Memahami Peta Perjuangan Islam
Perjalanan rombongan para kiai NU tidak semata ke medan perang, tapi juga ke tempat para ulama kharismatik di Lebanon dan Syiria. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para ulama spiritual tertinggi kedua negeri. Berikut kelanjutan kisah mereka.
Setelah puas bertukar pikiran dengan para ulama dan berziarah ke makam-makam penting dan bersejarah, rombongan menuju ke hotel tempat menginap. Sepanjang perjalanan yang dilalui suasana serasa menyenangkan. Pemandangan alam cukup indah. Dataran tinggi, udara sejuk, dan jalanan berkelok-kelok membelah pepohonan rindang, teringat seperti di Tretes, Pasuruan. Sayang, waktu itu sedang turun hujan dan banyak jalanan macet.
Tidak begitu lama singgah di hotel, rombongan para ulama dari Indonesia sudah ditunggu para ulama Sunni dan Syi’i untuk jamuan makan malam di kantor Tajammu’. Pertemuan berakhir pukul 21.00, lalu istirahat di hotel, setelah seharian penuh dalam perjalanan keliling.
Esok hari, rombongan bertemu dengan Syeikh Abdul Amir Qobbalany, Mufti Syi’ah Lebanon. Isi pembicaraan tidak jauh berbeda dengan yang lain, seputar perjuangan menghadapi agresi Israel dan pentingnya persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam menghadapi dominasi negara Barat. Setelah saling bertukar pendapat, rombongan menziarahi makam Rofiq Hariri dan makam syuhada, dilanjutkan dengan shalat dzuhur bersama.
Usai dzuhur dilakukan pertemuan lagi dengan para ulama Lebanon. Kali ini jumlahnya cukup banyak: 75 ulama Sunni dan 75 ulama Syi’i. Dalam kesempatan itu Kiai Hasyim kembali memperkenalkan ideologi Islam Ahlussunnah Waljamaah ala Nahdliyah. “Mereka kaget ketika Pak Hasyim menyebut ada Ukhuwah Wathaniyah. Sepertinya mereka baru tahu ada tambahan,” tutur Kiai Miftah. Tak lupa Kiai Hasyim terus memompa semangat perjuangan mereka, sekaligus meminta untuk terus menjaga persatuan di antara semua unsur bangsa.
Usai shalat maghrib di KBRI, Kiai Hasyim dijemput oleh utusan Syeikh Hasan Nasrallah, pemimpin tertinggi Hizbullah Lebanon. Pengasuh Pesma Al-Hikam Malang itu minta didampingi Mun’im DZ, pemimpin redaksi NU Online. Semula para penjemput tampak tidak merasa keberatan, tapi setelah menempuh perjalanan tidak terlalu jauh, Kiai Hasyim dipindahkan ke mobil lain, dan Mun’im dikembalikan ke hotel. Jadilan Kiai Hasyim sen-dirian bersama para pengawal.
Bisa dimaklumi, karena sedang dalam suasana perang, tempat tinggal pemimpin kharismatik itu dirahasiakan. Dalam pengawalan sangat ketat itu Kiai Hasyim harus berganti-ganti mobil. Tidak ada kesempatan berhenti. “Sampai mau kencing saja tidak diizinkan,” tutur Kiai Miftah menirukan cerita Kiai Hasyim. Walhasil, setelah menempuh perjalanan melelahkan sekaligus menegangkan, Kiai Hasyim dapat bertemu dengan Syeikh Hasan Nasrallah dan mengadakan pembicaraan secara khusus. Syeikh Hasan tampak gembira dengan kedatangan tokoh asal Malang itu.
Sementara anggota rombongan yang sudah sampai di hotel masih tegang. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00, namun kabar keberadaan Kiai Hasyim belum terdengar. Ia bagai ditelan bumi. Tidak tahu sedang berada di mana dan harus bertanya kepada siapa. Namun ketika jarum jam menunjukkan angka 23.00 Kiai Hasyim “dikembalikan” ke hotel. Alhamdulillah.
Tanpa perlu menginap lagi, malam itu juga rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju Syiria. Udara sedang dingin dan salju mulai turun. Namun perjalanan tetap dilanjutkan. Sekitar pukul 04.00 dini hari mereka sudah sampai di Damascus. Sekitar pukul 08.00 mereka disambut Duta Besar RI, Muzammil Basyuni, di KBRI. Pembicaraan lebih banyak mengarah pada upaya Israel yang tengah membangun bendungan di perbatasan Mesir-Gaza Israel yang dinilai sangat merugikan bangsa Palestina. Kelak, jika bendungan itu sudah terealisasi, dengan mudah Gaza akan tenggelam jika bendungan itu dibuka oleh Israel. Anehnya, Mesir tetap berpangku tangan dengan pemandangan seperti itu.
