Tampilkan postingan dengan label Ummur Risalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ummur Risalah. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Desember 2010

AULA Januari 2011


Andai saja dilakukan pemilihan manusia paling kontroversial, mungkin Gus Dur akan terpilih sebagai juara pertama. Yah, semasa hidupnya, ia selalu kontroversial. Banyak orang ternganga dan spot jantung dibuatnya. Kini, setahun setelah wafatnya, kontroversial itu muncul kembali. Mengapa?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Januari 2011:

Refleksi: Awair (hal 8)
Ummurrisalah :
- Mengenang Kembali Sosok H Abdurrahman Addakhil (hal 10)
- Mengapa Ada Haul Gus Dur? (hal 14)
- Kebijakan Pembuka Transisi Demokrasi (hal 19)
- Gus Dur Si Raja Humor (hal 25)
- Nyleneh Namun Tetap Dipuja (hal 29)

Dapatkan juga liputan mengenai :
- Ihwal: Modernisasi Manajemen, Bukan Keagamaan (hal 35)
- Bahtsul Masail: Bank Syariah Sama dengan Bank Konvensional? (hal 38)
- Liputan Khusus: Polemik H Mahrus Ali Belum Selesai (hal 46)
- Kancah Dakwah: Korban Merapi Butuh Terapi (hal 51)
- Pendidikan: SMA Shafta Surabaya (hal 55)
- Pesantren: PP Sabilul Muttaqin Mojokerto (hal 59)
- Khazanah: Bekam, Alternatif Penyembuhan Penyakit (hal 62)
- Muhibah: Merasakan Hebatnya Muslimat NU London (hal 66)
- Uswah: Muhammad Hasan (Tan Kim Liong) (hal 70)
- Obituari: KH As’ad Umar Tutup Usia (hal 73)
- Tokoh: Prof Dr Drs Surahmat, MSi (hal 74)
- Rehat: H Nurhadi Ridwan & H Afif Hasbullah (hal 78)
- Wawasan: Prespektif Islam tentang Beragama dan Bernegara (hal 80)

Rabu, 01 Desember 2010

AULA Desember 2010

Apa isu strategis Kongres Ansor ke-14?
Siapakah para kandidat yg akan menggantikan posisi Gus Ipul (Drs H Saifullah Yusuf)?
Apa pesan dan kesan Gus Ipul selama memimpin Ansor?
Apa pendapat dan harapan para mantan Ketua Umum PP GP Ansor?

Baca ulasan lengkapnya di Majalah Nahdlatul Ulama AULA edisi Desember 2010:

Assalamualaikum : Ikhtiar Tabayun
Renungan : Abdullah Ubaid (hal 8 )
Ummurrisalah :
- Kongres Mengokohkan Jati Diri (hal 10)
- Menunggu Titik Balik Khittah Ansor (hal 14)
- Proses Regenerasi yang Rawan Intervensi (hal 19)
- Profil Singkat Kandidat Ketua Umum (hal 20)
- Pendapat para tokoh:
Wawancara : Drs H Saifullah Yusuf (hal 30)








Dapatkan juga liputan mengenai :
-Ihwal: PWNU Jatim Berbagi untuk Korban Merapi (hal 36)
-Bahtsul Masail : Jum’atan di 2 Masjid yang Berdekatan (hal 39)
-Mimbar Aula : Naskah Khutbah Jumat (hal 42)
-Uswah : Mbah Mad Watucongol (hal 47)
-Kancah Dakwah : Pengajian Abang Becak se-Surabaya (hal 50)
-Pendidikan : STAINU Temanggung (hal 54)
-Pesantren : PP Manba’ul Hikam Sidoarjo (hal 58)

Baca juga ulasan menarik lainnya seputar :
-Wawasan : Ragam Pemurtadan di Indonesia (hal 62)
-Muhibah : PWNU Jatim Menelusuri Islam di Negeri Tirai Bambu (hal 66)
-Khazanah : Menyingkap Kesakralan Bulan Muharram (hal 71)
-Tokoh : Drs KH Abuya Busyro Karim, M.Si (hal 75)
-Rehat : Ny Hj Munjidah Wahab & Prof Dr Ridwan Nasir (hal 80)
-Alam Islami : Sejarah dan Arti Bulan Hijriah-Masehi (hal 84)

Kamis, 29 April 2010

Ummurrisalah: Selamat Berkhidmat Pengurus Baru


Tuntas sudah perhelatan Muktamar NU di Makassar, Sulawesi Selatan. Malam itu, Wakil Gubernur Sulsel, Ir H Arifin Nukmang, menutup hajatan terbesar Jam’iyah Nahdlatul Ulama tersebut. Gema lagu kebangsaan, alunan ayat suci Al-Quran dan merdunya bacaan Shalawat Badar yang diiringi gemericik air hujan di luar ruangan, membuat suasana semakin mengharukan.

Tidak sia-sia Muktamar NU ditunda hingga dua kali. Hajatan yang semula direncanakan pada bulan Desember tahun lalu itu sempat direncanakan digelar pada bulan Januari, namun akhirnya terlaksana pada bulan Maret lalu. Faktor utama penundaan adalah karena cuaca. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan panitia untuk memantapkan persiapan.
Ternyata benar. Muk-amar yang berlangsung tanggal 22-27 Maret itu akhirnya berlangsung sukses dan meriah.

Sejak tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar nuansa muktamar telah begitu terasa. Spanduk-spanduk ucapan se-lamat datang telah menyambut muktamirin. Sepanjang perjalanan dari bandara hingga arena muktamar di Asrama Haji Sudiang, dipenuhi spanduk dan baliho bernuansa muktamar. Bahkan cenderung berlebihan, karena tidak sedikit dari spanduk itu yang berisi kampanye calon Ketua Umum PBNU. Lengkap dengan foto dan tulisan kampanye. Bahkan beberapa di antaranya dengan “menjual” kiai sepuh. “Kok jadi kayak kam-panye Pilkada begini ya?” tutur salah seorang muktamirin yang mengaku dari Magelang.

Beberapa spanduk lainnya bertuliskan posko tim sukses calon tertentu. Terang-terangan. Karena nuansa model Pilkada yang terlalu kental itulah sampai panitia muktamar meminta agar spanduk dan baliho-baliho itu dibersihkan dari arena muktamar. Namun sayang, tidak semua tim sukses mematuhi permintaan itu. Rupanya sinyalemen KH A Hasyim Muzadi sejak jauh hari sebelum muktamar berlangsung, bahwa banyak pengurus PBNU lebih sibuk mengkampanyekan diri sendiri daripada mengurus persiapan muktamar, ternyata memang benar. Masing-masing sibuk memikirkan dirinya sendiri dalam pencalonan itu.

Meriah Tapi Gerah

Sesuai rencana, Muktamar ke-32 NU dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di gedung Celebes Convention Center (CCC, biasa dibaca Tripel C). Hadir dalam kesempatan itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di antaranya Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Joko Suyanto, Menteri Agama Surya Darma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Menlu Manty Natalegawa, Mendiknas Mohammad Nuh, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menkop UKM Syarif Hasan, Menteri PDT Helmy Faisal Zaini, Menpora Andi Mallarangeng, Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, dlsb.
Beberapa pejabat tinggi negara juga hadir. Di antaranya Ketua DPR RI Marzuki Ali, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD, beberapa duta besar negara sahabat, para mufti dari 12 negara, beberapa gubernur dan wakil gubernur, bupati serta wakil bupati, walikota serta wakil walikota dari berbagai daerah, serta para anggota DPR RI maupun DPRD turut memenuhi kursi undangan kehormatan. Beberapa pimpinan ormas maupun orpol juga hadir.
Di tengah kemeriahan acara pembukaan itu ternyata masih menyisakan banyak keluhan. Para undangan VVIP banyak mengeluarkan keringat karena kepanasan. Rupanya penyejuk udara yang dipasang belum sepadan dengan kapasitas ruangan. Perasaan tidak nyaman tampak terlihat ketika mereka terus berkipaskipas di tengah acara berlangsung.

Persoalan lain, banyak peserta dan tamu undangan yang membawa undangan VVIP tidak dapat masuk. Sementara di luar ruangan tidak disediakan tv monitor dan pengeras suara. Praktis mereka hanya bisa terbengong-bengong sambil terus berdesakan. Mereka bertanya-tanya tentang keseriusan panitia yang mengundang mereka. Sudah datang jauh-jauh, teryata tidak mendapat-kan sambutan yang semestinya. “Saudara Tua NU ini memang luar biasa,” kata Ir H Chriswanto Santoso, MSc, Wakil Ketua DPP LDII yang juga tidak dapat masuk ruang pembukaan meski membawa kartu undangan VVIP.

Tidak hanya Pak Kris –sapaan akrabnya—yang menerima nasib seperti itu. Banyak kiai sepuh juga mengalami nasib yang sama. Termasuk beberapa mantan menteri dan anggota DPR RI yang datang dari beberapa daerah. Mereka mengeluhkan ketatnya pengamanan yang dinilai berlebihan. “Banyak orang mengeluhkan pengamanan presiden yang berle-bihan,” kata KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Jember.

Cuaca Mendukung

Prediksi panitia daerah yang disampaikan jauh sebelum muktamar digelar, bahwa pada bulan Maret cuaca kota Makassar sudah terang, tidak salah. Terbukti, selama berlangsung muktamar tidak pernah turun hujan, sehingga seluruh acara dapat berlangsung sukses. Meski tidak hujan, namun bukan berarti tidak ada “penderitaan” lain bagi muktamirin. Tantangan justru muncul dari sisi sebaliknya. Cuaca panas terik! Yah, cuaca kota Makassar memang jauh lebih panas dari pada di Jakarta maupun Surabaya. Apalagi bagi mereka yang menyewa rumah penduduk sebagai tempat tinggal karena membawa rombongan besar. Penderitaan mereka semakin bertambah karena kebanyakan rumah itu beratap seng dan tuan rumah tidak menyediakan kipas angin. Sudah begitu air sangat dibatasi, padahal di kampung halaman mereka biasa mempergunakan air sepuasnya. “Waduh, benar-benar tantangan,” kata Sujani, salah seorang wartawan Aula yang turut menikmati penderitaan itu.

Namun anehnya, meski selama proses pembukaan hingga beberapa kali persidangan cuaca selalu panas, pada saat menjelang pemilihan Rais Am dan Ketua Umum berlangsung ternyata cuaca tiba-tiba berubah. Sejak pagi hingga siang terus mendung. Bahkan ketika malam tiba hujan rintik-rintik terus turun mengiringi, seakan turut mendinginkan hati muktamirin yang kala itu semakin memanas terkait pencalonan. Banyak orang mengaku heran sekaligus bersyukur dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba itu.

Penutupan Dipercepat

Bayang-bayang ketidakpastian terus mengiringi Muktamar NU di Makassar sejak awal. Selain telah dilakukan penundaan dua kali, ketidakpastian juga masih terjadi soal waktu pembukaan. Semula presiden direncanakan membuka acara itu pada tanggal 22 Maret, namun yang terjadi malah tanggal 23 Maret, gara menunggu kepastian kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.

Ketidakpastian juga terjadi dalam pemilihan Rais Am dan Ketua Umum. Acara penting yang semula dijadwalkan hari Jum’at malam itu akhirnya harus ditunda hingga Sabtu pagi. Demikian pula dengan penutupan, yang dijadwalkan Ahad pagi oleh Wapres Budiono akirnya dipercepat pada Sabtu malam oleh Wakil Gubernur Sulsel Ir H Arifin Nukmang.

Meski penutupan dipercepat, namun prosesi penutupan tetap berjalan khidmat. Dr KH MA Sahal Mahfudh dan Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, Rais Am dan Ketua Umum PBNU terpilih, tampak khidmat mengikuti prosesi penutupan itu. Begitu pula Drs H Slamet Effendy Yusuf, MSi —kandidat yang bersaing ketat dan sehat dengan Kang Said hingga tahap akhir —, berikut beberapa jajaran anggota pengurus PBNU yang lain, turut melakukan hal yang sama. Mereka berdiri di panggung kehormatan untuk mengikuti prosesi penutupan tersebut. Acara penutupan memang tidak seramai pembukaan. Wajar, dan bukan pemandangan baru lagi di dalam jam’iyah NU.

Bila pejabat yang membuka muktamar adalah seorang presiden, yang menutup “hanyalah” wakil gubernur, yang juga salah seorang Mustasyar PWNU Sulsel. Juga banyak muktamirin yang telah pulang lebih dahulu sebelum acara penutupan berlangsung. Persoalannya adalah tiket pesawat yang mengharuskan mereka segera meninggalkan Makassar pada hari itu.

Namun prosesi penutupan tetap berlangsung khidmat. Dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, disusul pembacaan ayat suci Al-Quran dan dilanjutkan Shalawat Badar secara bersama-sama. Setelah sambutan-sambutan, prosesi ditutup dengan do’a dari para kiai. Seluruh rangkaian muktamar pun dinyatakan telah selesai. Selamat dan sukses untuk Nah-dlatul Ulama. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Imam Baru NU = Mbah Sahal dan Kang Said


Nahdlatul Ulama memiliki pemimpin baru. Rais Am tetap dipercayakan kepada Dr KH MA Sahal Mahfudh yang kini memasuki masa bakti ketiga kalinya, sedangkan Ketua Umum dipercayakan kepada Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA, cendekiawan muslim asal Cirebon.

Meski dalam sejarah per-jalanan NU muktamar baru pertama kali ini diselenggarakan di Makassar, namun pelaksanaan muktamar tersebut dapat berlangsung sukses dan meriah.Bahkan lebih meriah dibanding muktamar sebelumnya di Asrama Haji Donohudan, Solo tahun 2004. Tidak sia-sia panitia menunda acara tersebut hingga dua kali.

Tanda-tanda sukses sebenarnya sudah diawali oleh laporan pertang-gungjawaban PBNU periode 2004-2009 yang langsung diterima secara bulat oleh muktamirin. Sidang yang dipimpin oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar dan LPj dibacakan oleh Dr KH A Hasyim Muzadi tidak mendapatkan ham-batan sedikit pun. Begitu ditawarkan Nasaruddin, “Apakah laporan pertanggungjawaban dapat diterima?” para peserta langsung menjawab, “Diterima!” secara serentak. Palu sidang pun langsung digedokkan di meja tanda mufakat telah dicapai.

Dalam sesi pemilihan Rais Am, nama Kiai Sahal dan Kiai Hasyim memang telah mengemuka sejak lama. Keduanya adalah Rais Am dan Ketua Umum PBNU periode sebelumnya. Ternyata kemunculan dua nama itu terus bertahan hingga akhir. Dalam pemilihan pertama itu terdapat 492 suara sah. Dari jumlah itu Kiai Sahal mendapatkan 272 suara, Kiai Hasyim 180 suara, KH Maemun Zubair 29 suara, dan Habib Luthfi 4 suara. Sisanya masuk pada KH Ma’ruf Amin, KH Abdullah Mokhtar, KH Musthofa Bisri, KH Said Aqiel Sirodj dan KH Shalahuddin.

Sesuai dengan ketentuan pemilihan yang mensyaratkan calon harus mendapatkan dukungan minimal 99 suara, maka hanya Kiai Sahal dan Kiai Hasyim-lah yang berhak diajukan kembali untuk dipilih oleh muktamirin. Namun sebelum pemilihan dilanjutkan, melalui secarik kertas Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Rais Am.

Suasana haru langsung memenuhi ruangan sidang. Para muktamirin mengumandangkan Sholawat Badar menyambut keputusan bijaksana tersebut, sambil mendatangi Kiai Hasyim. Ada yang memeluk sambil menciumnya, tetap dalam suasana haru. Bahkan ketika Kiai Hasyim berjalan meninggalkan ruang sidang, beberapa di antara mereka meneriakkan dukungan, “Hidup Pak Hasyim!” dengan nada tinggi.

Setelah Kiai Hasyim menyatakan tidak bersedia menjadi Rais Am, Kiai Sahal dipilih secara aklamasi. Suasana haru kembali menghinggapi wajah para muktamirin ketika palu sidang diketuk dan diikuti bacaan surat Al-Fatihah. Dramatis sekaligus memilukan. “Banyak orang menitikkan air mata karena haru,” kata Ustadz Sholeh Qosim, MSi, utusan JQH Pusat yang turut menyaksikan peristiwa itu.

Sedangkan dalam pemilihan Ketua Umum, rupanya banyak orang salah duga dalam penca-lonan. Sejak sebelum muktamar berlangsung, banyak orang memprediksi tiga nama dari tujuh calon yang muncul akan mendapatkan dukungan kuat. Mereka adalah KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), H Ahmad Bagdja dan KH Said Aqiel Sirodj (Kang Said). Tidak sedikit pula yang merasa yakin Gus Sholah bakal menjadi Ketua Umum, mengingat pencitraan yang di-lakukan tim adik kandung Gus Dur itu paling sempurna. Nama Slamet Effendy Yusuf seakan tidak masuk hitungan. Bahkan sehari sebelum pemilihan berlangsung, sebuah stasiun televisi hanya mengundang Gus Sholah dan Kang Said untuk melakukan debat kandidat. Artinya, hanya dua kandidat itulah yang diprediksi bakal kuat.

Namun apa yang terjadi kemudian ternyata di luar dugaan. Dalam pemilihan pertama, Kang Said mendapatkan 178 suara, Slamet Effeny 158 suara, Gus Sholah 83 suara, Ahmad Bagdja 34 suara, Ulil Abshar Abdalla 22 suara, Masdar F Mas’udi 6 suara, Ali Maschan Moesa 8 suara, Abdul Aziz 7 suara dan Hasyim Muzadi 6 suara. Praktis, hanya Kang Said dan Slametlah yang berhak mengikuti pemilihan selanjutnya, karena aturan mensyaratakan dukungan minimal 99 suara untuk maju di babak akhir.

Menjelang pemilihan akhir itu Gus Sholah datang lalu menggandeng tangan Slamet Effendy, yang dapat diartikan sebagai pengalihan dukungan. Mantan Menristek yang juga pengurus DPP Hanura, AS Hikam, turut duduk di samping Slamet. Sedangkan Kang Said hanya didampingi beberapa teman dekatnya. Sesekali KH Kafabih Mahrus duduk di samping-nya samping membicarakan se-suatu, lalu pergi menjauh.

Diiringi rintik hujan di luar, prosesi pemilihan tahap kedua dilakukan. Sejak awal nama Kang Said langsung unggul. Detik-detik mendebarkan terus berlangsung mengikuti pembacaan hasil pilihan muktamirin. Keributan sempat terjadi ketika Kang Said dipastikan menang dari Slamet. Banyak peserta muktamar secara spontan menghambur ke arah Kang Said untuk sekadar menjabat tangan atau menciumnya. Slamet Effendy segera mendatangi Kang Said untuk mengucapkan selamat. Setelah berangkulan, keduanya duduk berdampingan. Penghitungan langsung dihentikan ketika keamanan tidak mampu mengendalikan suasana. Beberapa kali himbauan panitia untuk tertib tidak diindahkan. Kotak suara pun terpaksa dipindahkan ke altar agar aman. Setelah cukup lama terhenti, penghitungan dapat dilanjutkan kembali. Sampai akhirnya ketika penghitungan berakhir sekitar pukul 21.00 WITA, dari 496 suara yang masuk, dipastikan perolehan untuk Kang Said 294 suara dan Slamet 201 suara, satu suara dinyatakan tidak sah karena masih memilih Gus Sholah. Setelah penghitungan usai, Kang Said dan Slamet Effendy segera mengangkat kedua tangan mereka yang ber-gandengan. Keduanya tampak rukun. Mereka juga melakukan konferensi pers bersama. Rintik hujan masih terus menyertai seluruh prosesi tersebut hingga berakhir.

Pascamuktamar Makassar, kini PBNU memiliki pemimpin baru: Mbah Sahal dan Kang Said. Sosok Kiai Sahal sudah dikenal luas sebagai seorang ahli fiqih yang cenderung pendiam. Sedangkan Kang Said seorang jenius yang kadang suka melakukan kegenitan intelektual. Bahkan kadang menimbulkan kontroversial di kalangan kiai.

Tapi bagaimanapun, para muktamirin telah mempercayakan amanat kepada keduanya untuk meneruskan imamah. Semoga pasangan pengendali NU baru ini akan memberikan kesejukan kepada umat dan mengantarkan kebangkitan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. (AULA No. 04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Ikhtiar Bersama Memperbaiki Jam’iyah


Banyak persoalan dibahas dalam muktamar. Semuanya penting. Tapi muara akhirnya tetap sama: berbagai upaya untuk menjadikan organisasi para ulama ini tetap istiqamah, dengan pelayanan yang lebih baik.

Banyak keputusan penting terkait penataan organisasi disepakati dlam muktamar. Pembatasan masa bakti Ketua Tanfidziyah dan Rais Syuriah di berbagai level kepengurusan yang diusulkan cukup dua periode oleh Jawa Timur, ternyata tidak diterima muktamirin. Sebab kalau hal itu diterapkan di luar Jawa, maka bukan regenerasi yang didapat, malah justru kemunduran organisasi karena terbatasnya men-cari orang yang bersedia menjadi pengurus.

“Dengan demikian, masa khidmat pengurus NU pada level mana saja tidak dibatasi, bisa satu, dua, tiga periode dan seterusnya. Tidak ada batasan,” kata Ketua Panitia Muktamar yang juga menjadi pimpinan sidang Komisi Organisasi, KH Hafidh Utsman, menyampaikan keputusan sidang komisi.

Memang, terkait pembatasan masa bakti pengurus, persoalan itu sebelumnya telah menjadi perdeba-tan hangat di komisi organisasi. Sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU menginginkan pembatasan itu dilakukan, dengan alasan agar terjadi kaderisasi. Namun pengurus wilayah dan cabang di daerah yang bukan basis NU, terutama di luar Jawa, merasa keberatan karena keterbatasan kader yang mereka miliki, terutama kader yang mumpuni untuk mengisi posisi di level pimpinan. Kalau sampai itu terjadi, maka kader NU akan habis. Padahal bukanlah pekerjaan mudah untuk mempersiapkan kader yang baik di tempat mereka. “Mengabdi dan beribadah saja kok malah dibatasi periode sih?” kata utusan dari Ternate.

Meski pembatasan masa bakti Ketua dan Rais Syuriah tidak diterima oleh peserta sidang, namun banyak masukan yang diusulkan oleh PWNU Jatim justru diterima dengan baik oleh peserta. Bahkan materi yang tidak tercantum dalam draf dari PBNU, justru diusulkan oleh PWNU Jatim. “Banyak peserta yang berterima kasih kepada kami, karena banyak memberikan usulan dan dinilai sangat positif,” kata H Sholeh Hayat, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jatim yang turut bersidang dalam Komisi Organisasi.


Beberapa Masalah Penting

Sejak awal para utusan Jawa Timur memang dinilai paling siap dengan materi. Tidak heran jika banyak keputusan dihasilkan oleh muktamar, yang sebenarnya merupakan suara dari Jawa Timur. Di antara persoalan yang disepakati dan merupakan kontribusi besar dari PWNU Jatim itu adalah:

Pertama, disetujuinya pemben-tukan kepengurusan Pengurus Anak Ranting (PAR) yang efektif dibentuk di beberapa masjid dan mushalla milik NU. Hal itu dinilai sangat mendesak, karena banyak kasus yang terjadi di daerah, aset berupa masjid dan mushalla milik NU ternyata justru dikuasai oleh kelompok aliran wahabi. “Dengan demikian, para takmir masjid dan mushalla nantinya dapat dikukuhkan keberadaannya sebagai Pengurus Anak Ranting,” kata Pak Sholeh, sapaan H Sholeh Hayat, yang turut mengawal keputusan tersebut.

Kedua,
penyebutan secara sempurna identitas Ahlussunnah Waljama’ah dari yang awalnya hanya mencantumkan imam madzhab. Dengan demikian, keberadaan Aswaja ala NU tidak semata mengikuti salah satu imam mazhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i), tapi dilanjutkan dengan penyebutan mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bertauhid. Demikian pula dicantumkan mengikuti cara yang ditetapkan al-Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali dalam bertarekat.

Ketiga, hari lahir NU dengan menggunakan kalender hijriyah. Peringatan harlah NU hanya dipe-ringati pada tanggal 16 Rajab, tidak lagi menggunakan kalender masehi. Hal itu dilakukan lantaran dalam penentuan awal Ramadhan maupun hari raya Idul Fitri, semuanya dengan kalender hijriyah.

Keempat, semua aset tanah dan bangunan yang telah digunakan dengan nama NU, tidak bisa dialih-kan kepada pihak lain, tanpa persetu-juan dari PBNU. Hal itu sebagai upaya antisipasi agar semua aset tidak digunakan untuk kepentingan lain.

Kelima, dalam draf yang dikeluarkan oleh PBNU, keberadaan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ternyata tidak ada. PWNU akhirnya mendesak agar keberadaan ISNU dikembalikan lagi menjadi badan otonom (Banom) seperti semula.

Keenam, mengukuhkan persoalan rangkap jabatan kepada Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah dengan jabatan politis. Draf yang semula dicantumkan nonaktif, dipertegas menjadi larangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi Rais ataupun Ketua yang merangkap jabatan politis. “Pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri,” kata KH Hafidz Utsman.

Sedangkan pengurus harian yang dimaksud adalah Rais Am, Wakil Rais Am, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum di tingkat Pengurus Besar (PB) serta Rais Syuriah dan Ketua di tingkat wilayah dan cabang. Aturan tersebut lebih tegas dari aturan yang dihasilkan dalam muktamar sebe-lumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU nonaktif selama proses pemilihan berlangsung, baik Pilpres maupun Pilkada.

Ketujuh, penguatan posisi syuriah. Banyaknya polemik dan dualisme kepemimpinan yang akhirnya dikesankan terjadi hubungan tidak harmonis antara Syuriah dan Tanfi-dziyah, PWNU Jatim mengusulkan masukan bahwa posisi Syuriah adalah sangat berwibawa di NU. Karena itu, Syuriah diberikan wewenang untuk menentukan arah kebijakan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan Nahdlatul Ulama. Di-samping itu Syuriah juga memberikan petunjuk, bimbingan dan pem-binaan terkait pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasar faham Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang aqidah, syari’ah maupun akhlaq/tasawuf. Yang juga penting adanya adalah kewenangan untuk mengendalikan, membimbing, mengawasi dan mengoreksi jalannya organisasi NU dengan pertimbangan syar’i dan ketentuan organisasi.

Kedelapan, usulan terhadap keberadaan badan otonom. Karena seperti disadari, ada berbagai disharmonisasi yang terjadi antara badan otonom dengan NU sebagai induk organisasinya. Malah tidak jarang Banom terkesan berjalan sendiri dan berada di luar kendali NU. Untuk menyelesaikan persoalan ini, usulan PWNU Jatim adalah keberadaan badan otonom dikembalikan kepada rumusan hasil Muktamar 2004 dengan tambahan usulan sebagai berikut: sebelum dipilih dalam per-musyawaratan badan otonom, calon ketua umum dan ketua harus mendapatkan persetujuan tertulis dan pertimbangan dari pengurus NU sesuai tingkatannya. Demikian pula, PD/ PRT badan otonom wajib meratifikasi/ mencantumkan ketentuan AD/ ART Nahdlatul Ulama yang mengatur tentang badan otonom. Dan yang selanjutnya adalah NU sebagai induk organisasi memiliki hak pembinaan dan mengambil tindakan organisatoris apabila diperlukan.

Pada kesempatan ini pula, PWNU Jatim mengusulkan badan otonom baru yakni Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), yang berfungsi melaksanakan kebijakan NU di bidang pembinaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai catatan, sebelum diakui sebagai Banom, badan hukum Yayasan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama yang disahkan melalui SK Menkumham Nomor C-88.HT.01.03.TH.2007 tanggal 26 Nopember 2007 harus dibubarkan terlebih dahulu).

Permasalahan Politik

Komisi Bahstul Masail Diniyyah Qonuniyyah (Bidang Keagamaan Perundang-undangan)
Muktamar ke-32 NU menghasil-kan keputusan agar proses Pemilu kepala daerah tingkat gubernur (Pilgub) dihapuskan. Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah Muktamar ke-32 NU Ridwan Lubis. Menurut Ridwan, Pilkada Gubernur dihapus karena dinilai menyedot biaya yang mahal serta berpotensi menimbul-kan konflik. “Kita mengusulkan agar gubernur diajukan oleh partai politik atau independen, lalu dipilih oleh DPRD I. Dari DPRD mengirimkan 2-3 orang, lalu presiden memilihnya, pertimbangannya karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat,” ujarnya. Di samping persoalan tersebut, Ridwan menyebutkan, dalam praktiknya tidak jarang antara bupati/walikota tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan gubernur akibat perebutan kekuasaan. “Karena bupati/ walikota juga merasa memiliki kekuasaan, sehingga posisi gubernur tidak ada kewibawaan,” cetusnya.

Oleh karenanya, dengan usulan demikian, Ridwan berharap agar partai hendaknya menyiapkan kadernya untuk dapat mengisi pos di level gubernur sehingga bisa diajukan oleh DPRD di tingkatan provinsi.

Konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang masih terus berlangsung hingga kini tidak dibahas dalam muktamar. Namun begitu, NU akan melakukan komunikasi politik dengan berbagai pihak sebagai bentuk perhatian kepada parpol yang banyak diisi kaum nahdliyin itu. “Sejak dari awal kami tidak menga-gendakan pembahasan masalah konflik di PKB,” kata Sekretaris Panitia Muktamar NU ke-32, Taufik R Abdullah.

Taufik menjelaskan, peran NU dalam merespon konflik PKB sangatlah normatif. Peran NU ada tiga, yaitu dalam politik, etik moral sebagai petunjuk berpolitik bagi warga NU, dan peran organisatoris NU yang hanya sekadar memproduksi kader-kader yang akan disalurkan dalam berbagai segmen. “Kalau dituntut politis paling banter peran melakukan komunikasi dari berbagai pihak agar mereka bisa melaksanakan petunjuk NU,” ujarya.

Pembahasan masalah konflik PKB ini memang menjadi tuntutan sejumlah pihak, khususnya para politisi PKB. Namun banyak kalangan yang justru tidak setuju dengan urusan parpol yang satu ini. Alasannya, mereka khawatir NU akan ditarik ke ranah politik praktis kembali.

Demi Kebaikan NU

Ikhtiar yang telah dilakukan orang-orang terpilih dari berbagai utusan di Indonesia dan dari belahan dunia itu semuanya sama, yakni demi kebaikan NU di masa yang akan datang. Tantangan yang dihadapi umat dan jam’iyah tentunya tidaklah semakin mudah dan ringan. Namun tetap memerlukan berbagai kreasi dan amal nyata demi terjaganya ek-sistensi sebuah bangsa yang bermartabat. Ucapan terima kasih sepatutnya layak disampaikan kepada mereka yang berkenan datang dan turut memikirkan NU untuk jangka waktu mendatang. Semoga Allah menerima ikhtiar ini, dan selamat berjuang! (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Mereka Melihat NU Telah Berubah


Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama tidak hanya menjadi perhatian warga pribumi. Sejumlah perwakilan negara sahabat tidak mau melewatkan momentum besar itu. Termasuk para pengamat yang sudah menjadi langganan hadir dalam acara besar NU. Bagaimana kesan mereka?

Muktamar secara resmi belum dibuka. Tapi siang itu, Senin (22/3), keramaian di Asrama Haji Sudiang, Makassar sudah sangat terasa. Ruang registrasi terlihat sesak dengan antrian peserta. Mereka berdesakan, namun tetap tertib dan tertata. Udara panas terik seakan tak dirasakan oleh mereka. Sound system dari panggung pentas seni yang disiapkan juga mulai bergema. Di sudut lain, senyum para pedagang di stan pameran mulai tersungging, membayangkan keuntungan yang bakal mereka kantongi dari arena.

Pada saat yang sama, beberapa ulama NU sedang berdialog dengan mufti dan cendekiawan dari 12 negara, dalam konferensi pra muktamar di Hotel Sahid Makassar. Mereka antara lain Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Suriah), Dr Amr Mustafa Hassanein Fefaie El Wardany (Mesir), Datok Haji Wan Zahidi Haji Wan The (Malaysia), Mr Ekrem Kelec (Turki), Abdurahman Bin Abdullah Azaid (Arab Saudi), Mohammed AN Abualrob Khadra (Palestina), Sulaiman Usman Muhammad Tula (Sudan), Syeikh Hasan Abdallah, Syeikh Maulana Ahmad Zein, Syeikh Abd Annasir Jabri, Syeikh Saaduddin Muhammad Ajouz, Dr Ghalib Arraisi (semuanya dari Lebanon) dan Nidhomuddin Sam Za’i (Maroko). Sedangkan di peserta dari luar Timur Tengah adalah Sadekov Komili (Rusia), Meuleman Johan Hendrik (Belanda), Ikebal Mohammed Adam Patel (Australia), Ju Hwa Lee (Korea) dan Eng Essam Fadel Al Shangqiti (IDB).
Dalam konferensi bertajuk “peran ulama memajukan dunia Islam” itu disepakati tiga rekomendasi yang dibacakan Ketua PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA. Pertama, menyatukan persepsi dunia Islam yang selama ini terpecah untuk memajukan dunia Islam. Kedua, merumuskan konsep strategis yang dibuat untuk meningkatkan peradaban Islam, terutama dengan pendekatan keagamaan. Ketiga, membangkitkan peranan ulama di masa kini dan mendatang.

Tiga rekomendasi yang dihasilkan menjadi poin kesepakatan yang akan dibawa ke pertemuan Liga Arab yang akan berlangsung di Libya, beberapa bulan mendatang. Bahkan akan menjadi bahan rekomendasi resmi ke Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Tanggapan Positif

Di sela-sela muktamar, sejumlah perwakilan negara sahabat yang hadir turut mengungkapkan rasa optimis mereka, bahwa Nahdlatul Ulama akan mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara Indonesia dengan kepemimpinan yang baru.

Presiden The Australian Federation of Islamic Councils Ikebal Mohammed Adam Patel menga-takan, pihaknya optimistis melalui Muktamar NU ke-32 ini energi para muktamirin akan mampu tersalurkan dalam memilih pemimpin yang terbaik bagi masa depan NU. “Pemimpin yang baik adalah yang mampu menjembatani keharmo-nisan antara masyarakat dan pemimpinnya, termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki pemikiran positif,” kata Ikebal.

Mengenai sinyalemen yang mendeskreditkan penganut agama Islam sebagai pelaku teror di se-jumlah negara – termasuk Australia, menurut Ikebal, NU sebagai organisasi Islam terbesar harus mampu menepis anggapan tersebut dengan melakukan pembinaan pada umat muslim. “Sesungguhnya umat Islam mencintai perdamaian. Kalaupun ada sinyalemen bahwa muslim radikal terkait dengan terorisme, itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik suatu negara dan dunia,” ujarnya.

Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia Abdulrahman Mohammed Amen Al-Khayyat juga mengharapkan muktamar kali ini dapat melahirkan perubahan bagi Indonesia untuk keluar dari berbagai persoalan. Menurut dia, perhelatan akbar ormas Islam terbesar di Indonesia ini merupakan momentum yang baik untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam menentukan arah perjuangan organisasi ke depan.

“Sejarah membuktikan, organisasi ini mampu berkiprah tidak hanya di negerinya, tetapi juga menjadi perhitungan organisasi Islam dunia melalui ketokohan sejumlah pemimpin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU,” tuturnya.

Senada dengan itu, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Al-Mehdawi, turut memberikan sambu-tan hangat atas terselenggaranya muktamar kali ini. Diplomat yang bertugas di Indonesia sejak tiga tahun lalu itu merasa optimis bahwa muktamar bisa menghasilkan keputusan-keputusan penting untuk NU, Islam dan Indonesia.
Faris juga berharap agar NU tidak terlalu dalam masuk ke dunia politik. Tapi lebih banyak berperan dalam kehidupan sosial dalam peningkatan kemajuan ekonomi dan pendidikan.

“Ke depan, NU harus terus berperan dalam kemajuan ekonomi dan pendidikan. Itulah inti dari keberadaan NU sebagai unsur penting dalam kehidupan sosial di Indonesia, bukan dalam bidang poli-tik,” kata-nya saat ditemui di sela-sela konferensi.

Muktamar di Mata Pengamat

Selain para pejabat negara, tampak pula beberapa peneliti asing yang hadir dalam muktamar kali ini. Mereka, antara lain peneliti NU senior dari Belanda Martin Van Bruinessen, Mitsuo Nakamura dari Jepang dan Andree Feillard dari Prancis serta beberapa peneliti muda dari Amerika, Jepang dan Prancis.

Kepada Aula, Martin mengungkapkan dua kesan yang ia rasakan berbeda di banding muktamar sebelumnya. Pertama, diadakannya muktamar di luar Jawa menjadi salah satu agenda strategis NU ke depan. Pasalnya, keterlibatan warga NU selama ini didominasi oleh penduduk pulau Jawa sebagai basis utama massa NU. “Sebenarnya wajar kalau orang menganggap bahwa NU itu Jawa sentris, karena basis massanya ada di Jawa. Tapi dengan diadakannya muktamar di luar Jawa sekarang ini, baik sekali untuk melibatkan warga NU luar Jawa dan menumbuhkan keinginan kuat mereka untuk berperan lebih besar di dalam NU,” ungkapnya.

Kedua, meskipun sesungguhnya persaingan untuk menjadi Ketua Umum PBNU selalu ada di setiap muktamar, tapi kali ini Martin melihatnya sangat terbuka. Baginya, ini adalah fenomena yang sangat erat hubungannya dengan fakta bahwa sejak tahun 1998 segala aspek kehidupan di Indonesia banyak yang dipolitisir. “Daya tarik politik terlalu kuat dan tentu berpengaruh ter-hadap perjalanan NU,” lanjutnya.

Ke depan, Martin berharap NU terus menjadi wadah generasi muda untuk mengembangkan intelektualitasnya. NU tidak perlu lagi ditarik pada kepentingan politik sebagian elit yang belum tentu sama dengan kepentingan politik warga NU yang ada di bawah.

“NU mewakili sebagian besar dari umat Islam Indonesia. Orang bilang 25 juta ada yang bilang 40 juta. Yang jelas sebagian rakyat Indonesia terwakili oleh NU. Maka para elit tidak boleh memikirkan kepentingan sendiri, tapi harus memikirkan warga NU yang tersebar di desa-desa maupun kota. Warga NU harus tetap optimis. Tapi itu belum cukup, harus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya sehingga NU tidak hanya dilihat dari jumlah massanya yang besar, tapi juga bisa berperan dalam bidang sosial, ekonomi dan keagamaan,” lanjut profesor di Utrecht University, Belanda ini.

Sedangkan Mitsuo Nakamura sangat mengapresiasi kemajuan NU dalam bidang teknologi informasi. Dalam muktamar kali ini, pada setiap ruangan disediakan layar monitor, sehingga siapapun bisa memantau setiap momen yang terjadi tanpa harus hadir di ruang sidang karena disiarkan secara live oleh TV9 milik PWNU Jawa Timur. Selain itu, menurutnya, keberadaan NU Online juga menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi NU. Melalui situs resmi PBNU itu, ia mengaku sangat terbantu ketika berada di Jepang dan ingin mengetahui perkembangan NU di Indonesia.

Di sisi lain, professor dari Chiba University ini juga melihat per-kembangan NU yang menjelma menjadi menjadi organisasi yang sangat demokratis sejak adanya reformasi.
“Dulu ketika di zaman Orde Baru, NU harus melawan intervensi dari luar sehingga agak tertutup. Tapi sekarang terkesan sangat terbuka dan perbedaan pendapat disikapi secara alamiah dan bijak,” terang peneliti yang tertarik pada NU karena Gus Dur itu.

Adapun banyaknya kandidat yang bersaing dalam muktamar, bagi Nakamura, hal itu menun-jukkan pluralitas unsur di dalam NU. Maka ia berharap agar sang pemimpin yang terpilih dapat mengakomodir semua unsur yang ada di dalam NU.

“Satu hal lagi yang terasa berbeda adalah ketidakhadiran Gus Dur. Ya, saya dan kawan-kawan peneliti di luar negeri merasa kehilangan. Gus Dur adalah phenomenon history. Saya mulai tertarik dengan NU karena dikenalkan oleh Gus Dur. Tapi meskipun secara fisik Gus Dur sudah tidak ada, saya merasakan sekarang Gus Dur ada di mana-mana melalui pemikiran dan warisan beliau,” jelas peneliti yang mengikuti Muktamar NU sejak 1979 ini.

Di mata Nakamura, NU sebagai civil society memiliki potensi-potensi besar untuk berperan bagi kemajuan Indonesia maupun dunia. Ke depan, ia berharap agar NU dapat menjadi bagian solusi, setidaknya terhadap dua hal. Pertama, ikut memberantas kemiskinan. “Ekonomi makro Indonesia memang terus meningkat. Masih banyak warga miskin yang lemah, dan NU harus beperan memberikan solusi,” jelas peneliti yang pernah mengajar di Universitas Indonesai itu.

Kedua, berpartisipasi mengatasi konflik kemanusiaan karena unsur agama. Kepada negara-negara berpenduduk mayoritas nonmuslim, NU harus terus berdakwah mewujudkan misi perdamaian Islam ala NU. Di internal umat Islam sendiri, NU juga harus meningkatkan dialog-dialog sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

“NU bergerak di dalam sebuah negara dengan jumlah orang Islam yang terbanyak di dunia. Dan hubungan antara masyarakat yang beragama Islam dan non Islam merupakan salah satu faktor yang menentukan nasibnya umat manusia pada hari depan,” pungkas Nakamura, yang datang ke Makassar bersama istri yang juga seorang antropolog dan sedang meneliti tentang pesantren. (AULA No.04/XXXII April 2010)

Ummurrisalah: Muktamar Tak Bahas Rekonsiliasi PKB


Komisi Rekomendasi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 telah menyelesaikan tugasnya. Di antara beberapa rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah dan lem-baga lainnya adalah meminta agar Islam tidak dibajak oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan agama.

Bahkan, komisi ini merekomendasikan membentuk suatu lembaga yang berfungsi meredam terorisme dan meluruskan pemahaman bahwa jihad bukanlah terorisme.
“Salah satu rekomendasi yang dihasilkan komisi kami adalah membentuk suatu badan yang berfungsi memberantas terorisme secara kultural dan ideologi dan meluruskan konsep pema-haman tentang jihad,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Prof Dr H Masykuri Abdillah.
Menurutnya, hal yang penting dilakukan badan tersebut adalah meluruskan pemahaman keagamaan bahwa jihad itu bukan terorisme, begitu pula segala bentuk teror yang mengatasnamakan jihad, sebab beberapa kelompok yang melakukan aksi teror kerap menggunakan dalil jihad. Selain itu, ia mengatakan, diperlukan pula status hukum yang menegaskan anti terorisme untuk meredam aksi-aksi teror yang terjadi di tanah air. Karena itu, membendung dan memberantas terorisme dengan cara pendekatan kultural, ideologi dan secara hukum sangat diperlukan. “Kita mengeluarkan rekomendasi kepada se-mua pihak agar menjaga agama, agar jangan sampai dibajak atas nama terorisme,” katanya. Selain itu, Muktamar NU juga mengeluarkan rekomendasi penanganan terorisme dari sisi hukum secara tegas. “Dari segi hukum misalnya, dengan penegakan hukum baik dengan menggunakan alat negara melalui serangan militer atau menggunakan Densus 88,” katanya.

Oleh karena itu, Muktamar merekomandasikan agar dilakukan upaya pelurusan persepsi global terhadap jihad yang disalahpahami sebagai terorisme. Bahwa jihad bukanlah terorisme karena terorisme bukanlah ajaran Islam. Pemerintah hendaknya melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan konflik, terutama konflik-konflik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference of Islamic Scholars (ICIS), perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih besar lagi, agar peran yang dilakukan bisa lebih maksimal. Di sisi lain, lanjutnya, melalui kegiatan dakwah di masjid dan majelis taklim terus disosialisasikan bahwa jihad itu bukan terorisme dan Islam bukan pendukung terorisme. NU juga mengajak Ormas, LSM dan pemerintah bekerja sama dalam mewujudkan “deradikalisasi”, serta mengajak pe-laku-pelaku teror berdialog dan kembali ke ajaran yang benar.

Selain itu, komisi ini juga mengu-sulkan agar pembaruan pemikiran gerakan Islam tidak menyimpang dari Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Sejalan dengan keyakinan umat bahwa Islam itu tetap sesuai dengan semua waktu dan tempat (shalih likull zaman wa makan), pembaruan (tajdid) pemahaman keagamaan merupakan suatu keniscayaan, karena masyarakat kini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ide-ide pembaruan keaga-maan di era reformasi ini semakin kencang dihembuskan oleh berbagai kalangan Islam, baik yang berlatar belakang tradisionalis maupun mo-dernis sendiri, meski kedua kelom-pok ini kini tidak memiliki perbedaan yang berarti. “Di antara ide-ide pembaruan itu ada yang mendukung pengunaan rasio secara bebas dan meninggalkan teks-teks (nash-nash) al-Quran dan Hadits, termasuk yang bersifat absolut (qath’i), sehingga hal ini telah mengarah pada tingkat me-resahkan tokoh dan umat Islam,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Panitia ICIS III ini.

Oleh karena itu, Muktamar me-nekankan kembali, bahwa ide-ide pembaruan (tajdid) pemahaman agama merupakan suatu keharusan, tetapi pembaruan ini seharusnya tetap sejalan dengan standar metodologi pemahaman agama yang telah menjadi konsesus ulama mayoritas (ahlussunnah wal jama’ah), dengan tetap berpegang pada kaidah: al-muhâfazhah ‘alal qadîmis shâlih wal akhdzu bil jadîdil ashlah (mempertahankan ide-ide lama yang baik dan mengambil ide-ide baru yang lebih baik). Di antara pembaruan yang sangat dibutuhkan pada saat ini adalah pengutamaan teologi tentang pan-dangan hidup (world view) yang lebih dinamis (menekankan ikhtiar) dari-pada yang bersifat statis (menekankan taqdir) dalam rangka memperkuat motivasi bagi percepatan pembangu-nan umat dan bangsa Indonesia.

Komisi Rekomendasi juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi di bi-dang politik, ekonomi, pendidikan, penegakan hukum dan HAM. Soal pendidikan, misalnya, walau sistem pendidikan nasional sudah baik, tapi kurang memperhatikan pendidikan di pondok pesantren. Bidang kese-hatan yang belum menyentuh kalangan masyarakat desa, kelompok bawah dan miskin, sehingga perlu-nya pemberdayaan kembali Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Terkait politik, NU menilai etika politik di Indonesia semakin demokratis, tapi belum menyentuh hal yang substantif. Sebab, belum dibarengi dengan budaya etika yang baik. “Misalnya di dalam Pilkada dan organisasi tertentu, kadang-kadang masih menggunakan money politics,” ujar Masykuri.

Adapun dalam kancah perpolitikan internasional, pemerintah juga diminta aktif dengan melibat-kan unsur masyarakat atau people to people. “Ini terkait image building terkait soal budaya Islam dan terorisme. Pemerintah bisa aktif dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat dunia, seperti di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Myanmar, Uighur, Palestina dan lainnya,” pungkasnya.

Di sisi lain, desakan agar NU mendorong rekonsiliasi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa ternyata batal masuk dalam salah satu reko-mendasi muktamar. Padahal banyak pihak jauh-jauh hari mengharapkan NU ikut urun rembug menyelesaikan kisruh di parpol yang kelahiranya ia fasilitasi. Bahkan, tidak hanya berupa desakan, beberapa PCNU dari Jatim juga telah membawa sekaligus menawarkan konsep rekonsiliasi yang telah disusun beberapa pihak di Surabaya sebelum pelaksanaan muktamar. Salah satunya ialah agar PBNU membentuk tim rekonsiliasi untuk segera menyelesaikan kemelut di partai yang identik dengan Gus Dur itu.

Penyelesaian terkait dengan konflik internal di PKB nanti hanya akan dilakukan secara informal. Artinya, NU bisa mengambil posisi melalui peran etik dan moral. Atau, melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terkait agar bersatu, bukan hanya untuk kader NU di PKB, tapi juga di seluruh parpol yang ada.

Keputusan tersebut dipastikan dalam rapat pleno komisi-komisi. Mayoritas PCNU dan PWNU berpan-dangan bahwa NU dan PKB me-miliki wilayah yang berbeda. “NU memang punya tanggung jawab, tapi tanggung jawab itu tidak harus dilakukan secara formal,” tegas Sekretaris Panitia Muktamar Taufik R Abdullah. (AULA No.04/XXXII April 2010)