Selasa, 27 April 2010

Kancah Dakwah: Yayasan Yatim dan Janda (Yatinda) Sepanjang

Andalkan Doa untuk Santuni Yatim dan Janda


Satu lagi profil penerima penghargaan Anugerah NU di Jawa Timur Aula hadirkan. Dialah H Khoiri dengan aktivitasnya di Yatinda. Untuk santunan, lebih dari dua juta ia habiskan dalam sebulan. Uniknya tak ada donatur tetap. Tak ada pula proposal permohonan bantuan.

Suatu siang di tahun 2004. H Khoiri sedang di depan rumahnya sambil beristirahat. Tampak seorang perempuan tua berjalan lambat. Tangan kanannya sesekali menyeka wajah dari keringat. Ia seakan tak kuasa menahan terik matahari yang menyengat. Dan tangan kirinya mem-bawa selembar kain yang dilipat.

“Mau ke mana bu?” sapa H Khoiri.
“Mau ke pegadaian pak. Menggadaikan sarung ini untuk makan,” jawab janda itu.
“Memangnya kain sarung seperti itu dihargai berapa,” lanjut pria yang berusia lebih dari setengah abad itu bertanya lagi.
“Ya, paling-paling tiga ribu,” jawab janda itu.

Terhenyaklah batin H Khoiri mendengar jawaban itu. Ia tak menyangka di sekitar rumahnya ada seorang janda tua yang sedang berjuang hidup dengan cara seperti itu. “Wah, jangan-jangan tidak hanya satu, tapi banyak. Atau jangan-jangan ia juga membiayai hidup anak-anaknya?” Demikian kira-kira kegalauan Abah Khoiri-sapaan H Khoiri-kala itu.
Peristiwa itu membangkitkan rasa empati H Khoiri dan keluarganya meskipun ia sendiri tergo-long dari keluarga yang sederhana. Hanya saja ia merasa lebih ber-untung karena lima anaknya sudah berkeluarga dan bekerja.

Tekad itu ternyata makin bergelora. Ya, minimal sekedar memberi beras untuk para yatim dan janda di sekitar rumahnya. Apalagi istri, anak dan tetangga mendukung gagasannya. Sekelompok tim kecil dibentuknya sehingga mun-cul nama Yatinda. Pendataan yatim dan janda kemudian dilakukan di sekitar rumahnya. Tapi ada ma-salah besar di hadapinya. Mau dapat uang dari mana?

H Khoiri dan pengurus Yatinda tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdoa. Berhari-hari kegiatan Yatinda hanya berkumpul dan berdoa bersama. Abah Khoiri kemudian memberanikan diri mengutarakan maksudnya itu kepada salah seorang pengasuh pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Dari situlah Yatinda menerima bantuan pertama.

Tak selesai di situ. setelah dihitung-hitung, apa yang didapat masih kurang. Tidak cukup kalau dibagikan kepada semua yatim dan janda yang sudah didata. Para pengurus Yatinda tak putus asa.

“Tiap malam kami terus berdoa bersama. Dan alhamdulillah, ada orang tak dikenal tiba-tiba datang dan memberikan bantuan beras. Ada juga yang memberikan uang sesuai yang kami butuhkan. Perasaan kami waktu itu sangat terharu. Kami bersujud dan menangis penuh rasa syukur. Kami yakin itu pertanda Allah meridlai jalan yang kami pilih,” terang Abah Khoiri saat ditemui di rumah mungilnya.

Sejak itu, tekad para pengurus Yatinda terus berkobar. Mereka menarget akan membagi sembako kepada para janda setiap bulan dan memberi uang santunan kepada para yatim setiap minggu.

“Kalau di suatu rumah ada seorang janda dengan tiga anak yatim. Berarti kami akan mem-berikan empat paket sembako. Biasanya per paket isinya beras dua kilogram dan beberapa mi instan. Tapi kadang juga ada yang nyumbang tahu, tempe atau lauk-pauk lain. Ya kami tambahkan saja apa adanya,” lanjut pria kelahiran Tebuireng, Jombang itu.
Yatinda tak punya kantor sekretariat khusus. Semua kegiatan dipusatkan di rumah Abah Khoiri an Hj Mujiati, istrinya. Letaknya memang agak jauh dari jalan raya. Meski juga tidak ada papan nama, menemukannya tidak terlalu sulit. Dengan menelusuri rel kereta api di sekitar stasiun Sepanjang kemu-dian bertanya kepada warga setempat, siapapun akan menemukannya. Rumah itu asalnya adalah rumah keluarga Hj Mujiati.

Abah Khoiri sendiri adalah sosok pegiat sosial sejak muda. Khoiri kecil sempat ikut ngaji di Pesantren Tebuireng kepada pada masyayikh di pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Kemudian ia nekat pergi ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah setelah tamat Sekolah Rakyat. Untuk hidup, Khoiri muda sembari bekerja sebagai penjaga toko meubel di pagi hari dan menjadi juru masak di beberapa pesantren di Kecamatan Taman. Sedikit demi sedikit, ia pun bisa menyerap ilmu yang diajarkan di pesantren-pesantren itu.

Ia kemudian aktif di MWC NU Taman. Pernah menjadi Ketua PAC GP Ansor, ikut mendirikan dan mengembangkan IPS NU Pagar Nusa dan selebihnya bergiat di bidang sosial keagamaan yang ada di desa tempat tinggalnya beserta istri.

Ada yang Keluar Karena Tak Tahan

Umumnya, lembaga sosial lain akan menyebar proposal bantuan, menyebar kotak amal, bah-kan meminta sumbangan dari pintu ke pintu dan sebagainya. Tapi itu semua tidak dilakukan oleh Yatinda. Usaha yang mereka lakukan hanya berkumpul dan berdoa bersama setiap malam.

Saat-saat kritis hampir selalu terjadi. Meski hari saatnya membagi santunan kurang satu hari, Yatinda kadang belum memiliki apapun untuk dibagi. Baru pada malam hari atau pagi harinya ada saja orang yang memberi bantuan.

Kenapa begitu yakin hanya dengan doa? Abah Khoiri menyitir beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang intinya menerangkan bahwa siapapun yang berani menjamin hidup anak yatim dan fakir miskin maka Allah akan menjamin hidup keluarganya.

Apakah benar-benar hanya dengan doa? Ternyata ada beberapa peraturan tidak tertulis di internal Yatinda yang bisa jadi ikut mendukung kelangsungan Yatinda.

“Untuk menjaga kesucian Yatinda, kami sudah berjanji tidak mengambil sedikit pun bantuan yang diterima. Karena itulah, ba-nyak pengurus yang tidak tahan dan keluar. Di sisi lain, semua dermawan kami catat untuk selalu kami doakan dan jalin komunikasi yang baik,” tambah Pak Musa, tetangga Abah Khoiri yang juga pengurus Yatinda.

Awalnya. Yatinda hanya menyantuni para yatim dan janda di sekitar rumah Abah Khoiri. Namun saat ini Yatinda mampu menyantuni 38 yatim setiap minggunya dan sekitar 200-an janda setiap bulannya yang menjangkau lima kampung di kawasan Sepanjang. Yaitu, Wonocolo Selatan, Bebekan Selatan, Ketegan, Taman dan Kalijaten.

Bahkan, rumah Abah Khoiri yang sedianya berukuran 12 x 4 meter persegi, sebagainnya di-bongkar dan diwakafkan sebagai mushalla yang berukuran 6 x 4 meter persegi. Saat Aula meliput, mushalla yang baru dibangun sekitar enam bulan itu sudah nyaman. Tembok sudah dicat mulus, keramik indah sudah menempel sebagai alas, atap sudah dicor dan rencananya akan ditingkat. Dari mana uangnya? “Tidak tahu, ada saja yang kasih bantuan,” selalu begitu jawaban Abah Khoiri.

Di mushalla itulah setiap sore anak-anak yatim diajari mengaji oleh Hj Mujiati. Sementara, para janda dan fakir diajak beristighotsah setiap minggu pagi dan mendoakan keselamatan para dermawan yang ditulis di papan hitam kecil di pojok mushalla.
Untuk membagikan santunan, bukan para janda dan fakir yang datang. tetapi pengurus Yatinda yang keliling ke lima desa dengan berjalan kaki sambil mendorong gerobak kecil. (AULA No.05/XXXII April 2010)