Komitmen Mencetak Generasi Al-Quran
Bangunan rumah berlantai
dua itu sangat sederhana, terletak di
dalam Kampung Peneleh Gg. V, di jantung Kota Surabaya, berhadapan
langsung dengan pintu utama Masjid Peneleh. Lokasinya berdempetan dengan
rumah-rumah warga di sekitarnya, tidak seperti layaknya bangunan sebuah pondok
pesantren pada umumnya.
Bahkan, di pondok
pesantren tertua di tengah kota Surabaya ini, tidak memiliki halaman luas
apalagi lokasi parkir. Ya, itulah Pondok
Pesantren Tahfidzul Quran yang lebih
dikenal dengan nama Pondok Pesantren Peneleh. Ponpes Peneleh di masa jayanya
merupakan salah satu pondok hebat yang sukses mencetak generasi Al-Quran dengan
metode pengajaran konvensional dan privat.
Sayang, kejayaan
itu dari tahun ke tahun mulai memudar seiring wafatnya pendiri Pondok Pesantren
Peneleh almarhum KH Dahlan Basyuni di tahun 2009 silam. Kondisi ini seakan
Pondok Pesantren Peneleh seperti
kehilangan induk semang.
Ketika Majalah Aula
berkunjung di Ponpes yang berada di kampung lama ini, kondisi pesantren
terlihat mulai tidak terawat. Ketika kami
mengetuk pintu ruang tamu, seorang santri putri membukakan pintu dan mengucap
salam dengan ramah.
Ruang tamu sekitar
3 m x 3 m itu terhampar karpet tua dan sebuah ranjang busa yang sudah usang. Di
atas ranjang tua itulah duduk Nyai Hj. Aminah Dahlan (68), asal Rembang istri Alm. KH Dahlan Basyuni. Saat ini kondisi kesehatan Nyai
Aminah yang sudah sepuh cukup memprihatinkan. Sehari-hari hampir tidak pernah
beranjak dari atas ranjangnya, kecuali bila ada undangan khusus yang harus
dihadiri. Karena sesungguhnya pada saat beliau
masih sehat sering silaturahmi ke beberapa ponpes, dan menghadiri
berbagai undangan untuk tausiah dan mengajar ngaji.
Mencetak Generasi
Al-Quran
Bermula dari
pengajian rutin yang diselenggarakan oleh warga kampung, justru menjelma
sebagai sebuah pondok pesantren. Bahkan, santri yang menempuh ilmu agama di
Ponpes Peneleh ini tidak hanya berasal dari Surabaya saja, tapi juga dari pulau
Jawa. Tidak hanya itu, di masa kejayaannya Ponpes yang berada di kampung lama
Kota Surabaya ini, juga menampung santri dari luar negeri, yakni Malaysia.
Pada tahun 1975,
Kiai Dahlan pergi ke Makkah selama 2 tahun, kemudian ke Malaysia lalu kembali
lagi ke Makkah. Kemudian di tahun 1980-an, Kiai Dahlan kembali pulang ke
Surabaya. Pada mulanya Ponpes ini bernama Roudlotul Ta’limil Qur’an (RTQ), lalu diganti dengan nama Ponpes Sunan Ampel, namun tak berselang lama kemudian dirubah lagi
menjadi Ponpes Tahfidzul Quran, yang kini lebih dikenal dengan nama Ponpes
Peneleh, karena pondoknya menempati Masjid
Peneleh.
Sementara di era
tahun 1985, pondok Peneleh ini pindah di depan masjid, karena masjid dipugar.
Di tempat yang baru tersebut, pondok menempati bangunan berlantai dua dengan 10
kamar untuk santri putra. Sedangkan untuk
pesantren putri yang didirikan sekitar tahun 1970 dan diasuh oleh Nyai Hj Aminah, letaknya di atas rumah
beliau.
Karena pada
prinsipnya Kiai Dahlan menginginkan pondok tidak jauh dari masjid, agar para santri melakukan sholat berjamaah
di masjid, yang bertindak sebagai imam adalah Kiai Dahlan sendiri. Sedangkan para santri setiap hari mengaji
Al-Quran di dalam pondok maupun di masjid.
Namun pada
perkembangannya, di tahun 1980-an, Kiai Dahlan tidak ingin menerima santri
banyak. “Menurut beliau lebih baik sedikit santri dengan hasil mantap, daripada
banyak tetapi hasilnya kurang mantap,” tutur Ustadz H Moch. Nasruddin (42),
yang nyantri di KH Dahlan sejak tahun 1995 itu. “Begitu juga dalam setoran
hafalan para santrinya, Kiai Dahlan maupun istrinya, Nyai Aminah tidak suka
banyak-banyak, lebih baik sedikit tetapi
mantap, daripada banyak tapi hasilnya tidak mantap,” lanjut ayah seorang
anak ini.
“Karena kami ingin
mencetak generasi Al-Quran dan memasyarakatkan Al-Quran, menghafal dan
mengamalkan Al-Quran, mengingat semua sendi kehidupan telah termaktub dalam
Al-Quran,” tutur Nasruddin yang pernah nyantri di Perak, Jombang ini.
Karenanya, Nasruddin
menegaskan, sejak dulu hingga kini Ponpes Peneleh ingin menciptakan
santri-santrinya lebih modern, bisa melanjutkan kuliah, menjadi pengusaha, pejabat dan sebagainya, tetapi
tetap berpedoman pada Al-Quran. Oleh sebab itu, sistem pengajaran di ponpes ini
masih menggunakan motode sorogan.
Yakni, Kiai membaca
kemudian santri menirukan. Sedangkan guru mendengarkan bacaan santrinya dan
membetulkan bacaan santrinya bila salah membacanya. Esok harinya, para santri
menyetorkan hafalannya. Materi yang diajarkan ialah yang terkandung dalam Al-Quran.
Selain ilmu Al-Quran, para santri juga mendalami kitab-kitab kuning. Seperti Ta’limul
Muta’allim, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah, Fathul Jannah dan lain-lain. Para
santri juga diajarkan Seni Hadrah dan Qiro’ah.
”Banyak ponpes, yang
para pengasuhnya cukup hanya mendengarkan para santrinya yang mengaji, kalau
salah dibetulkan, jadi tidak menirukan apa yang dibacakan oleh Pak Kiai atau Bu
Nyai,” tutur Nasruddin.
“Metode pengajaran
yang disampaikan oleh Kiai Dahlan dan Bu Nyai Aminah ini, seperti Allah SWT
saat menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril,”
lanjut Nasruddin ramah.
Ia pun menjelaskan,
bahwa santri lulusan Ponpes Peneleh ini tersebar
di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bahkan ada yang di Malaysia dan di Kairo
sebagai dosen. “Bapak Arif Afandi (Red : Pemimpin Umum Majalah Aula) juga salah satu mantan santri
Kiai Dahlan,” tutur Nasruddin tersenyum.
Di mata Nasruddin
Kiai Dahlan adalah sosok yang istimewa.
“Beliau sangat istiqomah dan menjunjung tinggi tradisi salaf, dengan menampung
para santri yang ingin belajar dan menghafal Al-Quran, agar di dalam tubuh para
santri tumbuh benih-benih Al-Quran,” tutur Nasruddin di dampingi istrinya Neny
(32), dan Ubaidur Rachman (37) yang tak
lain adalah keponakan Nyai Aminah dari Rembang ini.
Kehilangan Induk
Semang
Wafatnya pendiri
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Peneleh, almarhum KH Dahlan Basyuni tahun 2009
silam, membuat Ponpes Peneleh seperti kehilangan induk semang. Bagaimana tidak,
sejak saat itu jumlah santri dari tahun ke tahun terus menurun. Kini jumlah santri putra hanya 25 orang, dan
santri putri sekitar 15 orang.
Itupun para santri membayar
semampunya, yang penting bisa menutupi biaya membayar listrik, air dan makan
dengan menu sangat sederhana. “Para
santri seperti kehilangan induk semang,” tutur ustadz Nasruddin. “Banyak orang yang tidak tahu, bahwa di
jantung kota besar Surabaya ada Ponpes Peneleh, ponpes legendaris yang
kondisinya sangat memprihatinkan dan jauh dari perhatian pemerintah dan kaum
darmawan,” lanjutnya prihatin.
Untuk diketahui, KH
Dahlan Basyuni lahir di kampung Peneleh, Surabaya tahun 1931. Ayahnya bernama
KH Basyuni merupakan tokoh masyarakat
yang juga masih keturunan dekat dari Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan dari nasab
ibunya masih keturunan Sunan Giri Gresik.
Sejak kecil Kiai
Dahlan diasuh sendiri oleh bapaknya dan tokoh-tokoh setempat. Setelah ayahnya
wafat, Kiai Dahlan dibimbing kakaknya untuk melanjutkan menghafal Al-Quran.
Kiai Dahlan juga memperdalam ilmu di sejumlah pondok pesantren di Jombang
maupun di Jawa Tengah. Seperti di Peterongan, Jombang, Pondok Krapyak
Yogyakarta, Pondok Sarang Rembang, Pondok Kudus dan lainnya. Pada tahun 1964, Kiai Dahlan kemudian menikah
dengan Nyai Siti Aminah, lulusan dari Ponpes Kajen (KH. Abdillah Salam), yaitu
putri dari KH.As’ad, Pondok Tasik Agung, Rembang.
Lalu apa hubungannya
Masjid Peneleh dengan Ponpes Peneleh yang terletak di depan masjid ? Masjid Peneleh atau Al Akhyar merupakan salah
satu masjid peninggalan Sunan Ampel. Sejak berdiri sekitar tahun 1800 hingga
kini masih dilestarikan dan dikembangkan oleh ulama-ulama/tokoh-tokoh
masyarakat yang masih punya nasab dengan Sunan Ampel sampai sekarang.
Terkenal
dengan nama Masjid Peneleh, karena
dahulu penghuninya adalah orang-orang pineleh (terpilih), yakni tokoh-tokoh
masyarakat setempat, yang berjuang membela tanah air dan agama Islam di jalan
Allah SWT. Masjid ini mengalami berbagai renovasi oleh takmir masjid dari
generasi ke generasi.
Setelah takmir
masjid dijabat almaghfurlah KH Basyuni Al Ja’fari, ketakmiran Masjid
Peneleh dilanjutkan oleh almaghfurlah KH Basyuni Syamsuddin, dengan
dibantu putra-putranya. Yaitu H Munib Thohir, KH Anas Thohir (Pendiri Majalah Aula)
dan Dr Moch. Thohir.