air, sebenarnya tidak dikenal di negeri tirai bambu itu. Karena semua proses belajar mengajar dimulai pukul 06.00 sampai 17.00. Pada jam-jam tersebut anda akan sulit menemukan anak usia sekolah berada di jalanan. Pemerintah di sana memberikan sanksi berat bagi anak yang bolos berikut orangtuanya lantaran diancam dengan hukuman denda sekaligus kurungan.

Di sana juga tidak ada istilah pulang pagi akibat gurunya rapat atau sedang melayat seperti di sini. Seluruh kalender akademik digariskan oleh kementrian pendidikan secara ketat dengan masa belajar dan musim liburan yang serentak sama. Dampak positif jam belajar yang cukup panjang di sekolah adalah terciptanya ketenangan orangtua dalam beraktivitas. Dengan demikian, mereka yang rata-rata bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 itu dapat lebih produktif kinerjanya.

Bila di negeri kita, sekolah gratis masih menjadi “jualan” kampanye pilkada, di Cina daratan seluruh biaya pendidikan dan buku mulai SD sampai SMP ditanggung pemerintah. Baru untuk tingkat SMA, orangtua harus menyediakan dana untuk belanja buku-buku yang telah ditentukan. Sementara di Macau (daerah otonomi khusus Cina), murid SMA-nya masih memperoleh uang buku kurang lebih 800 ribu rupiah setiap bulan.

Di pihak lain, kesejahteraan para guru dan dosen sangat terjamin. Hanya saja, dalam hal penghargaan pada pendidik, peme-rintah Cina memiliki pemikiran yang sangat kontradiktif dengan pola pikir para pemangku kebijakan di negeri kita. Karena di negeri sosialis tersebut, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditangani, semakin tinggi gaji pokoknya. Sebagai misal, dua pendidik masuk di tahun yang sama, yang pertama guru TK dan yang kedua dosen universitas, maka guru TK menerima gaji pokok 7 ribu yuan (Rp 10 jutaan), sedang sang dosen hanya menerima 3 ribu yuan.

Dari beberapa orang yang saya jumpai, kebijakan itu diambil karena pemerintah memandang betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar nilai etika maupun kebangsaan sedini mungkin. Mereka mengumpamakan manusia seperti batang pohon ketika masih muda yang dapat dibentuk dengan mudah sesuai selera, sehingga masa-masa selanjutnya hanya merupakan penegasan atau penguatan dari wujud yang sudah terbentuk itu. Pertimbangan lainnya, bahwa pada masa-masa tersebut seorang anak sedang membutuhkan pendampingan total. Maka seorang guru pada usia anak-anak dan remaja (ABG) harus memiliki kesabaran ekstra dan keteladanan khusus sehingga mampu menjadi orangtua sekaligus panutan bagi mereka. Tanpa itu, nilai ketaatan murid kepada guru, akan kehilangan makna. Kesabaran dan selalu menjaga kepatutan untuk diteladani itulah yang menjadikan gaji mereka lebih tinggi dari dosen.

Adapun untuk pendidikan lanjutan, universitas atau akademi, pemerintah memberi pendu-duk lokal subsidi 50 persen biaya pendidikan dari biaya seluruhnya yang dikenakan pada mahasiswa asing. Para pengajarnya dituntut untuk sesering mungkin melaku-kan penelitian agar gajinya me-ningkat sepadan atau melebihi gaji guru TK tadi. Dampaknya dari kebijakan ini sangat luar biasa. Mahasiswa di sana hampir tidak memiliki waktu luang, karena untuk satu mata kuliah saja, seorang dosen bisa mengajak penelitian lapangan sampai lebih dua kali. Mengingat penelitian bagai pupuk bagi ilmu penge-tahuan, maka bisa dibayangkan betapa pesat kemajuan ilmu di sana. Kalau boleh memban-dingkan, bagaimana dengan ma-hasiswa di negara kita? Saya tidak sampai hati menilai, lebih-lebih dalam hal pergaulan dan cara berpakaian.

Masyarakat Cina tidak mengenal istilah “muhrim” atau “aurat”. Tapi para mahasiswa di sana sangat menjaga jarak satu sama lain. Dalam hal busana, mahasis-winya berpakaian sangat brukut (tertutup) walau udaranya tidak begitu dingin. Ada anggapan, hanya orang yang kurang berpendidikanlah yang senang berpakaian terbuka.

