Kamis, 29 April 2010

Pesantren: PP Tahfidzul Quran al-Hasan Ponorogo

Spesialis Qira’ah Sab’ah

Magelang, pertengahan tahun 1983. Petang belum menjelang saat Husein tiba di kediaman KH A Hamid di Kajoran Magelang. Bersama KH Qomar, ayah angkatnya, Husein hanya ingin sowan pada kiai yang tersohor sebagai waliyullah itu. Percakapan singkat tuan rumah dan tamu itulah yang kelak menentukan berdirinya PP al-Hasan.

“Ilmu yang kau peroleh sudah saatnya kau amalkan,” titah Kiai Hamid. Dua orang tamunya hanya mengangguk. “Caranya, segera dirikan pesantren di tempat yang kau tinggali saat ini,” kiai sepuh itu melanjutkan perintahnya.

Husein, kala itu berusia 30 tahun, sebenarnya masih kurang pede untuk merintis pesantren. Ia merasa ilmunya jauh dari cukup untuk mengasuh para santri. Namun, berbekal dukungan dari Kiai Hamid Kajoran, ia bismillah saja. Lokasi yang dipilih adalah tanah wakaf dari ayah angkatnya, KH Qomar, di kelurahan Patihan Wetan Ponorogo. “Tanggal berdirinya 7 Juli 1984. Jadi, hampir satu tahun setelah dawuh Kiai Hamid,” kata KH Husein Ali, nama lengkapnya.

Kiai Qomar sendiri, selain menjadi kiai di kelurahan itu, juga dikenal sebagai kontraktor sukses yang sangat mencintai al-Quran. Pengusaha santri itu hampir saban minggu mengadakan semaan al-Quran di rumahnya. Salah satu hafidz langganannya adalah santri bernama Husein Ali, yang kemudian ia ambil sebagai anak angkatnya.

Nama al-Hasan sendiri dinisbatkan pada nama ayah Kiai Qomar, yaitu Kiai Hasan Arjo. Selain itu saudara kembar Kiai Husein juga bernama Hasan, namun ia meninggal di usia belia. Dengan penamaan al-Hasan inilah, Kiai Husein ingin mengenang dua orang tersebut. “Tentunya, saya tafaulan pada cucu kanjeng nabi, Sayyidina Hasan,” terangnya.
Hingga kini, ciri khas PP al-Hasan adalah pengajaran Qiraah Sab’ahnya. “Insya Allah, di daerah Karesidenan Madiun, hanya PP al-Hasan yang mengajarkan Qiraah Sab’ah,” kata Rais Syuriah PCNU Ponorogo 1997-1999 ini.

Di pesantren yang lokasinya cukup dekat dengan STAIN Ponorogo ini, para santri di pagi harinya dibebaskan bersekolah di luar pesantren. Sebab, al-Hasan hingga kini belum memiliki lembaga pendidikan formal. Selain di MA terdekat, ada pula beberapa santri yang kuliah di STAIN, maupun Institut Sunan Giri yang lokasinya juga tak jauh dari al-Hasan.

Hanya saja, meski menghafalkan al-Quran, tapi tak semua santri berminat mendalami Qiraah Sab’ah. Menurut Kiai Husein, dari dua puluh orang huffadz yang diwisuda, hanya satu orang yang berminat. “Sebab mempelajari variasi qiraah dari tujuh imam, memang sangat berat.” kata penasehat Jamiyatul Qurra’ wal Huffadz Jatim ini seraya tersenyum. Begitu beratnya, hingga kadang-kadang hafalan al-Qurannya hilang. Belum lagi durasi waktu yang lumayan lama.

Menurut ayah tiga orang anak yang semuanya hafidzul Quran ini, ada kesankesan unik ketika mengasuh para calon penghafal al-Quran. Ia terkesan dengan seorang santri bernama Muallif yang berasal dari Trenggalek. Ia hanya ber-pendidikan SD dari keluarga kurang mampu. Tanpa bekal sedikitpun, ia nekat sowan ke Kiai Husein mengutarakan niatnya menghafal al-Quran. Berbekal niat yang kuat ia menghafal al-Quran, sambil bekerja serabutan. Karena kegigihannya inilah, teman-temannya memberi gelar Mbah Sunan. “Hafalannya baik, suaranya juga bagus. Tajwidnya juga tanpa cela,” kisahnya. Tahun 1993 kebetulan ada Musabaqah Hifdzul Quran (MHQ) di Madiun. Oleh Kiai Husein, Mbah Sunan didelegasikan menjadi peserta lomba. Karena penampilannya yang katrok; perawakan kecil, wajah kurang manarik, dan kulitnya juga hitam legam, para juri lomba menganggap remeh Mbah Sunan. “Kiai, mbok ya santri panjenengan di make up sedikit, biar penampilan-nya lebih oke,” canda seorang juri pada Kiai Husein. “Lho, jangan lihat bungkusnya. Yang penting itu substansinya alias kemampuannya,” jawab Kiai Husein memberi jaminan, sambil terkekeh.

Jaminan mutu dari Kiai Husein manjur, para juri terperangah mendengar lantunan al-Quran dari bibir Mbah Sunan. Hasilnya, sosok yang sempat diremehkan ini menjadi kampiun I MHQ se-Karesidenan Madiun. “Saat ini Mbah Sunan ngajar ngaji di desanya,” kata Mustasyar PCNU Ponorogo ini.

Selain kisah Mbah Sunan, ada beragam kisah unik lainnya. Ia menyebut kisah seorang santri eksentrik dari Yogyakarta. Namanya Arif Irfan. Selain menghafalkan al-Quran, ia juga belajar di STAIN Ponorogo. Di mata teman-teman-nya, Arif dikenal sebagai santri yang hobi keluyuran. Pamitnya nonton bioskop, cangkruk di warkop, dll. Tak pernah ia terlihat nderes al-Quran di kamarnya. Tahu-tahu ia selesai setoran hafalan pada Kiai Husein. Tak dinyana, dalam jangka waktu satu tahu, ia telah menguasai al-Quran di luar kepala. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala melihat keberhasilan Arif. Menurut Kiai Husein, ketika Arif pamit nonton bioskop pada teman-temannya, sebenarnya ia tidak ke lokasi pemutaran film. Justru ia mampir ke masjid. “Agar tak diketahui teman-temannya, ia bergonta-ganti masjid,” terang Kiai Husein sambil tersenyum mengingat kecerdikan Arif. Di beberapa masjid inilah ia nyicil hafalan al-Quran hingga ia diwisuda sebagai hafidz pada 1998.

Hingga kini, dalam berbagai ajang perlombaan MHQ, MTQ, maupun MQK (Musabaqah Qira-atul Kutub), terutama di kawasan Karesidenan Madiun, delegasi al-Hasan hampir menjadi langganan juara. Bahkan, grup hadrah al-Hasan menempati peringkat II berturut-turut pada lomba Hadrah Karesidenan Madiun 2008 dan 2009.

Ijazah dari Mbah Arwani

Kiai Husein merupakan pen-datang dari Jejeran Wonokromo Yogyakarta. Masa mudanya ia habiskan berkelana dari satu pondok ke pondok lainnya. Guru pertamanya adalah KH Ali Masykur, ayah kandungnya. Melalui ayah-nya, ia menghafal al-Quran di usia belia. Saat ayahnya wafat, Husein masih duduk di bangku MTs. Di usia muda itu ia lalu dititipkan ibunya pada KH A Muchith Nawawi. Sesekali, ia ikut ngaji pada KH Muhyiddin Nawawi. Keduanya adalah kiai terkemuka di Wonokromo Yogyakarta. “Alhamdulillah, di desa kelahiran saya, terdapat ratusan huffadz. Menurut Mbah Mundzir (Pengasuh PP Maunah Sari bandar Kidul Kediri-red) mudahnya para penduduk menghafalkan al-Quran karena disana ada 41 makam auliya,” terang Kiai Husein. Selepas itu Husein muda melanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada KH Abuya Dimyati, Pandeglang, Banten.

Bertahun tahun berguru pada Mbah Dim, Husein kembali mengembara. Kali ini ia terdampar di pesantren yang diasuh oleh KH Abdullah Umar, Semarang. Di pesantren spesialis pendalaman tafsir ini, Husein mondok selama enam bulan. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya mengajar kitab pada masyarakat sekitar pondok. Istilahnya ngaji privat,” katanya tersenyum mengenang masa mudanya. Upahnya sebagai guru ngaji itulah yang ia gunakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bekal membeli kitab. Kadangkala ia juga didundang ceramah maupun se-maan al-Quran.

Selepas itu, ia kembali mondok. Kali ini ia memilih berguru kepada KH Arwani Kudus. Ke-butuhan sehari-harinya ia penuhi dengan mengajar ngaji secara privat, memenuhi undangan ce-ramah, hingga semaan al-Quran. Di pesantren al-Quran ini, Husein betah hingga tiga tahun lamanya. Melalui silsilah keilmuan Mbah Arwani inilah, Husein mem-peroleh ijazah Qiraah Sab’ah. Berbekal ijazah itu ia me-ngembangkan pesantren spesialis Qiraah Sab’ah.

Hingga kini, jumlah santri PP al-Hasan berjumlah 230 putra–putri. “Itu belum termasuk santri kalong (non-mukim),” terang kiai yang aktif sebagai mubaligh ini Para santri ini datang dari ber-bagai daerah, meskipun mayoritas dari Sumatra. Untuk memenuhi jangkauan pengajaran al-Quran, Kiai Husein melebarkan sayap dengan mendirikan PP al-Hasan II di Dusun Carat Kauman Sumoroto, sekitar lima kilometer arah barat PP al-Hasan I.

“Alhamdulillah, berkat doa para masyayikh dan dukungan masyarakat, kedua pesantren ini tetap semangat dalam memasyarakatkan al-Quran,” terang Kiai Husein. (AULA No.04/XXXII April 2010)