Ulama Multitalenta dan Multikarya
Sebagai tonggak perjuangan masyarakat, ulama selalu menjadi sosok yang terdepan dalam melawan penjajahan. Ia menjadi panutan dan pembimbing di tengah jalan kegelapan. Begitu pula yang diperankan oleh KH Bisri Musthofa.
Tersebutlah nama Mashadi sebagai nama kecil dari KH Bisri Musthofa. Namanya kemudian lebih familiar dengan panggilan Bisri Musthofa seusai menunaikan ibadah haji. Ia dilahirkan pada tahun 1915 di kampung sawahan Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dari seorang ayah bernama H Zaenal Musthofa dan seorang ibu Hj Chodijah.
Bisri kecil dikenal sebagai anak yang biasa-biasa saja. Bahkan ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada mengaji. Ada beberapa faktor mengapa Bisri kecil enggan mondok kala itu. Ia menganggap bahwa pelajaran di pondok pesantren begitu sulit dan ia tidak mempunyai bekal untuk itu.
Namun kebiasaan itu tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya ia bersedia untuk mengaji di pesantren dan menekuni ilmu-ilmu agama. Perantauan pertama untuk menimba ilmu dilakukan di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh KH Cholil. Sempat tidak betah berada di pesantren, ia kembali ke rumah. Namun, sekembalinya dari pesantren H Zuhdi (kakak tertuanya) justru memaksanya untuk kembali lagi ke pesantren. Dan memasrahkannya kepada ipar KH Cholil bernama Suja’i yang berada di pesantren tersebut.
Di awal kehadirannya di pesantren, ia belajar terlebih dahulu kepada Suja’i. Karena Bisri masih dirasa kurang mempunyai bekal untuk mengaji secara langsung kepada Kiai Cholil. Oleh Suja’i, sehari-hari Bisri hanya diajari satu kitab saja yakni Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga Bisri menjadi santri yang sangat menguasai isi kitab tersebut. Dengan kemampuan itu ia lalu diperbolehkan mengikuti pengajian yang dipimpin langsung oleh Kiai Cholil. Bahkan, ia menjadi rujukan pertanyaan apabila ada permasalahan yang tak mampu dijawab oleh para santri. Pelbagai kitab juga sudah banyak ia pelajari, di antaranya Fathul Wahab, Iqna’, Jam’ul Jawami, Uqudul Juman, dll.
Selain mondok di Kasingan, ia juga mengaji kilatan selama Raamdlan di pesatren Tebuireng Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Kemudian, tepat di umur 20 tahun, Bisri diambil mantu oleh Kiai Cholil dan menikah dengan Ma’rufah (saat itu masih berusia 10 tahun). Dari perkawinan inilah nantinya KH Bisri Musthofa dikaruniai 8 anak, yaitu Cholil (KH Cholil Bisri), Musthofa (KH MUsthofa Bisri/Gus Mus), Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah.
Semangat Mengejar Ilmu
Semangat pencarian ilmu tak berhenti begitu saja setelah ia menikah dengan Ma’rufah. Ketika musim haji tiba, Kiai Bisri nekad berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji dan memperdalam ilmunya. Namun karena bekalnya sedikit, Kiai Bisri mengabdi kepada kepada Syeikh Chamid Said sebagai khadam.
Di Makkah pendidikan yang ia jalani bersifat non-formal. Ia belajar kepada 1936 kepada Kiai Bakir, Syeikhh Umar Khamdan Al-Magrib, Syeikh Maliki, Sayyid Amir, Syeikh Hasan Masysyath, dan kiai Abdul Muhaimin. Sayangnya, Kiai Bisri tak bisa berlama-lama untuk menuntut ilmu di kota suci itu. Setahun kemudian, Kiai Bisri harus pulang karena permintaan mertuanya. Pada tahun 1938 M ia pulang ke Kasingan dan setahun kemudian mertuanya meninggal dunia.
Setelah kepulangannya dari Mekkah Kiai Bisri semakin aktif mengisi pengajian di pesantren dan mendirikan Ponpes Raudlatut Thalibin di Rembang. Di samping mengisi pengajian pesantren, kesehariannya juga disibukkan dengan mengisi ceramah-ceramah keagamaan. Bahkan Kiai Bisri dikenal sebagai tokoh yang handal berpidato dan menyampaikan orasi.
KH Syaifuddin Zuhri pernah menuturkan bahwa Kiai Bisri memang orator dan ahli pidato yang hebat. Ia mampu mengutarakan hal-hal sebenarnya sulit menjadi gamblang. Mudah diterima oleh orang desa maupun kota. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Kritikan-kritikan tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan. Selain itu ia pun menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
Dedikasi dan Karya
Kiai Bisri merupakan satu di antara banyak ulama Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz. Kitab tafsir ini selesai ditulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar.
