Sabtu, 15 Mei 2010

Aktualita: Mbah Priok pun Akhirnya Murka


Hanya dengan alasan pembangunan, banyak pihak yang mengabaikan situs bersejarah. Kesadaran sering datang terlambat, apalagi ketika nyawa menjadi taruhan. Diperlukan kearifan semua pihak.

Siapa tak kenal Tanjung Priok? Sebuah wilayah di utara Jakarta tersebut memang pernah mendulang masa keemasan. Sebab, salah satu pelabuhan internasional Indonesia terdapat di wilayah ini.

Hilir mudik kendaraan berat dan aktivitas bongkar muat selalu menjadi daya tarik tersendiri di wilayah ini. Tapi siapa sangka di tengah kerasnya kehidupan masyarakat pesisir, nama Tanjung Priok ternyata diambil dari nama seorang tokoh ulama yang melakukan siar agama Islam sejak ratusan tahun silam?

Ya, dialah Al Imam al-Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad al-Husaini Ass Syafi‘i Sunni RA atau akrab disapa mbah Priok. Makam mbah Priok terdapat di dalam areal pelabuhan Petikemas Koja, Tanjungpriok.

Makam keramat ini selalu diziarahi para ulama dan santri. Utamanya pada Kamis malam Jumat atau walimatul haul maqam dan pada Ahad akhir di setiap bulan Shafar. Para peziarah tidak hanya berasal dari DKI Jakarta, melain-kan juga berasal dari ulama dan santri di seluruh pulau Jawa.

Meski cukup disegani dan dihormati, namun upaya pelestarian makam keramat tersebut memang tidak mudah. Pihak ahli waris sering mendapat ancaman dan teror dari oknum tak bertanggung jawab yang berusaha menggusur keberadaan makam mbah Priok.

Pada tahun 2004 misalnya, pihak pengelola pelabuhan pernah akan melakukan pembokaran paksa dengan menggunakan buldozer. Tapi upaya ini juga dapat digagalkan karena kebesaran Allah. Buldozer tersebut macet dan terperosok dan para pekerja juga tertimpa musibah. “Bagi mereka yang berniat menggunakan lahan makam keramat untuk bisnis hendaknya berhati-hati dalam bertindak,” kata Habib Ali.

Pendakwah Sejati

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang melegenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok. Mbah Priok bukan orang asli Jakarta.
Dia dilahirkan di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan tahun 1722 dengan nama al-Imam al- Arif Billah Sayyidina al-Habib Hasan bin Muhammad al-Haddad R.A. Al Imam al-Arif Billah belajar agama dari ayah dan kakeknya, sebelum akhirnya pergi ke Hadramaut, Yaman Selatan, untuk memperdalam ilmu agama.

Menjadi penyebar syiar Islam adalah pilihan hidupnya. Pada 1756, dalam usia 29 tahun, dia pergi ke Pulau Jawa. Al Imam al-Arif Billah tak sendirian, dia pergi bersama al-Arif Billah al-Habib Ali al-Haddad dan tiga orang lainnya menggunakan perahu. Konon, dalam perjalanannya, rombongan dikejar-kejar tentara Belanda.

Dalam perjalanan yang makan waktu dua bulan, perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak. Semua perbekalan tercebur, tinggal beberapa liter beras yang tercecer dan periuk untuk menanak nasi. Suatu saat rombongan ini kehabisan kayu bakar, bahkan dayung pun habis dibakar. Saat itu, Habib Hasan memasukan periuk berisi beras ke jubahnya.
Dengan doa, beras dalam periuk berubah menjadi nasi. Cobaan belum berakhir, beberapa hari kemudian datang ombak besar disertai hujan dan guntur. Perahu tak bisa dikendalikan dan terbalik. Tiga orang tewas, sedangkan Habib Hasan dan al-Arif Billah al-Habib harus susah payah mencapai perahu hingga perahu yang saat itu dalam posisi terbalik.

Dalam kondisi terjepit dan tubuh lemah, keduanya shalat berjamaah dan berdoa. Kondisi dingin dan kritis ini berlangsung hingga 10 hari, sehingga Habib Hasan wafat. Sedangkan al-Arif Billah al-Habib dalam kondisi lemah duduk di atas perahu disertai periuk dan sebuah dayung terdorong ombak dan diiringi lumba-lumba menuju pantai.

Kejadian itu disaksikan beberapa orang yang langsung memberi bantuan. Jenazah al-Imam Al Arif Billah dimakamkan. Dayung yang yang sudah pendek ditancapkan sebagai nisan. Di bagian kaki ditancapkan kayu sebesar lengan anak kecil yang akhirnya tumbuh menjadi pohon tanjung.

Sementara periuk nasi yang bisa menanak beras secara ajaib ditaruh di sisi makam. Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut. Banyak orang mengaku jadi saksi, 3 atau 4 tahun sekali periuk itu timbul di laut dengan ukuran sebesar rumah.

Berdasarkan kejadian itu, daerah tersebut akhirnya dinamakan dengan Tanjung Priuk, ada juga yang menyebut Pondok Dayung, yang artinya dayung pendek. Nama al-Imam al-Arif Billah pun dikenal jadi ‘Mbah Priok’.

Kekeramatan dari makam Mbah Priok tidak diragukan lagi. Buktinya, banyak pengunjung yang berziarah dari berbagai daerah ke makam Mbah Priok ini. Dari orang awam hingga pejabat datang ke makam datang guna mendapat karamah dari ulama legendaris ini. Menurut Umar, salah satu pengurus makam Mbah Priok, peziarah bukan hanya warga umumnya, namun pejabat juga kerap datang ke makam tersebut.

Sebut saja dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan almarhum mantan Prediden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan keluarga Cendana pernah menziarahinya. “SBY, Fauzi Bowo dan Gus Dur juga pernah ke sini,” ungkap Umar kepada beberapa wartawan.

Menurut dia, Majelis Dzikir SBY ‘Nurussalam’ juga banyak memberikan dukungan terhadap keberadaan makam Mbah Priok. Terbukti hal itu dari spanduk majelis pengajian dari Cikeas ini yang banyak terpasang di sekitar makam.

Pihak Istana, sambung dia, setiap malam jumat meminta pengurus makam untuk tashrifan dan maulid, namun belum dipenuhi. “Permintaannya belum dipenuhi karena Habib tidak mau meninggalkan makam,” ujar Umar.

Memang keberadaan makam keramat ini selain banyak menyimpan cerita mistis, juga punya daya tarik bagi para peziarah. Konon, US Coast Guard mengeluarkan peri-ngatan bagi 10 pelabuhan di Indonesia yang tidak aman, salah satunya Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Jakarta Utara.

Terlepas apa ini benar atau tidak, pemerintah Amerika Serikat tidak berani melakukan bongkar muat di TPK Koja karena alasan tidak aman bagi lalu lintas bongkar muat internasional, karena di dalamnya terdapat makam keramat Mbah Priok. Keberadaan para pe-ziarah mau tidak mau harus masuk area TPK Koja bila hendak ke makam, sehingga menjadikannya tidak steril.

Tragedi yang Memilukan

Darah akhirnya tertumpah di muka makam keramat Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4). Kerusuhan antara aparat dan warga diwarnai berbagai aksi kekerasan. Ada yang tewas tergeletak, semen-tara korban-korban lain berjatuhan karena sabetan kelewang, diinjak-injak, dan jadi sasaran pukulan -demi sebuah tanah makam-.

Bagi warga masyarakat, Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad bukan tokoh biasa. Dia adalah penyebar agama Islam dan seorang tokoh yang me-legenda. Namanya bahkan jadi cikal bakal nama kawasan Tanjung Priok.

Dikisahkan, rencana pembongkaran makam Mbah Priok bukan kali ini saja.
Konon, ketika Belanda berkuasa, pemerintah kolonial ingin membongkar makam ini tiba-tiba terdengar ledakan keras dan sinar dari dalam makam, sehingga urung dibongkar.

Pada era Orde Baru, pembongkaran juga direncanakan. Namun yang terjadi, buldozer untuk membongkar makam yang dikeramatkan itu meledak. Korban jiwa pun jatuh. Rencana pembongkaran terakhir sebenarnya direncanakan sejak 2004 lalu. Namun, baru pada hari kejadian itu terealisasi.

Ratusan Satpol PP dibantu kepolisian mengeksekusi lahan — yang menurut instruksi Gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan — berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Pemerintah DKI berdalih tidak akan membongkar makam. Kepala Bidang Informasi dan Publikasi Pemprov DKI Cucu Ahmad Kurnia mengatakan makam itu akan dijadikan monumen dan cagar budaya. Bukan digusur. Apalagi, kata Cucu, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di sana. Jasad itu sudah dipindah-kan ke TPU Semper.

Menurut surat Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta pada 10 Februari 2009, jasad Mbah Priok dipindahkan pada 21 Agustus 1997. Sebagian lagi jasad-nya dibawa ahli waris ke luar kota.

Karenanya, masyarakat Jakarta Utara menganggap makam Mbah Priok sebagai makam keramat. Masyarakat Muslim di Jakarta Utara sangat menghormati makam itu dan setiap setahun sekali diadakan acara haul yang dihadiri tidak kurang dari sepuluh ribu orang.
Bentrok fisik yang terjadi Rabu (14/4) antara 400-an yang menyebabkan tiga petugas Satpol PP meninggal dunia dan seratusan lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Inilah ‘harga’ yang harus dibayar bila pembangunan menafikan ke-arifan lokal. Masihkan keadaan serupa akan diteruskan?(AULA No. 05/XXXII Mei 2010)

Resensi: Mensyarahi Pemikiran Mbah Hasyim

Judul Buku: Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: KH Salahuddin Wahid, DR H Nadirsyah Hosen
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xxxix + 374 halaman
Peresensi: Siti Maslahah, S.Ag *)


Kepemimpinan duet KH Sahal Mahfudh dan Said Aqiel Siradj yang terpilih pada perhelatan Muktamar di Makasar sepertinya akan menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Yang mengemuka adalah keberatan yang disampaikan PWNU Jawa Timur terhadap komposisi kepengurusan harian PBNU masa khidmat 2010-2015. Hal ini dipicu oleh diakomodirnya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah muncul pada rapat formatur. Demikian pula ada beberapa nama yang posisinya berubah serta keluar dari kesepakan rapat.

Beberapa pihak telah mengingatkan agar dalam hal menentukan komposisi pengurus lebih memperhatikan aturan main organisasi. Jangan sampai hanya lantaran ingin menampung beberapa kader potensial, lantas mengesampingkan hasil kesepakatan Muktamar.
Semua pihak pastinya berkeinginan agar organisasi kebangkitan ulama ini dapat keluar dari kemelut. Sehingga potensi besar jam’iyah dapat tereksplorasi dengan optimal, bukan semata untuk kemajuan organisasi tapi juga dalam mengisi dan mengawal perjalanan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kalau semuanya berangkat dari komitmen ini, rasanya mempersatukan potensi itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Namun celakanya, mempersatukan para ulama, apalagi di masa sekarang bukanlah hal yang mudah. Tetapi para ulama NU, khususnya hadratus-syaikh berhasil melakukan hal tersebut. Mengapa dulu mbah Hasyim bisa melakukan itu? Karena yang menjadi lokomotifnya adalah ideologi.

Boleh dikata, ideologi yang menjadi media mempersatukan warga dan ghirah dalam memajukan organisasi kebangkitan para ulama ini mulai luntur seiring dengan kemunculan kepentingan sesaat sebagian elit dan warganya. Sebagai contoh, pada aroma pilkada dalam perhelatan Muktamar demikian terasa. Pasalnya, di setiap sudut pintu masuk dijejali oleh spanduk yang berisi foto orang-orang yang akan bertarung dalam kepemimpinan NU untuk lima tahun yang akan datang.

Sebagai kader NU, kita patut menyampaikan keprihatinan yang amat mendalam terhadap fenomena tersebut. Sebab konsekuensinya bisa fatal, yaitu kepemimpinan NU tak ubahnya kepemimpinan partai politik, yang kerapkali mengandalkan modal finansial yang tidak kecil jumlahnya. Lalu, di manakah moralitas yang dijunjung tinggi oleh para ulama dan kiai selama ini?

Sebab sejak berdiri tahun 1926, NU dikenal sebagai organisasi para ulama yang dikenal dengan kepemimpinan moralnya. Mereka dicintai oleh umat bukan karena hartanya, tetapi karena kesalehan dan ketinggian ilmunya. Bahkan mereka cenderung untuk menampilkan diri sebagai pemimpin, karena menjadi pemimpin tidaklah mudah. Harus mempunyai kapasitas intelektual dan kapabilitas moral. Oleh sebab itu, pemimpin NU di masa lalu merupakan penghargaan dan penghormatan atas keistimewaan seorang tokoh.

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Akbar NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, bukan karena beliau mau memimpin NU. Beliau terpilih melainkan karena kesepakatan para ulama yang memandang hadratus-syaikh sebagai mahaguru dan mahakiai. Kedalaman ilmunya sudah diragukan lagi, di samping kesalehan beliau yang telah memberikan inspirasi bagi warga NU.

Ada satu hal yang menonjol lagi dari Hadratussyaikh, yaitu kemampuannya dalam mengkonsolidasikan ulama. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu mempersatukan, bukan justru memecahbelah. Tentu saja, yang dimaksud dengan mempersatukan bukan karena iming-iming harta dan kuasa, tetapi lebih pada kesamaan visi.

Pentingnya persaudaraan dan persatuan ditegaskan oleh hadratussyaikh dalam Qanun Asasi NU, “Perkumpulan, solidaritas, persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang”. Beliau menambahkan, “Kerja sama dan tolong menolong merupakan sendi yang dapat menjadi acuan dalam mengatur tatanan sosial. Tanpa hal tersebut, maka keinginan, harapan, dan cita-cita akan lumpuh karena tidak akan mampu memecahkan tantangan. Sebab itu, barangsiapa bergotong-royong dalam urusan dunia dan akhirat, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paripurna. Hidupnya akan terasa indah, tenang, nyaman, dan tenteram.”

Fondasi yang dibangun hadratus-syaikh telah menjadikan NU sebagai organisasi yang mempersatukan ulama dengan tujuan untuk menegakkan panji-panji keislaman rahmatan lim ‘alamin. NU harus menjadi teladan tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi warga Indonesia secara keseluruhan, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi persatuan nasional.

Hadratussyaikh dengan cerdas menulis sebuah buku khususnya, yang dikodifikasi sebagai ideologi NU, yaitu Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawta wa Asyrathis-Sa’ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al -Bid’ah (Paradigma Ahlussunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, serta penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah).

Di dalam kitab ini, rumusan ideologi dikukuhkan dengan sangat baik oleh kakek Gus Dur ini. Dalam bidang teologi, NU menganut paham Asy’ariyah yang dikenal dengan teologi usaha (al-kasbu). Dalam konsep ini disebutkan, bahwa setiap manusia harus melakukan ikhtiar dalam kehidupan nyata sembari memohon pertolongan kepada Tuhan.

Teologi ini kemudian dengan “teologi moderasi”, karena dapat menyelamatkan manusia dalam fatalisme dan kebebasan tak terkendali. Dalam fatalisme, seseorang bisa terjebak pada fanatisme dan ekstremisme, sedangkan pada kebebasan absolut bisa menjerumuskan seseorang pada sikap permisif. Teologi Asy’ariyah telah melahirkan sebuah sikap yang menjadikan umat Islam berada dalam keseimbangan dan ketenangan hidup.

Dalam hukum Islam (baca: fikih), hadratussyaikh memandang hendaknya warga NU merujuk kepada 4 imam mazhad fikih, yaitu Imam Syafii, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Secara khusus, hadratussyaikh menekankan pada Imam Syafii.

Kenapa harus merujuk kepada empat Imam mazhab fikih tersebut? Hal ini tidak lain, karena keempat imam tersebut mempunyai keahlian atau kepakaran dalam bidang hukum Islam, yang mana pandangan-pandangannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, paradigma NU dalam hukum sebenarnya juga kembali kepada al-Quran dan Sunnah, tetapi harus melalui para imam tersebut. Sebab tidak banyak orang muslim yang mempunyai keahlian sebagai para ulama hukum Islam tadi.

Salah satu keistimewaan paradigma ini, bahwa seorang Muslim dalam memecahkan masalah tidak akan terjebak dalam paradigma hitam-putih, kaku dan rigid. Bahkan, paradigma hukum Islam ala NU jauh lebih akademik dan argumentatif jika dibandingkan dengan kalangan Wahabi dan kelompok puritan lainnya.

Sedangkan dalam spiritualitas, hadratussyaikh memadang agar warga NU merujuk kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu ciri yang menonjol dalam paradigma ini yaitu perpaduan antara dimensi spiritualitas dan formalitas. Formalisasi agama dalam ruang publik tanpa spiritualitas akan melahirkan kehampaan dan kekosongan.
Ideologi NU sebagaimana dijelaskan tersebut saat ini harus diakui semakin langka dan tidak terdengar lagi dalam tubuh NU. Dimensi yang menonjol adalah paradigma hukum, sedangkan dalam teologi dan spiritualitas kurang terdengar. Apalagi dalam forum keagamaan NU, sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam perhelatan Munas dan Muktamar hanya mengakomodasi bahtsul masail. Sedangkan dalam bidang teologi dan spiritualitas belum diakomodasi dalam perhelatan Muktamar.

Oleh karena itu, NU dalam lima tahun ke depan harus menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan-nya. Apalagi ditengah godaan politik yang begitu dahsyat. NU tidak mampu berkata “tidak”, karena bukan semata-mata tidak mampu, tetapi NU hakikatnya sedang mengalami krisis ideologi yang sangat akut. Yaitu hilangnya spiritualitas dalam ranah politik. Kecintaan kepada dunia diutamakan, sedangkan spiritualitas ukhrawi ditinggalkan.

Di penutup tulisan ini, ada baiknya NU kembali kepada jejak-jejak kehidupan dan pemikiran hadratus-syaikh Hasyim Asy’ari. Dan setiap kali Muktamar digelar, sayangnya pemikiran hadratus-syaikh tidak terdengar. Karenanya sangat mendesak untuk melakukan revitalisasi terhadap gagasan hadratus syaikh.
*) Peresensi adalah Pegiat Pendidikan dan Fungsionaris PC Fatayat NU Jombang Jatim.