Selama di Beijing maupun Senzen saya tidak menemukan mahasiswa berlainan jenis jalan bersama bergandengan sebagaimana di kampus-kampus kita. Di perpustakaan pun mereka me-ngelompok dengan sendirinya seolah ada sekat antara pria dan wanita. Mereka hindari pacaran karena selain tidak sesuai budaya, juga dinilai hanya membuang waktu dan uang sekaligus menghambat studi. Kalaupun saat ini kita melihat di televisi hal yang berbeda dari itu, ketahuilah bah-wa yang ditayangkan adalah gaya hidup remaja Hongkong yang sudah terinfiltrasi budaya Barat, bukan Cina “aslinya”.

Kota Santri

Dengan begitu besarnya tekad pemerintah Cina untuk menjadikan warganya sebagai sarjana berkualitas, maka seluruh mahasiswa harus tinggal di asrama kecuali yang tugas belajar dari instansi pemerintah atau mahasiswa luar negeri. Menariknya, di asrama itu diatur sedemikian rupa sehingga satu kamar yang biasanya terdiri dari dua belas orang (enam dipan susun) berasal dari suku yang berbeda. Dengan demikian para penghuni kamar bisa berdiskusi tentang adat budaya masing-masing sehingga menumbuhkan spirit saling memahami untuk memperkuat persatuan Cina yang sedikitnya terdiri dari 56 suku bangsa.
Menurut penjelasan A Liang (dosen Sastra Melayu Jinan University yang menjadi narasumber saya), pengasramaan itu dimaksudkan sebagai laboratorium bagi mahasiswa untuk mengenal betapa beragamnya karakter manusia yang kelak akan dihadapi di masyarakat sehingga diharapkan nanti mereka lebih sigap mengelola dan memimpin dengan sikap tasamuh (toleran).

Ketika mendengar penjelasan beberapa hal tersebut sambil keliling kampus, saya merasakan atmosfir pesantren yang sangat kuat bagai di kota santri di tanah air. Selain itu, tanpa disadari, di benak saya menerawang jauh ke masa Nabi Muhammad SAW. Jangan-jangan pola pendidikan yang sistemik, terstruktur dan penghormatan para murid yang tinggi pada guru di Cinalah yang melatarbelakangi disabdakannya anjuran (hadits) Nabi: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.
Ternyata, banyak hal yang bisa kita pelajari dari negara sarat prestasi ini. Wallahu’alam bish-shawab. (AULA Juli 2010)

Majalah AULA No. 08/XXXII Agustus 2010


Sahih Al-Bukhari, Benarkah Tidak Sahih Lagi?

Oleh: Alvian Iqbal Zahasfan

Agustus 2009 lalu situs Republika Online, http://www.republi ka.co.id/berita/68251/Prof_Dr_ Muhibbin_Hadis_Palsu_dan_Lemah_ dalam_Shahih_Bukhari(10/8/2009) menurunkan sebuah wawancara dengan Prof Dr Muhibbin MAg, guru besar dan pembantu Rektor I IAIN Walisongo, Semarang. Isinya mempersoalkan kitab Sahih al-Bukhari. Wawancara itu menarik untuk ditanggapi mengingat respon dari pembaca cukup beragam, dari yang Ilmiah sampai yang tak layak untuk dikunyah.

Sejarah ilmu hadis mencatat ada beberapa Huffadz atau ahli hadis yang mempersoalkan hadis-hadis yang termuat dalam Sahih al-Bukhari. Sebut saja misalnya Imam Abul Hasan ad-Daruquthni (385 H/995 M) dalam kitabnya at-Tatabbu’, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi (401 H), Abu Ali al-Ghassani (498 H/1104 M). Mereka banyak melemparkan kritik ilmiah kepada hadis-hadis al-Bukhari. Namun kritikan mereka pada empat abad berikutnya ditanggapi oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H/1449 M).

Jadi secara ilmiah, kajian pro kontra kesahihan hadis-hadis al-Bukhari sudah klasik dan telah banyak dijawab oleh ulama klasik. Oleh karena itu, seseorang yang mengkaji polemik ini hendaklah merujuk kepada sumber klasik juga. Setidaknya kitab Hadyus Sari (Muqaddimah Fathul Bari fi Syarhi Sahihil Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar mengulas panjang lebar tentang kitab Sahih al-Bukhari. Seperti latar belakang penyusunannya, penamaan, metodologi dan sebagainya. Ada sepuluh pasal di dalamnya. Diantaranya pasal kedelapan yang mengupas kritikan para ahli hadis (baca: kritikus hadis) terhadap Sahih al-Bukhari. Dan kritikan-kritikan itu diurai dengan apik oleh Imam Ibnu Hajar.

Adapun pendapat Prof. Dr. Muhibbin MAg. yang menyatakan dalam wawancaranya bahwa ditemukan hadis-hadis dhaif (lemah) bahkan hadis maudhu’ (palsu) di dalam Sahih al-Bukhari, menurut hemat penulis hal ini merupakan suatu kesimpulan yang tampak tergesa-gesa dan terkesan arogan.

