Jumat, 30 November 2012

AULA Desember 2012



Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri

Ibarat tentara masuk ke medan perang tanpa didukung persenjataan dan logistik yang memadai; itulah gambaran kondisi IPNU-IPPNU saat ini. Regulasi negara telah membelenggu mereka sedemikian rupa, perangkat dan infrastruktur NU tidak banyak mendukung mereka, sementara target yang dibebankan kepada mereka tetap tinggi.

Berbeda dengan badan otonom NU yang lain, Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seringkali mengalami dilematis. Dituntut untuk menggarap kaum pelajar dengan sempurna, namun tidak didukung dengan infrastuktur dan bimbingan yang cukup. Berbeda dengan masa-masa awal kedua wadah itu didirikan yang seluruh elemen NU mendukung penuh; kini para pelajar NU serasa dibiarkan berjalan sendiri.

“Jangankan di sekolah-sekolah negeri, di sekolah di bawah naungan LP Ma’arif saja, tidak semua membuka pintu untuk kami,” kata Imam Fadli, S.Pd, Ketua PW IPNU Jawa Timur. Tidak hanya sekolah, pondok-pondok pesantren yang notabene juga milik para kiai NU, tidak banyak yang menerima kehadiran mereka. Jadilah status mereka mengambang: atas nama pelajar, namun di tempat belajar sendiri mereka tidak diterima; jangankan oleh orang lain, keluarga sendiri juga serasa tidak mengakui.

Bila dirunut lebih lanjut, melemahnya organisasi pelajar NU adalah karena munculnya undang-undang di penghujung kekuasaan Orde Baru pada 1998. Undang-undang itu tidak mengakui adanya organisasi pelajar di sekolah selain OSIS dan Pramuka. Dampak dari undang-undang itu cukup fatal: bukan hanya IPNU dan IPPNU diberangus dari sekolah, kepanjangan IPNU dan IPPNU pun harus berubah. Yang semula “pelajar” berganti menjadi “putra” dan “putri”. Komisariat-komisariat yang semula banyak terdapat di sekolah negeri menjadi hilang dengan sendirinya.

Pada 2003 sebenarnya kedua wadah pelajar NU itu dapat sedikit bernapas lega dan kepanjangan IPNU dan IPPNU dapat kembali seperti semula yang berarti pelajar. Namun nasi telah menjadi bubur. Untuk dapat kembali ke sekolah bukanlah hal yang mudah. Dan sampai kini sejarah emas mereka belum dapat dibangun kembali seperti semula.

Kasus Anak Hilang
Kisah lebih memilukan terdengar dari kampus-kampus perguruan tinggi ternama. Di kampus-kampus negeri non agama, seringkali terdengar banyak anak NU yang ‘hilang’ setelah masuk ke sana. Mereka yang berlatar belakang pendidikan sekolah NU, pesantren NU atau putra-putri kiai pengasuh pesantren NU yang masih belia itu, secara perlahan banyak yang berubah pandangan. Tidak hanya dalam wawasan, tapi sudah masuk ke dalam persoalan akidah. Bagi mereka yang rajin biasanya akan menjadi Islam militan dan cenderung radikal, sedangkan mereka yang longgar menjadi liberal; yang keduanya sebenarnya bukan garis perjuangan NU.

Mereka menjadi mudah ganti keyakinan dan pandangan karena terputus dengan NU. Tak ada lagi yang membina mereka. IPNU dan IPPNU tidak menjangkau, sementara PMII yang diharapkan menangani mereka juga tidak sepenuhnya bisa diharapkan: selain karena jalur organisasi dengan NU tidak ada lagi, akidah para pengurus PMII sendiri juga sudah banyak yang diragukan.

Pada saat yang sama, organisasi lain cukup serius menggarap mereka. Melalui tarbiyah-tarbiyah dan kajian keislaman yang mereka lakukan secara intens dan rutin itulah, sedikit demi sedikit para mahasiswa yang berlatar belakang NU tercerabut akidah. Dan kini, di kampus-kampus perguruan tinggi ternama telah nyaris tidak terdengar nama NU lagi. Padahal dari sanalah para pemimpin negeri ini banyak dilahirkan.

Menatap Masa Depan
Pada 30 Nopember hingga 5 Desember ini kedua organisasi pelajar NU itu mengadakan kongres bersama di Palembang: IPNU berkongres ke-17 dan IPPNU ke-16. Dalam perhelatan terbesar tiga tahunan itulah jati diri kedua organisasi itu perlu ditata kembali, sebab dari luar seringkali terdengar tudingan negatif pada mereka. Di tingkat atas, para pengurus seringkali dituduh hanya ingin menjadikan organisasi sebagai batu loncatan berkarier politik, suka jalan sendiri tanpa mau mendekat kepada NU sebagai induknya, banyak kecolongan anak-anak yang masuk perguruan tinggi negeri, dlsb. Di tingkat bawah mereka dituduh hanya menjadikan organisasi sebagai sarana pacaran, organisasi yang tidak ada manfaat, dlsb.

Sementara persoalan internal mereka sendiri telah sekian lama tak terpecahkan. Larangan masuk sekolah secara resmi menjadi organisasi intra, kurangnya  bimbingan dari induk organisasi, pola hubungan dengan Banom dan lembaga yang kurang kongkret, kurang jelasnya jenjang pengkaderan, dlsb, tidak pernah mendapatkan pemecahan.

Nah, rupanya IPNU-IPPNU memang terlahir lebih banyak sebagai obyek daripada subyek. Tidak banyak orang tahu persoalan yang mereka hadapi saat ini, tapi tuntutan kepada mereka tetap tinggi. Lewat kongres itulah semua itu dipecahkan sekaligus dicarikan jalan keluarnya.

Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri
Memperkenalkan NU kepada para remaja memang tidaklah mudah. Apalagi di zaman sekarang, ketika orang semakin banyak berpikiran pragmatis dan mengutamakan nilai materi, ‘menjual’ IPNU dan IPPNU menjadi semakin sulit. Mungkin hanya KH Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchith) tokoh NU yang tetap tekun memperhatikan IPNU-IPPNU. Saking besarnya perhatian Mbah Muchith kepada anak ragil NU itu, hingga ia mengaku lebih senang diundang kedua organisasi itu daripada diundang yang lain. “Kalau Ansor, Fatayat, NU, Muslimat, sudah banyak yang memperhatikan; IPNU-IPPNU ini tidak ada yang memperhatikan,” begitu salah seorang Mustasyar PBNU itu memberikan alasan.

Yah, semua memang harus berubah. Semua pihak yang menginginkan IPNU dan IPPNU berubah sesuai dengan harapan mereka, hendaknya tidak lagi hanya menuntut; tapi juga memberikan bimbingan dan (lebih-lebih) keteladanan. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri lagi. Mohammad Subhan


Sabtu, 10 November 2012

AULA Haji & Umrah Travel Exhibition 2012


Hadiri dan Kunjungi AULA HAJI & UMRAH TRAVEL EXHIBITION 2012 di Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya, 5-9 Desember 2012.

Selasa, 06 November 2012

AULA Nopember 2012


NU Dulu, Negara Kemudian

Bagai pohon disiram air, orang-orang eks komunis kembali bersemangat. Yah, kaum liberal yang semula lawan, kini telah menjadi kawan. Bahu-membahu mereka menyuarakan banyak tuntutan kepada NU dan pemerintah. Yakin mereka ditunggangi intelijen asing, NU bersikap hati-hati. Para kiai percaya, setelah NU digarap, selanjutnya TNI, lalu negara. Kalau negara sudah lemah, invasi akan menyusul.

Datang bagai topan yang menghempas, sebuah isu besar menggelinding cepat ke tengah masyarakat Indonesia, belum lama ini. Tanpa pendahuluan yang berarti, tiba-tiba saja muncul wacana pemerintah Indonesia dan NU (dengan Ansor dan Banser-nya) harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI dan underbouw-nya yang menjadi korban peristiwa Gerakan  30 September 1965. Disusul kemudian rencana rekonsiliasi nasional. Caranya dengan membuka kembali sejarah G 30 S (tanpa menyebut PKI di belakangnya), yang digambarkan Ansor, Banser dan tentara telah bertindak brutal kepada orang-orang PKI. Sedangkan mereka adalah ‘orang baik’ yang menjadi korban.

Kalau sejarah sudah dibuka dan direvisi, selanjutnya para pelaku harus bertanggung jawab dengan diseret ke pengadilan HAM, lalu pemerintah harus memberi ganti rugi sebesar Rp 900 juta – Rp 2,5 miliar kepada 20 juta orang PKI yang diklaim mereka. Kalau para pelaku sudah dihukum dan orang-orang eks PKI sudah mendapatkan ganti rugi seperti yang mereka inginkan, barulah dilakukan rekonsiliasi nasional: saling memaafkan.

Karuan saja publik gempar. Apalagi masih ada isu susulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menuruti keinginan itu. Ia atas nama pemerintah akan meminta maaf kepada mereka. Beruntung, isu yang banyak berasal dari anggota Wantimpres Albert Hasibuan itu tidak menjadi kenyataan. Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 2012 yang dinantikan, ternyata tidak menyinggung soal itu. Alhamdulillah. Namun isu sudah terlanjur menyebar ke mana-mana, dan orang sudah terlanjur merinding membayangkan apa yang akan terjadi jika tuntutan itu dikabulkan. Akankah sejarah kelam bangsa ini terulang kembali? “Jika presiden minta maaf, maka cerita sejarah akan berbalik,” kata Prof Dr Aminuddin Kasdi, Guru Besar Sejarah Unesa, seperti yang dikutip MPA edisi Oktober 2012.

Alur yang berjalan memang mudah dibaca. Ketika NU, Ansor, Banser dan pemerintah meminta maaf, artinya mereka telah bersalah, dengan kalimat lain PKI tidak bersalah. Untuk itu mereka berhak menuntut balas. “Yang jadi terdakwa nanti Banser dulu,” kata HA Hamid Wilis, salah seorang Ketua Cabang Ansor di tahun 1965. Kalau sudah begitu, akan terjadi perang sipil yang jauh lebih besar dari tahun 1965, karena masing-masing sudah siap.

Soal tuntutan NU dan pemerintah minta maaf, pendapat para kiai NU hampir seluruhnya seragam: tidak perlu. “Sebaiknya negara gak ngereken (tidak menghiraukan), NU gak ngereken. Ini negaraku!” kata KH Abdy Manaf, salah seorang Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Dalam pandangan mantan Ketua PCNU Sidoarjo tersebut, memang sudah seperti itulah sifat orang-orang PKI sejak dulu yang selalu menuntut. Apalagi sekarang mereka mendapat angin dari Barat sehingga teriakan mereka terdengar nyaring. “Kalau ditanggapi, akan merantak terus, ibarat dikasih hati masih minta jantung,” lanjut mantan Ketua Ansor itu. Justru ia berharap agar peristiwa 1965 dipandang dengan sudut pandang masa itu, bukan dengan masa sekarang. “Bayangkan kalau waktu itu dibiarkan, habis bangsa ini,” imbuhnya dengan nada tinggi.

Memang – kalau mau jujur— tuntutan yang kini mulai mereda itu terasa sangat tidak adil. Dalam wacana yang berkembang itu, orang-orang PKI digambarkan sebagai korban sejarah yang malang, tanpa dosa, tanpa sebab, tiba-tiba saja mereka dihabisi. Padahal sejatinya merekalah yang ‘menjual’ sehingga harus ada yang ‘membeli’. Mereka yang memulai sebab sehingga harus menanggung akibat. Inilah pintarnya mereka dalam memutar balik sejarah.

Pemenggalan sejarah seperti itulah yang disayangkan Wakil Ketua Umum PBNU Dr H As’ad Said Ali. “Pemuatan sejarah harus utuh, kalau dimuat sepotong-sepotong, akan menimbulkan makna yang lain,” tuturnya yang disampaikan melalui NU Online pada 1 Oktober lalu. Memandang PKI, menurut As’ad, harus dilihat secara utuh, terutama kaitannya dengan pemberontakan di tahun 1926 dan 1948. Tidak bisa serta merta tahun 1965 ketika mereka menerima akibat.

Kaum Kiri Mengipasi

Bila dirunut lebih jauh, kemunculan isu pemerintah dan NU harus minta maaf kepada orang-orang PKI bermula dari Kantor Komnas HAM di Jl Latuharhary Jakarta. Kala itu, sekitar bulan Juli 2012 Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1965. Komnas merekomendasi agar dibentuk peradilan ad hoc dan menyeret para pelaku ke pengadilan.

Belum kuat suara Komnas HAM, disusul munculnya film “The Act of Killing” yang diputar di Amerika. Satu suara dengan Komnas HAM, film itu menggambarkan orang-orang PKI yang menjadi korban di tahun 1965. Gerakan yang diduga didalangi oleh intelijen asing dengan menggunakan tenaga orang-orang kiri lokal (dan sebagian ada di NU) itupun menemukan puncaknya ketika Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 menurunkan laporan dengan judul Pengakuan Algojo 1965.

Melihat peristiwa yang saling berkaitan itulah banyak pihak menuduh majalah yang dimotori Goenawan Mohamad itu terlibat konspirasi dengan pihak asing untuk menjatuhkan NU, TNI dan ujungnya pemerintah Indonesia. “Saya menduga, ada benang merah antara Tempo dan orang-orang eks PKI,” kata Arukat Djaswadi, Direkur CICS (Center for Indonesia Community Studies, lembaga yang konsen mengawasi gerak orang-orang eks PKI).

Tak ingin bertindak radikal, NU yang mendapatkan stigma buruk dalam laporan majalah yang dikenal sebagai basis kaum kiri dan kaum liberal itu, tetap bersabar dan memilih sikap hati-hati. NU – dalam hal ini PWNU Jawa Timur --  lebih memilih cara dengan mengundang Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, untuk bertabayun di Kantor PWNU. Bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab atas tulisan itu.

Benar juga. Ternyata dalam dialog Wahyu dan kiai-kiai terungkap adanya cucu komandan perang PKI yang terlibat dalam penulisan Tempo. Juga mantan Wakil Pemred Bintang Timur-nya PKI yang direkrut. Dengan begitu, dugaan tulisan Tempo mengandung unsur balas dendam menjadi tak terelakkan lagi. “Jika sudah seperti itu, tak bisa disalahkan kalau pemuatan ini ada unsur-unsur balas dendam,” kata KH Anwar Iskandar yang duduk di samping Wahyu Muryadi. (Baca: Tempo Diadili Para Kiai)

Siapa Harus Minta Maaf

Menanggapi adanya wacana pemerintah dan NU harus meminta maaf kepada orang-orang eks PKI, para kiai menanggapinya sebagai sesuatu yang terbalik. Mestinya, justru mereka yang meminta maaf, karena mereka yang memulai. “Mereka harus ikrar dulu dan meminta maaf, sebab mereka punya kesalahan besar pada umat Islam, pada negara dan membantai kiai-kiai di Madiun,” kata Kiai Anwar Iskandar.

Hal senada disampaikan oleh sesepuh NU KH A Muchith Muzadi. Menurut Mbah Muchith, NU tidak perlu meminta maaf kepada mereka. “Sebab pada waktu itu memusuhi PKI itu tugas nasional, semua memusuhi PKI,” tutur murid langsung Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari itu. “Kalau itu dianggap dosa, dosa PKI malah lebih besar,” salah seorang Mustasyar PBNU itu menjelaskan.

Kiai yang telah kenyang asam garam perjuangan itu percaya, dalam isu yang sempat berkembang itu NU hanyalah sebagai sasaran antara, sasaran utamanya adalah TNI dan negara secara keseluruhan. Di sinilah jiwa nasionalisme NU kembali diuji, dan NU telah membuktikannya. Sedangkan mereka, sejak dulu memang tidak memiliki jiwa nasionalisme. Mohammad Subhan