Selasa, 03 Agustus 2010

Pendidikan Pesantren Model Cina


Cina dengan segala kelebihan yang dimiliki, mampu memberikan pelajaran berharga bagi siapa saja yang menyempatkan diri berkunjung ke sana. Banyak prestasi yang bisa diunduh dari negara tirai bambu ini. Berikut catatan rihlah yang dilakukan KH M Za’imuddin W As’ad (Wakil Rektor Unipdu Jombang) saat mengunjungi negara dengan penduduk terbesar di dunia ini kepada pembaca Aula.

Bersama pimpinan 29 PTS se Jawa Timur, saya mewakili UNIPDU (Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum) Jombang Jawa Timur berkesempatan mengunjungi Negara Cina selama seminggu. Kegiatan ini bertujuan untuk menyaksikan secara langsung dinamika pemerintah dan masyarakat di sana yang mampu bertahan bahkan menundukkan gempuran budaya Barat. Banyak pelajaran berharga dari proses diskusi dan komunikasi serta melihat dengan nyata dari serangkaian muhibbah tersebut. Berikut ini di antaranya yang dapat saya bagikan.

Guru TK di atas Dosen

Istilah full day school yang biasa menjadi nilai lebih sekolah-sekolah tertentu di tanah air, sebenarnya tidak dikenal di negeri tirai bambu itu. Karena semua proses belajar mengajar dimulai pukul 06.00 sampai 17.00. Pada jam-jam tersebut anda akan sulit menemukan anak usia sekolah berada di jalanan. Pemerintah di sana memberikan sanksi berat bagi anak yang bolos berikut orangtuanya lantaran diancam dengan hukuman denda sekaligus kurungan.

Di sana juga tidak ada istilah pulang pagi akibat gurunya rapat atau sedang melayat seperti di sini. Seluruh kalender akademik digariskan oleh kementrian pendidikan secara ketat dengan masa belajar dan musim liburan yang serentak sama. Dampak positif jam belajar yang cukup panjang di sekolah adalah terciptanya ketenangan orangtua dalam beraktivitas. Dengan demikian, mereka yang rata-rata bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 itu dapat lebih produktif kinerjanya.

Bila di negeri kita, sekolah gratis masih menjadi “jualan” kampanye pilkada, di Cina daratan seluruh biaya pendidikan dan buku mulai SD sampai SMP ditanggung pemerintah. Baru untuk tingkat SMA, orangtua harus menyediakan dana untuk belanja buku-buku yang telah ditentukan. Sementara di Macau (daerah otonomi khusus Cina), murid SMA-nya masih memperoleh uang buku kurang lebih 800 ribu rupiah setiap bulan.

Di pihak lain, kesejahteraan para guru dan dosen sangat terjamin. Hanya saja, dalam hal penghargaan pada pendidik, peme-rintah Cina memiliki pemikiran yang sangat kontradiktif dengan pola pikir para pemangku kebijakan di negeri kita. Karena di negeri sosialis tersebut, semakin rendah tingkat pendidikan yang ditangani, semakin tinggi gaji pokoknya. Sebagai misal, dua pendidik masuk di tahun yang sama, yang pertama guru TK dan yang kedua dosen universitas, maka guru TK menerima gaji pokok 7 ribu yuan (Rp 10 jutaan), sedang sang dosen hanya menerima 3 ribu yuan.

Dari beberapa orang yang saya jumpai, kebijakan itu diambil karena pemerintah memandang betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar nilai etika maupun kebangsaan sedini mungkin. Mereka mengumpamakan manusia seperti batang pohon ketika masih muda yang dapat dibentuk dengan mudah sesuai selera, sehingga masa-masa selanjutnya hanya merupakan penegasan atau penguatan dari wujud yang sudah terbentuk itu. Pertimbangan lainnya, bahwa pada masa-masa tersebut seorang anak sedang membutuhkan pendampingan total. Maka seorang guru pada usia anak-anak dan remaja (ABG) harus memiliki kesabaran ekstra dan keteladanan khusus sehingga mampu menjadi orangtua sekaligus panutan bagi mereka. Tanpa itu, nilai ketaatan murid kepada guru, akan kehilangan makna. Kesabaran dan selalu menjaga kepatutan untuk diteladani itulah yang menjadikan gaji mereka lebih tinggi dari dosen.

Adapun untuk pendidikan lanjutan, universitas atau akademi, pemerintah memberi pendu-duk lokal subsidi 50 persen biaya pendidikan dari biaya seluruhnya yang dikenakan pada mahasiswa asing. Para pengajarnya dituntut untuk sesering mungkin melaku-kan penelitian agar gajinya me-ningkat sepadan atau melebihi gaji guru TK tadi. Dampaknya dari kebijakan ini sangat luar biasa. Mahasiswa di sana hampir tidak memiliki waktu luang, karena untuk satu mata kuliah saja, seorang dosen bisa mengajak penelitian lapangan sampai lebih dua kali. Mengingat penelitian bagai pupuk bagi ilmu penge-tahuan, maka bisa dibayangkan betapa pesat kemajuan ilmu di sana. Kalau boleh memban-dingkan, bagaimana dengan ma-hasiswa di negara kita? Saya tidak sampai hati menilai, lebih-lebih dalam hal pergaulan dan cara berpakaian.

Masyarakat Cina tidak mengenal istilah “muhrim” atau “aurat”. Tapi para mahasiswa di sana sangat menjaga jarak satu sama lain. Dalam hal busana, mahasis-winya berpakaian sangat brukut (tertutup) walau udaranya tidak begitu dingin. Ada anggapan, hanya orang yang kurang berpendidikanlah yang senang berpakaian terbuka.

Selama di Beijing maupun Senzen saya tidak menemukan mahasiswa berlainan jenis jalan bersama bergandengan sebagaimana di kampus-kampus kita. Di perpustakaan pun mereka me-ngelompok dengan sendirinya seolah ada sekat antara pria dan wanita. Mereka hindari pacaran karena selain tidak sesuai budaya, juga dinilai hanya membuang waktu dan uang sekaligus menghambat studi. Kalaupun saat ini kita melihat di televisi hal yang berbeda dari itu, ketahuilah bah-wa yang ditayangkan adalah gaya hidup remaja Hongkong yang sudah terinfiltrasi budaya Barat, bukan Cina “aslinya”.

Kota Santri

Dengan begitu besarnya tekad pemerintah Cina untuk menjadikan warganya sebagai sarjana berkualitas, maka seluruh mahasiswa harus tinggal di asrama kecuali yang tugas belajar dari instansi pemerintah atau mahasiswa luar negeri. Menariknya, di asrama itu diatur sedemikian rupa sehingga satu kamar yang biasanya terdiri dari dua belas orang (enam dipan susun) berasal dari suku yang berbeda. Dengan demikian para penghuni kamar bisa berdiskusi tentang adat budaya masing-masing sehingga menumbuhkan spirit saling memahami untuk memperkuat persatuan Cina yang sedikitnya terdiri dari 56 suku bangsa.
Menurut penjelasan A Liang (dosen Sastra Melayu Jinan University yang menjadi narasumber saya), pengasramaan itu dimaksudkan sebagai laboratorium bagi mahasiswa untuk mengenal betapa beragamnya karakter manusia yang kelak akan dihadapi di masyarakat sehingga diharapkan nanti mereka lebih sigap mengelola dan memimpin dengan sikap tasamuh (toleran).

Ketika mendengar penjelasan beberapa hal tersebut sambil keliling kampus, saya merasakan atmosfir pesantren yang sangat kuat bagai di kota santri di tanah air. Selain itu, tanpa disadari, di benak saya menerawang jauh ke masa Nabi Muhammad SAW. Jangan-jangan pola pendidikan yang sistemik, terstruktur dan penghormatan para murid yang tinggi pada guru di Cinalah yang melatarbelakangi disabdakannya anjuran (hadits) Nabi: “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”.
Ternyata, banyak hal yang bisa kita pelajari dari negara sarat prestasi ini. Wallahu’alam bish-shawab. (AULA Juli 2010)