Ada beberapa alasan yang dapat diajukan di sini. Pertama, perbedaan pendapat tentang kesahihan kitab Bukhari telah dijawab oleh pakar hadis kenamaan yakni Imam Ibnu Hajar al-Asqali dalam karyanya Hadyus Sari (pengantar kitab Fathul Bari).

Kedua, sekalipun pro kontra kesahihan hadis-hadis Bukhari terjadi di kalangan para ahli hadis, namun tidak dijumpai dari para pakar hadis yang diakui kapabilitas dan kre-dibilitasnya menyatakan bahwa ada hadis maudhu’ atau palsu dalam Sahih Bukhari. Paling jauh para kritikus hadis hanya menilai dhaif.

Dalam Hadyus Sari, Imam Ibnu Hajar menukil sebuah riwayat dari Imam Abu Ja’far al-Uqaili (322 H/934 M), ketika Imam Bukhari menyelesaikan kitabnya (Sahih Bukhari) ia menyodorkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan ulama ktirikus hadis lainnya, mereka menilainya sahih kecuali empat hadis.

Ketiga, Imam Ibnus Sholah (643 H/1245 M) dalam kitab Ulumul Hadis (Muqaddimah Ibnus Sholah) menukil ijma’ para ulama bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah kitab Sahih al-Bukhari.

Keempat, penamaan pribadi yang diberikan oleh Imam al-Bukhari terhadap kitab kumpulan hadisnya—yang kemudian terkenal atau disingkat oleh khalayak dengan Sahih (al)Bukhari—adalah al-Jami’ as-Sohih al-Musnad al-Mukhtashor min Hadisi Rasulillah shallahu alaihi wa sallam wa Sunnahi wa Ayyamihi.

Jika diamati dari penamaan ini, Imam al-Bukhari hendak menyatakan bahwa kitabnya berisi kumpulan hadis-hadis sahih. Secara tidak langsung ia juga mempertaruhkan tanggung jawabnya kepada Nabi saw dan umat Islam jika didapati menyantumkan hadis-hadis palsu yang kelak diamalkan umat tanpa melalui penelitian terlebih dahulu.

Sementara itu jika benar terdapat hadis palsu yang dimuat oleh Imam al-Bukhari dengan sengaja dalam kitabnya maka secara otomatis ia telah memesan kapling tanah di neraka. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Prof Dr Muhibbin MAg pada akhir wawancaranya: “Bagi para mubalig, kami menyarankan, hendaknya tidak asal mengutip hadis. Jangan selalu mengatakan bahwa itu hadis Nabi. Padahal, sesungguhnya bukan. Rasul menyatakan, barang siapa yang berbohong atas namaku maka tempatnya di neraka. Man kadzdzaba alayya m-ta’ammidan fal yatabawwa’ maq-’adahu minan nar. Telitilah kembali hadis-hadis yang ada sebelum diamalkan. Sudah benarkah itu hadis Nabi Saw. Jangan asal termuat dalam Shahih Bukhari, lalu diklaim sahih. Tanyakan pada yang lebih paham tentang hadis”.
Adapun alasan-alasan dan bukti ilmiah yang diajukan oleh Prof. Muhibbin untuk memperkuat argumennya bahwa terdapat hadis dhaif dan palsu dalam Sahih al-Bukhari, diantaranya adanya kontradiksi hadis dengan Alquran, kontradiksi antar hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dalam kitabnya, kontradiksi dengan fakta sejarah, adanya perawi-perawi yang dhaif, mungkar (semi pembohong) dan kadzdzab (pembohong), adanya hadis yang bersifat prediktif atau ramalan yang bersifat politis dan mengandung fanatisme golongan, adanya sanad yang munqothi’ (terputus) dan lain sebagainya. Tentu saya kira bukan di ruang ini untuk menanggapinya satu persatu.

Secara global, jika ditinjau secara filosofis (mendalam), ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama: Pertama, bagaimana kita memahami hadis yang dzahirnya bertentangan dengan Alquran atau antarhadis atau dengan fakta historis. Ilmu (diskursus) kritik hadis menawarkan; al-jam-u wat taufiq (kompromisasi perselisihan), naskh manskuh (peniadaan hukum atas hukum lainnya), tarjih (mengunggulkan salah satu) dan tawaqquf (stagnan/mendiamkan).

Sedangkan perangkat dalam konsep al-jam-u wat taufiq diantaranya ta’wil (pemalingan teks dari makna dzahirnya ke makna lain yang sesuai kaidah), kajian kontekstual hadis secara sosio-geografis, sosio-kultural, sosio-historis, sosio-medis, sosio-psikologis, dll. Seperti dalam hadis-hadis tentang “amal yang paling utama adalah…”

Kedua, bagaimana kita memahami sanad hadis dan perawi yang bermasalah di Sahih al-Bukhari sesuai dengan kaidah jumhur (mayo-ritas) ulama. Sebab laiknya kaidah yang digunakan oleh Imam ad-Daruquthni untuk mengkritik Sahih al-Bukhari menurut Ibnu Hajar lemah dan melawan jumhur ulama kritikus hadis.

Hadis yang Diklaim Palsu;

1- Pernikahan Rasul dengan Maimunah
Hadis pernikahan Rasul SAW dengan bunda Maimunah ketika ihram (annan nabi tazawwaja maimunata wahuwa muhrimun) oleh para ulama seperti Imam as-Suyuthi (911 H) dan an-Nawawi (676 H) ditakwilkan dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah). Artinya Nabi menikahinya di kawasan Tanah Haram bukan ketika ihram. Atau hal itu merupakan salah satu kekhususan Nabi.

2- Hadis Mi’raj
Mengenai masalah hadis mi’raj, menurut Andi Rahman MA.—salah satu dosen pengajar Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat—mirip dengan hadis tentang “pembedahan dada Rasulullah”. Ia memahaminya sebagai peristiwa yang terjadi dua kali, yaitu saat Rasulullah masih kecil (dirawat bunda Halimatus Sa’diyah) dan sesaat sebelum mi’raj.

3- Menangisi Mayit
Terkait dengan hadis “mayit diazab akibat tangisan keluarganya yang masih hidup”, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah) menakwilkan “in awsho bihi” (mayit akan diadzab jika ia berwasiat untuk ditangisi secara berlebihan). Di beberapa tempat terdapat tradisi menangisi mayat yang menjadi barometer kebaikan seseorang. Bahkan ada orang yang secara profesional menyediakan jasa “tangisan” atas mayit.

Kajian Sanad
Jika dikaji per sanad, dalam Shahih al-Bukhari ada banyak sanad dhaif. Namun menilai hadis mesti mempertimbangkan jalur-jalur sanad lainnya. Imam al-Bukhari melakukan tadlis, memuat sanad yang mu’allaq dan perawi yang dhaif bahkan sangat dhaif.
Padahal sejatinya jika ditilik secara holistik, perawi dhaif di Sahih al-Bukhari terdapat di sanad mutaba’at/syawahid (sekunder), bukan di hadis ushulnya (primer). Hadis mu’allaqnya, didapati sanad muttashilnya di jalur lain (hadis lain). Tadlisnya, dijelaskan di sanad dan hadis lain, termasuk tadlis Al-Bukhari terhadap gurunya Muhammad bin Yahya yang dijelaskan di kitab al-Tarikh dsb.

Terkait kesahihan sebuah hadis sebagai suatu hasil ijtihad ulama yang meniscayakan perbedaan. Maka dapat dipahami bahwa ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad. Seperti sanad sebuah hadis di Sahih al-Bukhari, boleh jadi perawi A menilai sahih, di waktu yang sama perawi B menilainya dhaif. Sebagian kritikus hadis menyatakan bahwa perbedaan penilaian atas seorang perawi adalah hal yang sangat sering terjadi. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan beberapa hadis yang ada dalam Sahih Muslim dalam kompilasi hadis palsunya.

Hadis “innamal a’malu binniyat” ada banyak jalur sanadnya. Sebagian sahih, sebagian dhaif dan ada juga yang palsu. Menilai hadis ini hendaklah melihat seluruh sanad yang ada, sehingga –secara akurat dan holistik—kita dapat menyimpulkan dengan tepat apakah hadis tersebut Sahih, hasan, dhaif atau palsu. Tapi, jika kita hanya mengkaji satu sanad “innamal a’malu binniyat” yang palsu, maka kita akan menyatakan kualitas sanad hadis ini palsu. Padahal, belum (baca: bukan) berarti kualitas hadis ini palsu.

Kesimpulannya, ulama menyatakan bahwa Sahih al-Bukhari dan Muslim adalah kitab yang paling sahih setelah Alquran. Sekalipun hal ini tidak menafikan adanya sanad yang dhaif dalam keduanya dan juga tidak menegasikan adanya hadis sahih di luar keduanya.
Lebih elok, kita berharap semoga kajian ini tidak sebatas wacana yang berada di awang-awang yang cenderung melupakan substansi hadis sebagai sumber pedoman umat dalam mengarungi samudera kehidupan menuju pulau kedamaian nun abadi. Semoga! (AULA Juni 2010)

*Penulis adalah Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Ciputat.