Tampilkan postingan dengan label Cover. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cover. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 24 Mei 2014
Selasa, 08 April 2014
Senin, 11 November 2013
Selasa, 01 Oktober 2013
Jumat, 30 Agustus 2013
Senin, 05 Agustus 2013
Kamis, 27 Juni 2013
Kamis, 13 Juni 2013
Selasa, 30 April 2013
Kamis, 28 Maret 2013
Rabu, 06 Maret 2013
AULA Maret 2013
Bersih-Bersih NU
dengan Ahlul Halli Wal Aqdi
Saat Konferensi Wilayah NU Jawa
Timur mendatang akan menggunakan konsep Ahlul Halli Wal Aqdi atau sistem
perwakilan. Dengan demikian pemilihan rais dan ketua tidak akan menggunakan
pilihan langsung. Bila berhasil, dimungkinkan model ini menjadi pilihan saat
muktamar kelak.
Ajang konferensi dalam rangka
menata dan rencana kinerja Nahdlatul Ulama Jawa Timur sekaligus suksesi
kepemimpinan akan segera digelar. Namun ada nuansa berbeda dari tradisi lima
tahunan ini, yakni digunakannya metode Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) untuk
menentukan jabatan rais dan ketua.
Dengan demikian, disamping skala prioritas dari amanat peserta
konferensi kepada kepengurusan terbaru, pola suksesi dengan pendekatan Ahwal
akan sangat menyita perhatian. Karena ini model baru dan belum pernah digunakan
sebelumnya.
NU Jawa Timur memang seperti diakui banyak kalangan sebagai barometer
NU tanah air. Dari sinilah banyak ide segar dan penuh inovasi dibahas,
didiskusikan dengan sangat intensif serta pada gilirannya mendapatkan sambutan
dari NU di Indonesia. “Ibarat Makkah, maka NU Jawa Timur adalah kiblat bagi NU
di seluruh tanah air,” kata almarhum KH Endin Fachruddin Masthura suatu ketika.
Bersih
Diri dengan Ahwa
Boleh jadi itu adalah klaim dan membanggakan. Namun pada saat yang
sama, adalah sebuah tantangan untuk benar-benar menjadi pioner bagi kebaikan
dan percontohan jam’iyah ini. Ahwal didedikasikan untuk tampil dan terpilihnya
sosok pemimpin yang lebih bersih. Karena imbas dari demokrasi yang dianut
negeri ini mensyaratkan proses pemilihan secara langsung. Dan “ongkos” yang
harus dikeluarkan bagi calon pemimpin ternyata lumayan besar dan tinggi.
Dan ternyata, pemilihan
langsung juga berimbas kepada pesta demokrasi di NU. Dalam ajang konferensi di
beberapa PC maupun PWNU, ternyata sering terdengar adanya permainan uang
atau riswah. Karena itu untuk konferensi mendatang pemilihan rais dan ketua tidak dilakukan secara langsung, namun
dengan mendelegasikan kepada sejumlah orang pilihan. Konsep ini dikenal
dengan Ahwal.
Mengapa harus Ahwa? Salah seorang konseptor Ahwa, H Abdul Wahid
Asa menandaskan bahwa imbas pesta demokrasi yang mensyaratkan pemilihan calon
pemimpin dengan pilihan langsung ternyata membawa “penyakit” yang lumayan akut.
“Setiap proses pemilihan calon pemimpin harus disertai dengan uang,” katanya
kepada Aula.
Wakil Ketua PWNU Jatim ini
merasa “ongkos” yang harus dibayar dalam rangka
mensukseskan pesta demokrasi sangatlah mahal. “Mau jadi kepala
desa saja harus membayar ratusan juta,” katanya geleng-geleng kepala. “Apalagi
pilihan bupati, gubernur, calon anggota legislatif, pasti tidak ada yang
gratis,” lanjutnya.
Dan celakanya, budaya penggunaan uang atau suap ini terjadi juga di NU. Riswah atau money politics
itu juga sebagian terjadi pada konferensi di tingkat kabupaten maupun kota.
Sehingga hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang bisa menjadi pemimpin.
“Mereka yang jujur, lurus, dan amanah tidak akan bisa menjadi pemimpin,” kata
salah seorang Rais PBNU, KH A Hasyim Muzadi suatu ketika.
Melihat gejala tidak sehat ini, PWNU Jawa Timur ingin mengawali untuk bersih-bersih dari dirinya sendiri. “Kita tidak mungkin menyuruh
orang lain bersih kalau tidak dari diri sendiri,” kata Pak Wahid, sapaan akrab
H Abdul Wahid Asa.
Apakah hal ini tidak bertentangan
dengan mekanisme dan aturan di NU? Pak Wahid dengan sigap menandaskan bahwa
penggunaan perwakilan atau Ahwa tidak bertentangan dengan aturan. Bahkan kalau
diteliti, model pemilihan di NU adalah dengan pemilihan langsung dan musyawarah.
“Kalimat musyawarah ini kita formulasikan dengan Ahwa,” tandasnya.
Dengan Ahwa, maka akan kecil kemungkinan akan terjadi riswah.
“Ini juga sebagai wahana untuk
memperkenalkan mekanisme pemilihan pucuk pimpinan yang dibenarkan dalam
aturan organisasi,” lanjutnya.
Kendati demikian, bukan berarti sistem ini akan
meniadakan sama sekali unsur riswah. Rais PCNU Jombang, KH Abd Nashir
Fattah menandaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa Ahwal akan sepi dari unsur riswah.
“Karena
masih ada kemungkinan orang-orang yang menjadi anggota ahlul halli wal
aqdi tidak bebas dari riswah,” terang kiai yang juga Pengasuh
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini.
Bahkan sejak awal PCNU Jombang mewacanakan mekanisme Ahwa. “PCNU Jombang sudah mengusulkan hal tersebut
sejak konferwil yang lalu dan menjelang Muktamar Makassar, tetapi masih belum
mendapat tanggapan yang baik,” tandasnya.
Namun dibandingkan dengan pemungutan suara, saat ini Ahwa lebih bisa menghindari praktik riswah.
Mekanisme ini bisa dipilih dengan pertimbangan akhaffu dlarurain atau
memilih yang lebih ringan keburukannya.
Hal senada juga disampaikan Ketua PCNU
Sumenep, H Pandji Taufik. “Formula Ahwa bukan terapi cespleng bagi upaya
membersihkan diri dari money politics,” katanya. Namun Pak Panji menandaskan
bahwa setidaknya dengan Ahwa, kemungkinan akan adanya unsur politik uang dapat
diminimalisir.
Akan tetapi cara ini mendapat koreksi dari salah seorang Ketua
PBNU, Slamet Effendy Yusuf. “NU itu
organisasi yang memiliki aturan,” katanya. Ketua Umum PP GP Ansor dua periode
ini menandaskan bahwa metode Ahwa
tidak dibenarkan dalam AD/ART NU. “Kembalikan semua kepada aturan main,” tandasnya. Kalau memang ingin mengubah aturan pemilihan pucuk pimpinan, maka hendaknya dibahas dan diperjuangkan di forum
tertinggi organisasi, yakni muktamar.
Terlepas dari itu semua, para
pendahulu telah menggunakan Ahwa sebagai media untuk memilih calon
pemimpin. Saat Muktamar di Situbondo, terpilihnya duet KH Ahmad Shiddiq dan KH
Abdurrahman Wahid adalah hasil implementasi Ahwa.
Namun Slamet Effendy Yusuf segera
menimpali bahwa penggunaan Ahwa untuk Muktamar Situbondo karena memang dikehendaki
muktamirin. “Pada saat pemandangan umum dari pengurus wilayah dan kiai
berpengaruh, mayoritas menghendaki Ahlul Halli Wal Aqdi,” terangnya.
“Sehingga saat itu juga diputuskan untuk menggunakan model Ahlul Halli Wal
Aqdi untuk penentuan rais dan ketua umum,” sergahnya.
Bisa jadi, imbas demokrasi langsung yang dianut bangsa ini
akhirnya memaksa banyak para pemimpin untuk berburu suara rakyat dengan riswah.
Namun diharapkan, “penyakit” ini tidak sampai menggerogoti para aktifis jam’iyah.
Mereka harus terus dikawal dengan sistem dan mekanisme yang memaksanya untuk
menjadi orang bersih.
Tugas
NU adalah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dan itu adalah tugas
mulia. Karena pekerjaan atau tugas
mulia, hanya orang bersih saja yang bisa memerankan amanah itu dengan baik. Dan
NU sudah sepatutnya menjadi bagian dari kalangan yang bersih. Bisakah formula Ahwa
dijadikan solusi bagi upaya bersih-bersih ini? Kita saksikan saat Konferwil NU
Jawa Timur mendatang. (saifullah)
Sabtu, 09 Februari 2013
Jumat, 04 Januari 2013
Aula Januari 2013
Membidik Sang Tokoh Utama
Nama mendiang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali banyak diperbincangkan. Bukan dengan pujian, tapi penistaan. Setelah kasus pelecehan oleh politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dianggap selesai, muncul penistaan dalam bentuk yang lain. Kali ini melalui Lembar Kerja Siswa (LKS). Dampak serangan yang satu ini malah jauh lebih berbahaya. Sengaja?
Awal bulan Desember lalu banyak warga NU melakukan demo di beberapa tempat. Yah, itu karena mendiang Gus Dur, tokoh panutan mereka, dilecehkan begitu saja di banyak sekolah melalui LKS. LKS bernuansa merendahkan martabat seorang mantan presiden itu ditemukan di banyak tempat, seperti Tasikmalaya, Sukabumi, Gresik, Tulungagung, Jombang, dlsb. Di kota-kota itulah massa pemuda NU pecinta Gus Dur langsung bergolak melakukan protes keras. Kebanyakan mereka mendemo kantor dinas pendidikan, kantor kementrian agama atau kantor Pemkab setempat. Mereka menuntut agar LKS itu ditarik, diusut dan pelakunya diberikan sanksi yang tegas.
Beberapa LKS dari penerbitan yang berbeda memang terkesan berlebihan menuduh Gus Dur terlibat korupsi. Sebut saja LKS terbitan CV Hayati Tumbuh Subur terbitan Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Tuduhan Gus Dur terlibat skandal Bruneigate dan Buloggate terdapat di halaman 35. Fitnah di lembar LKS Sejarah yang terlanjur beredar di kalangan pelajar itu diulangi lagi pada soal tanya jawab di halaman 40, tepatnya pada soal nomor 9 dan 15. Pada soal multiple choice pada LKS yang diperuntukkan pelajar SMA dan MA kelas XII itu berbunyi: “Kasus korupsi yang menimpa Abdurahman Wahid sehingga dipecat dari kursi kepresidenan yaitu ...” kemudian di bawahnya terdapat pilihan jawaban Pertaminagate, Buloggate, Pelnigate, Garudagate dan Presidentgate. Subhanallah! Sebuah penggiringan yang sempurna. Di LKS yang lain ditulis dengan bahasa yang lain dan bentuk soal yang lain pula.
Terlepas dari gaya bahasa dan penerbit yang berbeda, ada indikasi kuat para pembuat soal adalah orang yang sama atau orang yang bekerjasama. Tanda-tanda itu dapat dibaca dari adanya kemiripan soal, waktu ditemukan yang hampir bersamaan, dan kelas yang dituju juga sama pula. Namun sayang, hingga kini jaringan mereka belum terbongkar oleh Diknas, Kemenag maupun aparat kepolisian.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Dr Nur Syam, mensinyalir ada tiga kemungkinan motif di balik pembuatan LKS tersebut. Pertama, ketidaksengajaan. Bisa jadi penulis tidak sengaja membuat soal yang dapat memicu masalah tersebut. Kedua, sengaja, tapi menganggap hal itu bukan masalah. Penulis merasa tidak bersalah, sebab dia menganggap soal yang disampaikan tersebut merupakan fakta yang memang sudah diketahui oleh publik. Ketiga, memang ada muatan politis. Namun, menurut mantan Rektor IAIN Sunan Ampel itu, apapun motif yang menyertai, dalam kasus pelecehan terhadap Gus Dur ini, penulis soal lalai pada unsur ideologis. Sosok Gus Dur merupakan tokoh terhormat yang memiliki banyak pengikut yang merasa terikat dengan sang tokoh. “Seharusnya,” kata tokoh asal Merakurak Tuban itu, “Penulis memperhitungkan bukan hanya soal aspek fakta, namun juga muatan politis dan ideologis tersebut,” jelasnya.
Beda Sutan dan LKS
Sama-sama melecehkan nama besar KH Abdurrahman Wahid, namun antara Sutan Bhatoegana dan LKS memiliki bobot yang berbeda. Bisa jadi Sutan mengucapkan kalimat yang melecehkan Gus Dur itu bersifat spontan, akibat terpancing oleh omongan Adhi Massardi yang terlebih dulu menyebut rezim Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh panutan Sutan, melindungi para koruptor. Pun demikian, ketika tekanan masyarakat pencinta Gus Dur semakin kuat, politisi asal Pematangsiantar yang terkenal dengan kengototan dan mendeliknya itu akhirnya bersedia meminta maaf kepada keluarga Gus Dur.
Lain halnya dengan LKS. Untuk dikatakan tidak ada kesengajaan rasanya tidak masuk akal. Sebab penulisan soal yang berkaitan dengan dunia pendidikan tentulah sudah direncanakan dalam waktu lama, dianggarkan dan ada lembaga yang memverifikasi. Kesempatan untuk melakukan koreksi masih terbuka lebar, mengingat LKS dalam bentuk tertulis di atas kertas. “Saya yakin, ada skenario besar yang sedang menggarap pembelokan sejarah nasional, menjelekkan citra Gus Dur, para ulama dan kaum nahdliyin,” kata Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, H Alfa Isnaeni. Untuk itulah anak-anak muda Ansor dan Banser langsung turun ke jalan meluruskan pembelokan sejarah bangsa tersebut saat mereka mengetahui hal itu. “Kalau hanya dibalas dengan tulisan, nggak dengar mereka itu. Makanya harus kita lawan,” lanjut Alfa dengan nada tinggi.
Terlepas dari motif Sutan Bhatoegana dan penulis soal yang melecehkan nama Gus Dur, Yenny Wahid, salah seorang putri Gus Dur, mengaku dapat memetik hikmah dari peristiwa itu. Yenny jadi mengerti, rupanya masih ada orang salah paham, selama ini Gus Dur lengser dianggap karena kasus korupsi. “Nah, dengan peristiwa itu, ada moment untuk meluruskan sejarah, meluruskan pemahaman yang salah kaprah di sebagian orang, terutama generasi muda,” jelasnya.
Disinggung tentang dampak buruk, istri anggota DPR RI dari Partai Gerindra Dhohir Farisi itu mengaku dampak LKS jauh lebih berat diban-ding ocehan Sutan. “Terus terang, beredarnya LKS yang membelokkan sejarah itu terasa sadis sekali. Mereka meracuni pikiran bawah sadar generasi muda. Makanya harus ditarik dari peredaran,” tambah alumnus Harvard Kennedy School of Government yang kini menjabat Direktur Wahid Institute itu.
Pembelokan Sejarah Bangsa
Dapat dipastikan, penistaan nama Gus Dur dari buku-buku LKS bukanlah akibat kelalaian, tapi merupakan kesengajaan. Tujuannya untuk membelokkan sejarah dan meracuni pikiran generasi mendatang, seakan Gus Dur telah melakukan korupsi lalu diberhentikan dari kursi kepresidenan. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Jika memang Gus Dur turun karena korupsi, pastilah didahului dengan proses pengadilan hingga ia terbukti secara sah dan meyakinkan. Barulah keputusan MPR dibuat. Nyatanya, Gus Dur tidak pernah dibawa ke persidangan.
Yang benar, Gus Dur jatuh karena tidak mau kompromi dengan DPR, yang saat itu memang terlalu power full. Gus Dur juga terlalu kencang mengobrak-abrik birokrasi yang telah puluhan tahun menjadi sarang koruptor, sementara para penikmat korupsi yang telah mengurat dan mengakar itu telah bergabung menjadi lawan politiknya. Mereka bersekongkol untuk mengenyahkan siapa saja yang menghalangi mereka. Terbukti, kini setelah Gus Dur tidak ada, korupsi malah makin menjadi-jadi. Di sinilah semakin jelas, siapa sebenarnya perampok yang berteriak maling. Sengaja nama Gus Dur dijadikan sasaran, karena Gus Dur merupakan lambang nahdliyin. Ketika nama Gus Dur rusak, rusak pula nama kaum nahdliyin. Beruntung, langkah licik itu ketahuan sehingga kaum nahdliyin sekarang makin berhati-hati. (Mohammad Subhan)
Nama mendiang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali banyak diperbincangkan. Bukan dengan pujian, tapi penistaan. Setelah kasus pelecehan oleh politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dianggap selesai, muncul penistaan dalam bentuk yang lain. Kali ini melalui Lembar Kerja Siswa (LKS). Dampak serangan yang satu ini malah jauh lebih berbahaya. Sengaja?
Awal bulan Desember lalu banyak warga NU melakukan demo di beberapa tempat. Yah, itu karena mendiang Gus Dur, tokoh panutan mereka, dilecehkan begitu saja di banyak sekolah melalui LKS. LKS bernuansa merendahkan martabat seorang mantan presiden itu ditemukan di banyak tempat, seperti Tasikmalaya, Sukabumi, Gresik, Tulungagung, Jombang, dlsb. Di kota-kota itulah massa pemuda NU pecinta Gus Dur langsung bergolak melakukan protes keras. Kebanyakan mereka mendemo kantor dinas pendidikan, kantor kementrian agama atau kantor Pemkab setempat. Mereka menuntut agar LKS itu ditarik, diusut dan pelakunya diberikan sanksi yang tegas.
Beberapa LKS dari penerbitan yang berbeda memang terkesan berlebihan menuduh Gus Dur terlibat korupsi. Sebut saja LKS terbitan CV Hayati Tumbuh Subur terbitan Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Tuduhan Gus Dur terlibat skandal Bruneigate dan Buloggate terdapat di halaman 35. Fitnah di lembar LKS Sejarah yang terlanjur beredar di kalangan pelajar itu diulangi lagi pada soal tanya jawab di halaman 40, tepatnya pada soal nomor 9 dan 15. Pada soal multiple choice pada LKS yang diperuntukkan pelajar SMA dan MA kelas XII itu berbunyi: “Kasus korupsi yang menimpa Abdurahman Wahid sehingga dipecat dari kursi kepresidenan yaitu ...” kemudian di bawahnya terdapat pilihan jawaban Pertaminagate, Buloggate, Pelnigate, Garudagate dan Presidentgate. Subhanallah! Sebuah penggiringan yang sempurna. Di LKS yang lain ditulis dengan bahasa yang lain dan bentuk soal yang lain pula.
Terlepas dari gaya bahasa dan penerbit yang berbeda, ada indikasi kuat para pembuat soal adalah orang yang sama atau orang yang bekerjasama. Tanda-tanda itu dapat dibaca dari adanya kemiripan soal, waktu ditemukan yang hampir bersamaan, dan kelas yang dituju juga sama pula. Namun sayang, hingga kini jaringan mereka belum terbongkar oleh Diknas, Kemenag maupun aparat kepolisian.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof Dr Nur Syam, mensinyalir ada tiga kemungkinan motif di balik pembuatan LKS tersebut. Pertama, ketidaksengajaan. Bisa jadi penulis tidak sengaja membuat soal yang dapat memicu masalah tersebut. Kedua, sengaja, tapi menganggap hal itu bukan masalah. Penulis merasa tidak bersalah, sebab dia menganggap soal yang disampaikan tersebut merupakan fakta yang memang sudah diketahui oleh publik. Ketiga, memang ada muatan politis. Namun, menurut mantan Rektor IAIN Sunan Ampel itu, apapun motif yang menyertai, dalam kasus pelecehan terhadap Gus Dur ini, penulis soal lalai pada unsur ideologis. Sosok Gus Dur merupakan tokoh terhormat yang memiliki banyak pengikut yang merasa terikat dengan sang tokoh. “Seharusnya,” kata tokoh asal Merakurak Tuban itu, “Penulis memperhitungkan bukan hanya soal aspek fakta, namun juga muatan politis dan ideologis tersebut,” jelasnya.
Beda Sutan dan LKS
Sama-sama melecehkan nama besar KH Abdurrahman Wahid, namun antara Sutan Bhatoegana dan LKS memiliki bobot yang berbeda. Bisa jadi Sutan mengucapkan kalimat yang melecehkan Gus Dur itu bersifat spontan, akibat terpancing oleh omongan Adhi Massardi yang terlebih dulu menyebut rezim Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh panutan Sutan, melindungi para koruptor. Pun demikian, ketika tekanan masyarakat pencinta Gus Dur semakin kuat, politisi asal Pematangsiantar yang terkenal dengan kengototan dan mendeliknya itu akhirnya bersedia meminta maaf kepada keluarga Gus Dur.
Lain halnya dengan LKS. Untuk dikatakan tidak ada kesengajaan rasanya tidak masuk akal. Sebab penulisan soal yang berkaitan dengan dunia pendidikan tentulah sudah direncanakan dalam waktu lama, dianggarkan dan ada lembaga yang memverifikasi. Kesempatan untuk melakukan koreksi masih terbuka lebar, mengingat LKS dalam bentuk tertulis di atas kertas. “Saya yakin, ada skenario besar yang sedang menggarap pembelokan sejarah nasional, menjelekkan citra Gus Dur, para ulama dan kaum nahdliyin,” kata Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, H Alfa Isnaeni. Untuk itulah anak-anak muda Ansor dan Banser langsung turun ke jalan meluruskan pembelokan sejarah bangsa tersebut saat mereka mengetahui hal itu. “Kalau hanya dibalas dengan tulisan, nggak dengar mereka itu. Makanya harus kita lawan,” lanjut Alfa dengan nada tinggi.
Terlepas dari motif Sutan Bhatoegana dan penulis soal yang melecehkan nama Gus Dur, Yenny Wahid, salah seorang putri Gus Dur, mengaku dapat memetik hikmah dari peristiwa itu. Yenny jadi mengerti, rupanya masih ada orang salah paham, selama ini Gus Dur lengser dianggap karena kasus korupsi. “Nah, dengan peristiwa itu, ada moment untuk meluruskan sejarah, meluruskan pemahaman yang salah kaprah di sebagian orang, terutama generasi muda,” jelasnya.
Disinggung tentang dampak buruk, istri anggota DPR RI dari Partai Gerindra Dhohir Farisi itu mengaku dampak LKS jauh lebih berat diban-ding ocehan Sutan. “Terus terang, beredarnya LKS yang membelokkan sejarah itu terasa sadis sekali. Mereka meracuni pikiran bawah sadar generasi muda. Makanya harus ditarik dari peredaran,” tambah alumnus Harvard Kennedy School of Government yang kini menjabat Direktur Wahid Institute itu.
Pembelokan Sejarah Bangsa
Dapat dipastikan, penistaan nama Gus Dur dari buku-buku LKS bukanlah akibat kelalaian, tapi merupakan kesengajaan. Tujuannya untuk membelokkan sejarah dan meracuni pikiran generasi mendatang, seakan Gus Dur telah melakukan korupsi lalu diberhentikan dari kursi kepresidenan. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Jika memang Gus Dur turun karena korupsi, pastilah didahului dengan proses pengadilan hingga ia terbukti secara sah dan meyakinkan. Barulah keputusan MPR dibuat. Nyatanya, Gus Dur tidak pernah dibawa ke persidangan.
Yang benar, Gus Dur jatuh karena tidak mau kompromi dengan DPR, yang saat itu memang terlalu power full. Gus Dur juga terlalu kencang mengobrak-abrik birokrasi yang telah puluhan tahun menjadi sarang koruptor, sementara para penikmat korupsi yang telah mengurat dan mengakar itu telah bergabung menjadi lawan politiknya. Mereka bersekongkol untuk mengenyahkan siapa saja yang menghalangi mereka. Terbukti, kini setelah Gus Dur tidak ada, korupsi malah makin menjadi-jadi. Di sinilah semakin jelas, siapa sebenarnya perampok yang berteriak maling. Sengaja nama Gus Dur dijadikan sasaran, karena Gus Dur merupakan lambang nahdliyin. Ketika nama Gus Dur rusak, rusak pula nama kaum nahdliyin. Beruntung, langkah licik itu ketahuan sehingga kaum nahdliyin sekarang makin berhati-hati. (Mohammad Subhan)
Jumat, 30 November 2012
AULA Desember 2012
Jangan Biarkan Mereka Jalan
Sendiri
Ibarat tentara masuk ke medan perang tanpa didukung persenjataan dan
logistik yang memadai; itulah gambaran kondisi IPNU-IPPNU saat ini. Regulasi
negara telah membelenggu mereka sedemikian rupa, perangkat dan infrastruktur NU
tidak banyak mendukung mereka, sementara target yang dibebankan kepada mereka
tetap tinggi.
Berbeda dengan badan otonom NU yang
lain, Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seringkali
mengalami dilematis. Dituntut untuk menggarap kaum pelajar dengan sempurna,
namun tidak didukung dengan infrastuktur dan bimbingan yang cukup. Berbeda
dengan masa-masa awal kedua wadah itu didirikan yang seluruh elemen NU
mendukung penuh; kini para pelajar NU serasa dibiarkan berjalan sendiri.
“Jangankan di sekolah-sekolah
negeri, di sekolah di bawah naungan LP Ma’arif saja, tidak semua membuka pintu
untuk kami,” kata Imam Fadli, S.Pd, Ketua PW IPNU Jawa Timur. Tidak hanya
sekolah, pondok-pondok pesantren yang notabene juga milik para kiai NU, tidak
banyak yang menerima kehadiran mereka. Jadilah status mereka mengambang: atas
nama pelajar, namun di tempat belajar sendiri mereka tidak diterima; jangankan
oleh orang lain, keluarga sendiri juga serasa tidak mengakui.
Bila dirunut lebih lanjut,
melemahnya organisasi pelajar NU adalah karena munculnya undang-undang di penghujung
kekuasaan Orde Baru pada 1998. Undang-undang itu tidak mengakui adanya
organisasi pelajar di sekolah selain OSIS dan Pramuka. Dampak dari
undang-undang itu cukup fatal: bukan hanya IPNU dan IPPNU diberangus dari
sekolah, kepanjangan IPNU dan IPPNU pun harus berubah. Yang semula “pelajar”
berganti menjadi “putra” dan “putri”. Komisariat-komisariat yang semula banyak
terdapat di sekolah negeri menjadi hilang dengan sendirinya.
Pada 2003 sebenarnya kedua wadah
pelajar NU itu dapat sedikit bernapas lega dan kepanjangan IPNU dan IPPNU dapat
kembali seperti semula yang berarti pelajar. Namun nasi telah menjadi bubur.
Untuk dapat kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Dan sampai kini sejarah
emas mereka belum dapat dibangun kembali seperti semula.
Kasus
Anak Hilang
Kisah lebih memilukan terdengar dari
kampus-kampus perguruan tinggi ternama. Di kampus-kampus negeri non agama,
seringkali terdengar banyak anak NU yang ‘hilang’ setelah masuk ke sana. Mereka
yang berlatar belakang pendidikan sekolah NU, pesantren NU atau putra-putri
kiai pengasuh pesantren NU yang masih belia itu, secara perlahan banyak yang
berubah pandangan. Tidak hanya dalam wawasan, tapi sudah masuk ke dalam
persoalan akidah. Bagi mereka yang rajin biasanya akan menjadi Islam militan dan
cenderung radikal, sedangkan mereka yang longgar menjadi liberal; yang keduanya
sebenarnya bukan garis perjuangan NU.
Mereka menjadi mudah ganti keyakinan
dan pandangan karena terputus dengan NU. Tak ada lagi yang membina mereka. IPNU
dan IPPNU tidak menjangkau, sementara PMII yang diharapkan menangani mereka
juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan: selain karena jalur organisasi dengan NU
tidak ada lagi, akidah para pengurus PMII sendiri juga sudah banyak yang
diragukan.
Pada saat yang sama, organisasi lain
cukup serius menggarap mereka. Melalui tarbiyah-tarbiyah dan kajian keislaman
yang mereka lakukan secara intens dan rutin itulah, sedikit demi sedikit para
mahasiswa yang berlatar belakang NU tercerabut akidah. Dan kini, di
kampus-kampus perguruan tinggi ternama telah nyaris tidak terdengar nama NU
lagi. Padahal dari sanalah para pemimpin negeri ini banyak dilahirkan.
Menatap
Masa Depan
Pada 30 Nopember hingga 5 Desember
ini kedua organisasi pelajar NU itu mengadakan kongres bersama di Palembang:
IPNU berkongres ke-17 dan IPPNU ke-16. Dalam perhelatan terbesar tiga tahunan
itulah jati diri kedua organisasi itu perlu ditata kembali, sebab dari luar
seringkali terdengar tudingan negatif pada mereka. Di tingkat atas, para
pengurus seringkali dituduh hanya ingin menjadikan organisasi sebagai batu
loncatan berkarier politik, suka jalan sendiri tanpa mau mendekat kepada NU
sebagai induknya, banyak kecolongan anak-anak yang masuk perguruan tinggi
negeri, dlsb. Di tingkat bawah mereka dituduh hanya menjadikan organisasi
sebagai sarana pacaran, organisasi yang tidak ada manfaat, dlsb.
Sementara persoalan internal mereka
sendiri telah sekian lama tak terpecahkan. Larangan masuk sekolah secara resmi
menjadi organisasi intra, kurangnya
bimbingan dari induk organisasi, pola hubungan dengan Banom dan lembaga
yang kurang kongkret, kurang jelasnya jenjang pengkaderan, dlsb, tidak pernah
mendapatkan pemecahan.
Nah, rupanya IPNU-IPPNU memang
terlahir lebih banyak sebagai obyek daripada subyek. Tidak banyak orang tahu
persoalan yang mereka hadapi saat ini, tapi tuntutan kepada mereka tetap
tinggi. Lewat kongres itulah semua itu dipecahkan sekaligus dicarikan jalan
keluarnya.
Jangan
Biarkan Mereka Jalan Sendiri
Memperkenalkan NU kepada para remaja
memang tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, ketika orang semakin banyak
berpikiran pragmatis dan mengutamakan nilai materi, ‘menjual’ IPNU dan IPPNU
menjadi semakin sulit. Mungkin hanya KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith)
tokoh NU yang tetap tekun memperhatikan IPNU-IPPNU. Saking besarnya perhatian
Mbah Muchith kepada anak ragil NU itu, hingga ia mengaku lebih senang diundang
kedua organisasi itu daripada diundang yang lain. “Kalau Ansor, Fatayat, NU,
Muslimat, sudah banyak yang memperhatikan; IPNU-IPPNU ini tidak ada yang
memperhatikan,” begitu salah seorang Mustasyar PBNU itu memberikan alasan.
Yah, semua memang harus berubah.
Semua pihak yang menginginkan IPNU dan IPPNU berubah sesuai dengan harapan
mereka, hendaknya tidak lagi hanya menuntut; tapi juga memberikan bimbingan dan
(lebih-lebih) keteladanan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri lagi. Mohammad
Subhan
Selasa, 06 November 2012
AULA Nopember 2012
NU Dulu, Negara Kemudian
Bagai pohon disiram air,
orang-orang eks komunis kembali bersemangat. Yah, kaum liberal yang semula
lawan, kini telah menjadi kawan. Bahu-membahu mereka menyuarakan banyak
tuntutan kepada NU dan pemerintah. Yakin mereka ditunggangi intelijen asing, NU
bersikap hati-hati. Para kiai percaya, setelah NU digarap, selanjutnya TNI,
lalu negara. Kalau negara sudah lemah, invasi akan menyusul.
Datang bagai topan yang
menghempas, sebuah isu besar menggelinding cepat ke tengah masyarakat
Indonesia, belum lama ini. Tanpa pendahuluan yang berarti, tiba-tiba saja
muncul wacana pemerintah Indonesia dan NU (dengan Ansor dan Banser-nya) harus meminta
maaf kepada orang-orang eks PKI dan underbouw-nya yang menjadi korban peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Disusul
kemudian rencana rekonsiliasi nasional. Caranya dengan membuka kembali sejarah
G 30 S (tanpa menyebut PKI di belakangnya), yang digambarkan Ansor, Banser dan tentara
telah bertindak brutal kepada orang-orang PKI. Sedangkan mereka adalah ‘orang
baik’ yang menjadi korban.
Kalau sejarah sudah dibuka dan
direvisi, selanjutnya para pelaku harus bertanggung jawab dengan diseret ke
pengadilan HAM, lalu pemerintah harus memberi ganti rugi sebesar Rp 900 juta –
Rp 2,5 miliar kepada 20 juta orang PKI yang diklaim mereka. Kalau para pelaku
sudah dihukum dan orang-orang eks PKI sudah mendapatkan ganti rugi seperti yang
mereka inginkan, barulah dilakukan rekonsiliasi nasional: saling memaafkan.
Karuan saja publik gempar.
Apalagi masih ada isu susulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menuruti
keinginan itu. Ia atas nama pemerintah akan meminta maaf kepada mereka.
Beruntung, isu yang banyak berasal dari anggota Wantimpres Albert Hasibuan itu
tidak menjadi kenyataan. Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 2012 yang
dinantikan, ternyata tidak menyinggung soal itu. Alhamdulillah. Namun isu sudah
terlanjur menyebar ke mana-mana, dan orang sudah terlanjur merinding
membayangkan apa yang akan terjadi jika tuntutan itu dikabulkan. Akankah
sejarah kelam bangsa ini terulang kembali? “Jika presiden minta maaf, maka
cerita sejarah akan berbalik,” kata Prof Dr Aminuddin Kasdi, Guru Besar Sejarah
Unesa, seperti yang dikutip MPA edisi Oktober 2012.
Alur yang berjalan memang mudah
dibaca. Ketika NU, Ansor, Banser dan pemerintah meminta maaf, artinya mereka
telah bersalah, dengan kalimat lain PKI tidak bersalah. Untuk itu mereka berhak
menuntut balas. “Yang jadi terdakwa nanti Banser dulu,” kata HA Hamid Wilis,
salah seorang Ketua Cabang Ansor di tahun 1965. Kalau sudah begitu, akan
terjadi perang sipil yang jauh lebih besar dari tahun 1965, karena
masing-masing sudah siap.
Soal tuntutan NU dan pemerintah
minta maaf, pendapat para kiai NU hampir seluruhnya seragam: tidak perlu.
“Sebaiknya negara gak ngereken (tidak menghiraukan), NU gak ngereken.
Ini negaraku!” kata KH Abdy Manaf, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jawa Timur.
Dalam pandangan mantan Ketua PCNU Sidoarjo tersebut, memang sudah seperti
itulah sifat orang-orang PKI sejak dulu yang selalu menuntut. Apalagi sekarang
mereka mendapat angin dari Barat sehingga teriakan mereka terdengar nyaring.
“Kalau ditanggapi, akan merantak terus, ibarat dikasih hati masih minta
jantung,” lanjut mantan Ketua Ansor itu. Justru ia berharap agar peristiwa 1965
dipandang dengan sudut pandang masa itu, bukan dengan masa sekarang. “Bayangkan
kalau waktu itu dibiarkan, habis bangsa ini,” imbuhnya dengan nada tinggi.
Memang – kalau mau jujur—
tuntutan yang kini mulai mereda itu terasa sangat tidak adil. Dalam wacana yang
berkembang itu, orang-orang PKI digambarkan sebagai korban sejarah yang malang,
tanpa dosa, tanpa sebab, tiba-tiba saja mereka dihabisi. Padahal sejatinya
merekalah yang ‘menjual’ sehingga harus ada yang ‘membeli’. Mereka yang memulai
sebab sehingga harus menanggung akibat. Inilah pintarnya mereka dalam memutar
balik sejarah.
Pemenggalan sejarah seperti
itulah yang disayangkan Wakil Ketua Umum PBNU Dr H As’ad Said Ali. “Pemuatan
sejarah harus utuh, kalau dimuat sepotong-sepotong, akan menimbulkan makna yang
lain,” tuturnya yang disampaikan melalui NU Online pada 1 Oktober lalu.
Memandang PKI, menurut As’ad, harus dilihat secara utuh, terutama kaitannya
dengan pemberontakan di tahun 1926 dan 1948. Tidak bisa serta merta tahun 1965
ketika mereka menerima akibat.
Kaum Kiri Mengipasi
Bila dirunut lebih jauh,
kemunculan isu pemerintah dan NU harus minta maaf kepada orang-orang PKI
bermula dari Kantor Komnas HAM di Jl Latuharhary Jakarta. Kala itu, sekitar
bulan Juli 2012 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi patut diduga telah terjadi
pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1965. Komnas merekomendasi agar
dibentuk peradilan ad hoc dan menyeret para pelaku ke pengadilan.
Belum kuat suara Komnas HAM,
disusul munculnya film “The Act of Killing” yang diputar di Amerika. Satu suara
dengan Komnas HAM, film itu menggambarkan orang-orang PKI yang menjadi korban
di tahun 1965. Gerakan yang diduga didalangi oleh intelijen asing dengan
menggunakan tenaga orang-orang kiri lokal (dan sebagian ada di NU) itupun
menemukan puncaknya ketika Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 menurunkan laporan
dengan judul Pengakuan Algojo 1965.
Melihat peristiwa yang saling
berkaitan itulah banyak pihak menuduh majalah yang dimotori Goenawan Mohamad
itu terlibat konspirasi dengan pihak asing untuk menjatuhkan NU, TNI dan
ujungnya pemerintah Indonesia. “Saya menduga, ada benang merah antara Tempo dan
orang-orang eks PKI,” kata Arukat Djaswadi, Direkur CICS (Center for Indonesia
Community Studies, lembaga yang konsen mengawasi gerak orang-orang eks PKI).
Tak ingin bertindak radikal, NU
yang mendapatkan stigma buruk dalam laporan majalah yang dikenal sebagai basis
kaum kiri dan kaum liberal itu, tetap bersabar dan memilih sikap hati-hati. NU
– dalam hal ini PWNU Jawa Timur -- lebih
memilih cara dengan mengundang Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, untuk bertabayun
di Kantor PWNU. Bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab atas tulisan itu.
Benar juga. Ternyata dalam
dialog Wahyu dan kiai-kiai terungkap adanya cucu komandan perang PKI yang terlibat
dalam penulisan Tempo. Juga mantan Wakil Pemred Bintang Timur-nya PKI yang
direkrut. Dengan begitu, dugaan tulisan Tempo mengandung unsur balas dendam
menjadi tak terelakkan lagi. “Jika sudah seperti itu, tak bisa disalahkan kalau
pemuatan ini ada unsur-unsur balas dendam,” kata KH Anwar Iskandar yang duduk
di samping Wahyu Muryadi. (Baca: Tempo Diadili Para Kiai)
Siapa Harus Minta Maaf
Menanggapi adanya wacana
pemerintah dan NU harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI, para kiai
menanggapinya sebagai sesuatu yang terbalik. Mestinya, justru mereka yang
meminta maaf, karena mereka yang memulai. “Mereka harus ikrar dulu dan meminta
maaf, sebab mereka punya kesalahan besar pada umat Islam, pada negara dan
membantai kiai-kiai di Madiun,” kata Kiai Anwar Iskandar.
Hal senada disampaikan oleh sesepuh
NU KH A Muchith Muzadi. Menurut Mbah Muchith, NU tidak perlu meminta maaf
kepada mereka. “Sebab pada waktu itu memusuhi PKI itu tugas nasional, semua memusuhi
PKI,” tutur murid langsung Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari itu. “Kalau itu
dianggap dosa, dosa PKI malah lebih besar,” salah seorang Mustasyar PBNU itu
menjelaskan.
Kiai yang telah kenyang asam garam perjuangan itu percaya,
dalam isu yang sempat berkembang itu NU hanyalah sebagai sasaran antara,
sasaran utamanya adalah TNI dan negara secara keseluruhan. Di sinilah jiwa
nasionalisme NU kembali diuji, dan NU telah membuktikannya. Sedangkan mereka,
sejak dulu memang tidak memiliki jiwa nasionalisme. Mohammad Subhan
Label:
Cover,
Ummur Risalah
Senin, 29 Oktober 2012
AULA Oktober 2012
Presiden Sambut Baik
Rekomendasi NU
Tidak seperti biasa,
Munas-Konbes NU dihadiri presiden. Biasanya cukup wakil presiden. Itulah salah
satu sisi lebih Munas-Konbes NU kali ini. Rekomendasi pun diserahkan kepada
presiden di tempat acara. Pertanda apa?
Usai sudah perhelatan besar
Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU. Forum tertinggi
dalam Jam’iyah NU setelah muktamar itu dilaksanakan pada 15-17 September silam
di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon. Berbagai masalah yang berkaitan
dengan hukum Islam, persoalan kenegaraan, kerakyatan, isu internasional hingga
internal Jam’iyah NU tuntas dibahas di pesantren asuhan KH Ja’far Aqiel Sirodj
itu. Meski baru pertama kali ditempati acara besar NU berskala nasional, namun
kakak kandung Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Siodj, MA itu telah membuktikan
kemampuannya menjadi tuan rumah yang baik.
Dari sisi penyelenggaraan,
Munas dan Konbes kali ini terbilang sukses besar. Ketidakkompakan panitia pusat
(hingga sampai adu fisik di ruang rapat) tidak sampai berimbas ke tempat acara.
Terlambatnya pengiriman materi Munas ke daerah-daerah juga tidak berpengaruh
pada kelancaran bahtsul masail para kiai. Kekhawatiran panitia tentang Rais Am
PBNU Dr KH MA Sahal Mahfudh yang enggan memberikan khutbah iftitah pun tidak
terbukti. Rais Am hadir dan memberikan khutbah iftitahnya dengan baik, juga
dihadiri Wakil Rais Am KH Mushofa Bisri.
Dan lagi, acara yang baru kali
ini ditempatkan di pesantren (setelah beberapa kali sebelumnya ditempatkan di
asrama haji) itu dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Beberapa menteri Kabinet
Indonesia Bersatu jilid dua juga hadir. Tampak Menko Polhukam Joko Suyanto,
Mensesneg Sudi Silalahi, Menag Surya Dharma Ali, Menakertrans Muhaimin
Iskandar, Mendikbud Muhammad Nuh, Menteri PDT Faishal Helmy, Menpora Andi A
Mallarangeng, dan Menpera Djan Farid. Tampak juga anggota BPK yang juga Ketua
Umum PP ISNU Ali Masykur Moesa, Ketua Umum PP GP Ansor NU Nusron Wahid, Ketua
Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Fatayat NU Ida
Fauziyah, calon presiden dari Partai Golkar Abu Rizal Bakrie, serta para
undangan lainnya. Beberapa utusan PCI NU di luar negeri juga tampak hadir.
Ada yang menarik. Hasil
rekomendasi Munas-Konbes diberikan oleh Ketua Umum PBNU kepada Presiden pada
hari itu juga menjelang penutupan. Dan dalam amanahnya Presiden menanggapi
langsung rekomendasi NU tersebut. Rekomendasi-rekomendasi itu berkaitan dengan
politik dan pemerintahan, ekonomi, persoalan pajak dan pendidikan. Juga
rekomendasi yang berkaitan dengan internasional; mulai dari film Innocence of
Muslims yang menyakitkan, tragedi Rohingya di Myanmar yang memilukan, nuklir
Iran yang berlarut-larut hingga konflik Suriah yang tidak juga kunjung usai.
“Secara umum, saya terima dan sambut baik rekomendasi dan pemerintah akan
pelajari serta menindaklanjutinya,” kata Presiden.
Menurut Kepala Negara asal
Pacitan itu, sebagian rekomendasi yang
dihasilkan Munas-Konbes sebenarnya sama persis dengan yang dipikirkan
pemerintah. Meski demikian, ia menegaskan, tetap ada sejumlah kecil perbedaan
persepsi antara pandangan pemerintah dan hasil Munas-Konbes, karena perbedaan
data yang dipegang. “Namun, secara keseluruhan,
rekomendasi positif dan konstruktif, menyangkut masalah utama bangsa.
Rekomendasi itu penting untuk meningkatkan
kebijakan dan program yang kami jalankan,” tandas Presiden.
Dalam pidatonya di depan para
kiai, Presiden tidak menanggapi semua isu yang dibahas di Munas-Konbes.
Presiden, antara lain, menanggapi materi fatwa wajib atau tidaknya membayar
pajak ketika uang pajak banyak dikorupsi pejabat.Mengenai wacana boikot pajak
jika terus-menerus dikorupsi, Presiden menilai ada semangat luar biasa dari NU
untuk memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Dia mengakui, pajak merupakan
sumber keuangan negara terbesar, yaitu, 70 persen sumber pendapatan nasional.
Sebagaimana diberitakan,
Munas-Konbes memutuskan, masih akan memberi waktu bagi pemerintah untuk
memperbaiki pengelolaan pajak. Secara resmi, NU merekomendasikan agar
pemerintah lebih transparan dan bertanggung jawab terkait dengan penerimaan dan
pengalokasian uang pajak, selain juga harus memastikan tidak ada kebocoran.
Pemerintah juga
direkomendasikan agar mengutamakan kemaslahatan warga negara, terutama
fakir-miskin, dalam penggunaan pajak. Jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan,
PBNU akan mempertimbangkan mengenai kemungkinan diberikannya fatwa hilangnya
kewajiban warga negara membayar pajak.
Presiden juga menyambut baik
rekomendasi tentang pemberantasan korupsi. Menurut dia, hingga saat ini
pemerintah konsisten dan konsekuen dalam memberantas korupsi. Pemerintah tidak
tebang pilih dan pandang bulu menyangkut hal tersebut. “Dari sekian banyak
kasus yang diproses KPK, ada yang berasal dari Parpol saya, ada juga orang yang
dianggap dekat dengan saya. Hukum tetap harus ditegakan,” tandasnya.
Atas tanggapan Presiden
tersebut, Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA menanggapi positif. Ia
optimistis pemerintah merespons serius sejumlah rekomendasi hasil Munas-Konbes
tersebut. “Setidaknya sudah didengar, walaupun memang tidak harus sekarang
diberi peringatan terus sekarang pula menjadi baik,” kata Kiai Said. Dia yakin,
bangsa Indonesia saat ini sesungguhnya masih merupakan bangsa yang diselamatkan
oleh Allah. “Karena kalau sudah diberi peringatan, kok malah semakin
menjadi-jadi, berarti bangsa ini sedang sakit,” tandasnya.
Kiai Said juga menceritakan
jika Presiden SBY sempat melakukan pertemuan khusus dengan sekitar 20 ulama di
arena Munas-Konbes. “Di sana saya katakan, kalau semua rekomendasi ini jangan
disalahpahami. Semua murni kajian berbasis ilmu keagamaan, tidak ada tendensi
politik apa pun,” ungkapnya.
Insiden di kamar sekretariat
Siang itu terdengar pengumuman
dari ruang sekretariat tentang bakal adanya pembagian kenang-kenangan dari
sponsor. Tak lama kemudian terlihat beberapa orang saling berebut pembagian
buku-buku, majalah dan kalender gratis di depan ruang sekretariat, seperti yang
diumumkan tak lama sebelumnya. Usai mendapatkan pembagian yang tidak merata
itu, mereka berlarian masuk kamar lagi dengan tertawa riang. Masing-masing
seakan ingin memamerkan hasil yang didapatkannya.
Tapi ada yang cukup mengagetkan.
Beberapa orang tampak marah dan merobek-robek buku agenda yang baru saja
diterimanya secara gratisan itu. Sekitar separuh buku dirobek, sisanya dipakai.
Kenapa, Pak? “Ini, salibnya banyak sekali,” tutur orang itu dengan mimik marah.
Beberapa orang saling berpandangan melihat peristiwa itu. Salah seorang di
antara mereka menghitung, ternyata dalam buku agenda itu terdapat 24 gereja, 3
vihara dan beberapa komunitas Tionghoa yang mengucapkan selamat atas suksesnya
Munas-Konbes. Ada yang memaklumi, ada pula yang tidak dapat menoleransi
sehingga terjadilah insiden spontan tersebut.
Pelajaran dari Muktamar Makassar
Munas-Konbes telah ditutup pada
Senin sore (17/9) oleh Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqiel Sirodj, MA dengan
sederhana, bertempat di GOR Munas, yang sebelumnya juga dijadikan tempat
pembukaan.
Berbagai persoalan telah
terpecahkan, aturan organisasi telah disepakati, program telah dicanangkan,
rekomendasi telah diterima pemerintah dan para kiai telah kembali ke kediaman
masing-masing. Para panitia juga tampak lega dengan selesainya rangkaian acara
yang benar-benar menyita tenaga dan pikiran itu.
Selesai? Tentu semua berharap
begitu. Namun bagi sebagian pihak yang merasakan betul pahitnya ‘tragedi’ pasca
Muktamar Makassar dua tahun silam, selesainya Munas-Konbes bukan berarti
selesai segalanya lalu tinggal menunggu hasil-hasil persidangan itu dicetak
dalam bentuk buku.
Mereka masih memiliki
kekhawatiran, jangan-jangan peristiwa itu akan terulang kembali. Betapa
hasil-hasil muktamar telah berubah sedemikian rupa ketika materi sampai di
tangan tim perumus.
Untuk itulah sejak dalam
persidangan komisi PWNU Jatim -- yang dikuatkan oleh Jateng dan Jabar dan
akhirnya disetujui bersama -- meminta ada pengawalan. Sekadar jaga-jaga saja. Mohammad
Subhan
Langganan:
Postingan (Atom)