September silam, Undang-Undang Kesehatan telah disahkan. Salah satu isi UU No. 36 Tahun 2009 ini adalah legalisasi aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana hukum aborsi atau penghentian kehamilan dalam persepektif agama? Simak ulasan Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim Drs H Hasjim Abbas, M.Hi
Pendahuluan
Beragam pandangan merespon tindakan yang bertujuan mengatur jarak kelahiran anak, upaya membatasi jumlah anak, mencegah terjadi kehamilan sama sekali, hingga tindakan menghalangi proses lanjut kehamilan (menghentikan kehamilan) dan terjadi terminasi hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan sesuai masa kehamilan lengkap dan bersifat alami. Polemik akan terus bergulir dipengaruhi oleh faktor hetero-genitas budaya, pandangan hidup, rujukan faham keagamaan dan landasan teori keilmuan sains. Wajar berkembang kontroversi persepsi terkait provokasi persalinan/kelahiran tak wajar yang dipaksakan.
Berbeda dengan tindakan ‘azel (coitus erectus) guna mencegah akar kehamilan lewat penggagalan konsepsi, termasuk ‘azel berindikasi ghilah agar produksi ASI tidak ter-ganggu oleh kehamilan berikutnya hingga usia baby mencapai dua tahun. Tindakan tersebut sepanjang disetujui oleh isteri boleh (mubah) dilakukan. Demikian pula praktek wa’du, yakni menghilangkan nyawa bayi yang terlahir hidup. Praktek wa’du tersebut yang membudaya pada komunitas Arab periode sebelum datang agama Islam (Jahiliyah) disorot oleh QS. al-Takwir: 8-9 sebagai pembunuhan yang tak beralasan (biadab). Untuk kedua tindakan itu telah diatur dalam hukum syari’at melalui nash (rumusan hukum tertulis), berikut sanksi moral keagamaan.
Pengaturan penghentian kehamilan melalui legislasi (perundang-undangan) agaknya disemangati oleh konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi tersebut berintikan hak perempuan sama dengan laki-laki dalam memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak. Regulasi dari pengaturan tersebut pasti mengundang reaksi penolakan karena tidak mempertimbangkan aspirasi hukum Islam yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Kesan spontan pengaturan tersebut berorientasi pada watak individualisme dan bebas nilai dari negara-negara penggagas konvensi itu. World Health Organization (WHO) pantas dipersalahkan telah merelatifisasi alasan kesehatan mental emosional dan sosial terkait aborsi.
Tema aborsi sebagai fenomena sosial kemasyarakatan seharusnya disikapi dengan kearifan lokal. Menurut Prof. DR. Muladi (guru besar hukum pada Universitas Diponegoro) yang penting tidak melanggar norma agama.2 Bila substansi konvensi tersebut masih bermasalah di dalam negeri Indonesia, masih terbuka pengajuan keberatan, usul reservasi atau penundaan ratifikasi.
Konsep Hak Asasi Islam Terkait Aborsi
Keputusan melakukan aborsi atas gagasan pelaku wanita berstatus layang, janda atau isteri bila dipandang sebagai hak asasi pribadi bersangkutan dan dapat diputuskan secara bebas dan bertanggung-jawab, berarti telah mengindikasikan klaim hak dasar sepihak. Perkawinan, berkeluarga dan berketurunan (reproduksi) selama ini telah memasuki ranah deprivatisasi dengan berbagai norma hukum yang me-ngatur kelembagaannya.
Dalam pandangan hukum Islam tindakan aborsi atau dengan ungkapan penghalusan “penghentian kehamilan” setidaknya membenturkan hak asasi janin, hak suami, hak para kerabat dan hak masyarakat. Berikut dicoba uraikan akumulasi hak-hak asasi tersebut:
a) Hak asasi janin: Setiap janin berhak atas hidup berikut hak perlindungan untuk hidup. Hak asasi tersebut terkait jatidiri janin sebagai manusia (bani Adam) sebagai pengejawantahan martabat karamah insaniyah yang tersurat pada penegasan QS. al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautran, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan.”