Usai bertemu Dubes, rombongan sudah dinanti oleh Grand Mufti Syiria, Syeikh Ahmad Badrouddin Hassoun, yang kebetulan di tempat itu juga ada Mufti Damaskus. Dalam pertemuan khusus itu mereka saling bertukar pendapat seputar Islam dan ukhuwah. “Sudhlah, NU tidak usah melihat Islam model di negara lain, pertahankan saja Islam di Indonesia yang sesuai konsep NU, itu sudah sangat bagus,” salah satu pesan Syeikh Hassoun.
Rombongan diajak mengunjungi Ma’had Dauliy lil ‘Ulumissyar’iyyah wal Lughotil Arobiyah. Dari lembaga yang cukup disegani itu para kiai mendapatkan banyak tawaran beasiswa bagi anak-anak NU jika mau belajar di sana. Syaratnya pun cukup ringan. Cukup lulusan madrasah tsanawiyah pesantren, sudah dapat melanjutkan ke sana secara gratis. Tanpa memberikan jawaban pasti, rombongan sudah melanjutkan perjalanan ke Masjid Umawi, masih di Damascus. Masjid itulah yang kelak tempat turun Nabi Isa AS, tepatnya di menara masjid yang berwarna putih tersebut.
Masjid Umawi terasa istimewa karena di dalamnya ada makam Nabi Yahya AS. Meski mayoritas penduduk Syiria kaum Sunni, namun ruangan dalam masjid itu dipenuhi orang Syiah dari berbagai negara. Sebagai-mana lazimya komunitas Syi’ah di berbagai daerah, mereka selalu me-nangis dan meratap. Konon, di masjid itu memang ada sebuah ruangan yang dulu menjadi tempat singgah kepala Saiyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Radliallahu ‘anhuma) setelah dipenggal di Karbala. Tempat itu selalu ramai dipenuhi orang Syi’ah.
Rombongan juga berziarah ke makam Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang kaum muslimin dalam Perang Salib yang sangat disegani. Makam itu di depan masjid dan sedang direhab. Kondisi makam sangat terawat. Banyak peziarah laki-laki maupun perempuan yang menziarahi makam itu. Sebenarnya rombongan juga berniat menziarahi makam Sahabat Bilal bin Rabah, namun tidak sampai terlaksana ka-rena waktu yang terlalu sempit.
Rombongan juga menziarahi makam Imam Nawawi di kota Nawa yang berjarak sekitar 100 kilometer. Makam ulama ahli fiqih pengarang kita Riadlus Sholihin itu berada di makam umum di sebuah desa yang tenang. Usai dari makam Imam Nawawi, dilanjutkan lagi ke makam Nabi Ayub AS, tak jauh dari tempat itu. Rombongan juga diajak ke sumur tempat mandi Nabi Ayub AS sewaktu sakit.
Hari sudah malam. Perjalanan dipercepat agar dapat bertemu Syeikh Wahbah Az-Zuhaili.
Alhamdulillah, ulama kharismatik itu dapat menemui rombongan selama 1 jam di flat yang menjadi tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu ada pembicaaan yang cukup unik. “Antum harus jadi pimpinan (mungkin yang dimaksudkan menjadi Rais Am),” Syeikh Wahbah menunjuk Kiai Hasyim. “Saya tidak punya hak untuk jadi. Semua itu tergantung Syeikh Miftah dan kawan-kawan,” jawab Kiai Hasyim.
Tak puas dengan jawaban Kiai Hasyim, Syeikh Wahbah menghadap ke arah Kiai Miftah. “Pokoknya dia harus jadi pimpinan,” ujarnya dengan nada mantap. Kiai Miftah menja-wabnya dengan senyuman. Syeikh Wahbah makin tidak puas. Ia terus mencecar Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dengan permintaan yang sama. Sampai akhirnya muncullah jabwaban dari Kiai Miftah: “Qabiltu wa qabilna,” yang langsung disambut senyuman Syeikh Wahbah dan tepuk tangan para kiai. Mereka semua tampak senang menyambut jawaban Kiai Miftah. Pertemuan berakhir sekitar pukul 22.00. Di tengah udara berkabut rombongan kembali ke tempat menginap di flat.
Esok pagi rombongan menuju bandara. Dalam perjalanan terlihat betapa tertibnya penduduk di sana. Sepeda motor tidak boleh masuk kota Damascus. Pemandangan di Syiria memang sangat berbeda dengan ketika di Lebanon. Jika di Lebanon kaum perempuan hampir seluruhnya menutup aurat, di Syiria lebih bebas. Dengan pakain you can see saja mereka sudah dapat keluar rumah secara bebas. Cafe-cafe besar juga dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan besar.
Perjalanan pulang ke tanah air harus melalui bandara Abu Dhabi dan menaiki pesawat Lebanon, karena pesawat milik Syiria sudah tua-tua dan udzur. Itu semua merupakan dampak dari blokade Amerika Serikat yang sudah berlangsung cukup lama atas negeri itu. (AULA No.04/XXXII April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar