Kamis, 29 April 2010
Ummurrisalah: Ikhtiar Bersama Memperbaiki Jam’iyah
Banyak persoalan dibahas dalam muktamar. Semuanya penting. Tapi muara akhirnya tetap sama: berbagai upaya untuk menjadikan organisasi para ulama ini tetap istiqamah, dengan pelayanan yang lebih baik.
Banyak keputusan penting terkait penataan organisasi disepakati dlam muktamar. Pembatasan masa bakti Ketua Tanfidziyah dan Rais Syuriah di berbagai level kepengurusan yang diusulkan cukup dua periode oleh Jawa Timur, ternyata tidak diterima muktamirin. Sebab kalau hal itu diterapkan di luar Jawa, maka bukan regenerasi yang didapat, malah justru kemunduran organisasi karena terbatasnya men-cari orang yang bersedia menjadi pengurus.
“Dengan demikian, masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tidak dibatasi, bisa satu, dua, tiga periode dan seterusnya. Tidak ada batasan,” kata Ketua Panitia Muktamar yang juga menjadi pimpinan sidang Komisi Organisasi, KH Hafidh Utsman, menyampaikan keputusan sidang komisi.
Memang, terkait pembatasan masa bakti pengurus, persoalan itu sebelumnya telah menjadi perdeba-tan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dilakukan, dengan alasan agar terjadi kaderisasi. Namun pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan. Kalau sampai itu terjadi, maka kader NU akan habis. Padahal bukanlah pekerjaan mudah untuk mempersiapkan kader yang baik di tempat mereka. “Mengabdi dan beribadah saja kok malah dibatasi periode sih?” kata utusan dari Ternate.
Meski pembatasan masa bakti Ketua dan Rais Syuriah tidak diterima oleh peserta sidang, namun banyak masukan yang diusulkan oleh PWNU Jatim justru diterima dengan baik oleh peserta. Bahkan materi yang tidak tercantum dalam draf dari PBNU, justru diusulkan oleh PWNU Jatim. “Banyak peserta yang berterima kasih kepada kami, karena banyak memberikan usulan dan dinilai sangat positif,” kata H Sholeh Hayat, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jatim yang turut bersidang dalam Komisi Organisasi.
Beberapa Masalah Penting
Sejak awal para utusan Jawa Timur memang dinilai paling siap dengan materi. Tidak heran jika banyak keputusan dihasilkan oleh muktamar, yang sebenarnya merupakan suara dari Jawa Timur. Di antara persoalan yang disepakati dan merupakan kontribusi besar dari PWNU Jatim itu adalah:
Pertama, disetujuinya pemben-tukan kepengurusan Pengurus Anak Ranting (PAR) yang efektif dibentuk di beberapa masjid dan mushalla milik NU. Hal itu dinilai sangat mendesak, karena banyak kasus yang terjadi di daerah, aset berupa masjid dan mushalla milik NU ternyata justru dikuasai oleh kelompok aliran wahabi. “Dengan demikian, para takmir masjid dan mushalla nantinya dapat dikukuhkan keberadaannya sebagai Pengurus Anak Ranting,” kata Pak Sholeh, sapaan H Sholeh Hayat, yang turut mengawal keputusan tersebut.
Kedua, penyebutan secara sempurna identitas Ahlussunnah Waljama’ah dari yang awalnya hanya mencantumkan imam madzhab. Dengan demikian, keberadaan Aswaja ala NU tidak semata mengikuti salah satu imam mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i), tapi dilanjutkan dengan penyebutan mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid. Demikian pula dicantumkan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bertarekat.
Ketiga, hari lahir NU dengan menggunakan kalender hijriyah. Peringatan harlah NU hanya dipe-ringati pada tanggal 16 Rajab, tidak lagi menggunakan kalender masehi. Hal itu dilakukan lantaran dalam penentuan awal Ramadhan maupun hari raya Idul Fitri, semuanya dengan kalender hijriyah.
Keempat, semua aset tanah dan bangunan yang telah digunakan dengan nama NU, tidak bisa dialih-kan kepada pihak lain, tanpa persetu-juan dari PBNU. Hal itu sebagai upaya antisipasi agar semua aset tidak digunakan untuk kepentingan lain.
Kelima, dalam draf yang dikeluarkan oleh PBNU, keberadaan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ternyata tidak ada. PWNU akhirnya mendesak agar keberadaan ISNU dikembalikan lagi menjadi badan otonom (Banom) seperti semula.
Keenam, mengukuhkan persoalan rangkap jabatan kepada Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dengan jabatan politis. Draf yang semula dicantumkan nonaktif, dipertegas menjadi larangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi Rais ataupun Ketua yang merangkap jabatan politis. “Pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri,” kata KH Hafidz Utsman.
Sedangkan pengurus harian yang dimaksud adalah Rais Am, Wakil Rais Am, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum di tingkat Pengurus Besar (PB) serta Rais Syuriah dan Ketua di tingkat wilayah dan cabang. Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebe-lumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU nonaktif selama proses pemilihan berlangsung, baik Pilpres maupun Pilkada.