Sebagai tonggak perjuangan masyarakat, ulama selalu menjadi sosok yang terdepan dalam melawan penjajahan. Ia menjadi panutan dan pembimbing di tengah jalan kegelapan. Begitu pula yang diperankan oleh KH Bisri Musthofa.
Tersebutlah nama Mashadi sebagai nama kecil dari KH Bisri Musthofa. Namanya kemudian lebih familiar dengan panggilan Bisri Musthofa seusai menunaikan ibadah haji. Ia dilahirkan pada tahun 1915 di kampung sawahan Gang Palen, Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dari seorang ayah bernama H Zaenal Musthofa dan seorang ibu Hj Chodijah.
Bisri kecil dikenal sebagai anak yang biasa-biasa saja. Bahkan ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada mengaji. Ada beberapa faktor mengapa Bisri kecil enggan mondok kala itu. Ia menganggap bahwa pelajaran di pondok pesantren begitu sulit dan ia tidak mempunyai bekal untuk itu.
Namun kebiasaan itu tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya ia bersedia untuk mengaji di pesantren dan menekuni ilmu-ilmu agama. Perantauan pertama untuk menimba ilmu dilakukan di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh KH Cholil. Sempat tidak betah berada di pesantren, ia kembali ke rumah. Namun, sekembalinya dari pesantren H Zuhdi (kakak tertuanya) justru memaksanya untuk kembali lagi ke pesantren. Dan memasrahkannya kepada ipar KH Cholil bernama Suja’i yang berada di pesantren tersebut.
Di awal kehadirannya di pesantren, ia belajar terlebih dahulu kepada Suja’i. Karena Bisri masih dirasa kurang mempunyai bekal untuk mengaji secara langsung kepada Kiai Cholil. Oleh Suja’i, sehari-hari Bisri hanya diajari satu kitab saja yakni Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga Bisri menjadi santri yang sangat menguasai isi kitab tersebut. Dengan kemampuan itu ia lalu diperbolehkan mengikuti pengajian yang dipimpin langsung oleh Kiai Cholil. Bahkan, ia menjadi rujukan pertanyaan apabila ada permasalahan yang tak mampu dijawab oleh para santri. Pelbagai kitab juga sudah banyak ia pelajari, di antaranya Fathul Wahab, Iqna’, Jam’ul Jawami, Uqudul Juman, dll.
Selain mondok di Kasingan, ia juga mengaji kilatan selama Raamdlan di pesatren Tebuireng Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Kemudian, tepat di umur 20 tahun, Bisri diambil mantu oleh Kiai Cholil dan menikah dengan Ma’rufah (saat itu masih berusia 10 tahun). Dari perkawinan inilah nantinya KH Bisri Musthofa dikaruniai 8 anak, yaitu Cholil (KH Cholil Bisri), Musthofa (KH MUsthofa Bisri/Gus Mus), Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah.
Semangat Mengejar Ilmu
Semangat pencarian ilmu tak berhenti begitu saja setelah ia menikah dengan Ma’rufah. Ketika musim haji tiba, Kiai Bisri nekad berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji dan memperdalam ilmunya. Namun karena bekalnya sedikit, Kiai Bisri mengabdi kepada kepada Syeikh Chamid Said sebagai khadam.
Di Makkah pendidikan yang ia jalani bersifat non-formal. Ia belajar kepada 1936 kepada Kiai Bakir, Syeikhh Umar Khamdan Al-Magrib, Syeikh Maliki, Sayyid Amir, Syeikh Hasan Masysyath, dan kiai Abdul Muhaimin. Sayangnya, Kiai Bisri tak bisa berlama-lama untuk menuntut ilmu di kota suci itu. Setahun kemudian, Kiai Bisri harus pulang karena permintaan mertuanya. Pada tahun 1938 M ia pulang ke Kasingan dan setahun kemudian mertuanya meninggal dunia.
Setelah kepulangannya dari Mekkah Kiai Bisri semakin aktif mengisi pengajian di pesantren dan mendirikan Ponpes Raudlatut Thalibin di Rembang. Di samping mengisi pengajian pesantren, kesehariannya juga disibukkan dengan mengisi ceramah-ceramah keagamaan. Bahkan Kiai Bisri dikenal sebagai tokoh yang handal berpidato dan menyampaikan orasi.
KH Syaifuddin Zuhri pernah menuturkan bahwa Kiai Bisri memang orator dan ahli pidato yang hebat. Ia mampu mengutarakan hal-hal sebenarnya sulit menjadi gamblang. Mudah diterima oleh orang desa maupun kota. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Kritikan-kritikan tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan. Selain itu ia pun menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.
Dedikasi dan Karya
Kiai Bisri merupakan satu di antara banyak ulama Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz. Kitab tafsir ini selesai ditulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar.
Selain itu, pemikiran Kiai Bisri juga banyak dituangkan dalam bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, kitab-kitab dan lain sebagainya. Tidak hanya tentang tafsir, tetapi juga bidang tauhid, fiqh, akhlaq-tasawuf, Syariah, Aqidah, hadits, tata bahasa dan sastra Arab, dan lain-lain. Karya-karya tersebut sampai sekarang masih menjadi rujukan para ulama yang mengajar dipesantren. Bahkan menurut putranya, KH Chollil Bisri, seluruh karya Kiai Bisri yang telah dicetak kira-kira berjumlah 176 buku.
Karirnyapun dalam dunia politik juga cukup gemilang. Tiga era pemerintahan yang ia lalui selalu menempatkannya pada posisi strategis. Di era penjajahan ia duduk sebagai Ketua NU dan Ketua Hizbullah Cabang Rembang. Dan di tahun 1955, ia mulai aktif di Partai NU dengan mengabdi secara total kepada NU. Kemudian, di era Soekarno ia aktif sebagai anggota Konstituante, anggota MPRS dan pembantu Menteri Penghubung Ulama. Dan di era kepemimpinan Soeharto, ia menjabat sebagai anggota MPR RI dari utusan daerah golongan ulama. Pada tahun 1977, ia menjabat sebagai Majelis Syuro PPP pusat dan scara bersamaan juga sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.
Kiai Bisri juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Telah tersurat beberapa karyanya berupa syair atau puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Ia juga pernah menulis drama tentang cinta kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaicha yang kemudian ia rekam sendiri dalam bentuk monolog. Sedangkan di dunia bisnis, Kiai Bisri juga dikenal gigih dan kreatif dalam menangkap peluang usaha. Ia memang dididik menjadi keluarga pedagang. Kiai Bisri pernah mendirikan yayasan yang bergerak dibidang ekonomi dan perdagangan yaitu Yayasan Mu'awanah Lil Muslimin (YAMU'ALIM).
Itulah derap langkah Kiai Bisri yang multitalenta dan multikarya. Tak hanya sebagai kiai pengasuh pesantren yang alim, Kiai Bisri juga berdidakasi secara total sebagai politikus yang handal, pengarang yang produktif, seniman dan sastrawan yang humanis serta pedagang yang kreatif. Akhirnya, episode kehidupannya di dunia berakhir pada 16 Februari 1977. Kiai Bisri menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 62 tahun. (davida)
Karirnyapun dalam dunia politik juga cukup gemilang. Tiga era pemerintahan yang ia lalui selalu menempatkannya pada posisi strategis. Di era penjajahan ia duduk sebagai Ketua NU dan Ketua Hizbullah Cabang Rembang. Dan di tahun 1955, ia mulai aktif di Partai NU dengan mengabdi secara total kepada NU. Kemudian, di era Soekarno ia aktif sebagai anggota Konstituante, anggota MPRS dan pembantu Menteri Penghubung Ulama. Dan di era kepemimpinan Soeharto, ia menjabat sebagai anggota MPR RI dari utusan daerah golongan ulama. Pada tahun 1977, ia menjabat sebagai Majelis Syuro PPP pusat dan scara bersamaan juga sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah.
Kiai Bisri juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Telah tersurat beberapa karyanya berupa syair atau puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Ia juga pernah menulis drama tentang cinta kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaicha yang kemudian ia rekam sendiri dalam bentuk monolog. Sedangkan di dunia bisnis, Kiai Bisri juga dikenal gigih dan kreatif dalam menangkap peluang usaha. Ia memang dididik menjadi keluarga pedagang. Kiai Bisri pernah mendirikan yayasan yang bergerak dibidang ekonomi dan perdagangan yaitu Yayasan Mu'awanah Lil Muslimin (YAMU'ALIM).
Itulah derap langkah Kiai Bisri yang multitalenta dan multikarya. Tak hanya sebagai kiai pengasuh pesantren yang alim, Kiai Bisri juga berdidakasi secara total sebagai politikus yang handal, pengarang yang produktif, seniman dan sastrawan yang humanis serta pedagang yang kreatif. Akhirnya, episode kehidupannya di dunia berakhir pada 16 Februari 1977. Kiai Bisri menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 62 tahun. (davida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar