Di Selandia Baru, banyak gereja yang dijual. Sebagian dibeli oleh warga muslim dan dijadikan sebagai masjid. Sebagai minoritas, semangat mereka justru bergelora di tengah kejenuhan mayoritas pemeluk agama. Berikut kisah menariknya.
September 2009, Dr H Asrorun Niam Sholeh, MA berkesempatan melakukan penelitian di Selandia Baru atau New Zealand. Di negara yang berada di arah tenggara Benua Australia itu, Niam—sapaan akrabnya—menjumpai fenomena menarik terkait dengan sikap beragama warga setempat. melihat ada gejala kejenuhan mayoritas yang bersamaan dengan bergairahnya semangat minoritas pemeluk agama.
Niam adalah pria kelahiran Nganjuk 31 Mei 1976 yang kini aktif sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan dosen di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya, Niam pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Pusat dan saat ini dipercaya sebagai Sekjend Majelis Alumni IPNU Pusat.
Kedatangan alumnus MAPK Jemebr ini ke New Zealand adalah sebagai wakil dari LP POM MUI untuk melakukan penelitian terhadap kualitas ekspor dan impor daging, teruatam terkait dengan jaminan halal proses penyembelihan dan pengepakan daging. New Zealand dipilih karena Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor daging dari negara kepulauan itu. Dalam penelitiannya, ayah dua anak ini menemukan kepastian bahwa danging yang diekspor ke Indonesia adalah daging-daging sapi yang disembelih secara halal.
Konversi Rumah Ibadah
Menemukan masjid di New Zealand tidak sulit. Dan setiap kali Niam mengikuti jamaah, jamaahnya selalu dalam jumlah banyak. Pengalaman yang sangat membekas bagi Niam adalah ketika pada 26 September 2009, Niam singgah di Masjid El Umar di tengah kota Auckland. Secara fisik, bangunannya megah berlantai dua. Dari arsitekturnya, Niam membatin bahwa bangunan ini mirip gereja. Tampak dalam foto di samping, Niam (kanan) berfoto di depan gedung Masjid El-Umar bersama warga New Zealand keturunan Syiria, Mahmud.
Rasa penasaran itu kahirnya terjawab ketika Mahmud menjelaskan bahwa bangunan tersebut memang dulunya adalah gereja yang, entah mengapa, dijual. Akhirnya, gereja itu dibeli oleh muslim India dengan harga 400 ribu dolar. Ia pun akhirnya tinggal di bangunan yang menempel dengan masjid, mirip pondokan pesantren. Ia menjadi semacam kiai masjid tersebut dengan jumlah jamaah yang cukup banyak, didominasi oleh imigran Afrika dan Timur Tengah.
Di masjid itu, Niam berjalan mengelilingi masjid. Ayah dua anak ini melihat terdapat pengumuman yang ditempel di dinding masjid. Isinya ada beberapa warga asli New Zealand yang masuk daftar muallaf. Ada juga pengumuman yang terasa aneh; “Gereja Dijual”, lengkap dengan foto gereja dan denah lokasi. Di bawahnya ada himbauan partisipasi donasi untuk “membebaskan” gereja yang kemudian akan dijadikan masjid. Dan hebatnya, bangunan tersebut sudah di-”DP”. Karena begitu optimisnya gereja itu pasti “terbeli”, panitia bahkan memberikan pengumuman bahwa peresmian masjid tersebut akan dilakukan pada hari Jumat, 25 Desember 2009, untuk shalat Jumat perdana, tepat di Hari Natal.
Menurut Mahmud, fenomena keberagamaan dan fenomena konversi gereja ke masjid (tentu juga konversi orang kristiani ke Islam) di New Zealand belakangan ini memang meningkat. Pengusaha ekspor-impor yang sejak remaja tinggal di New Zealand itu menjelaskan pemberitaan media massa yang sistematis tentang terorisme yang terkaitkan dengan Islam mungkin justru menjadi berkah tersendiri dalam publikasi Islam dan ajarannya. Berita yang mendeskreditkan umat Islam, bagi umat Islam di New Zealand (dan mungkin di belahan negara yang lain) justru semakin memperkokoh solidaritas sosial sesama umat Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Di sisi lain, pemberitaan tersebut memiliki daya tarik bagi kaum terpelajar non-muslim untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam. Di sinilah berkah pemberitaan tentang terorisme yan dikaitkan dengan Islam menemu-kan relevansinya.
Selain itu, masih menurut pimpinan lembaga filantropi Islam al-Kautsar itu, warga New Zealand yang mayoritas kristiani sudah tidak begitu tertarik dengan ritus keagamaan mereka. Mungkin jika diistilahkan dalam bahasa yang ada di masyarakat Indonesia, mayoritas dari mereka adalah Kristen KTP. Gereja sepi peminat dan bahkan banyak yang gulung tikar sehingga harus dijual.
Menyaksikan fenomena itu, batin Niam bergumam; seakan sudah menjadi sunnatullah bahwa minoritas cenderung memiliki fighting spirit untuk eksis dan berkembang. Sementara mayoritas yang merasa sudah “mapan” cenderung “jenuh” untuk istiqamah merawat akar tradisinya mencoba “tantangan” baru.
Dalam konteks yang agak berbeda, fenomena keberagamaan di Indonesia juga menemukan fakta yang relatif tidak jauh berbeda. Kaum minoritas (terutama kristiani) cenderung memiliki daya juang yang lebih di banding dengan kaum mayoritas umat Islam yang merasa sudah mapan. Setidaknya, fakta ini dirasakan Niam di kompleks perumahannya di kawasan Depok. Bahkan, sebagian di antaranya justru jenuh merawat akar tradisi keagamaannya dan kemudian mencari sesuatu yang “baru”, meski ia berada di luar pakemnya.
Contoh lain juga sering disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi tentang fenomena sikap beragama anak-anak muda. Anak-anak mdua yang kuliah di kampus umum cenderung ofensif untuk melakukan dakwah Islam padahal mereka bukan lulusan lembaga pendidikan Islam. Sedangkan anak-anak muda yang kuliah di kampus berbasis agama dan alumni pesantren justru cenderung jenuh dengan tradisinya dan bangga jika menemukan sesuatu yang baru.
Tapi alhamdulillah, meski ada kejenuhan keberagamaan yang ada di komunitas mayoritas muslim Indonesia, belum pernah terdengar ada berita menjual “masjid” untuk “gereja”. Paling banter, yang ada adalah menjual “kuburan” untuk mal. Semoga tidak akan ada berita seperti di New Zealand di negeri kita. (AULA Juni 2010)