Selasa, 27 April 2010

Nuansa: Baayun Mulud

Meneladani Nabi Lewat Tradisi

Awalnya, tradisi ini adalah upacara nenek moyang orang Banjar yang masih beragama Kaharingan (anismisme). Lalu, ratusan tahun silam, para pendakwah dengan arif meniupkan ruh Islam dalam tradisi yang disebut Baayun Mulud ini. Sarat nilai filosofis, pesan religiusitas, dan kearifan lokal (local wisdom).

Pada masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan, memberi nama yang baik sebagai harapan bagi hidupnya kelak, merupakan sebuah kewajiban. Pemberian nama dalam adat Banjar dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking (tali/tangkai) pusat, pada saat itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan cocok untuk anak tersebut.

Pada waktu pemotongan tang-king bayi itu akan di-lantak-kan (dimasukkan seperti ditanam) serbuk rautan emas dan serbuk intan ke dalam lubang pangkal pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak kelak kalau sudah dewasa memiliki semangat keras dan hidup berharga seperti sifat intan dan emas.
Pada upacara ini akan dimulai dengan membaca ayat suci al-Quran kemudian diteruskan dengan pemberian nama resmi kepada anak yang dilakukan oleh patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu pemberian nama selesai diucapkan, rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diisapkan garam, madu, dan air kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si anak berguna bagi kehidupan manusia seperti sifat benda tersebut. Anak yang sudah diberi nama ini akan dibawa berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir di acara tersebut (terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si anak.

Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan). Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa, dan lain-lain.

Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan seperti sarana kemusyrikan seba-gaimana tuduhan kaum puritan, tetapi nantinya dimakan beramai-ramai oleh orang yang hadir. Sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus merekatkan ikatan emosional masyarakat. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.

Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair Barzanji, syair Syarafal Anam, dan syair Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat di-mulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan.
Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang tua yang hadir ber-harap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan biasanya akan diayun oleh ibunya, ayunan ini mem-berikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk peristiwa maulud Nabi. Demikian dalam catatan Museum Lambung Mangkurat.

Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibaratkan melakukan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.

Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang tua yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat bahagia dan beruntung. “Tradisi ini sarat dengan sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi dan prosesi budaya yang berharga bagi perkembangan Islam di Kalsel,” terang Zulfa Jamalie tuli-sannya yang berjudul “Kearifan Lokal Dakwah dalam Tradisi Baayun Anak di Banua Halat”.

Uniknya, peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksa-nakan saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan saat ini ada saja orang yang sudah dewasa ikut baayun. “Tujuannya beragam, ada yang sekedar ingin ikut-ikutan tetapi sebagian besar karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah, serta sebagai ucapan syukur setelah satu keinginan telah terwujud,” ujar Abdul Khaer, alumni IAIN Antasari Banjarmasin.

Menurutnya, tradisi semacam ini haruslah tetap dilestarikan sebagai salah satu bagian dari kekayaan khazanah budaya Nusantara. Terlebih, Baayun Mulud juga merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam meniupkan ruh Islam pada tradisi nenek moyang. “Sehingga, dengan cara seperti ini Islam bisa membumi di kawasan Nusantara.” lanjutnya.

Membumikan Islam

Setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu. Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan (ladang) menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upa-cara adalah Balai, semacam balairung besar.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhir-nya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Sehingga jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. “Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam,” demikian terang sejarawan Banjar, HA Gazali Usman.

Menurutnya, tradisi semacam ini merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam melakukan islamisasi budaya-budaya lokal, sehingga selaras dengan nilai-nilai Islam.
Inilah dialetika agama dan budaya. Budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya. Sehingga dengan model relasi yang seperti itu mereka tetap menjaga dan me-lestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecin-taan umat kepada Nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehi-dupan. (AULA No. 05/XXXII April 2010)