Ketujuh, penguatan posisi syuriah. Banyaknya polemik dan dualisme kepemimpinan yang akhirnya dikesankan terjadi hubungan tidak harmonis antara Syuriah dan Tanfi-dziyah, PWNU Jatim mengusulkan masukan bahwa posisi Syuriah adalah sangat berwibawa di NU. Karena itu, Syuriah diberikan wewenang untuk menentukan arah kebijakan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan Nahdlatul Ulama. Di-samping itu Syuriah juga memberikan petunjuk, bimbingan dan pem-binaan terkait pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasar faham Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf. Yang juga penting adanya adalah kewenangan untuk mengendalikan, membimbing, mengawasi dan mengoreksi jalannya organisasi NU dengan pertimbangan syar’i dan ketentuan organisasi.
Kedelapan, usulan terhadap keberadaan badan otonom. Karena seperti disadari, ada berbagai disharmonisasi yang terjadi antara badan otonom dengan NU sebagai induk organisasinya. Malah tidak jarang Banom terkesan berjalan sendiri dan berada di luar kendali NU. Untuk menyelesaikan persoalan ini, usulan PWNU Jatim adalah keberadaan badan otonom dikembalikan kepada rumusan hasil Muktamar 2004 dengan tambahan usulan sebagai berikut: sebelum dipilih dalam per-musyawaratan badan otonom, calon ketua umum dan ketua harus mendapatkan persetujuan tertulis dan pertimbangan dari pengurus NU sesuai tingkatannya. Demikian pula, PD/ PRT badan otonom wajib meratifikasi/ mencantumkan ketentuan AD/ ART Nahdlatul Ulama yang mengatur tentang badan otonom. Dan yang selanjutnya adalah NU sebagai induk organisasi memiliki hak pembinaan dan mengambil tindakan organisatoris apabila diperlukan.
Pada kesempatan ini pula, PWNU Jatim mengusulkan badan otonom baru yakni Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pembinaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai catatan, sebelum diakui sebagai Banom, badan hukum Yayasan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama yang disahkan melalui SK Menkumham Nomor C-88.HT.01.03.TH.2007 tanggal 26 Nopember 2007 harus dibubarkan terlebih dahulu).
Permasalahan Politik
Komisi Bahstul Masail Diniyyah Qonuniyyah (Bidang Keagamaan Perundang-undangan)
Muktamar ke-32 NU menghasil-kan keputusan agar proses Pemilu kepala daerah tingkat gubernur (Pilgub) dihapuskan. Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah Muktamar ke-32 NU Ridwan Lubis. Menurut Ridwan, Pilkada Gubernur dihapus karena dinilai menyedot biaya yang mahal serta berpotensi menimbul-kan konflik. “Kita mengusulkan agar gubernur diajukan oleh partai politik atau independen, lalu dipilih oleh DPRD I. Dari DPRD mengirimkan 2-3 orang, lalu presiden memilihnya, pertimbangannya karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat,” ujarnya. Di samping persoalan tersebut, Ridwan menyebutkan, dalam praktiknya tidak jarang antara bupati/walikota tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan gubernur akibat perebutan kekuasaan. “Karena bupati/ walikota juga merasa memiliki kekuasaan, sehingga posisi gubernur tidak ada kewibawaan,” cetusnya.
Oleh karenanya, dengan usulan demikian, Ridwan berharap agar partai hendaknya menyiapkan kadernya untuk dapat mengisi pos di level gubernur sehingga bisa diajukan oleh DPRD di tingkatan provinsi.
Konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masih terus berlangsung hingga kini tidak dibahas dalam muktamar. Namun begitu, NU akan melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak sebagai bentuk perhatian kepada parpol yang banyak diisi kaum nahdliyin itu. “Sejak dari awal kami tidak menga-gendakan pembahasan masalah konflik di PKB,” kata Sekretaris Panitia Muktamar NU ke-32, Taufik R Abdullah.
Taufik menjelaskan, peran NU dalam merespon konflik PKB sangatlah normatif. Peran NU ada tiga, yaitu dalam politik, etik moral sebagai petunjuk berpolitik bagi warga NU, dan peran organisatoris NU yang hanya sekadar memproduksi kader-kader yang akan disalurkan dalam berbagai segmen. “Kalau dituntut politis paling banter peran melakukan komunikasi dari berbagai pihak agar mereka bisa melaksanakan petunjuk NU,” ujarya.
Pembahasan masalah konflik PKB ini memang menjadi tuntutan sejumlah pihak, khususnya para politisi PKB. Namun banyak kalangan yang justru tidak setuju dengan urusan parpol yang satu ini. Alasannya, mereka khawatir NU akan ditarik ke ranah politik praktis kembali.
Demi Kebaikan NU
Ikhtiar yang telah dilakukan orang-orang terpilih dari berbagai utusan di Indonesia dan dari belahan dunia itu semuanya sama, yakni demi kebaikan NU di masa yang akan datang. Tantangan yang dihadapi umat dan jam’iyah tentunya tidaklah semakin mudah dan ringan. Namun tetap memerlukan berbagai kreasi dan amal nyata demi terjaganya ek-sistensi sebuah bangsa yang bermartabat. Ucapan terima kasih sepatutnya layak disampaikan kepada mereka yang berkenan datang dan turut memikirkan NU untuk jangka waktu mendatang. Semoga Allah menerima ikhtiar ini, dan selamat berjuang! (AULA No.04/XXXII April 2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar