Minggu, 25 April 2010
Kecintaan pada Gus Dur Tak Jua Luntur
Perkiraan sebagian kalangan yang menduga pesarean Gus Dur akan sepi peziarah usai hari ke-40, akhirnya terbukti meleset jauh. Ribuan jamaah dan simpatisan sang kiai unik seakan tidak bisa dibendung untuk datang ke Tebuireng setiap waktu.
PIHAK Pesantren Tebuireng tidak menyangka jika kondisi makam keluarga besarnya akan berubah seperti itu. Saat upacara pemakaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara militer di awal pergantian tahun, tidak kurang dari lima puluh ribu orang memadati area pemakaman. Saat peringatan hari ketujuh wafatnya sang Presiden RI keempat itu, jamaah juga tidak kalah jumlahnya dengan saat pemakaman. Kondisi ini juga terjadi kala peringatan hari keempat puluh hari tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa itu.
Pada setiap Kamis, Jumat dan Sabtu malam, banyak juga peziarah yang tabarrukan ke pesarean keluarga besar Tebuireng ini. Jumlah bus yang parkir di sekitar pesantren tidak kurang dari 200 buah. Khusus hari Ahad siang, kondisinya semakin padat. Lokasi parkir di area Masjid Ulul Albab, dipastikan tidak akan dapat menampung banyaknya kendaraan peziarah. Untuk bisa keluar dari kerumunan manusia pun butuh waktu lumayan lama dan tenaga ekstra.
Yayuk Istichanah misalnya. Untuk menuju kampus setiap hari, ia membutuhkan waktu sekitar lima menit. Tapi saat Ahad siang, mahasiswi dari Jogoroto Jombang ini harus berjuang ekstra untuk bisa sampai. “Butuh waktu sekitar satu jam agar bisa sampai ke kampus,” kata mahasiswi Fakultas Dakwah IKAHA, yang kampusnya berada di selatan area parkir itu.
Disamping besarnya jumlah peziarah, kondisi itu diperparah dengan membeludaknya pedagang musiman yang memanfaatkan momentum tersebut. Menurut KH Shalahuddin Wahid, tidak kurang dari delapan ribu orang setiap hari datang ke pesarean keluarga besar Tebuireng melakukan ziarah. Melimpahnya peziarah benar-benar dimanfaatkan oleh para pedagang musiman. Mereka berjualan seke-hendak, baik di area parkir, sekitar pintu masuk dan keluar makam, maupun di tepian jalan raya. “Kondisi ini memaksa pesantren untuk mempersiapkan diri,” tandas sang pengasuh yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah itu.
Bagi Pesantren Tebuireng, kedatangan para peziarah dari berbagai daerah di tanah air ini menimbulkan banyak dampak. Tidak hanya bagi pengasuh, santri, petugas keamanan, guru dan pembina santri juga harus berfikir ekstra. Selama sebulan usai pemakaman Gus Dur, para santri amat terganggu dalam menjalankan kegiatan, pengajian setelah shalat Maghrib ditiadakan. Namun setelah 40 hari pemakaman, pengajian itu dimulai lagi, namun dengan me-nutup pintu gerbang pemakaman keluarga mulai pukul 17.00 sampai 20.00 WIB. Artinya, peziarah dilarang masuk antara jam lima hingga delapan malam, setelah itu dibuka kembali hingga sore hari selanjutnya. Kegiatan belajar siang hari pada hari Ahad juga dipindah ke hari Selasa.
Seiring dengan koordinasi yang intens dilakukan, kondisi kompleks Pesantren Tebuireng yang sebelumnya amburadul akibat padatnya peziarah mulai bisa dibenahi. Pedagang tidak boleh lagi berjualan di dalam kompleks. Kesibukan perparkiran itu terasa mengganggu kegiatan santri dan klinik yang letaknya dekat tempat parkir. Tidak hanya itu, karena banyaknya bus berukuran besar yang parkir dan berlalu-lalang, membuat banyak lokasi yang ambles dan sering membuat busnya selip.
“Untuk mengatasi masalah itu, perlu ada pengerasan tanah tempat parkir yang memakan biaya sekitar Rp 400 juta,” tandas salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU itu. Masalah lain ialah kurangnya MCK. Dengan tidak memadainya fasilitas ini, banyak orang BAB (buang air besar) di semak-semak di sekitar pemakaman umum yang menempel dengan pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. “Bisa dibayangkan bagaimana baunya,” tandas alumnus ITB itu dengan menggelengkan kepala. Untuk mengatasi masalah ini Pesantren Tebuireng harus membangun sejumlah MCK di dekat tempat parkir dengan dana hampir Rp 100 juta.
Belum lagi persoalan tukang parkir liar yang hingga kini belum terselesaikan. Mereka adalah orang luar Jombang yang bekerja sama dengan warga sekitar. Selain tidak sopan, biasanya mereka menarik bayar parkir jauh lebih tinggi dari harga wajar. Harganya melangit. Kadang, mereka bilang parkir sudah penuh, lalu mobil dihentikan di tempat parkir yang mereka buat sendiri, padahal sebetulnya masih ada tempat kosong di tempat parkir resmi.
Faktor keamanan dari tangan jahil orang-orang luar ini juga masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Banyak burung dan barang kesayangan lain milik warga yang hilang. Aparat desa dan keamanan pondok masih belum mampu mengatasi persoalan itu. “Butuh koordinasi dengan aparat keamanan dan Banser,” ujar salah seorang keluarga pondok. Yah, kondisi pemakaman memang belum ideal.
“Yang paling ideal adalah menyediakan tempat parkir baru yang dilengkapi dengan kios untuk pedagang makanan dan souvenir serta oleh-oleh,” kata Gus Sholah. Lokasi yang dimaksud Gus Sholah berada di sekitar 1 kilometer di sebelah Utara kompleks pesantren. “Tetapi biayanya sekitar Rp 3 miliar,” tandas mantan anggota Komnas HAM itu. Menurut Gus Sholah, jumlah sebesar itu di luar kemampuan Pesantren Tebuireng. “Layak kalau pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat membantu pembiayaan itu,” katanya menyarankan. Pada kunjungan anggota DPRD Jawa Timur beberapa waktu berselang, juga merekomendasikan hal serupa. Mereka prihatin dengan kondisi di Tebuireng. Bahkan wakil rakyat itu menyarankan agar fasilitas dimaksud dapat didukung oleh pemerintah dengan dana hingga sepuluh milyar rupiah.
Wali Kesepuluh?
Banyak alasan yang dikemukakan peziarah sehingga berkenan jauh-jauh datang ke Tebuireng. Salah seorang di antara mereka adalah Muhammad Yamin dari Lampung. Saat Aula bertanya, yang bersangkutan menjawab bahwa kedatangannya bersama rombongan karena mencintai dan menghormati Gus Dur. Petani yang berpenghasilan ala kadarnya itu benar-benar merasa kehilangan sosok KH Abdurrahman Wahid.
Benarkah Gus Dur itu seorang wali? Ketika hal ini ditanyakan kepada Gus Sholah, dengan diplomatis, mantan Cawapres pasangan Wiranto itu menjawab, “Menurut saya, wali itu mengandung dua aspek, yakni keagamaan dan sosial. Secara sosial, tidak bisa dibantah bahwa Gus Dur sudah dianggap sebagai seorang wali. Adanya peziarah yang mengambil tanah untuk tujuan mendapat berkah, menunjukkan adanya anggapan itu,” katanya mantap. Sedang dari aspek keagamaan, semua manusia tidak mungkin mengetahui sejauh mana Gus Dur itu dapat disebut sebagai seorang wali. “Itu adalah rahasia Allah,” lanjutnya. “Yang jelas, penghormatan terhadap Gus Dur yang kita saksikan setelah wafatnya menunjukkan bahwa Gus Dur adalah pemimpin yang hidup di hati rakyat,” pungkas adik kandung Gus Dur itu.
Mungkin tidak terlalu penting memperbincangkan kewalian KH Abdurrahman Wahid. Yang mendesak seperti dikemukakan oleh anak Gus Dur, Inayah Wulandari adalah berupaya menghadirkan kembali gagasan-gagasan yang telah diperjuangkan Gus Dur. Ning Inayah –sapaan akrabnya- menyatakan bahwa tidak ada perlunya berbagai pengakuan serta penghargaan yang diberikan kepada al-marhum ayahnya. “Yang paling adalah menauladani serta meneruskan ide-ide Gus Dur dalam kese-harian,” katanya.
Ya, mencari sosok pengganti Gus Dur akan sulit. Di PKB misalnya, apakah seorang Yenny Abdurrahman Wahid bisa mengembalikan suara PKB seperti saat partai itu bertarung pada perhelatan pemilu 1999 dan 2004? Rasanya sangat tidak mungkin. Pemilu 2009 lalu membuktikan dengan gamblang bahwa partai itu bisa jadi tidak aman saat Pemilu 2014 kelak. Suaranya terjun bebas lantaran Gus Dur tak lagi berkampanye dan terpisah dari pemimpin PKB yang kini berkuasa.
Kebesaran dan kebangkitan PKB hanya dapat dilakukan bila kubu yang selama ini berseteru dapat bersatu dalam payung besar, apalagi jika PKNU turut melebur ke dalamnya. Islah adalah kata kunci agar partai itu tetap dipercaya oleh konstituen.
Demikian pula, sosok Gus Dur tak tergantikan, meskipun tidak lagi masuk dalam jabatan struktural NU. Masyarakat tidak terlampau mempersoalkan jabatan tersebut. Selama tiga periode menjadi Ketua Umum PBNU sekaligus komitmennya untuk membela masyarakat dan kepentingan kalangan minoritas menjadi kredit point yang akhirnya membuat warga demikian mencintainya.
Gus Dur tak ambil pusing dengan kalangan yang akan menghujat atau memprotes tindakannya. Baginya, penegakan HAM, anti kekerasan, anti diskriminasi dan kebebasan beragama, adalah hal yang mungkin bisa dilakukan para aktifis pro demokrasi. Tapi sosok Gus Dur demikian sentral. Upaya Gus Dur dengan melakukan judivical review UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi dalam usahanya membela kelompok Ahmadiyah, tidak lagi memperhatikan resistensi dari mayoritas umat Islam. Itulah yang membedakan Gus Dur dengan yang lain. Karenanya, sampai kapan pun Gus Dur akan dikenang jasanya sebagai orang yang sangat peduli dengan penderitaan kalangan minoritas, termasuk rakyat yang teraniaya.
Karenanya, bila pesarean Gus Dur tak juga sepi dari peziarah, ini pertanda bahwa banyak rakyat yang merasa kehilangan sosok kiai nyleneh itu. Saat pemakaman, para pejabat negara, politisi lintas partai, kiai dari berbagai pesantren, termasuk rakyat jelata akhirnya berbaur dan dipertemukan dalam momentum tersebut. Meski jasad Gus Dur telah tiada, namun suara tahlil dan bacaan al-Quran tidak pernah mati dari makamnya. Bahkan tidak sedikit yang meyakini Gus Dur sebagai wali kesepuluh di tanah Jawa.
* Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘NUANSA’.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar