Kesabaran hati kaum Nahdliyin kembali digoda. Buku terbaru H Mahrus Ali kembali terbit. Isinya masih seperti yang dulu, bisa “menggemaskan” hati. Bedanya, topik yang diangkat kali ini berbeda. Bagaimana kita harus menyikapi?
MASIH ingat nama H Mahrus Ali? Yah, setelah cukup lama tenggelam dari pemberitaan media, nama itu kembali menjadi polemik. Hanya saja kalau sebelumnya polemik berlangsung di tengah masyarakat, polemik kali ini lebih banyak berlangsung di dunia maya, melalui saluran facebook.
Polemik dipicu oleh munculnya buku terbaru H Mahrus Ali dengan penerbit yang sama, Laa Tasyuk! Press. Sebagaimana biasa, judul buku itu cukup mudah memancing emosi. Di sampul depan nama penulis cukup jelas H Mahrus Ali (Mantan Kyai NU), dengan judul buku Amaliah Sesat di Bulan Ramadhan (kesyirikan ngalap berkah kubur, ruwahan, megengan dan kesesatan dzikir berjama’ah disela-sela shalat tarawih).
Sebenarnya Aula kurang tertarik lagi menulis laporan tentang alumni Pondok Pesantren Langitan yang tidak diakui almamaternya tersebut. Pengalaman sebelumnya sudah cukup menjadi pelajaran, betapa ia tidak bisa diajak beradu argumentasi secara sehat dan wajar. Saat ada “tantangan” dialog, ia malah mengajukan syarat yang terbilang tidak masuk di akal orang waras. Pertama, ia minta agar dialog diadakan di rumah H Mahrus, dengan catatan dilakukan orang per orang, tidak boleh secara rombongan. Kalau orangnya banyak harus dilakukan secara bergiliran.
Kedua, jika dialog dilakukan di tempat lain, ia minta dua jaminan: pertama, jaminan uang sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar), dan kedua, jaminan keamanan. Jaminan keamanan itupun terbilang cukup unik. Ia minta dijemput ke rumah dengan pengawalan 1 truk polisi bersenjata lengkap dan 1 jip polisi militer. Mereka harus menjemput ke rumah, menunggui selama dialog dan mengantar kembali ke rumah. Banyak orang tertawa saat mendengar permintaan yang terbilang cukup janggal tersebut.
Tidak heran kalau tiga kali undangan debat terbuka tidak pernah ia hadiri. Pertama di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua di Malang, dan ketiga di Masjid Kauman Desa Gedongan, yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Selain karena faktor syarat awal, alasan yang dimunculkan makin berfariasi, mulai dari undangan yang terlalu mepet sampai minta waktu setidaknya 3 bulan untuk muthala’ah. Orang pun tersenyum kala mendengar adanya syarat tambahan tersebut.
Selain faktor mbulet itu, masih ada lagi penyebab Aula enggan menulis seputar H Mahrus Ali. Pengalaman yang lalu (edisi Nopember 2006, Maret 2008, April 2008, Juni 2008 dan Agustus 2008), ternyata tulisan yang panjang lebar itu malah menguntungkan penerbit dan melambungkan nama H Mahrus Ali. Padahal di kampungnya, Tambaksumur, Waru, Sidoarjo, ia bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh kampung, apalagi Kiai NU. Sekitar 30 orang pengikutnya, mayoritas warga pendatang yang tidak berlatar belakang pesantren.
Lebih dari itu, ternyata H Mahrus hanyalah “korban” kenekatan penerbit. Judul buku yang bombastis itu (Mantan Kiai NU) adalah rekaan penerbit yang ingin mengeruk untung sebesar-besarnya dari tulisan ayah dari 14 anak tersebut. Benar juga. Berkat pemberitaan dan polemik yang luar biasa, buku itu malah makin laris bak kacang goreng. Bahkan di beberapa toko buku di luar kota pembeli malah harus berani indent jika ingin kebagian jatah. Repotnya, H Mahrus Ali malah tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya buku, mengingat ia menjual naskah, tidak menggunakan sistem royalti. Orang terus marah pada H Mahrus, sementara penerbit dengan enaknya menghitung untung yang terus melambung.
Ketika H Mahrus mengadukan keberatan pada penerbit atas penggunaan judul “Mantan Kiai NU” yang dilabelkan pada dirinya, sehingga banyak kiai NU beneran marah kepadanya, penerbit hanya menjawab dengan enteng: “Supaya bukunya laku. Kalau sampai tidak laku, apa Sampean mau tanggung jawab?” elak mereka. H Mahrus pun langsung ciut nyali mendengar gertakan seperti itu.
Dari banyak pengalaman itu, ditambah saran dari beberapa kiai, dalam waktu cukup lama Aula tidak lagi memperhatikan sepak terjang H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press. Namun setelah mendapatkan banyak pengaduan dari masyarakat di beberapa daerah yang tidak mengetahui kronologi persoalan buku H Mahrus Ali, ditambah dengan maraknya dialog di internet pada akhir Oktober lalu, membuat Aula ingin memberikan tambahan informasi. Apalagi ada rombongan dari Tebuireng yang mengunjungi rumah lelaki asal Desa Telogorejo, Sidomukti, Kebomas, Gresik itu.
Khawatir Mengganggu Kerukunan
Adalah KH Thobary Syadzily yang memulai. Salah seorang anggota Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang, Banten itu menulis di akun facebook-nya tentang terbitnya buku H Mahrus yang harus diwaspadai. Judulnya juga cukup menyentak: H Mahrus Ali Pembohong dan Pemecah Belah Ummat.
Telah terbit kembali buku karangan Wahhabi, H Mahrus Ali. Awas jangan sampai terprovokasi atau terpengaruh dengan keberadaan buku ini !!. Buku ini dan buku-buku lainnya karangan H Mahrus Ali penuh dengan kebohongan dan hasil rekayasa dari Wahhabi di atasnya saja. Dengan kata lain, buku-buku itu hanyalah sebagai penyambung lidah Wahhabi (termasuk penerbit “LAA TASYUK” Jln Pengirian No 82 Surabaya dan oknum-oknum yang berada di belakangnya) saja yang bertujuan untuk mengadu domba antara NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya dan memperdaya ummat Islam di Indonesia khususnya para warga Nahdhiyyin. Itulah gaya politik Wahhabi yang murahan dan rendahan (cheap and low political style of Wahhabi) yang selalu ditampilkan dalam da’wahnya. Begitu sebagian dari bunyi tulisan Kiai Thobary.
Gayung langsung bersambut. Ternyata tulisan itu mendapatkan tanggapan luar biasa dari para penggemar chating. Hanya berselang 2 hari, tidak kurang dari 98 tanggapan masuk. Kebanyakan menghujat penerbit ataupun penulis, mulai dari sekadar mencela sampai yang mohon izin membunuh. “H Mahrus Ali ini bisa memecah belah umat Islam. Saya khawatir mereka bertengkar diakibatkan beredarnya buku-buku yang suka membid’ahkan orang lain itu. Ini harus dihentikan!” Kiai Thobary memberikan alasan sikapnya.
Tidak puas hanya lewat dunia maya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Periuk Jaya Tangerang, Banten itupun “ngeluruk” ke rumah H Mahrus pada 22 November 2010. Bersama Gus Cecep dari Tebuireng, Habib Fikri, kenalan di dekat rumah H Mahrus Ali dan seorang sopir ia mendatangi rumah H Mahrus, dengan terlebih dahulu bertamu pada keponakannya, H Mahmud Ubaid. Gus Cecep adalah cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Semasa hidup Gus Dur ia paling sering diajak mendampingi sepupunya itu saat ke makam para shalihin. Tidak heran kalau ia mendapatkan panggilan Sarkub, alias sarjana kuburan. Dunia gaib seakan menjadi kehidupan sehari-hari alumnus Pondok Modern Gontor tersebut. Tanpa kesulitan yang berarti, akhirnya mereka bisa bertemu dengan tuan rumah H Mahrus Ali.
H Mahrus Siap Dialog
Duduk di lantai beralas tikar, mereka berdialog, dimulai dengan hal-hal yang ringan. Ketika disinggung mengenai syariat yang berbeda, H Mahrus lebih banyak menghindar. Namun ketika menyangkut buku karyanya ia dengan senang hati melayani. Bahkan dengan penuh percaya diri ia meminta untuk dikoreksi. “Mana yang salah, saya siap mengoreksi, ini demi kebaikan bersama,” kata H Mahrus, seperti yang ditirukan Gus Cecep.
Pembicaraan mulai serius saat menyentuh judul buku-bukunya yang dapat dengan mudah memancing emosi warga NU. “(judul) Itu bukan kemauan saya, saya hanya buat naskahnya,” elak H Mahrus. Mengapa tidak mengajukan keberatan? “Sudah. Tapi saya tidak kuasa untuk itu,” balas H Mahrus tak mau kalah. Akhirnya ia diminta menuliskan pernyataan bahwa judul buku memang bukan atas kemauan dirinya, melainkan kehendak penerbit. Inilah yang mungkin akan dipersoalkan lebih serius oleh rombongan dari Tebuireng tersebut.
Pembicaraan selanjutnya adalah soal hisab-rukyat. Sebab dalam buku karyanya, H Mahrus menyebutkan bahwa penentuan awal bulan menggunakan ilmu hisab adalah bid’ah, karena tidak ada ajaran dari Rasulullah, tidak ada Hadisnya. Dan pada kenyataannya –menurut H Mahrus dalam bukunya itu – ilmu hisab tersebut tidak menyelesaikan persoalan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. “Coba kalau dikembalikan kepada Qur’an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan rukyat, maka persoalan akan selesai,” begitu analogi H Mahrus. Enteng.
Ditanya tentang cara melakukan rukyat, mengingat posisi hilal belum diketahui (sementara munculnya kadang hanya dalam hitungan menit atau detik) H Mahrus tampak kurang memahami persoalan itu. “Kalau soal penentuan hari raya, saya percaya NU,” jawabnya singkat tanpa perasaan bersalah. Para tamunya tampak kaget, mengingat NU menggunakan rukyat, namun dipandu dengan hisab sebelumnya.
Lalu, data-data tulisan tentang ilmu hisab yang ada di buku itu dapat dari mana? “Saya ambil dari internet,” tuturnya lirih sambil tersipu-sipu. Kiai Thobary hanya tersenyum melihat keterbatasan penulis yang dalam bukunya dilabeli “Syeikh” itu. Sampai saat itu H Mahrus belum mengetahui kalau orang yang duduk di hadapannya adalah Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Banten dan salah seorang anggota tim Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI.
Menjelang akhir pertemuan, H Mahrus kembali menegaskan kesiapannya melakukan dialog terbuka. Hanya saja tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Kali ini bukan persoalan uang, tapi hanya masalah tempat. Ia minta tempat yang aman, bukan di tempat komunitas orang NU. Dan tempat aman yang dimaksud adalah gedung kepolisian! Para tamu itupun hanya tersenyum menanggapinya.
Di sisi lain, saat dialog berlangsung itu Gus Cecep melihat ada makhluk lain yang selalu mendampingi H Mahrus. Tidak ikut bicara, namun cukup untuk memberikan spirit pada penganjur aliran shalat langsung di atas tanah dan memakai sandal tersebut. “Dia itu gurunya saat di Makkah dulu,” tutur Gus Cecep, yang biasa diajak Gus Dur keliling ke makam-makam keramat.
Sepulang dari rumah H Mahrus, mereka sempat memotret warkop yang biasa ditempati H Mahrus bercengkrama. Mereka pun tampak puas dengan kunjungan itu dan memiliki kesimpulan yang sama, bahwa nama H Mahrus Ali tidaklah sehebat yang digembar-gemborkan. Namun soal sikap akhir, keduanya belum satu kata. Kiai Thobary ingin agar PWNU Jawa Timur bersikap lebih tegas lagi pada H Mahrus Ali dan penerbit Laa Tasyuk! Press, mengingat buku-buku yang diterbitkan sangat membahayakan kerukunan umat Islam dan mengandung unsur adu domba.
Sedangkan Gus Cecep bersikap sebaliknya. Ia ingin orang itu dibiarkan saja, toh masyarakat sudah pada tahu siapa sebenarnya dia. “Kalau diurusi serius, dia malah terkenal,” ujarnya memberikan alasan. Bagaimana dengan kita? (M. Subhan)
*) Dimuat di Majalah AULA Edisi Januari 2011 dalam rubric “Liputan Khusus”.
Aku asli dari keluarga NU,dari dulu ada keraguan masalah tawasul,berdoa lewat orang yang sudah mati,secara akal sehat jelas tidak masuk akal,dan Alhamdhulillah sekarang semuanya sudah terjawab oleh buku2 karya H.Mahrus Ali dengan dalil yg sangat kuat dari Al-Quran dan hadist shoheh,apa lagi sekarang sudah mulai banyak orang2 NU hijrah ke Aqidah yg benar,dan mereka juga sudah meninggalkan sunah2 bikinan ulama2 Ahli Bid'ah.Yg nggak habis kupikir kenapa orang2 NU yg merasa paling benar/pandai sendiri tentang Islam tak bisa membedakan mana Bid'ah mana Sunnah?padahal apapun model/bentuknya Bid'ah yg sayyiah,hasanah(meskipun ada didalam hadist)jelas bertentangan dengan surat Al Hujarat ayat 1,maka jelas semua Bid'ah adalah "SESAT".sekarang saatnya aku segera meluruskan anggota keluargaku kembali hijrah ke Aqidah yg benar,dan saya katakan meskipun bukan hanya 1000 tapi 1.000.000. trik atau rekayasa untuk menjatuhkan misi dak'wahnya H.Mahrus Ali saya sangat tidak mempercayainya,karena itu semua rekayasanya IBLIS berujud manusia.....
BalasHapusNU tulen apa WAHABI. MASALAH bid ah tanya yg paham. sebutkan bid ah2nya mana?????
Hapusto fajar,muka kotor and kumel tak bercahaya gyk mhsus ali di puji mata ente buta yah,gk bs bedain mana org dkt dgn ROB,mana yg bajingan?
BalasHapusdi toko toko buku karangan beliau makin laris aja. dan kayaknya juga smakin banyak yang penasaran dan akhirnya malah makin kesengsem dengan dasar dasar yang disampaikan dan sampai akhirnya , bertobat dan menyesali diri bahwa selama ini ternyata diri pembaca termasuk yang hatinya kotor. mudah 2 an Alloh mengampuni kejahilan kami di masa lalu
BalasHapusLau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi - Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya.
BalasHapussilahkan pahami kaidah di atas, silahkan cari di internet..wahai warga nahdliyin
Untuk saudara-saudara saya warga NU, hendaknya jangan memandang buku karaya Mahrus Ali itu dari segi negatifnya saja. Kalau ada kebenaran dalam buku itu ambillah, jika ada kesalahan di dalamnya maka luruskan dengan cara yang baik. Terlepas masalah amalan2 kaum nahdliyyin itu ada dalilnya atau tidak seharusnya NU juga introspeksi diri. Apakah amalan2 yang biasa dilakukan itu (misal tahlilan, yasinan, muludan, dsb)semakin membuat kita semakin dekat kepada Allah, semakin cinta kepada Rasulullah, dan semakin mengamalkan sunnah2nya? Atau hanya sekadar rutinitas ritual semata? Mohon maaf, kalau sekiranya dengan muludan -misalnya- warga NU semakin giat menjalankan sunnah Rasul, kenapa di masjid2 NU -meskipun mungkin tidak semua- pada saat sholat berjamaah jarak antar jamaah yang bersebelahan banyak yang renggang dan hal ini seperti dibiarkan saja oleh imam padahal jelas2 Rasulullah mengajarkan agar dalam shalat berjamaah itu kita harus merapatkan barisan, bahkan sampai pundak sesama jamaah itu menempel satu sama lain. Jika amalan2 itu membuat kaum nahdliyyin semakin taat menjalankan syari'at kenapa masih banyak kaum muslimah NU yang tidak rapi dalam menutup auratnya, kenapa pula banyak warga NU yang masih jadi perokok berat padahal merokok itu jelas2 membawa kemudlorotan dan Rasulullah melarang kita melakukan hal yang membawa pada kemudlorotan. Kalau amalan2 warga NU itu hanya jadi ritual yang kosong dari makna jangan salahkan kalau banyak orang menyebut amalan2 itu sebagai bid'ah dan mengecap warga NU yang fanatik dengan amalan2 itu sebagai ahli bid'ah. Sekali lagi saya tidak ingin menyinggung sipapun di sini. Semoga ini menjadi bahan renungan kita bersama.
BalasHapusSampai usia 46 saya tetap warga NU keturunan,dan sangat meyakini bahwa dari 73 golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah yg selamat hanyalah NU saja.Setelah baca buku saku "Seputar Hukum Selamatan,Yasinan dan Tahlilan" dan buku "Bila Kiai diPerTuhankan"dari LPPI karya Hartono Ahmad Jaiz,akirnya penasaran dng buku lainnya misal : Aliran dan Faham Sesat diIndonesia,Ada Pemurtadan di IAIN,Bahaya Islam Liberal,Kesesatan LDII dll.Kemudian terbit buku H Mahrus Ali yg kontroversial dng NU,Disusul Buku Putih Kiai NU oleh Kiai Afroki Abdul Ghoni,MWC NU Membedah Kitab Tauhid Kiai Ahli Bid'ah oleh Drs Buchari.Juga buku bagus/berbobot "LAU KAANA KHAIRAN LASABAKUUNA ILAIHI". Ternyata setelah kita baca2 bukunya benar benar Ilmiah dan masuk diakal.Maaf bukannya saya memihak mereka,terus terang saja saat ini saya sedang benarbenar mecari Islam yg murni,bersih dan benar sesuai dengan apa yg dijarkan oleh Rosulullah saja. Disebuah tautan didunia maya buku-buku mereka langsung diklaim buku-buku sesat.Ini adalah suatu bantahan yg benar-benar tidak etis dan ilmiah. Dari ini saya sangat mengharap kepada tokoh NU dari Aktivis NU,Kiai,Gus,Ulama juga team LBM Jember, utk menanggapi buku2 mereka dng tegar,tidak emosi,tidak dengan taklid buta dan yg ilmiah. Dan tanggapilah dari buku2 mereka perbuku dan tidak langsung diklaim semua buku mereka sesat (karna itu adalah taklid buta dan membabi buta).Dan tanggapilah perbuku dari buku2 mereka dengan dalil yg kuat(dr Al Qur'an)dan hadits shohih yg mendetail seperti bukunya Mahrus Ali "Sesat Tanpa Sadar" yg menjawab buku Membongkar Kesesatan...Sampaikan komplit asal usul,perowi dan sanadnya dng jelas.Biar nanti pembaca yg menilai akan kebenarannya dan untuk meyakininya.Setelah baca buku mereka timbul dari hati utk menanyakan dan mohon dengan sangat para tokoh NU utk menjawabnya,pertanyaanya sebenarnya ratusan cuma saya sebutkan beberapa saja.1-Dikitab apa ada tentang sholawat Nariyyah dan sholawat Badr,(apakah itu tuntunan dari Rosulullah atau Imam Safe'i atau sunnsh bikinan ulama saja?).2-Apakah dan kenapa Rosulullah,para sahabat,4 Imam Maliki,Hanafi,Safe'i,Hambali tidak mengajarkan selamatan setelah kematian 3-7-40 hari dst,yasinan dan tahlilan?,dan sejak kapan.oleh siapa acara itu diajarkan?,Apakah acara itu bisa mengurangi dosa seseoang (misalkan koruptor)?.Kenapa acara itu pula yg mengadakan hanya warga NU saja (negara Islam lainnya tidak ada)?.4-Kenapa waktu Rosulullah perang demi Islam lawan orang kafir tidak menggunakan Ilmu Tenaga Dalam (tetap saja pakai pedang dan panah),dan tidak memberi rajah,jimat bertuliskan arab?.5-Yg benar itu Al Qur'an yg harus mengikuti adat,tradisi dan zaman atau sebaliknya tradisi,adat dan zaman yg harus kembali kepada Al Qur'an?.6-Apakah buku : LAU KAANA KHAIRAN LASABAKUUNAA ILAIHI itu sesat?.7-Bagaimana dng Muktama NU pertama di Surabaya tgl 13 Rabiul Tsani 1345 H (21 Oktober 1926)menetapkan dengan tegas bahwa selamatan setelah kematian adalah bid'ah yang hina,apakah itu fitnah?. Fakta nyata bahwa sampai detik ini belumada seorangpun dari Habib,Gus,Kiai,Ulam yg bisa menemukan kalau selamatan 3-7-40=hari dst itu dari Al Qur'an maupun Hadits Rosulullah. Adanya dikitab suci orang Hindu yaitu WEDA Manawa Darna Sastra Weda Samerti hal 192-193, dan di Sama Weda Samhita Buku I hal 1,Bab 10 no I hal 20.( fakta nyata itu adalah ritual agama Hindu / bukan dari Islam).
BalasHapusSy kira, sudah sepatutnya kita mengucapkan Alhamdulillah, ternyata masih ada gurum kiyai, ustadz seperti Mahrus Ali mau bersusah payah meneliti, mengkaji dan menelaah serta menemukan isyarat kebaikan dari berbagai literatur masalah ajaran Islam. Smg Allah SWT memberkahi amal salehnya dan kita yang hanya mampu membaca buku dan pendapatnya juga dilimpahi rahmat-Nya.
BalasHapusKalo mau bikin buku lebih laris dari mahrus ali kencingin aja sumur zam-zam di Mekkah sana lalu ceritakan di buku secara detail...ntar bakal laris ke seluruh dunia......ada nggak jaminan saya masuk surga bila beli dan baca2 buku2 yg kontroversi ini ....apalagi sumbernya internet ...wah saya telah kecewa dg internet...dimana saya download software Al-Quran +terjemah...yg sudah 10 tahun kalo nggak salah di edarkan dan mungkin sudah dimiliki ribuan mungkin jutaan umat ternyata ada kalimatnya yg kurang dalam salah satu ayat.....ini jadi pahala pembikinnya, atau kelalaian penyusunnyanya akan diampuni Allah SWT atau gimana nasib ribuan orang2 yg telah terlanjur download dan memakai itu software ...siapa yg menanggung dosa kesesatannya...baca al Quran jadi tersesat....naudzu bika mindzliik......
BalasHapusLau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi ...ada perbuatan salah satu sahabat Khulafaurosyidin..yg baik ternyata nggak diamini oleh Rosulullah SAW bahkan Rosulullah SAW menolaknya...jadi..
BalasHapusLau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi nggak bisa jadi pegangan...mau tahu....cari di kutubus sitah...tapi ada perbuatan yg tidak dicontohkan Rosulullah dan didengar Rosulullah langsung atau diceritakan kepada beliau...maka Rosulullah memujinya...mau tahu...jamaaaaaahh...ada orang mau tahu....padahal udah baca bertumpuk buku.....
Saudaraku sesama Islam.., sadarilah bahwa Islam sudah sangat sempurna (Allah sendiri yg memberitakan dalam firmanya di QS.Al Maidah 3)jadi tidak perlu ditambahi maupun dikurangi, Islam bukan untuk didebatkan tapi untuk dikaji, sebab kalau debat hanya untuk mencari menang (nggak ada yang mau ngalah), tapi untuk dikaji dicari akan kebenarannya, Coba sama-sama kita RENUNGKAN, Yang benar itu Adat, Tradisi dan Zaman yang mengikuti Al Qur'an atau sebaliknya Adat, Tradisi dan Zaman yang harus kembali kepada Al Qur'an, Sesuaikan jawaban dari hatimu dengan ucapanmu harus sama dan jujur, Allahlah yang akan mencatat isi hati kita, (Kajilah ya saudaraku semua), Mari semua Adat, Tradisi dan Zaman itu sama-sama kita Filter dengan Al Qur'an dan Hadits yg Shohih. Somoga kita semua akan diselamatkan dari api neraka dan akan mendapatkan surganya...Amien..
BalasHapusSetelah kupikir-pikir benar mas...Yang benar itu adat, tradisi dan jaman yang harus kembali kepada Al Qur'an..trim's..
BalasHapusMasalah muncul ketika penulis (H. Mahrus ali) tidak bersedia diajak berdiskusi terbuka sehingga kita kurang tau kevalidan datanya. Untuk teman2 warga nahdliyin, agar tidak ragu2 lagi dalam mengamalkan amalan an-Nahdliyah bisa membaca buku "Islam Tradisionalis" karya KH. Muhyiddin Abdushshomad Jombang. Bandingkan dg Kyai muhyiddin yg siap diajak bedah bukunya bahkan tanpa bayaran.
BalasHapussaudaraku seiman bacalah artikel-artikel di www.firanda.com semoga bermanfaat
BalasHapusjangan sok egois n keminter n ngrasa paling bener sendiri.ayo berpikir jernih.menurutku H mahrus ali ada benarnya.syukron ustadz atas karya2mu dalam meluruskan akidah islam ini
BalasHapusSaya bukan NU, tapi karena ramainya membahas H.Mahrus ini saya justru semakin yakin dengan NU. Tolong yang Pro sama H.Mahrus lihat dulu video debat terbuka di IAIN Sunan Ampel, di youtube ada (debat terbuka NU - Wahabi, seri 1-8), di situ terlihat betapa pendukung H.Mahrus sangat dangkal ilmunya....gitu kok berani nulis buku.... naudzubillah
BalasHapusNampaknya, dua-duanya baik H Mahrus maupun NU perlu diluruskan. H Mahrus sebaiknya dpt hadir bila diundang diskusi buku, sampaikan saja scr ilmiah. NU jangan juga ngomong2 Wahabi. Omongan Wahabi itu rekaan Zionis yg mau memecah belah umat Islam dg mengecap Saudi Arabia sbg Wahabi. Ingat bermula dari Zionis Inggris, yg kerepotan menghadapi perlawanan kaum Muslim yg terjajah di India.
BalasHapusajaran yang menyalah-nyalahkan orang laen banyak penggemarnya, bahkan anak yang lulus SMA yang tidak kenal baca tulis Al-qur'an dan hadis sangat gemar dengan ajaran-ajaran tersebut. sehingga hanya bebekal berani bicara keras tanpa ilmu agama yang cukup mereka berani membid'ah-bid'ahkan ulama' yang keilmuannya sangat luas dan hati-hati dalam menjalankan ibadahnya.
BalasHapuspak mahruis pak mahrus ilmuyg kau dapat dari mbah google bikin repot aja...ya allah semuga buku buku karya pak mahrus tidah akan pernah mewabahi pada keturunan hamba ,keluarga hamba,masyarakat hamba.ikhwaanul muslimiin walmuslimaat,ya ALLAH semuga engkau selalu melimpahkan kepada hamba akan pengetauhan dan ilmuMU yg maha luas.dng pemahaman yang amat cerdas. YAALLAH ampunilah hamba dan keturunan hamba dari ilmu yg tidak mamfa'at, YA GHAFFAR jadikan lah selalu ikhlas dan shobar sebagai hidayahMU pd hamba .aamiiin,aamiiin aamiiin. YAA MUJIIBASSAAILIIIN.
BalasHapusngalamat zaman akhir, alqur'an dan hadits dikira majalah po piye mudah dibaca dan dipahami, padahal alqur'an dan hadits harus dipahami mnrut pmhaman yg dketengahkan para Ulama karena qur'an dan hadits diriwayatkan dan diajarkan oleh beliau2 yang tentunya bersumber dari Rasululloh. bukan spt mbah mahrus yang seenaknya asal comot dalil tanpa menghiraukan asbabul wurud wannuzul, khilafiyyah ulama, furu'iyyah fiqh, dll. dan yang dimaksud bid'ah sekali lagi adalh sesuatu yang tidak bertendensi yang tidak sesuai dengan qur'an dan hadits bukan berarti bid'ah itu sesuatu yang tidak tercantum / tertera dalam qur'an maupun hadits..... seperti halnya tahlilan memang tidak ada anjuran tahlilan dalam alqur'an dan hadits karena itu tahlilan bukan termasuk bagian agama. Dan orang yang bilang tahlilan bid'ah berarti dia telah menambah-nambahi perkara agama, justru yang seperti inilah yang bid'ah. Yang menjadi bagian dari agama itu bukan acara tahlilannya tapi membaca kalimah thoyyibah, membaca qur'an, mendoakan mayyit, dan bersedekah untuk mayyit, inilah yang menjadi bagian dari agama dan ada tuntunannya, sekali lagi bukan acara tahlilannya..... Kalau lum jelas ngaji tuntas jangan hanya ngaku2 mengikuti al qur'an dan hadits karena alqur;an dan hadits itu sangat luas mencakup segala kegiatan manusia, maka ibadahpun sangat luas meliputi segala kegiatan dan gerak gerik manusia dan semuanya ada aturan mainnya. Jangan spt orang2 wahhabi yang mempersempit ibadah dan salah memahami arti bid'ah. ibadah ini pada hakikatnya bersifat esensial jadi harus cermat memahaminya jangan hanya melihat dhohirnya tapi pahami isinya. maka anda akan mengerti kalau orang buang air kecilpun bisa jadi ibadah kalau mngikuti anjuran Rasul, apalagi tahlilan yang jelas2 diisi bacaan qur'an, dzikir, dan sedekah. Hanya orang2 yang akalnya sempit dan ahli bid'ah yang mengatakan itu amalan bid'ah, tidak sesuai tuntunan dll...... MATATIL BID'AH BI QIYAMIL HUJJAH LI AHLISSUNNIYYAH.
BalasHapusTolong yang memuji-muji bukunya mahrus hendaknya mengaji lagi, apalagi dia mengaku dulunya warga NU, tapi dia tdk mau mendalami apa yang dia tdk fahami. mbok ya nanya sama kyai, ngaji lagi. nanya yang lebih jelas. klo hanya sekedar membaca, kedangkalan ilmu ente tdk bs menilai secara obyektif. bisa-bisa kayak tumal hakim yg mati gara-gara salah memahami buku yg dia baca. klo hanya mati dg membawa iman tdk terlalu berbahaya, yg berbahaya klo matinya tdk membawa iman dan aqidah yg benar. krn membaca buku yg salah yg menyalahi aqidah mayoritas.
BalasHapussudah2 jgn pd berantem yg jelas artikel ini sudah lari dr jalur sebenarnya.yg dipermasalahkan adalah 1)pelurusan masalah yg ditulis mahrus ali tentang amalan2 yg selama ini dilakukan oleh umat NU.2)seharusnya kyai thobary memberikan bantahan dg dalil shahih tulisan mahrus ali kareana sebetulnya bukan hanya mahrus ali yg mengatakan bahwa taklilan,tawasul pd mayat,mendatangi kuburan untuk minta berkah dll namun masih banyak kyai dan ulama didunia dr dulu sampe skrng yg mengatakannnya.3)kyai thobari nggak usah mempermasalahkan mahrus ali orang nu ato bukan tapi kasih kami pencerahan dg dalil yg shahih tentang permasakahan yg diangkat mahrus ali.pd AULA ATO KYAI,GUS,HABIB DAN LAIN2 KASIH TANGGAPAN ATO ARTIKEL ATAU SEKALIAN BUKU KEPADA PERTANYAAN ANONIM YG DIPOSTING 25 Juli 2011 15:54 INI HUKUMNYA WAJIB KRN JIKA TDK DIJAWAB MAKA KALIAN AKAN MENJERUMUSKAM KAUM NU KEDALAM JURANG KESESATAN.MAAF, saya tertarik dg kata sarkub(SARJANA KUBURAN),KATA bahwa gus cecep mampu melihat alam ghaib berarti gus cecep lebih hebat dari shahabat nabi SAW,bahkan nabi SAW dimana nabi SAW mengatakan bahwa beliau SAW tdk mengetahui alam ghaib selain yg diperlihatkan ALLOH SWT saja,Menakjubkan.HEBAT GUS.ilmu gus cecep dari mn??yg sama sampeyan setan apa iblis??/
BalasHapusSebagai orang awam saya sangat tidak tertarik dengan dalil-dalil. juga sangat tidak tertarik dengan ungkapan si anu menagatakan ini dan si anu mengatakan itu....tapi duduk sambil membaca qur'an disamping makam orang sholeh kemudian membuat hati lebih tentram lebih saya suka daripada duduk di pinggir jalan menikmati kepulan asap rokok dan secangkir kopi hangat...
BalasHapusMasya allah....
BalasHapusMOhon untuk admin, komentar yang merugikan warga NU yang masih awah di hapus saja.... trimakasih.
BalasHapusyg salah itu penerbitnya,masak mantan kiai
BalasHapusnu koq kayak dukun spt ki joko bodo.wkwkwk.seharusnya judul bukunya MANTAN DUKUN SANTET MENGGUGAT.wkwkwk
Semua kiat bisa menilai mana buku yang bermutu mana muku yang murahan alias tidak ilmiah. Kita kan punya guru yang sanadnya sampai Rasulullah, mengamapa ragu menjalankan ibadah seperti mereka, kecuali orang yang yang ilmunya hanya yang diperoleh dari buku, ya ngak jelas keturunannya, anak aja suka dibilang anak haram, kalau ilmu yang diperoleh orang tidak jelas, pantasnya dibilang apa. Siapa sih yang yakin diantara kita bahwa kita yang paling benar. hanya Nabi yang benar muthlak. Jadi pegang aja keyakinan masing2 kenapa ngurusin yang ngak penting. Wallahu A'lam.
BalasHapus