Berkat karamah insaniyah tersebut janin secara individual berpotensi siap mengemban mandat khilafah di atas permukaan bumi. Menghentikan kehamilan berakibat kematian yang dipaksakan. Perlakuan tersebut bertentangan dengan theologi keimanan, karena hak mengakhiri kehidupan makhluk merupakan wewenang Allah semata. Tidak kurang dari 26 unit ayat Al-Qur’an mengeksplisitkan dogma tersebut, utamanya QS. al-Furqan ayat 3: “....dan mereka tak kuasa mematikan, menghidupkan.... “
Demikian pula QS. al-Najm ayat 44: “Dan Dia-lah sesungguhnya yang mematikan dan menghidupkan”
Tindakan menghentikan kehamilan identik dengan menderivasi program penciptaan oleh Allah “falayughayyirunna khalqallah” (QS. al-Nisa’:119).
Hak atas hidup dan hak memperoleh perlindungan untuk hidup bagi janin telah memperoleh pe-ngakuan konsensus (ijmak) pakar hukum Islam lintas mazhab melalui landas pemikiran di balik perintah menunda pelaksanaan hukuman mati bagi seorang wanita hamil sampai ia melahirkan. Rasiologis penundaan adalah agar bayi dalam kandungan harus beroleh hak hidup sebagai hak asasinya, karena ia bukan subyek hukum yang harus ikut bertangung jawab atas perilaku ibunya. Konsensus fuqaha tersebut sejalan dengan konvensi internasional “Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil.” Konsensus dari kedua komunitas berbeda tersebut mengimplisitkan deprivatisasi aborsi atau penghentian kehamilan, bukan lagi merupakan hak asasi perempuan yang bebas dan bertanggung jawab secara mandiri.
b) Hak asasi suami: hak asasi versi hukum Islam adalah hak bagi se-orang suami terkait tujuan dasar pensyari’atan perkawinan, antara lain hak memperoleh keturunan biologis sekaligus genealogis (penetapan ikatan nasab). Perempuan sebagai isteri terikat kewajiban kekeluargaan yang merupakan hak suami. Seperti digariskan dalam penegasan QS. al-Baqarah 228: “... dan para wanita mem-punyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf....”
Kriteria ma’ruf terkait hak menerapkan standar hukum agama, hukum kebiasaan dan kepribadian yang luhur.
c) Hak asasi kerabat dan hak asasi masyarakat: merefleksikan implikasi moralitas, yakni beban moral membangun citra kepatuhan kepada norma syari’at, termasuk di dalamnya “kontrak warga sipil sebagai mu’minah”. Kontrak seorang perempuan untuk tidak melakukan tindakan aborsi atau penghentian kehamilan terumuskan dalam QS. al-Mumtahanah 12: “wala yaqtulna awladahunna...” (... dan tidak akan membunuh anak-anaknya...).
Atas penggal kalimat tersebut beredar penafsiran kontekstual antara lain: pantang membunuh mati bayi pasca dilahirkan hidup, pantang memungut anak orang lain diikuti dengan pengakuan tak jujur bahwa anak tersebut adalah anak kandung suami pasangan hidupnya, dan pantang menggugurkan bayi dari rahim.
Hak asasi masyarakat terkait implikasi moralitas warga dapat dikembangkan dengan konsep hukum qasamah. Elaborasi hukum qasamah berangkat dari korban pembunuhan di lokasi tertentu yang tak kunjung terkuak siapakah tersangka pelaku pembunuhan tersebut. Warga setempat berpeluang menolak tuduhan pembunuhan dengan upaya sumpah kolektif melibatkan 50 pria dewasa bahwa tidak satupun dari mereka sebagai pembunuh korban tersebut. Sumpah kolektif ditindaklanjuti dengan pembayaran dam (denda pembunuhan) yang dipikul secara bersama oleh 50 warga TKP dan diserahkan kepada ahli waris korban.
Dalam tinjauan hukum Islam benturan hak asasi terkait tindakan aborsi bukan dikorelasikan dengan kejahatan pembunuhan, atau diorientasikan pada kejahatan kesusilaan seperti pada KUHP yang berlaku, melainkan diidentifisir sebagai tindakan “ijhadh ijtima’i“ (mengeluarkan paksa janin sebelum melewati bulan keempat usia kehamilan secara kolektif/melibatkan jasa orang lain) atau diidentifikasi sebagai “isqath ikhtiyari” (pengguguran bayi atas kehendak pribadi wanita pada usia kandungan melewati bulan keempat hingga ketujuh).
Kategori aborsi provocatus menurut hukum Islam sebagai pembunuhan serupa sengaja (syibih al-‘amdi) atau tidak sengaja. An-caman pidananya tak sampai ke level qishash (hukum mati), melainkan sebatas denda pidana seharga gharrah + sepersepuluh denda pembunuhan tak sengaja pada wanita/ibu tersebut.
Fase Pertumbuhan Janin Terkait Aborsi
Konsep keberadaan janin sesuai QS. al-Najm 32: “wa idz antum ajin-natan fi buthuni ummahatikum” (dan Tuhan Maha Tahu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu). Konsep ayat tersebut membentuk terminologi “janin” dalam hukum Islam sebagai: organ yang dapat dilepaskan oleh seorang wanita dan secara pasti diketahui berasal dari rongga rahim/uterus. Kehidupan organ tersebut menempel pada rahim yang merupakan bagian dari struktur anatomi perut manusia perempuan.
Tahapan pembentukan janin melalui fase nuthfah, fase ‘alaqah, fase mudhghah, dan fase kelahiran. Rangkaian proses tersebut lewat pembelahan sel, pembentukan embrio dan pertumbuhannya sebagai makhluk yang serba baru berasal dari bahan-bahan homogen. Di kalangan ahli kedokteran disebut proses epigenesis. Rincian fase dan tahapan terjabarkan pada QS. al-Mu’minun 12-14.
Fase terjadi implantasi blastotis pada rahim ibu (nidasi) menurut Sayid Quthub disebut tahap “alaqah” kurang lebih 14 hari pasca berakhir menstruasi. Fase tersebut oleh Imam al-Ghazali diilustrasikan sebagai momentum ijab-qabul (transaksi penawaran dan penerimaan obyek jual-beli). Sekira dikehendaki tindakan aborsi sebelum itu (pra implantasi) maka tidak berdampak menodai aqad. Bila proses pembuahan telah berlangsung, maka penghentian kehamilan menimbulkan konsekuensi merusak alur persiapan kehidupan.
Fase janin memasuki pembentukan ‘alaqah oleh sebagian ulama fiqih dianalogkan setara dengan telur burung. Calon jamaah haji atau umrah yang dengan sadar men-jadikan telur itu pecah saat terikat kondisi ihram, maka yang bersangkutan terkena denda (dam isa’ah) bersedekah seharga seekor burung betina yang melahirkan telur tersebut. Logika analogi tersebut mendasari pandangan hukum bahwa tindakan aborsi/penghentian kehamilan saat janin berada di fase ‘alaqah terkena denda pidana dan tindakan tersebut berstrata mematikan sesuatu yang potensi kehidupannya harus dilindungi. Status makruh tahrim layak dinisbahkan pada tindakan aborsi tersebut, karena proses implantasi merepre-sentasikan sel hidup.
Fase pertumbuhan janin yang dipandang sebagai periode kritis oleh seluruh ahli hukum Islam adalah tahapan ditiupkan roh. Tak ada kepastian waktu kapan fase relatif terjadi, perkiraan sementara pada usia 120 hari/20 minggu usia kehamilan. Peniupan roh pada janin merupakan starting point masa depan bayi itu dipandang sebagai subyek yang akan ikut mengalami kebangkitan di hari kiamat, karena padanya berlaku tingkat kecakapan menerima hak (ahliyyah al-wujub) betapa berada pada strata tidak sempurna. Penegasan QS. al-Takwir 7-8: “Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh, dan apa-bila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh.”
