Ulama Pejuang Lintas Negara
Sebagai putera Nusantara, justru namanya berkibar di Afrika. Ia dikenal sebagai seorang sufi, komandan tempur, sekaligus aktivis dakwah lintas negara. Benar-benar multitalenta.
SAYA melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan meng-gumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani.” Demikianlah kata-kata indah Taufiq Ismail terukir indah di buku bertajuk Syekh Yusuf, seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis oleh Abu Hamid. Ia mengguratkan catatan usai mengunjungi sebuah bukit di kawasan Faure, Desa Macassar, Afrika Selatan, di musim gugur Bulan April 1993.
Nama lengkap pahlawan ini adalah Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’e, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Sebagai keluarga bangsawan maka Yusuf pun berkesempatan belajar ke Cikoang, sebuah desa yang menjadi sentral pengajaran ilmu agama. Para gurunya adalah keluarga- sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW, seperti Syekh Jalaludin al-Aidid dan Sayyid Ba’lawi At-Thahir. Dari dua ulama inilah Yusuf kecil belajar, selain pada Daeng Ri Tassamang, ulama yang menjadi guru para bangsawan kerajaan Gowa.
Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sebagai seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota bernama Pangeran Surya, yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Di Aceh ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah.
Dari Aceh ia berangkat ke Yaman dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah Tareqat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa’adah Al-Ba’laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke seantero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperoleh-nya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus).
Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah), Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon, Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.
Dari Banten Hingga Afsel
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.
Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Setelah itu, Syekh Yusuf pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syekh Yusuf terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Namun pada tahun ini juga Syekh Yusuf dapat ditangkap oleh Belanda. Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Syekh Yusuf dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, pada bulan September 1684.
Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebar-kan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Karena pengaruhnya yang besar, dan berpotensi melahirkan pemberontakan, Belanda merasa risau dan khawatir. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan. Dalam usia 68 tahun, Syekh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syekh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syekh Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar.
Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab ia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.
Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sebagai putera terbaik Nusantara, Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhijjah 1116 H.
Makam Syekh Yusuf yang berada di Gowa adalam salah satu dari lima versi makamnya. Yaitu di Cape Town (Afrika Selatan), Srilanka, Banten, dan Madura. “Makam sebenarnya Syekh Yusuf ada di Lakiung (Gowa),” kata sejarawan Anhar Gonggong.
Di sebelah kanan makam Syekh Yusuf, juga dikebumikan Sitti Daeng Nisanga (istri syekh Yusuf yang juga bibi Sultan Hasanuddin). Sedangkan di samping kirinya ada makam Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa XIX yang juga putera Sultan Hasanuddin). Ada pula makam Syekh Abdul Dhahir, murid utama Syekh Yusuf.
Hebatnya, Syekh Yusuf tidak hanya dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat Banten dan Makassar. Pun demikian bagi warga Afrika Selatan.
Pada Oktober 2005, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya. Dua di antaranya adalah Andi Makmun, keturunan ke sembilan Syekh Yusuf dan Syachib Sulton, keturunan ke sepuluh.
Melihat kiprah dan perjuangan Syekh Yusuf, Nelson Mandela, pejuang anti diskriminasi dan mantan presiden Afsel, bahkan menjuluki putra Nusantara itu sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
* Dimuat di Majalah AULA No. 04/XXXII April 2010 dalam rubrik "USWAH".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar