Sebelum terjadi gegap gempita pemberitaan tentang KPK vs Polri jilid 2, di ujung Pulau Madura ada kasus menarik yang juga melibatkan kepolisian. Bukan karena kasus korupsi atau kasus rekening gendut. Tapi berawal dari ijazah seorang alumni pesantren yang ditolak ketika mendaftarkan diri dalam rekrutmen anggota korps baju cokelat itu.
Beritanya sempat meledak menjadi isu nasional. Nama Mohammad Azhari mendadak terkenal lantaran beberapa televisi nasional menyiarkan peristiwa itu. Media cetak, terutama di Jatim, juga rutin menginformasikan setiap perkembangan kasus tersebut. Apalagi, media masa menambahnya dengan “bumbu-bumbu” yang menurut Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Annuqayah tidak sesuai fakta.
Menurut Muhammad Musthafa, salah seorang ustadz di Ponpes Annuqayah, pemirsa yang tak mengikuti rangkaian kejadian kasus yang bermula satu bulan sebelum aksi turun jalan tersebut akan membuat kesimpulan rekaan peristiwa sederhana: ada santri ditolak mendaftar di Kepolisian, lalu teman-temannya unjuk rasa dan rusuh. Apalagi pembawa berita menuturkan dengan penuh percaya diri sambil memainkan intonasinya saat tiba di bagian yang memaparkan tentang aksi rusuh.
“Proses yang panjang sebelum terjadinya aksi itu menjadi hilang dalam pemberitaan televisi. Saya paham bahwa ada keterbatasan durasi dalam menyiarkan berita ini. Tapi menghilangkan fakta yang sangat terkait dan bernilai penting sangat berpotensi membelokkan fakta yang dipaparkan. Dan itulah yang menurut saya terjadi,” terang alumnus UGM Yogyakarta ini.
Redaksi Majalah NU Aula ikut merasakan ramainya berita tersebut. Beberapa pesan singkat melalui SMS dan e-mail diterima dan menanyakan ihwal kasus Annuqayah. Apalagi, PWNU Jatim juga menggelar jumpa pers dan memberikan pernyataan sikap untuk mendukung Ponpes Annuqayah. Karena itulah, Redaksi Majalah Aula melakukan kajian untuk menjawab keinginan para pembaca.
Kisahnya dimulai ketika Mohammad Azhari lulus dari Madrasah Aliyah (MA) 2 Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Kemudian ia menjajaki jalur karir sebagai anggota kepolisian melalui seleksi penerimaan brigadir Brimob dan Dalmas di Polres Sumenep. Di awal seleksi, Azhari langsung dinyatakan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administratif berupa kelengkapan ijazah SLTA.
Kabar penolakan itu lalu sampai ke pengurus yayasan. Tentu mereka tak mau berpangku tangan. Berbagai upaya dilakukan untuk meminta klarifikasi dari Polres Sumenep. Singkat cerita, karena tidak mendapatkan titik temu dan pengurus yayasan meyakini Polres Sumenep telah melakukan kesalahan, maka pengurus yayasan menuntut Polres Sumenep meminta maaf secara terbuka dan institusional. Selain itu, Polres juga diminta untuk menjamin lulusan sekolah/madrasah yang telah diakui resmi oleh negara, khususnya yang berafiliasi dengan pondok pesantren, untuk diperlakukan sama dengan sekolah/madrasah pada umumnya dalam penerimaan calon anggota Polri.
Akhirnya Polres Sumenep, berdasarkan pertimbangan dari Polda Jatim, mengakui telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan aturan yang diterbitkan oleh Polda Jatim terkait seleksi anggota kepolisian tahun 2012. Untuk itulah, Polres Sumenep mengadakan jumpa pers yang dihadiri para pengurus yayasan guna meminta maaf dan mempersilakan Azhari untuk mendaftar lagi tahun depan karena proses seleksi sudah hampir usai. (Kronologi lengkapnya dapat di halaman 11)
Membuka Mata
Permintaan maaf dari Polres Sumenep memang melegakan. Tapi sesungguhnya masih ada teka-teki yang belum terjawab. Sebagian orang masih menduga ada alasan substantif yang tidak mungkin diungkapkan. Apalagi jika dikaitkan dengan telegram dari Polda Jatim yang memberi pengakuan hanya kepada empat pesantren tertentu saja. Apa dasarnya? Dan bagaimana dengan pesantren lain? Apakah benar ada diskriminasi terhadap pendidikan pesantren?
Dalam pandangan Ketua PW Lembaga Pendidikan Maarif NU Jatim, Akhmad Muzakki, masalah yang terjadi di Sumenep bukanlah masalah lokal. Bukan pula masalah individual Azhari. Seluruh masyarakat pesantren dan madrasah di seluruh penjuru nusantara ini bisa menjadi korban dari kebijakan dan praktik diskriminatif oleh aparatur negara. Oleh karena itu, perhatian publik harus diberikan kepada kebijakan dan praktik diskriminatif oleh negara terhadap pesantren dan madrasah di negeri ini.
“Kita harus menolak semua bentuk diskriminasi dalam pendidikan karena persamaan hak dan kewajiban antara sekolah dan madrasah telah dijamin oleh negara. Bahwa sekolah dan madrasah sama di mata hukum. Keduanya tidak dibedakan, apalagi didiskriminasi,” tutur Dosen Pasca-sarjana IAIN Sunan Ampel ini.
Sedangkan beberapa orang, dalam diskusi di PWNU Jatim misalnya, kemudian menduga-duga apa sesungguhnya alasan substantif itu. Di satu sisi, diskriminasi terhadap segala pendidikan di bawah naungan NU dan pesantren memang pernah terjadi di era Orde Baru. Selama puluhan tahun NU dan pesantren dipinggirkan dan ditutup dari akses-akses peme-rintahan. Dan mungkin saja apa yang menimpa Azhari adalah sisa-sisa kebijakan Orde Baru di tengah naiknya pesantren di panggung nasional yang sudah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi.
Itulah sebabnya, bukan perkara mudah jika sekarang kita mencari alumni pendidikan formal pesantren yang menjadi pejabat penting atau ilmuan di luar bidang agama. “Kalau yang sekedar mondok mungkin banyak. Misalnya Gus Dur, Pak Muhaimin Iskandar, Pak Suryadharma Ali atau Pak Mahfud MD. Semuanya memang alumni pesantren, tapi telusuri dulu pendidikan formalnya. Ternyata bukan jebolan pendidikan formal pesantren. Ini adalah imbas dari kebijakan masa lalu,” kata salah seorang peserta diskusi.
Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa tentara dan kepolisian memang sangat menghindari unsur pesantren masuk sebagai anggota. Sebab, anggota Polri dituntut untuk taat pada atasan, sedangkan santri memiliki kultur ketaatan yang kuat kepada kiainya. Sehingga ketika santri menjadi anggota kepolisian dikhawatirkan ia akan memiliki standar ketaatan ganda.
Di luar itu ada juga yang menganalisis lebih dalam. Bahwa pendidikan formal pesantren ternyata masih dipandang sebelah mata oleh keba-nyakan masyarakat Indonesia. Keraguan ini erat kaitannya dengan kualitas pendidikan formal di pesantren. Peran besar pesantren terhadap negeri ini ternyata belum bisa memantapkan posisi pesantren sejajar dengan lembaga pendidikan lain, meskipun secara de jure undang-undang sudah mengakuinya.
Tentu saja kita berharap masa depan pendidikan pesantren di negeri ini akan lebih baik. Apalagi, UU Pendidikan Nasional sudah “mengharamkan” semua bentuk diskriminasi. Pesantren juga sudah menjelma menjadi semacam “supermarket” lembaga pendidikan. Semuanya tersedia di dalamnya mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan tetap menguatkan karakter generasi Al-Quran yang multitalenta. Semoga. afif
Assalamu’alaikum (hal 4)
Refleksi (hal 5)
Kotak SMS (hal 6)
Surat Pembaca (hal 7)
Ummurrisalah:
Ketika Pendidikan Pesantren Diragukan (hal 9)
Bercermin dari Kasus An-Nuqayah (hal 11)
Ikhtiar Itu Bernama Madrasah (hal 13)
Garis Miring Madrasah, Bukan Nasib Miring (hal 16)
Ihwal Jam’iyah: Menyapa Anak Muda (hal 19)
Berbagai upaya terus dilakukan oleh PWNU Jawa Timur dalam berkhitmah kepada masyarakat. Menjelang Idul Fitri PWNU Jatim disibukkan dengan kegiatan yang akan diadakan. Antara lain mudik gratis dan halal bihalal yang dimeriahkan oleh Wali Band.
Liputan Khusus: Menyongsong Munas dan Konbes NU di Cirebon (hal 21)
Tak mau setengah-setengah menggelar acara, panitia memastikan Presiden akan membuka acara Munas-Konbes NU kali ini. Panitia telah menyatakan kesiapannya menggelar hajat besar NU tersebut dengan sebaik-baiknya. Sudah benar-benar siapkah?
Tokoh: Dr KH Abdul Ghofur (hal 25)
Karakter suaranya khas dan mudah diingat. Gaya penyampaiannya blak-blakan dan mudah dimengerti. Isi materinya juga berbobot dan sangat bermanfaat. Apalagi kepribadiannya low profile dan tegas. Itulah sebabnya kenapa pengajiannya di pagi hari selalu dinanti oleh ribuan pendengar radio dan pemirsa televisi di pesisir pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Bahsul Masail: Mengakhirkan Puasa Syawal (hal 28)
Kajian Aswaja: Mengkaji Hujjah Selamatan Haji (hal 30)
Khazanah: Solusi Sehat dengan Ikan Laut (hal 32)
Tak ada makhluk yang tercipta sia-sia. Semua memiliki arti dan manfaat. Keterbatasan pengetahuan saja yang membuat manusia tidak menyadari kegunaan di sekelilingnya. Termasuk ikan laut.
Pendidikan: SMA NU 1 Gresik (hal 36)
Memasuki dimensi kekinian institusi pendidikan dituntut tidak hanya membekali anak didiknya dengan kemampuan akademik semata. Pengembangan skill atau kemampuan non-akademik menjadi bagian yang harus diberikan. Begitu pula yang dilakukan oleh SMA NU 1 (SMANUSA) Gresik. Dengan pengembangan keterampilan, sekolah ini menjelma menjadi institusi pendidikan dengan segudang prestasi.
Eksibisi: Menyambut Pameran Haji dan Umroh (hal 38)
Tak ada kata berhenti untuk berkarya, itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa saja yang ingin maju dan berprestasi. Prinsip itu pula yang kini dijalankan oleh kerabat kerja Majalah Aula kita ini.
Pesantren: Ponpes Tarbiyatul Qulub Surabaya (hal 40)
Pesantren ini terbilang unik. Banyak orang datang bukan untuk mendidik anaknya dengan pendidikan keilmuan, melainkan untuk mengobati penyakit-penyakit hati. Hasilnya, setiap santri memiliki bekal yang kuat untuk menjalani hidup dengan mengedepankan moral, akhlak dan kejernihan hati.
Kancah Dakwah: Mantan HTI yang Membentengi Aswaja (hal 42)
“Orang Hizbut Tahrir (HT) tahu kalau rumahnya itu keropos.Tapi kekeroposan itu justru ditutupi dengan tembok besar untuk melindunginya agar tidak diketahui oleh pengikutnya”.
Nisa’ : Hj Andi Asny Patoppoi (hal 44)
Mengisi masa tua dengan ibadah, tanpa dibebani lagi dengan hiruk-pikuk urusan duniawi, adalah dambaan setiap orang. Salah seorang yang menikmati kesempatan itu adalah Andi Asny. Siapa dia?
Uswah : Kolonel K.H. Muslich (hal 47)
Nuansa: RSNU Jombang (hal 49)
Untuk bisa mendirikan fasilitas umum, biasanya warga NU memberikan sejumlah sumbangan dan tidak pernah memikirkan imbalan. Tapi dengan membangun fasilitas kesehatan ini, mereka juga akan menikmati bagi hasilnya kelak.
Wirausaha: Bisnis Sandal yang Makin Handal (hal 51)
Lahir dari keluarga miskin pengrajin sandal tidak membuat H M Yunus bermental ciut. Sejak kecil ia memiliki semangat tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar bisa memperbaikai taraf hidup keluarganya. Dengan bermodal pengalaman itu kini ia menjadi bos produsen sandal. Ingin tahu kisahnya? Simak ulasan di bawah ini.
Mimbar Jum’at (hal 53)
Wawasan: Antara Sekolah dan Penjara (hal 55)
Sembilan: Media Massa NU (hal 57)
Banyak media massa yang lahir dari rahim NU. Media itu memiliki peran penting untuk menyiarkan peran NU dalam membangun bangsa dan umat, sekaligus menjadi media dakwah dan sarana komunikasi bagi warga Nahdliyin. Seiring berjalannya waktu, banyak di antaranya hanya tinggal kenangan. Namun tak sedikit pula yang masih eksis. Berikut di antaranya:
Sekilas Aktivitas (hal 60)
Rehat: Hj Sinta Nuriyah & H Suhar Billah (hal 66)
Yayasan Pendidikan Harahafiyah butuh bantuan dana untuk yatim piatu dan fakir miskin yang ada di RA dan MI di bawah naungan Yayasan, bagi anda yang ikhlas menyumbangkan sebagian hartanya silahkan kirim via Bank Lampung (BPD) Capem Liwa dengan Norek : 387.03.04.05357.5 a.n Yayasan Harahafiyah. "Trim's teriring do'a jazaa kumullahu khoiron katsiro"
BalasHapussaya sangat senang, ketika membaca semua ini, semuga ini bisa bermanfaat. Amin
BalasHapus