Bersih-Bersih NU
dengan Ahlul Halli Wal Aqdi
Saat Konferensi Wilayah NU Jawa
Timur mendatang akan menggunakan konsep Ahlul Halli Wal Aqdi atau sistem
perwakilan. Dengan demikian pemilihan rais dan ketua tidak akan menggunakan
pilihan langsung. Bila berhasil, dimungkinkan model ini menjadi pilihan saat
muktamar kelak.
Ajang konferensi dalam rangka
menata dan rencana kinerja Nahdlatul Ulama Jawa Timur sekaligus suksesi
kepemimpinan akan segera digelar. Namun ada nuansa berbeda dari tradisi lima
tahunan ini, yakni digunakannya metode Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) untuk
menentukan jabatan rais dan ketua.
Dengan demikian, disamping skala prioritas dari amanat peserta
konferensi kepada kepengurusan terbaru, pola suksesi dengan pendekatan Ahwal
akan sangat menyita perhatian. Karena ini model baru dan belum pernah digunakan
sebelumnya.
NU Jawa Timur memang seperti diakui banyak kalangan sebagai barometer
NU tanah air. Dari sinilah banyak ide segar dan penuh inovasi dibahas,
didiskusikan dengan sangat intensif serta pada gilirannya mendapatkan sambutan
dari NU di Indonesia. “Ibarat Makkah, maka NU Jawa Timur adalah kiblat bagi NU
di seluruh tanah air,” kata almarhum KH Endin Fachruddin Masthura suatu ketika.
Bersih
Diri dengan Ahwa
Boleh jadi itu adalah klaim dan membanggakan. Namun pada saat yang
sama, adalah sebuah tantangan untuk benar-benar menjadi pioner bagi kebaikan
dan percontohan jam’iyah ini. Ahwal didedikasikan untuk tampil dan terpilihnya
sosok pemimpin yang lebih bersih. Karena imbas dari demokrasi yang dianut
negeri ini mensyaratkan proses pemilihan secara langsung. Dan “ongkos” yang
harus dikeluarkan bagi calon pemimpin ternyata lumayan besar dan tinggi.
Dan ternyata, pemilihan
langsung juga berimbas kepada pesta demokrasi di NU. Dalam ajang konferensi di
beberapa PC maupun PWNU, ternyata sering terdengar adanya permainan uang
atau riswah. Karena itu untuk konferensi mendatang pemilihan rais dan ketua tidak dilakukan secara langsung, namun
dengan mendelegasikan kepada sejumlah orang pilihan. Konsep ini dikenal
dengan Ahwal.
Mengapa harus Ahwa? Salah seorang konseptor Ahwa, H Abdul Wahid
Asa menandaskan bahwa imbas pesta demokrasi yang mensyaratkan pemilihan calon
pemimpin dengan pilihan langsung ternyata membawa “penyakit” yang lumayan akut.
“Setiap proses pemilihan calon pemimpin harus disertai dengan uang,” katanya
kepada Aula.
Wakil Ketua PWNU Jatim ini
merasa “ongkos” yang harus dibayar dalam rangka
mensukseskan pesta demokrasi sangatlah mahal. “Mau jadi kepala
desa saja harus membayar ratusan juta,” katanya geleng-geleng kepala. “Apalagi
pilihan bupati, gubernur, calon anggota legislatif, pasti tidak ada yang
gratis,” lanjutnya.
Dan celakanya, budaya penggunaan uang atau suap ini terjadi juga di NU. Riswah atau money politics
itu juga sebagian terjadi pada konferensi di tingkat kabupaten maupun kota.
Sehingga hanya orang-orang yang memiliki uang saja yang bisa menjadi pemimpin.
“Mereka yang jujur, lurus, dan amanah tidak akan bisa menjadi pemimpin,” kata
salah seorang Rais PBNU, KH A Hasyim Muzadi suatu ketika.
Melihat gejala tidak sehat ini, PWNU Jawa Timur ingin mengawali untuk bersih-bersih dari dirinya sendiri. “Kita tidak mungkin menyuruh
orang lain bersih kalau tidak dari diri sendiri,” kata Pak Wahid, sapaan akrab
H Abdul Wahid Asa.
Apakah hal ini tidak bertentangan
dengan mekanisme dan aturan di NU? Pak Wahid dengan sigap menandaskan bahwa
penggunaan perwakilan atau Ahwa tidak bertentangan dengan aturan. Bahkan kalau
diteliti, model pemilihan di NU adalah dengan pemilihan langsung dan musyawarah.
“Kalimat musyawarah ini kita formulasikan dengan Ahwa,” tandasnya.
Dengan Ahwa, maka akan kecil kemungkinan akan terjadi riswah.
“Ini juga sebagai wahana untuk
memperkenalkan mekanisme pemilihan pucuk pimpinan yang dibenarkan dalam
aturan organisasi,” lanjutnya.
Kendati demikian, bukan berarti sistem ini akan
meniadakan sama sekali unsur riswah. Rais PCNU Jombang, KH Abd Nashir
Fattah menandaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa Ahwal akan sepi dari unsur riswah.
“Karena
masih ada kemungkinan orang-orang yang menjadi anggota ahlul halli wal
aqdi tidak bebas dari riswah,” terang kiai yang juga Pengasuh
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini.
Bahkan sejak awal PCNU Jombang mewacanakan mekanisme Ahwa. “PCNU Jombang sudah mengusulkan hal tersebut
sejak konferwil yang lalu dan menjelang Muktamar Makassar, tetapi masih belum
mendapat tanggapan yang baik,” tandasnya.
Namun dibandingkan dengan pemungutan suara, saat ini Ahwa lebih bisa menghindari praktik riswah.
Mekanisme ini bisa dipilih dengan pertimbangan akhaffu dlarurain atau
memilih yang lebih ringan keburukannya.
Hal senada juga disampaikan Ketua PCNU
Sumenep, H Pandji Taufik. “Formula Ahwa bukan terapi cespleng bagi upaya
membersihkan diri dari money politics,” katanya. Namun Pak Panji menandaskan
bahwa setidaknya dengan Ahwa, kemungkinan akan adanya unsur politik uang dapat
diminimalisir.
Akan tetapi cara ini mendapat koreksi dari salah seorang Ketua
PBNU, Slamet Effendy Yusuf. “NU itu
organisasi yang memiliki aturan,” katanya. Ketua Umum PP GP Ansor dua periode
ini menandaskan bahwa metode Ahwa
tidak dibenarkan dalam AD/ART NU. “Kembalikan semua kepada aturan main,” tandasnya. Kalau memang ingin mengubah aturan pemilihan pucuk pimpinan, maka hendaknya dibahas dan diperjuangkan di forum
tertinggi organisasi, yakni muktamar.
Terlepas dari itu semua, para
pendahulu telah menggunakan Ahwa sebagai media untuk memilih calon
pemimpin. Saat Muktamar di Situbondo, terpilihnya duet KH Ahmad Shiddiq dan KH
Abdurrahman Wahid adalah hasil implementasi Ahwa.
Namun Slamet Effendy Yusuf segera
menimpali bahwa penggunaan Ahwa untuk Muktamar Situbondo karena memang dikehendaki
muktamirin. “Pada saat pemandangan umum dari pengurus wilayah dan kiai
berpengaruh, mayoritas menghendaki Ahlul Halli Wal Aqdi,” terangnya.
“Sehingga saat itu juga diputuskan untuk menggunakan model Ahlul Halli Wal
Aqdi untuk penentuan rais dan ketua umum,” sergahnya.
Bisa jadi, imbas demokrasi langsung yang dianut bangsa ini
akhirnya memaksa banyak para pemimpin untuk berburu suara rakyat dengan riswah.
Namun diharapkan, “penyakit” ini tidak sampai menggerogoti para aktifis jam’iyah.
Mereka harus terus dikawal dengan sistem dan mekanisme yang memaksanya untuk
menjadi orang bersih.
Tugas
NU adalah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dan itu adalah tugas
mulia. Karena pekerjaan atau tugas
mulia, hanya orang bersih saja yang bisa memerankan amanah itu dengan baik. Dan
NU sudah sepatutnya menjadi bagian dari kalangan yang bersih. Bisakah formula Ahwa
dijadikan solusi bagi upaya bersih-bersih ini? Kita saksikan saat Konferwil NU
Jawa Timur mendatang. (saifullah)
untuk langganan daerah brebes dimana yah???
BalasHapus