Penghentian kehamilan pada fase peniupan roh, dipandang sebagai kejahatan dan haram hukum melakukannya. Pembatasan limit waktu 120 hari dikemukakan oleh al-Ramli (Syafi’iyah), Syeikh Tanthawi (Universitas al-Azhar Kairo), demikian pula MUI melalui Fatwa Munas VI tahun 2000. Pengecualian pada fatwa tersebut sebatas alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa ibu. Data perkenan menghentikan kehamilan sesudah fase peniupan roh, yakni setelah lewat 120 hari usia kehamilan atas dasar untuk menyelamatkan kesehatan pernah difatwakan oleh Syeikh Jadu al-Haq Ali Jadu al-Haq (guru besar Universitas al-Azhar) pada tahun 1991.
Kecenderungan memandang bayi yang melampaui fase peniupan roh (+ usia 120 hari kehamilan) seperti anak pada umumnya, terbaca pada elaborasi fiqih yang menganjurkan aqiqah meskipun terlahir dalam keadaan mati.
Indikasi Penghentian Kehamilan
Gejala keterkaitan tindakan peng-hentian kehamilan lazim diklasifikasi-kan indikasi medis dan indikasi non-medis. Ancaman jiwa ibu bila kehamilan berlanjut, ibu mengalami ke-lainan fisik (penyakit biomedis), janin didiagnosis mengalami cacat fisik akibat penyakit yang diturunkan secara genetik, kekhawatiran bayi dalam rahim terinfeksi penyakit menular dari ibu atau bapak, janin didiagnosis menderita syndroma down, ibu terjangkiti penyakit rubella, lazim diklasifikasi indikasi medis.
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan, seperti kehamilan perempuan PSK (zina), hamil karena diperkosa, kehamilan yang status pernikahannya segera difasakh/dibatalkan dan sejenisnya diklasifikasikan indikasi non-medis karena lebih dekat pada indikasi psikis/depresi mental. Termasuk indikasi non-medis adalah kegagalan kontrasepsi, bayang-bayang kesulitan hidup secara ekonomis, hasil hubungan sedarah (incest) dan lain sebagainya.
Disiplin hukum Islam menyeder-hanakan klasifikasi indikasi penghentian kehamilan ke dalam 2 (dua) kategori: indikasi hajat dan indikasi dharurat. Perawatan (terapi) kesehatan setara hajat, sebaiknya meng-hindar dari aborsi. Demikian pula indikasi non-medis lainnya, karena secara fisik tak terdapat gejala penyakit, melainkan sehat jasmani.
Bila deteksi medis diperoleh diagnosis ancaman kematian ibu bila tidak segera dihentikan kehamilannya, serta dokter spesialis menganjurkan dan tak ada alternatif solusi lain, maka kondisi dharurat serupa itu menjadi dasar dilakukan tindakan aborsi. Kon-disi serupa analog dengan keberadaan anak-anak dan wanita muslimah yang diposisikan sebagai pagar berlindung orang-orang kafir dari serangan tentara Islam. Dalam kondisi terpaksa sekali anak-anak atau wanita sipil yang muslimah dikorbankan. Dalam kondisi dharurat sekalipun tindakan menghentikan kehamilan harus menem-puh upaya selektif, tidak melanggar norma syari’at dan terjamin aman. Penghentian dengan cara tubectomi (wanita) dan vasectomi (pria) tidak boleh dilakukan karena berakibat kemandulan permanen.
Indikasi Hamil Di Luar Nikah
Kehamilan di luar nikah merupakan hasil reproduksi didahului oleh praktek hubungan zina. Gejala tersebut tergolong penyimpangan perilaku seksual yang diharamkan oleh Islam dan berdampak luas terhadap lembaga perkawinan. Penghentian kehamilan yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah dan tidak bernilai emergensi. Prof. Dr. Muh. Said Ramadhan al-Buthiy melarang aborsi dalam kasus kehamilan yang tidak sah, termasuk akibat perzinaan. Menurut beliau aborsi hanya boleh dilakukan bagi isteri yang sah dalam sebuah keluarga karena indikasi medis.
Strategi pengharaman abortus berindikasi perzinaan bersumber dari perlakuan Rasulullah Saw terhadap seorang wanita dari suku Ghamid/Azd yang tengah mengandung bayi dan mengakui kehamilan itu karena zina. Wanita tersebut dibiarkan hidup hingga janin yang dikandungnya lahir serta telah ada pihak yang siap mengoper perawatan selanjutnya. Selepas itu baru dilakukan eksekusi rajam.
Berbeda halnya pada wanita muda yang diperkosa dan kemudian hamil. Di sana terhimpun indikasi sosial psikologis dan indikasi medis. Tindakan penghentian kehamilan terutama pada usia kehamilan di bawah 40 hari pasca perkosaan bisa merujuk kepada fatwa:
a) Mufti Bosnia membolehkan aborsi bagi wanita yang hamil karena perkosaan saat perang;
b) Sayid Thanthawi pada Konferensi Kairo 1977 membolehkan aborsi akibat perkosaan pada usia kehamilan empat bulan pertama;
c) Pemerintah Sudan mentolerir aborsi bagi korban perkosaan.
Rangkuman
1) Penghentian kehamilan (terminasi hasil konsepsi) dari sudut pandang agama Islam tergolong masalah ijtihadiah (pemikiran kreatif) karena tidak tersedia petunjuk nash syar’i yang jelas. Penghentian kehamilan berada pada wilayah vacum hukum antara ‘azel (coitus erectus) dan al-wa’du (pembunuhan bayi pasca lahir hidup);
2) Terminologi abortus atau peghentian kehamilan dalam literatur hukum Islam (fiqih) beragam antara: ijhadh (pengguguran kandungan usia –4 bulan), karena melibatkan jasa orang lain diikat dengan ijtima’i, isqath ikhtiyariy (mengeluarkan janin pada usia 4–7 bulan kandungan atas prakarsa sendiri), ilqa (mem-buang keluar), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan janin dalam kondisi tak bernyawa). Kesatuan unsur materiil tindakan terletak pada:
(a) tindakan sengaja dengan tujuan mengo-songkan rahim dari janin;
(b) dilakukan sebelum akhir dari masa alamiah kehamilan;
(c) organ yang dikeluarkan semula berada dalam rahim;
3) Hukum Islam mengklasifikasi indikasi dengan ‘udzur syar’i dan ‘udzur ghairu syar’i, berkadar hajat atau dharurah;
4) Tindakan penghentian kehamilan mempertentangkan hak asasi janin, hak asasi suami, hak asasi kerabat, hak asasi masyarakat dan hak asasi perempuan yang hamil;
5) Tindakan aborsi tidak bersifat emergensi dan lebih cenderung simpomatik terkait kehamilan yang tidak diinginkan, berindikasi non-medis. Perlu diupayakan tindakan yang berpotensi saddu al-dzari’ah, menyelesaikan masalah sejak dari kausalitasnya, bukan sebatas mengatasi gejala dan akibat semata;
6) Penghentian kehamilan pada dasarnya terlarang (haram) kecuali dihadapkan pada kondisi dharurat dan berindikasi medis. Teknik penghentian tidak bertentangan dengan ajaran syari’at, seperti berakibat kemandulan tetap (vasec-tomi dan tubectomi) dan harus terjamin dari ancaman resiko fatal, seperti kematian atau kecacatan permanen.q
* Makalah disajikan pada Seminar Hukum Kesehatan, bertema “Pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi dan Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan yang Baru ditinjau dari Sudut Pandang Agama” oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanggal 24 Nopember 2009 di Surabaya, dan dimuat di Majalah Aula edisi Januari 2010 dalam Rubrik Dirasah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar