Perjuangan Dibalik Tokoh Besar
Namanya memang tidak begitu dikenal sebagai seorang tokoh perempuan. Namun tidak ada yang membantah, dibalik nama besar Rais Am PBNU KH Achmad Siddiq, di situ terdapat peran dirinya yang luar biasa dalam menjaga dan memotivasi untuk terus berjuang dan mengabdi pada NU.
Meski berjalan dengan terseok akibat penyakit yang diderita sejak menunaikan umrah tahun lalu, Nyai Nihayah masih tampak bersemangat dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Semakin bertambah umur, semakin memancar pula aura keibuan dari raut wajah yang sudah mulai mengeriput itu. Maklum, Nyai Nihayah saat ini telah berusia 75 tahun.
Ditemui Aula di kediamannya, Jl KH Sidiq No. 41 Jember, ia tampak terheran-heran. “Mas-mas ini dari mana, dan ada perlu apa dengan saya?” Nyai Nihayah tampak ingin tahu. Karena memang tidak janjian, kami harus menjelaskan tentang maksud kehadiran kami di kediamannya tersebut. Namun penjelasan singkat itu tampaknya masih kurang dapat meyakinkan dirinya.
Ia mengaku enggan bila diekspos secara berlebihan. “Saya ini mau dimasukkan apa, kok ditanyai macem-macem! Udah, jangan banyak-banyak tanyanya, saya sudah tua, tidak pantes masuk yang kayak gini,” begitu pangkasnya. Memang antara kami dan Nyai Nihayah belum pernah saling kenal dan tidak melalui referensi seseorang. Namun setelah beberapa kali kami meyakinkan kembali, akhirnya Nyai Nihayah dapat menerimanya.
Dalam kesempatan yang relatif singkat itu, kami menanyakan ihwal perjuangan dirinya selama mendampingi KH Achmad Sidiq serta pengabdiaannya kepada NU. Pada awalnya ia sedikit ragu. Namun setelah beberapa menit berselang, nada suaranya yang masih terdengar lugas dan lantang itu dapat terdengar jelas bercerita. “Saya ini sebetulnya adalah adik ipar dari Pak Achmad. Kakak sayalah yang dipinang pertama kali oleh Pak Achmad; kemudian kakak saya meninggal,” Nyai Nihayah mengawali cerita masa lalunya. Ia ingat betul, kakaknya tersebut meninggalkan lima anak yang juga diasuhnya.
“Saya kala itu masih menapaki bangku sekolah. Tepatnya di Muallimat Atas dan Sekolah Guru Atas yang berada di Kota Solo. Saya belajar di sana juga atas pilihan Pak Achmad, yang waktu itu menyuruh saya menimba ilmu di lembaga tersebut,” kenang Nyai Nihayah. Selepas menempuh pendidikan di Solo, sang kakak yang merupakan istri Kiai Achmad berpulang ke rahmatullah.
Tak lama kemudian KH Mahrus Aly Lirboyo, yang merupakan teman dekat Kiai Achmad, merasa iba dengan keadaan yang menimpa teman akrabnya tersebut. Hidup tanpa pendamping dengan segudang kegiatan bukanlah hal yang mudah dan mengenakkan. Atas dasar ini juga, kemudian Kiai Mahrus diam-diam menemui ayah dan ibu dari Nyai Nihayah. Usut punya usut ternyata Kiai Mahrus ingin menikahkan dirinya dengan Kiai Achmad. Dan akhirnya atas jasa Kiai Mahrus tersebut, Nyai Nihayah benar-benar dipersunting oleh Kiai Achmad. Dalam menapaki kehidupan keluarga bersama Kiai Achmad Siddiq dirinya telah dikaruniai tujuh keturunan.
Namanya memang tidak begitu dikenal sebagai seorang tokoh perempuan. Namun tidak ada yang membantah, dibalik nama besar Rais Am PBNU KH Achmad Siddiq, di situ terdapat peran dirinya yang luar biasa dalam menjaga dan memotivasi untuk terus berjuang dan mengabdi pada NU.
Meski berjalan dengan terseok akibat penyakit yang diderita sejak menunaikan umrah tahun lalu, Nyai Nihayah masih tampak bersemangat dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Semakin bertambah umur, semakin memancar pula aura keibuan dari raut wajah yang sudah mulai mengeriput itu. Maklum, Nyai Nihayah saat ini telah berusia 75 tahun.
Ditemui Aula di kediamannya, Jl KH Sidiq No. 41 Jember, ia tampak terheran-heran. “Mas-mas ini dari mana, dan ada perlu apa dengan saya?” Nyai Nihayah tampak ingin tahu. Karena memang tidak janjian, kami harus menjelaskan tentang maksud kehadiran kami di kediamannya tersebut. Namun penjelasan singkat itu tampaknya masih kurang dapat meyakinkan dirinya.
Ia mengaku enggan bila diekspos secara berlebihan. “Saya ini mau dimasukkan apa, kok ditanyai macem-macem! Udah, jangan banyak-banyak tanyanya, saya sudah tua, tidak pantes masuk yang kayak gini,” begitu pangkasnya. Memang antara kami dan Nyai Nihayah belum pernah saling kenal dan tidak melalui referensi seseorang. Namun setelah beberapa kali kami meyakinkan kembali, akhirnya Nyai Nihayah dapat menerimanya.
Dalam kesempatan yang relatif singkat itu, kami menanyakan ihwal perjuangan dirinya selama mendampingi KH Achmad Sidiq serta pengabdiaannya kepada NU. Pada awalnya ia sedikit ragu. Namun setelah beberapa menit berselang, nada suaranya yang masih terdengar lugas dan lantang itu dapat terdengar jelas bercerita. “Saya ini sebetulnya adalah adik ipar dari Pak Achmad. Kakak sayalah yang dipinang pertama kali oleh Pak Achmad; kemudian kakak saya meninggal,” Nyai Nihayah mengawali cerita masa lalunya. Ia ingat betul, kakaknya tersebut meninggalkan lima anak yang juga diasuhnya.
“Saya kala itu masih menapaki bangku sekolah. Tepatnya di Muallimat Atas dan Sekolah Guru Atas yang berada di Kota Solo. Saya belajar di sana juga atas pilihan Pak Achmad, yang waktu itu menyuruh saya menimba ilmu di lembaga tersebut,” kenang Nyai Nihayah. Selepas menempuh pendidikan di Solo, sang kakak yang merupakan istri Kiai Achmad berpulang ke rahmatullah.
Tak lama kemudian KH Mahrus Aly Lirboyo, yang merupakan teman dekat Kiai Achmad, merasa iba dengan keadaan yang menimpa teman akrabnya tersebut. Hidup tanpa pendamping dengan segudang kegiatan bukanlah hal yang mudah dan mengenakkan. Atas dasar ini juga, kemudian Kiai Mahrus diam-diam menemui ayah dan ibu dari Nyai Nihayah. Usut punya usut ternyata Kiai Mahrus ingin menikahkan dirinya dengan Kiai Achmad. Dan akhirnya atas jasa Kiai Mahrus tersebut, Nyai Nihayah benar-benar dipersunting oleh Kiai Achmad. Dalam menapaki kehidupan keluarga bersama Kiai Achmad Siddiq dirinya telah dikaruniai tujuh keturunan.
Nyai Nihayah juga selalu mendampingi dan memberikan dorongan semangat dalam setiap perjuangan yang dilakukan oleh suaminya. Lebih-lebih ketika KH Achmad Siddiq terserang kencing manis. Karena penyakitnya itu pula ke manapun KH Achmad Siddiq pergi dirinya harus mendampingi. Dokter mengharuskan Kiai Achmad mendapatkan injeksi insulin setiap hari. “Dan yang melakukan penginjeksian itu saya, karena tidak mungkin harus mengundang dokter setiap hari. Mahal, Mas,” Nyi Nihayah mengungkapkan masa lalunya. Berkat pendampingan istri yang handal inilah KH Achmad Siddiq tetap mampu berorganisasi secara aktif hingga akhir hayatnya; bahkan telah menelorkan ide besar sekaligus dengan konsepnya tentang gerakan Khittah NU 1926 yang monumental itu.
Mengabdi Untuk NU
Nyai Nihayah termasuk wanita yang luar biasa. Betapa tidak, di sela memegang peran sentral dalam keluarga (merawat suami, mengasuk anak dan lima keponakan), ia masih membagi waktu dan mengabdikan tenaganya untuk NU. Di tengah himpitan waktu yang ada, ia tetap aktif di Fatayat dan Muslimat Cabang Jember. Kepercayaan demi kepercayaan terus diamanatkan kepadanya. Pernah menjadi Ketua Fatayat selama 3 periode dan Ketua Muslimat selama 4 periode berturut-turut.
Sebagai seorang leader di lingkungannya, ia berhasil memberikan kontribusi nyata kepada NU maupun masyarakat. Dengan menggalakkan prinsip sedekah untuk umat, yang diterapkan di lingkungan Muslimat NU kala itu, ia beserta jajarannya berhasil membangun sebuah rumah sakit bersalin Muslimat NU yang diberi nama RSBI Muna Parahita. KH As’ad Syamsul Arifin beserta KH Achmad Siddiq merupakan peletak batu pertama dari pembangunan rumah sakit tersebut. Pada momentum tersebut Kiai As’ad berpesan kepada Nyai Nihayah agar rumah sakit itu dikelola sebaik mungkin dengan manajemen yang transparan supaya mampu bersaing dengan rumah sakit-rumah sakit lain.
Kebiasaan Unik
Sambil mengenang memori masa lalu yang telah banyak tergerus usia, perempuan yang berdomisili di lingkungan Pesantren As-Shiddiqi Putra (Ashtra) ini menceritakan kebiasaan unik yang dilakukan oleh KH Achmad Siddiq. “Pak Achmad itu dulu punya kebiasaan menamai anak-anaknya sesuai dengan momentum yang terjadi kala itu,” kenangnya. Beberapa nama keturunan dari Nyai Nihayah memang terasa aneh didengar. Namun dibalik itu, ternyata Kiai Achmad ingin mengabadikan momentum itu pada masing-masing nama anaknya.
Pada saat Kongres Islam Asia-Afrika (KIAA) misalnya, momentum ini ia sematkan pada anak perempuannya dengan nama Ken Ismi Asiati Afrik Rozana. Yang kedua, saat Kongres Rabithah (kongres pondok pesantren se-Indonesia) dengan Jember sebagai tuan rumahnya, Kiai Achmad mengabadikan momentum tersebut kepada anaknya dengan panggilan Muhammad Rabith Hazmi. Sejarah kembalinya UUDS ke UUD 1945 juga tak luput dari perhatiannya, yang kemudian ia abadikan pada anaknya dengan panggilan Nida Dusturiyah. Dan yang paling akhir adalah ketika para Kiai NU memisahkan diri dengan pendirian Bung Karno yang dianggap terlalu memihak pada PKI. Sejarah ini pun ia abadikan pada nama anaknya dengan Muhammad Baliyah Firjoun Barlaman.
Inilah sepenggal kisah yang terucap dari Nyai Nihayah, istri KH Achmad Siddiq, Rais Am PBNU pencetus gerakan kembali Khittah NU. Meski pengabdian yang ia berikan begitu besar, namun ia tak pernah mengungkit ataupun minta penghargaan. Baginya, semua itu adalah perjuangan yang harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Tak akan pernah malaikat lupa mencatat setiap amal yang dilakukan oleh seseorang. (Khusen)
Mengabdi Untuk NU
Nyai Nihayah termasuk wanita yang luar biasa. Betapa tidak, di sela memegang peran sentral dalam keluarga (merawat suami, mengasuk anak dan lima keponakan), ia masih membagi waktu dan mengabdikan tenaganya untuk NU. Di tengah himpitan waktu yang ada, ia tetap aktif di Fatayat dan Muslimat Cabang Jember. Kepercayaan demi kepercayaan terus diamanatkan kepadanya. Pernah menjadi Ketua Fatayat selama 3 periode dan Ketua Muslimat selama 4 periode berturut-turut.
Sebagai seorang leader di lingkungannya, ia berhasil memberikan kontribusi nyata kepada NU maupun masyarakat. Dengan menggalakkan prinsip sedekah untuk umat, yang diterapkan di lingkungan Muslimat NU kala itu, ia beserta jajarannya berhasil membangun sebuah rumah sakit bersalin Muslimat NU yang diberi nama RSBI Muna Parahita. KH As’ad Syamsul Arifin beserta KH Achmad Siddiq merupakan peletak batu pertama dari pembangunan rumah sakit tersebut. Pada momentum tersebut Kiai As’ad berpesan kepada Nyai Nihayah agar rumah sakit itu dikelola sebaik mungkin dengan manajemen yang transparan supaya mampu bersaing dengan rumah sakit-rumah sakit lain.
Kebiasaan Unik
Sambil mengenang memori masa lalu yang telah banyak tergerus usia, perempuan yang berdomisili di lingkungan Pesantren As-Shiddiqi Putra (Ashtra) ini menceritakan kebiasaan unik yang dilakukan oleh KH Achmad Siddiq. “Pak Achmad itu dulu punya kebiasaan menamai anak-anaknya sesuai dengan momentum yang terjadi kala itu,” kenangnya. Beberapa nama keturunan dari Nyai Nihayah memang terasa aneh didengar. Namun dibalik itu, ternyata Kiai Achmad ingin mengabadikan momentum itu pada masing-masing nama anaknya.
Pada saat Kongres Islam Asia-Afrika (KIAA) misalnya, momentum ini ia sematkan pada anak perempuannya dengan nama Ken Ismi Asiati Afrik Rozana. Yang kedua, saat Kongres Rabithah (kongres pondok pesantren se-Indonesia) dengan Jember sebagai tuan rumahnya, Kiai Achmad mengabadikan momentum tersebut kepada anaknya dengan panggilan Muhammad Rabith Hazmi. Sejarah kembalinya UUDS ke UUD 1945 juga tak luput dari perhatiannya, yang kemudian ia abadikan pada anaknya dengan panggilan Nida Dusturiyah. Dan yang paling akhir adalah ketika para Kiai NU memisahkan diri dengan pendirian Bung Karno yang dianggap terlalu memihak pada PKI. Sejarah ini pun ia abadikan pada nama anaknya dengan Muhammad Baliyah Firjoun Barlaman.
Inilah sepenggal kisah yang terucap dari Nyai Nihayah, istri KH Achmad Siddiq, Rais Am PBNU pencetus gerakan kembali Khittah NU. Meski pengabdian yang ia berikan begitu besar, namun ia tak pernah mengungkit ataupun minta penghargaan. Baginya, semua itu adalah perjuangan yang harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Tak akan pernah malaikat lupa mencatat setiap amal yang dilakukan oleh seseorang. (Khusen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar